Cerdas dan Canggih, Namun KONYOL

ARTIKEL HUKUM

Seekor Hewan adalah Wajar bila Penuh Cela, namun Manusia Wajib Tanpa Cacat Cela sebagai Pembeda dari Hewan, Kecuali “MANUSIA HEWAN”

Beberapa waktu lampau, sempat populer sinema layar-lebar Hollywood yang bahkan dibuat sekuel, berkisah mengenai satu tim yang dibentuk dengan anggota yang memiliki keahlian khusus untuk mencuri dan menguasai teknologi tinggi yang canggih. Entah mengapa, tema film yang “menjijikkan” semacam aksi mencuri dan pencurian—dikemas secanggih apapun—ternyata rating-nya cukup tinggi dan diminati penonton yang mambayar karcis masuk sinema sehingga bahkan dibuat sekuelnya dalam beberapa seri layar lebar.

Apa yang terbersit pada benak penulis saat itu, ialah sebagai berikut. Tokoh-tokoh yang digambarkan pada kisah tentang aksi pencurian berteknologi tinggi guna menguras brankas berpengamanan tinggi demikian, adalah berlatar-belakang intelek yang menguasai berbagai keterampilan dan penguasaan peralatan canggih, alias berpengetahuan dan berkemampuan tinggi yang tidak dikuasai oleh orang kebanyakan. Apakah mereka demikian kurang kerjaan, sehingga harus menjadi pencuri?

Sungguh “canggih, namun KONYOL”, karena sejatinya mereka, para pencuri yang super canggih tersebut, masing-masing dapat saja melamar kerja pada perusahaan-perusahaan berbasis “Iptek” (ilmu pengetahuan dan teknologi), menjadi programmer, menjadi ilmuan, menjadi teknisi, menjadi insinyur, menjadi guru besar dan profesor penulis buku ilmiah yang memenangkan piagam Nobel bila perlu, atau bahkan membangun perusahaan sendiri dan menciptakan berbagai produk inovatif serta berbagai terobosan yang bermanfaat bagi konsumen sehingga pemasarannya laku keras, maka dapat dipastikan masing-masing dari mereka akan mencetak kesuksesan dari segi profit finansial, ketenaran, serta ketenangan hidup.

Itulah sebabnya, penulis menyebut kisah-kisah yang menggambarkan adegan proses rekruitmen anggota tim pencuri yang sangat selektif mencari talenta-talenta berbakat untuk diajak bergabung sebagai PENCURI, agar misi menjarah dan mencuri dapat berjalan mulus tanpa dapat dideteksi alat pengaman apapun. Secanggih apapun peralatan dan metode kerja tim pencuri tersebut, tetap saja mencuri adalah mencuri, dimana tidak ada hal yang menarik untuk dikagumi dari aksi mencuri yang secanggih apapun dikemas dalam sebuah sinema yang apik penggambarannya.

Pencuri ataupun penjahat apapun yang selalu berhasil melakukan aksi kejahatannya, ialah orang-orang yang malang, karena selalu lancar menanam benih Karma BURUK bagi dirinya sendiri. itulah yang dapat kita namakan sebagai “beruntung, namun KONYOL”. Sama “konyol”-nya dengan seorang Robinhood, memiliki kesehatan dan anggota tubuh yang lengkap, alih-alih bekerja mencari uang dengan tenaga dan keringatnya untuk kemudian disumbangkan dan didonasikan, justru lebih sibuk mencuri hak milik orang lain yang bekerja memeras keringat dan rajin menabung, dengan alasan demi didistribusikan kepada orang-orang miskin yang bisa jadi miskin karena faktor kemalasan ataupun boros selama hidupnya.

