Ajaran & Ujaran MENGKAFIR-KAFIRKAN Sudah Merupakan PENISTAAN terhadap AGAMA & Umat YANG DISEBUT KAFIR, Pelecehan yang Intoleran terhadap Umat Keyakinan yang Berbeda, Anti Pluralitas

ARTIKEL HUKUM

STANDAR BER-GANDA Umat Intoleran “Mengkafir-Kafirkan” yang Menuntut Diberikan Toleransi Menolak “Dikafir-Kafirkan”

Anti kemajemukan ditandai oleh ideologi yang mempermasalahkan eksistensi kaum, golongan, etnik, paham, haluan, ataupun keyakinan hingga sekte yang berlainan, serta tidak membuka ruang toleransi untuk hidup saling menghargai, saling menghormati, serta untuk saling memahami untuk bersama-sama saling berbagi ruang gerak, ruang hidup, serta ruang bernafas secara berdampingan tanpa saling mengganggu ataupun merugikan satu sama lain. Singkat kata, sifat eksklusivisme yang menolak hidup berdampingan serta menolak koeksistensi adanya kaum, golongan, keyakinan serta sekte yang saling berbeda, sehingga mustahil tercipta kohesi sosial.

Sejarah di berbagai negara menunjukkan kepada kita serta memperlihatkan kepada dunia global, sebuah ideologi yang demikian sukar untuk hidup berdampingan dengan keyakinan umat pemeluk keyakinan lainnya, dimana pada negara manapun mereka berada, selalu timbul konflik serta pertentangan yang tidak mampu ber-kohesi sosial dengan bangsa tempatnya berada, kerap melahirkan segregasi sosial bahkan pada tempat dan negara dimana mereka bermigrasi, hingga aksi tiada ruang sama sekali bagi kaum yang berbeda pada negara kawasan dimana agama tersebut lahir dan pertama kali eksis.

Jangankan di negara-negara lain, di negara tempat asal ideologi tersebut sekalipun tiada kaum berbeda agama yang diberikan ruang untuk hidup, terjadi pertikaian “abadi” yang menyerupai “kutukan berdarah berbuyut-buyut” dimana antar sekte dan antar aliran dari agama yang sama saling berperang, saling bertikai, saling merampas, saling sikut-menyikut, saling bermusuhan, saling “meng-kafir-kan”, serta saling membunuh satu sama lainnya.

Ketika antar umat beragama hidup dalam satu negara pada negara yang membuka ruang bagi kemajemukan, cenderung hidup harmonis tanpa peperangan, adapun hanya sesekali dalam sejarah, terdapat satu yang “tampil beda”, dimana agama “mengkafir-kafirkan” tidak pernah rukun ataupun akur terhadap umat beragama manapun di negara manapun, semata akibat sikap eksklusivisme yang membentur-benturkan antara yang “KAFIR” dan yang “mengkafir-kafirkan”—karenanya konflik akibat sentimen intoleran tidak mungkin terhindarkan.

Yang tidak dapat hidup saling berdampingan dan tidak dapat membuka diri untuk saling berkohesi, maka akan timbul konflik serta pertentangan—suatu hal yang sudah dapat diperkirakan dan pasti akan terjadi ketika satu golongan merasa lebih superior dan lebih eksklusif ketimbang golongan pemeluk agama lainnya serta menolak eksistensi golongan yang berbeda bahkan di negara-negara asing dimana mereka bermigrasi dan menjadi imigran pendatang. Selama ini mereka hidup dengan menikmati toleransi serta “ruang gerak” dan “ruang hidup” disamping “ruang nafas” yang diberikan oleh kaum pemeluk keyakinan yang berbeda di negara-negara diluar kawasan, namun entah bagaimana mereka kemudian menolak adanya kemajemukan di negara-negara tempat mereka bermigrasi terutama ketika komunitas mereka kian besar dan kuat siap meng-okupasi, serta menerapkan “standar ganda” dengan menolak hadirnya eksistensi kaum yang berbeda di negara-negara kawasan asal kayakinan mereka.

Sebagai contoh, Bumi Pertiwi disuburkan oleh Agama Buddha sejak abad ke-5 hingga abad ke-15, namun kemudian terjadi aksi intoleran oleh salah satu agama pendatang lainnya dengan merusak belasan Vihara tanpa bersikap toleran terhadap ketenangan hidup umat Agama Buddha yang merasa terganggu akibat cara beribadah umat agama “mengkafir-kafirkan” (lihat kasus di Tanjung Balai dengan korban bernama Meiliana yang juga menjadi korban kriminalisasi).

Agama “mengkafir-kafirkan” dapat masuk ke Bumi Pertiwi, berkat toleransi yang diberikan Agama Buddha, namun kemudian merongrong toleransi yang selama ini mereka nikmati ketika mereka telah tumbuh besar dan kuat. Ketika masih kecil dan lemah komunitas mereka, mereka menuntut toleransi oleh kaum yang berlainan. Namun ketika telah menjelma besar dan kuat, mereka ingin memberangus toleransi tersebut. Hal serupa kini terjadi di Rakhine-Myanmar, dimana para umat Buddhist di Myanmar tidak menghendaki Myanmar menjadi “Indonesia versi kedua”.

