Berbuat Baik Tanpa Mendiskreditkan Diri Sendiri

ARTIKEL HUKUM

SERI SENI HIDUP, Tidak Perlu Sungkan, karena Orang Lain pun Tidak Akan Sungkan Sekalipun Kita Sungkan

Menjaga Diri (Preventif) BUKANLAH DOSA dan TIDAK EGOISTIK

Bermula ketika seseorang mengetuk pagar pintu kediaman tempat keluarga penulis bertempat-tinggal, pada malam hari (cara bertamu yang “tidak sopan” disamping “tidak etis”, mengingat hanya kalangan perampok dan pencuri yang “bertamu” pada malam hari), seolah tiada waktu lain untuk bertamu. Terlebih, saat ulasan ini disusun, Indonesia sedang dilanda wabah Virus Corona yang menular antar manusia dan mematikan, sehingga bertamu secara “tatap muka” bukanlah hal yang sopan.

Tanpa keluar dari pintu bagian dalam rumah, penulis bertanya pada sang tamu yang mengetuk pintu pagar kediaman keluarga penulis. Sang tamu tanpa memperkenalkan diri, bersikukuh meminta bertemu dengan orangtua dari penulis (tamu yang “belum-belum apa-apa sudah tidak sopan”, first impression yang sama sekali tidak mengesankan, bertamu tanpa memperkanlkan diri?) setelah berulang-kali bertanya siapakah yang datang bertamu hingga berteriak keras agar yang bersangkutan menyebutkan jati-dirinya, yang ternyata ialah tetangga pada satu ruas jalan wilayah pemukiman.

Penulis menyatakan agar menyampaikan saja pada penulis, ada apa gerangan yang bersangkutan hendak bertamu pada jarum jam hampir menunjuk pukul sembilan malam! Namun sang tamu bersikukuh untuk dipertemukan dengan orangtua penulis, yang semestinya sudah jam untuk istirahat (namun masih juga hendak diganggu), seolah-olah orangtua penulis ialah seorang “buronan” yang perlu di-OTT pada tengah malam. Penulis menyatakan kembali, ada perlu apa yang bersangkutan hendak perbincangkan dengan orangtua penulis. Namun sang tamu secara anehnya, menolak untuk mengungkapkan, dimana setelah penulis desak lewat ketegasan akhirnya yang bersangkutan menyatakan “Ada hal privasi”.

Dengan mulai habis kesabaran, secara terpaksa penulis kembali bersikap tegas, bahwa penulis adalah “TUAN RUMAH”, dan silahkan sampaikan pada penulis apa yang hendak beliau sampaikan pada orangtua penulis dikala kondisi sedang wabah kian mengganas di Jakarta. Dalam hati, hendak sekali penulis melontarkan pernyataan, bahwa yang bersangkutan ialah hanya sebatas seorang “TAMU” yang sedang “BERTAMU” pada waktu yang tidak semestinya, yang mana juga semestinya tunduk dan menurut pada aturan main milik “tuan rumah”, bukan justru dengan lancang mendikte “tuan rumah” atau bahkan memberi perintah ataupun instruksi “harus bagaimana” kepada “tuan rumah” selaku pemilik rumah. Tamu yang “tidak sopan” serta tidak menaruh hormat kepada “tuan rumah” ketika bertamu, tidak layak dijamu.

Yang lebih membuat sang tamu sangat “tidak sopan”, bahkan dapat disebut sebagai “kurang hajar” (bersikap “lancang”), ialah agar meminta agar orangtua penulis yang sudah “lansia” (lanjut usia) untuk keluar rumah dan menghadap mereka dari jarak dekat “bertatap muka”. Dalam hati penulis berseru : “SIAPA ELU?!Permintaan yang berlebihan! Sejak kapankah, “TAMU” bersikap “bossy” terhadap “TUAN RUMAH”? Indonesia sungguh adalah negeri dimana moralitas dan etika terbolak-balik. “TAMU” memberi perintah kepada “TUAN RUMAH”, mungkin hanya terjadi di Indonesia.