Singkat kata, “canggih, namun KONYOL”. Bekal kemampuan serta modal peralatan canggih dimiliki, maka adalah mustahil mereka tidak mampu memperoleh pendapatan yang jauh lebih besar dan lebih benar, dengan cara memeras keringat secara legal seperti menjadi anggota tim ilmuan dan insinyur pada suatu departemen “Research and Development” pada perusahaan kelas dunia, atau bahkan menjadi programmer yang handal dan sukses, hingga membuka pabrik dan perusahaannya sendiri seperti perusahaan pengamanan berteknologi tinggi. Apalah artinya menjadi seorang pencuri? Mencuri ayam ataupun mencuri emas-permata, tetap saja mencuri dan pelakunya disebut sebagai seorang “pencuri”, tercela.

Beberapa dekade lampau, saat usia penulis masih sangat kecil, yakni tepatnya saat masih duduk di bangku Sekolah Dasar, penulis masih mengingat betul adanya film kartun dari Amerika Serikat, yang mengisahkan ajang perlombaan kendaraan balap mobil, dimana tema utama film kartun berseri tersebut hanya memiliki satu tema membosankan, yakni terdapat satu tokoh antagonis yang senantiasa bersikap usil terhadap peserta balap lainnya, dimana sikap usilnya justru berbalik menjadi bumerang bagi dirinya sendiri yang mencoba meraih kemenangan dengan cara-cara curang yang sebetulnya dapat ia raih tanpa cara-cara “konyol” tidak perlu tersebut.

Yang unik sekaligus “konyol” pada film kartun tersebut, barulah penulis sadari ketika telah rutin sekian lama menyaksikan tayangan dengan pola alur kisah “bodoh” demikian, dimana kemudian penulis berkata kepada salah seorang saudara penulis mengenai film kartun ini, “Aneh juga ya, si tokoh jahat ini sudah mampu melaju dalam posisi paling depan meninggalkan peserta balap lainnya, namun mengapa dia justru kemudian repot-repot berhenti dan menyibukkan diri memasang perangkap, alih-alih melanjutkan laju kendaraannya dan memenangkan balapan ini dengan mudah?” Saudara penulis pun menanggapi setelah merenung sejenak, “Benar juga ya, memang cerita film kartun yang aneh.”

Sejak saat itulah, kami tidak pernah lagi menyaksikan film kartun yang tidak cerdas dan tidak mendidik demikian, meskipun pesan moral kartunisnya mungkin saja baik (akan tetapi cara meng-komunikasikannya yang kurang cerdas). Sang tokoh “jahat” dikisahkan telah jauh melampaui dan meninggalkan para pesaingnya, namun entah mengapa ia justru memilih sibuk untuk berhenti, bersembunyi, memasang perangkap dan mengusili berbagai peserta balapan lainnya yang telah jauh ia tinggalkan di belakang, menunggu pesaingnya lewat dan mengaktifkan jebakan ketika kompetitornya melintas. Gilirannya, pada akhir kisah, selalu saja si tokoh “jahat” berakhir naas, mengalami kekalahan dan selalu menjadi menempati posisi paling terakhir yang menyelesaikan garis “finish”. Itulah yang penulis sebut sebagai “cepat dan kreatif, namun KONYOL”. Tokoh kartun yang kalah karena terlampau “kurang kerjaan” disamping “over aktif”.

Sama halnya, dalam dunia nyata dapat dengan mudah kita jumpai pengusaha ilegal yang merauk banyak keuntungan dengan merampas hak-hak warga sekitar, seperti melanggar tata-ruang wilayah pemukiman yang dialih-fungsikan sebagai tempat usaha berskala cukup masif, menimbulkan berbagai polusi suara, polusi lingkungan, polusi air maupun udara, polusi sampah, polusi sosial, hingga polusi berupa kerusakan jalan ataupun parkir liar, dan berbagai gangguan akibat kegiatan usaha secara melanggar hukum demikian.

Dengan bangga menghimpun kekayaan demi kepentingan pribadi sang pengusaha ilegal, namun disaat bersamaan “menggali lubang kubur” lebih dalam lagi untuk dirinya sendiri alias menimbun diri dengan benih Karma Buruk yang ditabur oleh sang pelaku usaha ilegal yang merugikan dan mengganggu hak-hak warga pemukim. Kita menyebutnya sebagai, “kaya secara materi, namun KONYOL”. Sama “konyol” dengan mereka yang membawa kabur uang pinjaman milik orang lain yang tidak dikembalikan olehnya, sekalipun telah ia ketahui setelah meninggal tidak membawa harta apapun, kecuali mewarisi Karma hasil perbuatannya sendiri. Bersenang-senang dahulu, bersakit-sakit kemudian. Apakah itu layak untuk dipilih dan ditempuh?

