BANYAK TAHU (Kelemahan) Hukum, BANYAK BISA (Bermain Celah) Hukum

LEGAL OPINION

Kode Etik Profesi Hukum serta Moralitas menjadi Garda Terdepan sekaligus Benteng Akhir Pertahanan Etika Profesi Hukum agar Tidak Terperosok ke Dalam Jurang Neraka yang Terbuka Lebar Hanya karena Tarif Jasa yang Tidak Seberapa

Question: Apa maksudnya, pepatah “banyak tahu, (maka) banyak bisa”? Apa adagium itu juga berlaku dalam praktik hukum?

Brief Answer: Semakin banyak seseorang praktisi hukum menguasai ilmu hukum secara mendalam (seorang praktisi “spesialis”, bukan praktisi “generalis” yang hanya menguasai “kulit ilmu hukum”), lengkap dengan segala kelemahan, kekurangan, dan kekosongan / ke-vakum-kan pengaturan maupun tumpang-tindih regulasi norma hukum yang berlaku pada suatu negara (“hukum positif”), hingga simpang-siur konsep hukum yang tidak tegas “satu kata”, inkonsistensi praktik peradilan, sedikit-banyak akan menemukan berbagai “celah” hukum yang bisa dimainkan menjelma “modus” dengan menyalah-gunakan ketidak-sempurnaan norma hukum yang ada.

Karenanya, Kode Etik, Etika Bisnis, hingga Etika Manusia dari bangsa yang mengaku telah “beradab” hingga “ber-Tuhan”, menjadi garda terdepan sekaligus sebagai garda terdalam dalam rangka menjadi “pedal deselerasi” atau “pedal rem” agar tidak menjelma “devil advocate” maupun “devil consultant”. Bila dalam stelsel penitensier, antara pelaku utama dan pelaku penyerta seperti “aktor intelektual” maupun pelaku yang membantu, berkontribusi, merancang, “meng-otak-i”, dan turut-serta melakukan kejahatan, maka masing-masing pelaku penyerta yang terlibat beserta pelaku utamanya akan sama-sama diganjar sanksi hukuman pidana.

Sama halnya, tarif jasa litigasi maupun tarif jasa konsultasi hukum adalah “tidak seberapa” nilai nominalnya, namun akibatnya sang klien pengguna jasa berhasil melakukan kejahatan yang membawa kerugian besar bagi warganegara lainnya, sehingga secara Hukum Karma tetap saja kesemua pihak yang tergabung dalam “perbuatan tidak etis” tersebut akan mendapat Karma Buruk, sekalipun sang penyedia jasa hukum mencoba berkilah dengan dalih bahwa tarif jasanya hanya “tidak seberapa” nilainya.

PEMBAHASAN:

Apa yang akan SHIETRA & PARTNERS ungkap di bawah ini, adalah salah satu contoh modus yang dapat (atau mungkin juga memang telah dan pernah terjadi) akibat menyalah-gunakan kelemahan utama konsepsi maupun normatif hukum perihal Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) dalam rangka mengikat jaminan kebendaan berupa hak atas tanah sebagai agunan pelunasan hutang dengan dijadikan sebagai objek Hak Tanggungan.

Bila para pembaca ulasan ini tidak sanggup berkomitmen untuk tidak menyalah-gunakan pengetahuan ilmu hukum dalam ulasan gamblang dan lugas di bawah ini, maka SHIETRA & PARTNERS melarang Anda untuk melanjutkan bacaan pada ulasan di bawah ini, dimana tanggung-jawab moril menjadi beban Anda pribadi bila masih melanjutkan membaca. Tiada yang benar-benar dapat kita curangi dalam hidup ini, yang mencurangi akan dicurangi, itulah buah dari Hukum Karma, sehingga sejatinya tiada faedahnya menyalah-gunakan ilmu hukum guna bermain “celah hukum”.

Secara normatif peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang tentang Hak Tanggungan maupun pada berbagai Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional / Menteri Agraria dan Tata Ruang terkait Jangka Waktu Masa Berlaku Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, disebutkan secara eksplisit dan tersurat limitatif, bahwasannya sebuah Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dalam rangka membebankan objek hak atas tanah dengan Hak Tanggungan, surat kuasa demikian sifatnya memiliki kadaluarsa masa keberlakuan untuk dapat efektif digunakan oleh pihak calon kreditor pemegang Hak Tanggungan.

Saat ulasan ini disusun, aturan normatif yang berlaku sebagai “hukum positif” di Indonesia terkait Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, ialah hanya memiliki masa berlaku sebatas 30 (tiga puluh) hari, kecuali objek hak atas tanah yang rendah nilai nominal harga pasarnya maka Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan tidak memiliki masa kadaluarsa—namun demikian, untuk bidang-bidang tanah di perkotaan besar, dapat dipastikan setiap Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan terikat oleh aturan normatif perihal masa berlaku dengan ancaman kadaluarsa ketika masa berlakunya melampaui 30 (tiga puluh) hari sejak Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan diterbitkan oleh pihak notaris selaku Pejabat umum pembuat akta.