Kembali, dengan sikap terpaksa penulis menegaskan, bahwa kondisi sedang wabah pandemik merebak, dimana Jakarta masuk sebagai “zona merah”, orangtua penulis telah “lansia” dimana resiko bagi “lansia” terhadap serangan dan akibat pandemik Virus Corona, sangatlah tinggi. Sang tamu (semestinya) berpikir “siapa dirinya?”, merasa berhak memberi resiko, mengatur, dan lebih berharga kepentingannya yang tidak jelas dan “misterius” tersebut ketimbang keselamatan nyawa dan kesehatan orangtua penulis yang notabene “TUAN RUMAH”? Sungguh tamu yang tidak layak diterima bertamu dengan tangan dan pintu terbuka. Tutup rapat-rapat pintu dan tangan dari tamu semacam demikian, merasa seakan telah lebih “tuan rumah” ketimbang sang “tuan rumah”.

Dengan menjadi “tuan rumah” yang bersikap tegas (“mode tegas”, ketika “mode lembut dan santun” tidak membuahkan hasil), barulah sang tamu mengungkapkan niatnya bersikukuh meminta bertemu dengan orangtua penulis, dan menyampaikannya pada penulis dari jarak jauh dimana sang tamu berdiri di depan pagar kediaman sementara penulis berdiri dari jarak jauh di balik pintu bagian dalam rumah yang juga pada malam itu sudah tidak ingin diganggu tamu “lancang” tidak ber-etika komunikasi semacam demikian, bahwa yang bersangkutan memiliki kepentingan untuk melihat dan mengakses data rekaman video CCTV (close circuit television) pemantau yang dipasang pada halaman luar kediaman rumah penulis.

Jika kepentingannya hanya untuk itu, mengapa juga begitu “misterius”, lancang, serta mendesak-desak demikian caranya? Tidak adakah cara yang lebih sopan dan lebih santun serta lebih beretika ketika bertamu? Bangsa Indonesia sungguh adalah bangsa yang “salah didikan” disamping cerminan hasil “salah asuhan”. Ingin sekali penulis menanggapi, bahwa kepentingannya pastilah urusan kehilangan kendaraan bermotor akibat pencurian, dimana itu adalah “BUKAN URUSAN KAMI!” Bahkan, masih juga hendak mengganggu orangtua penulis pada tengah malam yang “mencekam” kondisinya. Kami tidak punya kewajiban untuk diganggu, dan yang bersangkutan disaat bersamaan tidak punya hak untuk mengganggu ketenangan hidup warga lainnya.

Tidak habis pikir dan tidak mampu mengerti watak Bangsa Indonesia ini. dirinya meminta masuk ke dalam rumah untuk mengakses data CCTV, dikala wabah sedang merebak dengan ganas-ganasnya, pada malam hari, serta bersikukuh menjumpai orangtua penulis, berkelit sedemikian rupa ketika pada mulanya penulis menanyakan maksud dan tujuannya bertamu, tidak menaruh hormat kepada penulis secara selayaknya tamu terhadapa “tuan rumah”, dan sekalipun rumah yang bersangkutan sebelumnya sekian tahun lampau pernah kemasukan maling yang mencuri kendaraan roda empat milik keluarganya, dan kini kembali kecurian seolah tidak belajar dari pengalaman sebelumnya agar memasang kamera pengawas dan perekam pada kediamannya miliknya sendiri alih-alih mengganggu penghuni kediaman orang lain.

Yang ingin penulis sampaikan dan komunikasikan pada kesempatan serta pengalaman ini ialah, agar kita tidak perlu sungkan untuk menyatakan “TIDAK”, untuk MENOLAK, serta untuk MENYATAKAN KEBERATAN terhadap keinginan maupun kehendak orang lain—karena itikad orang lain belum tentu sama baiknya terhadap kita, yang mana bisa jadi itikad baik kita disalah-gunakan (sehingga menjelma “bumerang”) karenanya kita patut betul-betul menjaga diri dari “modus”, dimana tidak jarang “air susu dibalas air tuba”, atau bahkan menjadikan orang-orang baik sebagai “mangsa empuk”. Manusia adalah serigala bagi sesamanya, maka “kandangi” dengan betul rumah Anda dari serigala lapar yang berkeliaran di luar sana.

