Antara Harapan yang Rasional dan Delusi

ARTIKEL HUKUM

Rasio menjadi Domain Logika Vs. Delusi yang menjadi Domain Perasaan, Dua Kutub yang Saling Terpisah dan Bertolak-Belakang

Hukum negara akan gagal melindungi warga dari perbuatan-perbuatan warga lainnya yang melanggar hukum, ketika pelaku pelanggar yang melakukan perbuatan jahat maupun aparatur penegak hukum yang mengabaikan kewajibannya untuk melindungi ataupun menindak-lanjuti laporan aduan korban kejahatan, memiliki penyakit mental bernama delusi perihal “penghapusan dosa” maupun delusi “penghapusan kejahatan” disamping delusi “penghapusan hukuman”.

Ancaman hukum pemidanaan yang diatur oleh negara, merupakan “domain logika”. Sementara delusi, merupakan “domain perasaan”. Mengancam para warga yang gemar melanggar (“domain perasaan”) dengan ancaman hukuman pidana (“domain logika”), menjadi tidak pada tempatnya karena tidak “matching” alias “tidak nyambung” selain tidak tepat sasaran. Karenanya, apa yang menjadi “domain logika”, tidak akan pernah mampu menjangkau warga atau manusia-manusia yang lebih banyak tenggelam dan terjebak dalam “domain perasaan”.

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang “pemimpi”, karena kerap bermimpi dalam sebuah delusi—alih-alih bermimpi dalam karya besar yang inovatif ataupun pemikiran-pemikiran besar lainnya untuk kemudian dieksekusi dalam dunia konkret. Seberapa buruk pun kebijakan negara yang diterbitkan oleh sang Kepala Negara bernama Presiden, tetap saja dengan ber-“delusi” Rakyat Indonesia menyatakan bahwa sang Presiden “tersandera” seolah-olah yang menjadi “korban” ialah bukan rakyat, namun sang Presiden itu sendiri. Sekalipun telah terbit berbagai putusan Mahkamah Konstitusi RI yang kontroversial, tetap saja masyarakat menjadikan Mahkamah Konstitusi RI sebagai andalan serta tumpuan untuk mengajukan uji materiil terhadap Undang-Undang yang diterbitkan oleh pemerintah bersama parlemen RI, yang tidak lain cerminan sikap tidak pernah bangun ataupun tersadarkan dari “delusi” dari sesuatu yang “ideal yang mana seringkali tidak sesuai kenyataan” sehingga kurang realistis.

Akal sehat, cara berpikir rasional, serta daya pikir logis, kesemua itu merupakan “domain logika” dan olah pikiran yang mendalam. Sementara itu, keyakinan, kesukaan dan ketidaksukaan, estetik, selera, sinisme-fanatisme, afeksi serta tendensi, semua itu adalah “domain perasaan”—tidak terkecuali fantasi yang kelewat tidak membumi, bernama “delusi” yang menjangkiti pikiran seorang manusia bagaikan virus yang mampu membajak cara kerja otak dalam berpikir logis sehingga ter-“hijack” fungsinya sehingga in-aktif, karenanya “domain perasaan” kemudian mengambil-alih segala rupa sikap maupun keyakinan dan keputusan-keputusan sang terjangkit tanpa mereka sendiri sadari sedang “sakit”—dalam hal ini “sakit delusi”.

Percaya atau tidak, sebagaimana kerap penulis jumpai dan alami, para Warga Negara Indonesia kerap menyakiti, mengeksploitasi, memanipulasi, dan merugikan warga lainnya, dengan asumsi “gila” bernama “delusi” bahwa para korbannya merasa senang, sukarela, serta tidak keberatan ketika disakiti, dieksploitasi, dimanipulasi, maupun ketika dirugikan. Logika, bekerja pada tataran yang secara tepat dianalogikan Albert Einstein sebagai “Adalah gila, mengharap hasil yang berbeda dengan melakukan hal yang sama dengan cara yang sama.

Perasaan, bekerja pada domain otak yang berbeda dari bagian otak yang bertanggung-jawab atas logika, dimana sekalipun telah mereka atau kita ketahui hal demikian adalah buruk bahkan tidak baik bagi kesehatan kita sendiri, sebagai contoh, kembali kita lakukan kesalahan serupa yang mana konon seekor keledai sekalipun tidak sebodoh itu bisa sampai jatuh pada lubang yang sama. Manusia dengan “domain perasaan” yang mendominasi, membuat manusia tersebut tidak lebih tinggi derajatnya dari seekor keledai, mengingat daya kontrol diri yang lemah disamping gagal untuk dipandu rambu logika yang tumpul hingga penuh karat karena jarang terasah.