Telah demikian mujur dapat menjabat sebagai pejabat yang memegang tampuk kekuasaan, atau bahkan terpilih sebagai seorang Kepala Daerah atau Kepala Desa, Hakim, hingga Menteri dan Kepala Negara, jabatan-jabatan yang tidak dapat diduduki oleh banyak orang, serta kesempatan yang sangat berharga untuk disalah-gunakan, namun kemudian terjerat kasus korupsi, sekalipun pepatah mengatakan bahwa semakin besar kekuasaan maka artinya menjadi semakin besar pula tanggung-jawab atas amanat rakyat yang diemban, serta sekalipun Lord Acton telah mengingatkan “power tends to corrupt”, itu sama artinya “penuh kekuasaan, namun KONYOL”.

Tidak sedikit pula orang-orang yang sejatinya berlatar-belakang ekonomi dari kelas “mampu”, namun akibat serakah, ia menyalah-gunakan pengetahuan dan keterampilannya untuk merancang modus-modus penipuan, dimana sekalipun para korbannya bersedia memberikan dirinya kepercayaan, sang pelaku alih-alih menjaga betul kepercayaan yang diberikan oleh orang lain justru menyia-nyiakannya, dimana kita ketahui amatlah sukar mendapat kepercayaan dari orang lain karenanya perlu dijaga apa yang menjadi amanah, sehingga dirinya untuk selamanya tidak dapat lagi diberikan kepercayaan yang sama, itu sama artinya dengan “pintar, namun KONYOL”.

Untuk dapat terlahir kembali sebagai manusia adalah hal yang sulit, namun demikian ternyata banyak diantara kita yang lebih pandai dan lebih rajin untuk berbuat kejahatan dan menanam Karma Buruk, menyia-nyiakan kesempatan hidup sebagai seorang manusia, justru bersikap layaknya “manusia setan” atau “manusia hewan”, itulah yang dapat kita sebut sebagai “beruntung, namun KONYOL”.

Pengacara adalah profesi yang diberi gelar “officium nobile”, yang artinya profesi mulia orang-orang mulia. Akan tetapi pengetahuan hukumnya digunakan justru tepatnya untuk membebaskan pelaku kejahatan, untuk memainkan hukum, untuk memanfaatkan berbagai celah dan kelemahan hukum, untuk “memancing di air keruh”, untuk mencari-cari perkara dan membuat-membuat acara yang tidak perlu dibuat-buat, itulah yang layak kita sebut sebagai “mulia, namun KONYOL”. Bahkan, tidak jarang terjadi, seorang “guru mesum” dibela mati-matian oleh sang pengacara, yang “siap mati membela yang membayar”.

Tidak sedikit pula kita menjumpai orang-orang berpunya namun bermental “miskin”, yang kerap menampilkan watak atau perilaku sikap-sikap rendahan semacam “mendadak miskin”, atau bahkan hingga tanpa rasa malu bersikap “lebih hina daripada pengemis” dengan cara masih juga merampas nasi dari piring profesi orang lain. Itulah yang patut kita berikan julukan sebagai “borjuis, namun KONYOL”. Akibat keserakahan, masih juga merampok hak-hak orang yang lebih miskin, menurunkan harkat, martabat, serta derajat dirinya sendiri menjadi “lebih hina daripada seorang pengemis”.

Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang “agamais”, mengaku “ber-Tuhan”, meski demikian kerap menyelesaikan setiap masalah dengan cara kekerasan fisik, penganiayaan, pengeroyokan, ancaman, pengrusakan-vandalisme, hingga aksi-aksi ter0risme ataupun cara-cara lain yang pada pokoknya mengandalkan aksi otot serta kekerasan fisik untuk mengintimidasi dan me-represi warga lainnya. Itulah yang patut kita berikan vonis sebagai “hebat, namun KONYOL”. Cepat atau lambat, otot akan melemah, kulit akan mengeriput, rambut akan memutih, tulang akan mengeropos dan membungkuk tiada gagah lagi, gigi akan rontok, sampai akhirnya “malaikat pencabut nyawa” akan datang untuk mencabut nafas mereka. Bisakah Anda melawan sang “malaikat pencabut nyawa”, sehebat apapun otot atau senjata tajam milik Anda?

Di Indonesia, beberapa dekade lampau sempat populer tokoh-tokoh komedi yang semasa mudanya bermain akting memerankan anak-anak muda yang konyol dan nakal. Jadilah, para komedian tersebut dikenal sebagai para aktor yang lucu dan menggemaskan. Namun, ketika mereka beranjak menjadi orang-orang yang lebih tua, tetap saja memainkan peran sebagai tokoh-tokoh konyol, dimana semestinya usia tua merepresentasikan kedewasaan sikap, bukan kedangkalan perilaku dan karakter, sehingga menjadi tidak lucu lagi, namun “menggelikan”. Itulah yang dapat kita berikan rating sebagai “lucu, namun KONYOL”.

Ada pula orang-orang yang menyalah-gunakan otak miliknya yang brilian sekalipun banyak orang yang hanya memiliki kapasitas otak “rata-rata”, untuk membuat senjata mematikan pemusnah massal, atau membuat program yang mampu mencuri data-data pribadi orang lain, membangkitkan kembali virus mematikan yang telah lama punah semata karena faktor “iseng”, hingga mampu memanipulasi pikiran banyak orang untuk menjadi pengikut yang bersangkutan, atau keterampilan lobi-lobi politik yang cerdik, kesepakatan kartel harga ataupun monopoli usaha yang rumit, kesemua itu ialah cerminan sifat “jenius, namun KONYOL”. Dengan potensi otak yang dimiliki olehnya, mengapa tidak menjadikan potensinya tersebut berkontribusi bagi kebaikan dan kemajuan bangsa dan negara serta dunia agar dapat menjadi dunia yang lebih indah dan lebih humanis disamping lebih beradab bagi penduduknya?

Teladan diberikan lewat contoh nyata, bukan sekadar ucapan yang penuh kebaikan namun minim makna. Ucapan yang tidak sinkron antara hati, mulut, dan tindakan, itulah yang disebut sebagai “kemunafikan”—alias mengajarkan “kemunafikan” kepada para peserta didiknya. Tiada yang lebih merusak dan lebih berbahaya daripada mempertontonkan “kemunafikan” kepada anak yang akan menirunya ataupun kepada para siswa yang sedang mencontoh sang guru—ideologi “kemunafikan”. Itulah, tepatnya ketika kita menyebut kalangan guru semacam demikian sebagai “pendidik, namun KONYOL”, karena lebih perlu dididik daripada yang di-didik.

Seorang polisi dan hakim semetinya bersih tanpa cacat cela apapun. Namun ketika seorang polisi ataupun hakim, mengabaikan dan menelantarkan aduan ataupun laporan warga yang menjadi korban pengadu dan disaat bersamaan mengabaikan tanggung-jawab serta kewenangannya untuk menjalankan hukum pidana mengingat warga sipil dilarang untuk “main hakim sendiri”, atau bahkan tidak pernah benar-benar hadir di tengah-tengah masyarakat untuk melindungi serta mengayomi warga, akan tetapi selalu hadir saat hendak menilang kendaraan bermotor, atau bahkan menjadi agen kejahatan itu sendiri seperti memelihara dan melestarikan aksi premanisme karena aparatur penegak hukum tersebut selalu alpha melindungi dan menegakkan hukum bagi warga, itulah yang perlu kita berikan merek sebagai “penegak hukum, namun KONYOL”, semata karena lebih jahat daripada penjahat yang perlu ditangkap dan diadili oleh mereka.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.