Jangan pernah bersikap seolah-olah kita tidak punya “daya tawar”, namun bersikaplah sebaliknya, yakni bersikap seolah-olah kita selalu punya “daya tawar”, sebagaimana pernah penulis ulas falsafah dibalik prinsip demikian pada kesempatan sebelumnya dilain artikel. Tanyakanlah pada diri kita sendiri, apalah gunanya bersikap seolah-olah kita tidak punya “daya tawar”, atau sebaliknya, tanyakanlah kepada diri kita apa keuntungan yang akan kita peroleh ketika kita senantiasa mampu bersikap penuh “daya tawar”?

Jangan bersikap seolah-olah “sungkan” kepada orang lain, karena selalu terbukti bahwa orang lain pun jarang sekali bersikap “sungkan” terhadap kita. Adalah sebuah “delusi”, ketika kita berasumsi bahwa dengan bersikap “sungkan” terhadap orang lain, maka orang lain tersebut akan juga saling bersikap “sungkan” terhadap kita, membalas budi baik kita (prinsip resiprositas / resiprokal), serta menghargai harkat dan martabat kita—yang kerap terjadi ialah : orang-orang baik kerap dijadikan sasaran untuk dijadikan “mangsa empuk”. Bersikaplah sebaliknya, yakni seolah-olah kita selalu punya “pilihan bebas”. Sekalipun Anda adalah orang yang penuh “ke-sungkan-an”, gunakanlah “the power of SEOLAH-OLAH”.

Kita tidak perlu terobsesi untuk diberi “stigma” sebagai “orang baik”, pemurah, penolong, Sinterklas, “mangsa empuk” (untuk di-eksploitasi dan dibodohi oleh orang lain, betapa bodohnya). Kita semua, tanpa terkecuali, faktanya, punya tanggung-jawab terhadap diri kita sendiri, berupa keselamatan diri kita, keamanan diri kita, hak-hak diri kita, harkat dan martabat diri kita, tidak terkecuali tanggung-jawab atas nasib kita sendiri disamping “the right of SELF DETERMINATION”. Tidak ada orang lain yang berhak untuk membuat kita bersuara dan menjawab, bahkan seorang polisi pun ketika melakukan penangkaapn memiliki kewajiban untuk menyatakan kepada yang ditangkap : “You have right to REMAIN SILENT!” Karenanya, “pilihan bebas” ialah “HAK”, bukan opsi.

Jauh sebelum ini, Sang Buddha telah pernah bersabda, bahwa “berbuat baik” artinya, tidak menyakiti orang lain namun disaat bersamaan juga tidak merugikan diri sendiri. “Perbuatan baik” yang “baik”, alias perbuatan baik yang bijaksana (bajik), ialah perbuatan baik yang tepat pada waktunya, serta dilakukan dengan kerelaan dan kesenangan hati, tidak membawa mudarat bagi diri sendiri, disamping TIDAK MENDISKREDITKAN DIRI KITA SENDIRI.

Mari kini kita aplikasikan bersama pemahaman di atas dalam contoh nyata, yakni pada kasus dimana tetangga meminta akses rekaman CCTV yang dipasang pada kediaman rumah kita. Apa jawaban Anda terhadap permintaan demikian? Sebelumnya, perlu kita “cam-kan” bahwa ada segregasi perbedaan yang tegas antara “egoistik”, “individualistik”, serta “rasionalistik” disamping “profesionalistik”. Terlagi pula, menjadi pribadi yang “egoistik” maupun “individualistik”, apakah sebuah “dosa”? Ketika Anda mengalami “bencana”, mereka semua seketika akan bersembunyi dan “mendadak sunyi-senyap”.

Kita memang harus “egoistik” ketika terkait bisnis serta keselamatan, karena sifatnya tidak dapat ditawar-tawar karenanya perlu penuh perhitungan. Kenakan dahulu tabung oksigen ketika pesawat Anda mengalami musibah, bahkan memasakangkan tabung oksigen kepada anggota keluarga Anda lainnya—alias, selamatkan dahulu diri Anda sendiri yang lebih membutuhkan diselamatkan sebelum mengharap dapat menyelematkan ataupun menjadi penyelamat orang lain. Menyelamatkan diri sendiri terlebih dahulu adalah suatu “keharusan”, bukan sebuah pilihan.