Ketika berhadapan dengan manusia lainnya, kita sejatinya berhadapan dengan dua jenis domain dalam satu individu karekter, yakni manusia dalam sisi “logika” dan manusia dalam sisi “perasaan”, dalam satu-kesatuan tubuh yang menjadi lawan bicara kita, anak kita, pasangan hidup kita, tetangga kita, karyawan kita, atasan kita, rakyat kita, pemerintah kita, dsb. Menghadapi atau berhadapan dengan seseorang yang lebih mengedepankan “domain logika” dari cara berpikirnya, maka kita tidak akan menemukan masalah berarti, karena tidak ada orang yang masih mampu berpikir logis yang akan bersenang hati “menggali lubang kubur sendiri” dengan menanam karma buruk seperti menyakiti ataupun merugikan hak-hak orang lain.

Sebaliknya, ketika kita berhadapan dengan para simpatisan keagamaan yang sangat kental nuansa “perasaan” yang tidak jarang demikian fanatisme antipati, sebagai contoh ekstrimnya, artinya kita berhadapan dengan “mesin pembunuh” yang tidak memiliki “domain logika” sebagai ruang komunikasi, namun semata hanya membuka lebar “domain perasaan”—pintu gerbang menuju “delusi”, delusi menjadi “pejuang yang bergerilya atas nama Tuhan”. Menghadapi “mesin-mesin yang berbahan bakar delusi” demikian, sebaiknya kita melangkah mundur dan segera menarik diri menjauh, karena bukan “domain logika” yang menjadi ranah untuk berhadapan dengan mereka yang semata hanya bermain dalam tataran “domain perasaan”. Perasaan yang kelewat positif, menjelma delusi yang tidak sehat. Perasaan yang kelewat negatif, menjelma sinisme yang juga tidak sehat.

Berulang kali kita telah melangsungkan Pemilihan Umum (Pemilu), baik Pemilu pemilihan Kepala Negara, Pemilu anggota Legislatif Dewan Perwakilan Rakyat, Pemilu Kepala Daerah, dan berulang kali pula kita merasa kecewa sembari berkomentar bahwa pemerintah dan parlemen kita penuh korupsi, bertentangan dengan kehendak rakyat, serta hanya memikirkan kepentingan politik para aristokrat internal mereka. Selama “domain perasaan” penuh delusi masih menguasai benak masyarakat kita, maka tugas yang diemban lembaga semacam Komisi Pemberantasan Korupsi menjelama lembaga dengan “tugas tanpa akhir” (never ending stories)—sehingga betapa frustasinya bekerja pada lembaga penegak hukum, dimana korupsi tidak mungkin dapat diberantas hingga tuntas setuntas-tuntasnya.

Berbagai kritik, komentar pedas, kemarahan ketika terungkap kasus-kasus korupsi, kekecewaan ketika terbit berbagai regulasi yang tidak “pro” terhadap kepentingan rakyat banyak, apatisme atas maraknya berbagai pelanggaran oleh para Partai Politik pengusung calon terpilih, namun berulang-kali pula masyarakat Indonesia tidak pernah kunjung “jera” untuk “berpesta demokrasi” yang berbiaya mahal untuk kembali dikecewakan oleh harapan semu bernama “Ratu Adil” yang tidak lain ialah “delusi” itu sendiri.

Sekalipun sudah menyadari betul bahwa sejarah yang sama akan kembali dicetak dan terulang kembali sejarah yang sama, kekecewaan atas calon terpilih yang telah mereka pilih meski pada mulanya menaruh banyak harapan, namun disaat bersamaan masyarakat kita tidak pernah kunjung belajar dari berbagai pengalaman pahit yang nyata dengan terus “tenggelam serta berkubang dalam delusi”.

Berpikir positif (positive thinking) memang merupakan “domain logika”. Namun, banyak diantara kita yang tidak menyadari bahwa delusi merupakan “domain perasaan”. Alhasil, yang kemudian terjadi ialah masyarakat kita berasumsi dan terjebak dalam asumsi semu mereka sendiri, bahwasannya seolah-olah “positive thinking” merupakan “domain perasaan”—padahal, yang mana senyatanya, adalah berkebalikan dari itu secara kontras. Mereka yang ber-“delusi”, akan tertipu dan mudah dibohongi, karena memang dibuka ruang untuk “ditipu dan tertipu” lewat “karpet merah” bernama “delusi diri” yang digelar sendiri oleh yang bersangkutan bahkan dengan “tangan terbuka”.