Ketika pemeluk agama lainnya berbalik “mengkafirkan” keyakinan yang selama ini memiliki istilah jargon keagamaan bernama “kafir” serta kerap “mengkafir-kafirkan” kaum yang berbeda keyakinan dalam rangka mendiskreditkan kaum yang berbeda serta menihilkan kemajemukan, para umat pemeluk agama “mengkafir-kafirkan” sontak mengajukan protes keras disertai kecaman serta aksi demonstrasi, ajaran gerakan “boikot”, hingga aksi kerusuhan disamping kekerasan bila diperlukan sebagai simbol membela keluruhan nama nabi dan Tuhan-nya—seolah-olah Tuhan dan kebenaran adalah monopoli keyakinannya semata.

Seolah menerapkan “standar ganda”, selama ini agama yang kerap “mengkafir-kafirkan” ketika bercemarah mimbar pada tempat agama yang bersangkutan dengan memakai pengeras suara demikian “bombastis” sehingga dapat terdengar dengan jelas isi substansi sang penceramah bahkan ketika berada di dalam toilet kediamaan kita, selalu terjadi lontaran-lontaran diskredit yang menista, menghina, dan/atau hingga melecehkan agama-agama lainnya diluar agama bersangkutan, dengan bangga “mengkafir-kafirkan” tanpa siapapun yang berani menghalangi ataupun mencegahnya.

Ketika umat agama seberang berbalik melakukan sekadar pembalasan atau “bela diri” hingga “hak jawab” belaka ketika “di-kafir-kafirkan”, seakan tidak mengenal ataupun mengakui kata “impas”, sang umat agama “mengkafir-kafirkan” merasa telah dihina dan dizolimi disamping mengklaim telah dinista agamanya—sekalipun mereka yang selama ini kerap “berpesa menista dan menghina” keyakinan agama seberang.

Ketika dirinya sendiri merasa boleh dan berhak untuk menista dan menghina serta mendiskreditkan keyakinan umat agama lain, sementara agama dan keyakinannya sendiri tidak boleh dikritik ataupun untuk dinista sebagaimana sekadar “pembalasan” oleh umat agama seberang, hal demikian menurut hemat penulis adalah cerminan sikap “mau menang sendiri” disamping “munafik-egoistik” disamping pula “narsistik”. Ingin dihormati, menuntut dihargai serta dijunjung tinggi, namun disaat bersamaan kerap gagal menaruh hormat terhadap keyakinan pemeluk agama yang belainan, ataupun terhadap agama yang sama namun berbeda sekte dan aliran.

Sang umat agama “mengkafir-kafirkan” menolak ketika disebut sebagai “agama teroris”, ataupun untuk sekadar balas disebut sebagai “agama kafir”, namun kerap gagal untuk membuktikan bahwa mereka adalah ideologi yang toleran, mengingat setiap kalinya bertutur-kata terhadap pemeluk agama yang berbeda, tidak jarang mempergunakan istilah-istilah jargon agamanya sendiri tanpa menaruh hormat bahwa senyatanya lawan bicaranya bisa jadi atau sudah jelas-jelas beragama lain alias berlainan keyakinan, sekalipun Bahasa Indonesia ataupun bahasa daerah kita di Nusantara telah memiliki padanan katanya seperti kata “permisi”, “semoga”, “bersyukur”, dan sebagainya.

Dari hal yang paling sederhana serta mendasar, seperti ketika bertutur-kata terhadap lawan bicara, ternyata sang umat keyakinan “mengkafir-kafirkan” gagal menghormati keyakinan lawan bicaranya dengan selalu memakai jargon-jargon istilah agama yang bersangkutan secara sepihak—seolah sedang “memperkosa” agama lawan bicara, disamping mempertontonkan atau memperdengarkan sikap narsistik yang “tidak sedap didengar telinga” lawan bicara, setidaknya itulah yang penulis rasakan. Sikap toleran dan praktik intoleran, dimulai dari hal-hal paling mendasar demikian, yakni etika komunikasi sehari-hari antar umat beragama yang melepaskan atribut keagamannya lewat etika bertutur kata dengan menggunakan semata padanan kosakata yang “netral” sifatnya.

Kini kita masuk pada pokok bahasan utama kita, yakni frasa “kafir” dan “mengkafir-kafirkan”. Kedua frasa demikian, identik dengan “MENOLAK eksistensi” kaum umat keyakinan yang berlainan—bukan hanya itu, sekte serta aliran pada agama yang sama sekalipun, kerap disebut “lebih kafir daripada kafir”. Lebih daripada itu, frasa “kafir” dan “mengkafir-kafirkan” mengandung pula muatan kebencian, permusuhan, disamping penghasutan. Agama semestinya untuk membuat “teduh”, bukan untuk memecah-belah.