Ketika Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan efektif kadaluarsa masa berlakunya, maka pihak Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) selaku pejabat yang berwenang membuat dan menerbitkan Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT) akan serta wajib menolak untuk menerima Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan tersebut, dan tidak dapat menindak-lanjutinya semata karena Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan telah kadaluarsa masa berlakunya. Akta Pembebanan Hak Tanggungan baru hanya akan dapat dibentuk oleh pihak PPAT, ketika Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan masih dalam tempo masa berlakunya—itulah FAKTA HUKUM terpenting yang menjadi “jantung” dari skenario modus penyalah-gunaan yang berpotensi serta berpeluang lebar terjadi.

Selanjutnya ketika kita kaitkan pada fakta relevan, berupa fenomena berbagai pihak Pengembang Perumahan / Real-Estate (Developer) telah pula menjual dan memasarkan perumahan atau masing-masing unit rumah yang rencananya / proyeksinya baru akan dibangun “di-kemudian hari” (masih fiktif diatas kertas brosur promosi sifatnya) olehnya ketika calon pembeli telah membayar sejumlah nominal “Down Payment” (DP) dimana tidak jarang telah memasuki tahap dibayar “LUNAS”—yang artinya pula, bidang tanah masih berupa sertifikat hak atas tanah “induk” milik serta atas nama pihak Developer—itu menjadi FAKTA HUKUM kedua, ketika kita bermain kepingan “puzzle” untuk menjadi gambaran besar lebih utuh modus bagaimana penyalah-gunaan pengetahuan ilmu hukum dapat terjadi secara “apik” dan “cerdas namun mengerikan”.

Konsumen pembeli produk properti telah membayar lunas unit properti yang dibeli olehnya dari pihak Developer, serta telah menunggu lama agar sertifikat hak atas tanah tempat rumah yang dibelinya berdiri “di-balik nama-kan” ke atas nama pembeli, ternyata tidak kunjung terealisasi, oleh sebab pihak Developer selalu berkilah dengan dalih “klasik” bahwa sertifikat “induk” hak atas tanah-nya masih terkendala di Kantor Pertanahan yang tidak kunjung memproses permohonan pemecahan sertifikat hak atas tanah “induk” milik sang Developer—entah dalil yang benar ataukah alibi yang dibuat-buat, siapa yang tahu?

Ketika sang Developer dipailitkan oleh kreditornya, dimohon Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang oleh konsumennya, ataupun bahkan tidak jarang sang Developer mengajukan pailit untuk serta atas nama dirinya sendiri, maka para konsumennya hanya dapat “gigit jari”, mengingat status para konsumen maupun para kreditornya ialah hanya sebatas “Kreditor Konkuren” yang tidak terjamin oleh jaminan pelunasan utang apapun selayaknya “Kreditor Separatis”.

Berikut inilah modus upaya “perampokan” terhadap kalangan kreditor maupun perbankan penyalur kredit, dengan memanfaatkan—lebih tepatnya “menyalah-gunakan”—instrumen hukum yang legal sifatnya, seperti Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan. Modus tersistematis ini dimulai dari pihak konsumen “fiktif-rekaan” seolah-olah hendak membeli unit rumah dari seorang atau satu pihak Developer perumahan, dimana kemudian dalam rangka pengikatan fasilitas Kredit Pemilikan Rumah (KPR) maka sang Debitor memberikan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan kepada pihak Kreditor pemberi fasilitas kredit, sekalipun seluruh pihak termasuk pihak Kreditor menyadari betul bahwa hak atas tanah masih berbentuk sertifikat “induk” atas nama pihak Developer.

Itulah yang unik dari praktik KPR yang berlangsung selama ini di Tanah Air, objek tanah masih berupa sertifikat “induk” alias belum dipecah ke atas nama calon Debitor, bahkan masih atas nama pihak Developer, namun kalangan perbankan berani untuk tetap “memaksakan diri” menggelontorkan sejumlah dana kredit dalam rangka KPR bagi sang Debitor pengguna jasa fasilitas kredit perumahan. Ketika pihak Kreditor mendesak pihak Developer yang telah menerima kucuran dana kredit, mendorong agar segera memecah sertifikat “induk” miliknya serta melakukan “balik-nama” ke atas nama Debitor, ternyata hingga masa berlaku Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang diberikan oleh pihak Debitor telah kadaluarsa, sertifikat “induk” tidak kunjung “berhasil” dipecah ataupun dipisahkan bidang-bidang tanahnya terlebih untuk dapat di-“balik nama”-kan ke atas nama sang Debitor. Bila yang lamban memproses pemecahan sertifikat, ialah dari pihak pejabat berwenang di Kantor Pertanahan, maka itu diluar kekuasaan pihak Developer—sebuah dalil sempurna (alibi “klasik”).