Sebagai seorang warga serta sesama warga, kita pun harus menjadi seorang warga yang “profesional” disamping itu kita pun berhak meminta agar warga lainnya bersikap “profesional” terhadap kita—tidak bisa tidak, namun suatu keharusan, tanpa lagi dapat dinegosiasikan, agar sikap beradab menjadi membudaya di negeri yang sangat miskin dari segi keteladanan sikap-sikap beradab. Sementara itu “rasionalistik” bermakna, sepanjang kita tidak merugikan orang lain juga tidak bersikap “tidak adil” terhadap diri kita sendiri, maka itu bukanlah “dosa” terlebih dipandang sebagai suatu sikap “jahat” atau “kejahatan”. Kita selalu punya hak untuk menolak kehendak orang lain serta untuk senantiasa memiliki “PILIHAN BEBAS” (free choice and free will). Manusia dilahirkan “BEBAS” serta “sederajat”, tanpa ada yang berhak untuk merampas ke-sederajat-an yang menjadi hak asasi manusia itu sendiri. Kita bukanlah “budak” siapapun, semua sederajat.

Kini, kita akan membahas makna implisit dari Dhamma yang dibabarkan oleh Sang Buddha, terutama pada kalimat “tidak mendiksreditkan diri sendiri ketika berbuat kebaikan”. Apakah maksudnya? Ternyata, maksud dibalik pernyataan Sang Buddha, tidak lain tidak bukan ialah untuk menepis “asumsi kelewat liar” ketika kita menganggap penolakan adalah sikap bentuk-bentuk sikap “egoistik” atau bahkan “individualistik”. Kita punya tanggung-jawab untuk “tidak mendiskreditkan diri sendiri”, dimana bila kita mampu menjaga betul tanggung-jawab serta amanah hidup terhadap diri kita sendiri demikian, MAKA ITU SUDAH MERUPAKAN PERBUATAN BAIK—alias bukan sebagai suatu “aib” ataupun “tabu”.

Mari kita telaah kembali kasus di atas perihal CCTV yang apakah akan kita berikan akses atau tidaknya bagi tetangga kita yang meminta diperlihatkan hasil rekamannya. Sekalipun pada keadaan normal tiada wabah, penulis akan secara tegas menolak permintaan siapa pun tetangga yang meminta akses CCTV kediaman penulis. Bayangkan apa jadinya bila permintaan demikian Anda kabulkan, menjadi preseden buruk bagi para tetangga lainnya, untuk tidak perlu mengeluarkan biaya memasang CCTV sendiri terlebih kerepotan perawatannya, cukup menjadi “tetangga benalu” ketika kendaraan atau rumah mereka kemasukan maling.

Tanggapan penulis akan kokoh dan tegas, yakni memakai hak untuk menyatakan “TIDAK”, “TIDAK BISA”, “SAYA MENOLAK”, atau “KEBERATAN”. Mengapa? Inilah jawaban yang harus kita sampaikan, agar tiada lagi yang dapat mendiskreditkan diri kita lewat segala tudingan “egoistik” (terlebih ketika kita yang justru mendiskreditkan diri kita sendiri). Yakni dengan argumentasi sebagai berikut (yang mana sebetulnya manusia dewasa mana pun mampu berpikir sendiri bahwa mereka tidak punya hak untuk itu, untuk meminta pun mereka sejatinya tidak punya hak untuk itu, karena hal demikian menyerupai “lebih hina daripada pengemis”):

Anda mampu beli kendaraan, namun mengapa masih juga meng-klaim tidak mampu membeli dan memasang CCTV di kediaman Anda sendiri? Sudah tahu wilayah ini kerap terjadi pencurian kendaraan, mengapa masih abai dan alpha memasang CCTV di kediaman Anda sendiri?

Adalah PICIK, merasa sebagai keuntungan tidak perlu keluar biaya memasang CCTV, tidak perlu repot-repot merawat dan membayar biaya listrik serta biaya perawatannya serta amortasi, cukup minta rekaman CCTV dari tetangga bila terjadi pencurian di kediaman Anda? Adalah PICIK, berpikir untung-rugi bahwa adalah rugi memasang CCTV sendiri bila terjadi tidak pernah mengalami pencurian di kediaman Anda, karena harus mengeluarkan segala biaya itu yang menjadi beban pengeluaran rutin setiap bulannya. Sementara inginnya hanya untung dengan meminjam hasil rekaman CCTV milik tetangga ketika terjadi pencurian.