Untuk mengetahui apakah kita selaku warga terjebak dalam “domain perasaan” kita sendiri ataukah masih menyisakan derajat “domain logika”, tepat kiranya kita merujuk pemaparan sebagaimana diuraikan oleh Gill Hasson, “POSITIVE THINKING : Find Happiness and Achieve Your Goals Through the Power of Positive Thought” (Menemukan kebahagiaan dan Meraih Impian Melalui Pemikiran Positif), Penerjemah : Agnes Cynthia, Gramedia Pustaka Utama, Cetakan Kedua 2019, Jakarta:

PERUNDUNGAN DAN PELECEHAN.

Akan tetapi, menemukan hal positif dibalik sebuah kemalangan, bukan berarti Anda harus menanggung situasi yang buruk, berisiko, atau merugikan hanya supaya bisa menemukan suatu aspek positif darinya.

Jika Anda berada dalam sebuah hubungan atau pertemanan dimana Anda semakin lama menjadi semakin tidak bahagia dan sengsara, jika Anda ditindas atau bahkan dilecehkan oleh seorang kolega, anggota keluarga, atau tetangga, Anda tidak dapat menggunakan pikiran positif sebagai alasan untuk tetap tinggal dalam sebuah situasi yang buruk.

Anda mungkin saja, misalnya, tinggal dalam sebuah hubungan yang diwarnai aniaya karena andaa beralasan bahwa kendati situasinya buruk, hal inilah yang benar untuk dilakukan demi anak-anak; mereka akan lebih baik datang dari keluarga yang utuh daripada keluarga yang bercerai dan setidaknya ada dua penghasilan yang masuk. Atau, barangkali Anda meyakinkan diri sendiri bahwa aspek positifnya adalah pasangan Anda tidak selamanya buruk—pada umumnya dia baik dan menyenangkan dan Anda berdua rukun-rukun saja.

Hal itu bukanlah pemikiran positif, melainkan pemikiran yang delusional. Pemikiran positif tidak berarti mengabaikan kesulitan yang benar-benar ada. Jika seseorang terus-menerus menyusahkan, mendominasi, atau mengintimidasi Anda, seseorang terus-terusan memaksa dan mengancam Anda, mengkritik atau mempermalukan Anda, menjajah Anda atau memberikan komentar-komentar yang melecehkan dan menghina Anda, Anda harus melakukan sesuatu. Orang itu tidak akan pergi menjauh!

Ubah perspektif Anda; gunakan pikiran positif untuk memikirkan hal-hal baik apa saja yang bisa terjadi jika Anda melakukan apa yang Anda ketahui sebagai hal yang benar, dan hal itu berarti keluar dari hubungan tersebut.

Pandanglah bahwa meninggalkan seorang penindas atau orang yang suka menganiaya merupakan tujuan utama. Tujuan utama yang sangat mendesak.

ORANG-ORANG POSITIF.

Tetap membisu dan tidak memberi tahu siapa pun, hanya akan mengisolasi Anda selagi disaat yang bersamaan memperkuat si penindas atau penganiaya tersebut. Jadi, Anda harus mencari pertolongan dan dukungan. Jangan akut melakukannya. Ada orang-orang yang bisa memberi Anda dukungan dan nasihat, khususnya jika mereka pernah ada dalam situasi serupa. Ada berbagai perkumpulan yang mengkhususkan diri dalam mendukung orang-orang yang mengalami perundungan atau aniaya.

Selain mencari pertolongan, dukungan dan nasihat, Anda perlu pergi dari situ secepat mungkin; tinggalkan pekerjaan dan hubungan itu. Berjalan pergi adalah hal terbaik yang perlu dilakukan, karena dengan melakukannya Anda menempatkan diri dalam posisi positif: seseorang yang memegang kendali. Anda merenggut kembali peluang bagi sang penindas atau penganiaya untuk untuk melanjutkan perilaku mereka.

Tentu saja, Anda mungkin harus pergi meninggalkan pekerjaan yang bagus, stabilitas keuangan, rumah yang nyaman, dan lainnya, tetapi berfokuslah pada hal-hal positifnya; bahwa Anda telah meninggalkan si penindas atau penganiaya itu. Sesudah itu, Anda dapat mencurahkan energi untuk mencari pekerjaan baru atau tempat tinggal yang baru ketimbang menghabiskan energi untuk mencoba memuaskan, memenangkan, atau menghindari si penindas atau penganiaya tersebut.