Lantas, menjadi pertanyaan besar bagi kita bersama, untuk apa juga pihak Kreditor mengantungi Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dari pihak Debitor, sementara objek hak atas tanah masih berupa sertifikat “induk” atas nama Developer, dimana keadaan di masa mendatang belum pasti (serba penuh ketidak-pastian terkait birokrasi di Indonesia) serta sangat mengandalkan itikad baik Developer untuk pro-aktif bertanggung-jawab serta mempertanggung-jawabkan dana jual-beli yang telah diterimanya dari pihak Kreditor demi kepentingan konsumen dari sang Developer, maka daya tawar pihak Kreditor menjadi sangat rendah “serendah-rendahnya” (jika perlu “memohon-mohon”), dimana dapat saja pihak Developer merupakan satu komplotan / sindikat dengan konsumennya sendiri (yang disaat bersamaan sang konsumen menjadi Debitor dari pihak Kreditor yang melakukan pembayaran harga jual-beli unit properti kepada pihak Developer).

Alhasil ketika hingga sang Developer jatuh dalam keadaan pailit, objek hak atas tanah masih saja berupa sertifikat “induk” serta atas nama pihak Developer itu sendiri. praktis, Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan telah KADALUARSA masa berlakunya, sehingga tidak dapat lagi digunakan untuk membebankan Hak Tanggungan di atas bidang tanah yang masih bukan atas nama Debitor serta masih berupa sertifikat “induk” atas nama pihak Developer. Pada saat itulah, baik pihak konsumen pembeli produk properti, hanya berkedudukan sebagai “Kreditor Konkuren”. Mengingat juga, antara sang konsumen dan pihak Developer adalah satu sindikat komplotan, maka tiada akan mempermasalahkan sesama anggota kriminal yang menjadi sindikatnya.

Lantas, bagaimana dengan status Kreditor? Perlu kita ingat, Kreditor maupun Perbankan penyalur fasilitas kredit ialah kreditor dari pihak konsumen / pembeli produk properti, bukan kreditor dari pihak Developer! Karenanya, sang Kreditor tidak punya “hak tagih” kepada pihak Developer, semata hanya memiliki dan berhak menagih pelunasan dari sang Debitor. Mengingat sang Debitor belum tercatat memiliki hak atas tanah atas nama diri sang Debitor, sertifikat masih berwujud sertifikat “induk” atas nama pihak Developer, maka tiada gunanya bagi sang Kreditor untuk menggugat perdata maupun memohon penetapan pailit bagi sang Debitor.

Sama halnya ketika sang Developer jatuh pailit, sang Kreditor tidak dapat maju dalam rapat pencocokan hutang para kreditor sang Terpailit, mengingat sang Kreditor ialah kreditor dari sang pembeli produk properti yang dipasarkan oleh pihak Developer Terpailit, BUKAN KREDITOR DARI DEVELOPER. Artinya pula, sang Kreditor tidak berkedudukan sebagai “Kreditor Separatis” (sebab tiada agunan apapun yang diikat Hak Tanggungan) serta BUKAN juga berkedudukan sebagai “Kreditor Konkuren” dari sang Developer Terpailit.

Kalangan Perbankan di Tanah Air dapat cukup ber-lega hati, mengingat sejak instrumen hukum Hak Tanggungan ada dan berlaku sudah eksis sejak tahun 1996 yang kian “tumbuh subur” serta kian marak setiap tahunnya pada kegiatan pinjam-meminjam sejumlah dana dengan disertai agunan, namun tren yang kemudian terjadi ialah kalangan Perbankan di Indonesia kian tumbuh “gemuk”, tanpa ada tendensi mengalami kolaps keuangannya akibat “kredit macet” terkait Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang kadaluarsa.

Tampaknya kalangan Debitor di Tanah Air selama ini telah cukup memiliki “Kode Etik Debitor”, sehingga tidak menjadi “predator” bagi kalangan Kreditornya, sekalipun sangatlah dimungkinkan dari segi legalitas-formil hukum jaminan kebendaan terutama instrumen hukum Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan untuk “merampok” kreditornya sendiri.

Toh, yang tidak banyak diketahui masyarakat luas maupun otoritas, kalangan perbankan di Indonesia pada praktiknya menjadi “raksasa” berkat praktik “rentenir yang dilegalkan” bernama bunga, “bunga atas bunga”, denda”, “bunga atas denda”, pinalti, serta “bunga atas pinalti”—suatu perampokan itu sendiri, oleh Kreditor terhadap Debitornya. Tidak jelas mana “pelaku” dan siapakah yang menjadi pihak “korban”. Itulah, paradoks dunia perkreditan di Indonesia yang demikian “liar” dan “absurd” tidak terkendalikan oleh norma hukum kecuali rambu-rambu moralitas dan “Kode Etik” sebagai seorang manusia yang humanis dan beradab.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.