Maunya hanya untung, tidak mau rugi? Enak di Anda, rugi di saya? Anda pikir siapa, diri Anda? Memangnya Anda, yang selama ini membayar biaya listrik dan maintanance CCTV di kediaman kami? Jika bukan Anda yang mengeluarkan semua biaya dan kerepotan tersebut, apakah Anda masih merasa punya hak bahkan untuk meminta? Pengemis mana, yang butuh rekaman CCTV? Pengemis mana, yang ada kasus kehilangan kendaraan bermotor miliknya? Semiskin itukah Anda, sampai-sampai meminta rekaman CCTV milik kediaman orang lain yang tidak punya mobil baru sebanyak milik Anda? Lucu tidak, menurut Anda? Bagi saya itu LUCU sekali.”

Atau, cukup jawab atau tanggapi secara singkat saja, yang akan aneh bila masih dibantah oleh sang tamu, “CCTV yang dipasang ke kediaman kami, bukanlah diperuntukkan bagi umum.” Jika sang tamu masih bersikukuh, gunakan teknik “kaset rusak”, dengan tegas dari awal hingga pada akhirnya untuk tetap memberikan tanggapan sebagai berikut : “CCTV yang dipasang ke kediaman kami, bukanlah diperuntukkan bagi umum. Hanya itu saja yang dapat kami jawab.” Bilamana sang tamu masih juga bersikukuh hingga bernada memaksa ataupun sebaliknya kian memelas minta diberi belas-kasihan (seolah “pengemis” yang harus mengemis-ngemis), kita cukup tetap berlindung pada teknik “kaset rusak”, jawab dengan tenang dan datar saja secukupnya : “CCTV yang dipasang ke kediaman kami, bukanlah diperuntukkan bagi umum.” Biarkan diri mereka melihat bahwa kita tegas dan konsisten, tidak dapat lagi “ditawar-tawar”.

Pada faktanya, kita tidak pernah bersikap “sopan” ataupun ramah terhadap mereka yang terlebih dahulu bersikap “tidak sopan” terhadap kita. Kita pun tidak perlu bersikap penuh “murah hati” (pemurah) terhadap orang-orang yang “serakah”. Sama seperti kita tidak perlu menaruh sikap hormat terhadap orang lain yang tidak menghormati keselamatan diri kita dengan berkeliaran tanpa memakai masker penutup hidung dan mulut dikala wabah merebak.

Hidup yang harmonis, artinya saling bertimbal-balik (asas resiprositas / resiprokal), bukan saling timpang sebelah atau yang satu “memakan” yang lainnya, “pincang sebelah”. Saling menghargai, bukan meminta dihargai sementara tanpa mau menghargai. Itulah sebabnya, Sang Buddha bersabda pula tanpa imparsial tentang orang baik dan kebaikan, bahwa kaum Suciwan sekalipun terkadang sesekali perlu menampilkan gigi taring-nya yang tajam agar tidak menjadi “mangsa empuk”. Suci dan bodoh, adalah dua karakter yang tidak pada domain yang serumpun.

Hargai diri kita sendiri, itulah tugas kita satu-satunya, ketika kondisinya ialah orang lain tidak mampu menaruh hormat dan menghargai eksistensi maupun hak-hak diri kita, alias tidak mampu bersikap saling menghargai dan saling menghormati. Ingatlah kembali, istilah “bertepuk sebelah tangan”, segala-sesuatunya harus bersifat bertimbal-balik dua arah, bukan searah, sehingga bukan hanya berlaku untuk urusan romansa-percintaan. Bayangkan, seorang dermawan berjumpa seorang penipu yang serakah, apakah bijak bila masih memasang “wajah” dermawan? Ada bedanya, antara “baik hati” dan “bodoh”, adalah tidak bijaksana bila kita masih tidak mampu untuk membedakan dan mendiferensiasi yang sudah jelas-jelas berbeda demikian kontrasnya.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.