Anda memang bisa memilih cara Anda untuk menanggapinya. Berpikirlah secara positif; pikirkan cara untuk membuat diri Anda tetap aman dan waras serta melangkah maju menuju hidup yang lebih baik.

KEBERANIAN.

Anda akan membutuhkan keberanian. Keberanian akan lebih terasa seperti rasa takut. Namun, keberanian adalah kemampuan untuk menghadapi kesukaran, kendati ada rasa takut dan khawatir. Keberanian memberi Anda kemampuan untuk melakuakn sesuatu yang membuat Anda ‘ngeri’. Hal itu adalah kekuatan untuk menghadapi permusuhan atau intimidasi.

Entah itu meninggalkan pekerjaan atau hubungan Anda, berdiri bagi diri sendiri atau orang lain, berbicara atau tampil di depan umum, keberanianlah yang membantu Anda untuk melangkah maju.

Berpikir positif adalah sifat yang melekat pada keberanian, suatu aspek yang tidak terpisahkan dari keberanian itu sendiri. Hal ini soal berpikir “Aku bisa melakukannya” atau “Aku akan melakukannya” dan “Aku bisa mengatasinya dan aku bisa melewatinya”.

Jangan beranggapan bahwa Anda tidak bisa bersikap berani karena Anda tidak merasa demikian. Keberanian sering kali mengharuskan agar Anda berpura-pura “seolah-olah” Anda percaya diri, tidak perduli seperti apa perasaan Anda yang sesungguhnya. Hal itu berarti mereka takut, tetapi toh tetap melakukannya. Hal itu merupakan proses yang berkembang secara eksponensial—Anda hanya perlu memulai prosesnya; mulailah berpura-pura berani, mulailah dengan satu langkah kecil dan keberanian Anda akan lambat laun akan bertambah.

Manfaatkan keberanian Anda ataupun keberanian yang Anda kumpulkan. Pikirkanlah sebuah situasi saat Anda merasa takut, tetapi tetap menghadapi rasa takut Anda dan mengambil tindakan dan ternyata semuanya pada akhirnya berjalan lancar. Apa yang membantu? Apa yang dilakukan atau dikatakan orang lain yang membantu memberikan Anda keberanian itu? Apa yang Anda pikirkan atau rasakan saat itu?

Sekarang, pikirkan sebuah situasi yang saat itu sedang Anda hadapi, yang membuat Anda takut atau merasa cemas. Apa yang paling Anda takutkan? Anda mungkin, misalnya, takut membahayakan pekerjaan Anda jika mengeluhkan perilaku orang lain. Anda mungkin takut memberi tahu seseorang apa yang Anda rasakan atau mungkin cemas memberi tahu seseorang apa yang Anda kerjakan dan tidak mau itu terjadi dalam situasi tertentu.

Ingatkan diri Anda bahwa Anda pernah bertindak berani sebelumnya dan Anda bisa mengumpulkan keberanian lagi, itulah cara berpikir yang positif!

Berfokuslah pada alasan mengapa Anda melakukan sesuatu dan apa yang ingin Anda capai. Menyimpan hal itu dalam benak Anda dapat membantu mencegah perasaan bimbang, keraguan, ketidakpastian dan rasa takut merayap masuk, karena Anda berpikir secara positif. Milikilah keberanian itu dan segala macam kemungkinan akan terbuka.

Life shrinks or expands in proportion to one’s courage.”

(Anais Nin)

Bangsa yang hebat dimulai dari bangsa yang telah bangun dari mimpi dan tidur panjangnya. Mimpi dan bermimpi cukup sesekali. Seorang dan bangsa yang pekerja keras, lebih banyak bekerja dalam kondisi “bangun dan sadar”, bukan seorang pemimpi yang lebih banyak tertidur dalam kondisi “hidup dalam delusi”. Seorang Kepala Negara yang baik dan menggugu agar dapat ditiru, ialah seorang Kepala Negara yang mengajak agar segenap rakyatnya mulai bangun dari “tidur panjang”-nya dengan menyingkap segala “delusi”, bukan justru menina-bobokan rakyatnya sendiri lewat dongeng penuh “delusi” yang “memabukkan” sekaligus membodohi publik luas. Bangsa yang hebat selalu adalah bangsa yang “membumi” dengan kaki yang berpijak erat pada tanah di Bumi.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.