 Menjadi lebih berbahaya, frasa “kafir” dan “mengkafir-kafirkan” mengandung pula paham radikalisme untuk merusak, menghancurkan, membungkam, memusnahkan, tidak terkecuali untuk membunuh dengan menjadikan agama sebagai dalil dimana ayat-ayat dikumandangkan ketika memenggal makhluk hidup. Seolah-olah, agama sebagai alat pembenar untuk melakukan aksi radikalisme. Agama-agama lain, tidak memiliki jargon keagamaan yang demikian ekstrim semacam “kafir” ataupun “mengkafir-kafirkan”, karenanya umat-umat keyakinan agama lainnya dapat saling hidup berdampingan dan ber-koeksistensi satu sama lain meski pluralitas antar pemeluk umat agama demikian beragam pada satu komunitas atau pada satu negara dan bangsa yang lazim kita jumpai pada seluruh negara di dunia kecuali di negara “kawasan mengkafir-kafirkan”.

Yang hendak penulis garis-bawahi ialah, frasa “kafir” dan “mengkafir-kafirkan” sejatinya SUDAH MERUPAKAN PENETRASI SIKAP YANG BERTENDENSI MENISTA DAN PENISTAAN DISAMPING DISKREDIT SERTA PELECEHAN DAN PENGHINAAN ITU SENDIRI, seolah kaum yang di-“kafir-kafir”-kan adalah makhluk yang lebih rendah derajat ataupun kastanya, semata karena berlatar-belakang keyakinan yang “NON”. Manusia baik yang tidak pernah berbuat jahat, bahkan kerap melakukan kebajikan, tetap diberi stigma “cap” bernama “kafir” untuk kemudian di-diskredit-kan serta dianggap sebagai kaum “buangan” yang “terpinggirkan” harkat serta martabatnya.

Singkat kata, tiada penghormatan ataupun penghargaan terhadap eksistensi agama yang berlainan, berkat jargon “kafir” dan “mengkafir-kafirkan” yang sangat menolak konsep “Bhinneka Tunggal Ika” yang menjadi “harga mati” dalam Pancasila sebagai salah satu unsur Konstitusi Negara Kesaturan Republik Indonesia sebagaimana telah ditetapkan oleh para “founding fathers” kita sejak saat kemerdekaan Republik Indonesia dirumuskan soko pilar konstruksi haluan ideologi tata negaranya. Sehingga dapat kita katakan, bahwa “Pancasila” merupakan “ideologi negara”, dimana “ideologi agama” manapun yang berseberangan ataupun tidak sejalan dengan “ideologi negara”, maka “ideologi negara”-lah yang berlaku dan memiliki supremasinya terhadap publik.

Mungkin memang sudah saatnya, seluruh umat agama-agama yang tergolong “NON” bersatu-padu secara kompak membalikkan keadaan, dari sebelumnya secara intoleran diberi stigma sebagai “kafir” yang di-“kafir-kafir”-kan, kini berbalik “mengkafir-kafirkan” umat dari agama yang sebelumnya kerap “mengkafir-kafirkan”, agar mulai merasakan betapa “nikmatnya” diskredit lewat slogan-slogan maupun jargon-jargon tidak toleran yang menyudutkan serta tidak empatik bernada melecehkan demikian.

Ketika beberapa pihak menyatakan bahwa ideologi yang kerap “mengkafir-kafirkan” merupakan ideologi terorisme, sontak para umat agama “mengkafir-kafirkan” berkeberatan, reaktif, defensif, serta agresif. Bila hanya membuat pernyataan semacam “Agama ‘mengkafir-kafirkan’ adalah agama teroris!”, maka jelas itu adalah sebuah tuduhan. Namun ketika yang dijadikan basis argumentasi ialah dalam rangka menyuguhkan bukti serta pembuktian, bukan tudingan tanpa dasar, maka cara yang lebih elok serta lebih elegan disamping tidak terbantahkan lagi ialah dengan cara mempertunjukkan ayat-ayat milik keyakinan “mengkafir-kafirkan” yang mempertegas fakta realita praktik intoleran hingga radikalisme, yang wajar membuat kaum “NON” mau tidak mau bersikap “PROTEKTIF diri”—sehingga menjadi aneh sekaligus “lucu” bila masih hendak dibantah.

Kaum “mengkafir-kafirkan” demikian mengumbar kebencian dan permusuhan terhadap kaum Yahudi, sekalipun mereka belum tentu pernah berjumpa ataupun berurusan langsung dengan kaum Yahudi di belahan dunia lainnya. Disaat bersamaan, memakai “standar ganda” dengan menutup mata ketika setiap harinya dirugikan dan disakiti oleh sesama kaumnya sendiri, mulai dari aksi premanisme, aksi korupsi, aksi penipuan, aksi kebohongan, aksi pelecehan, aksi tindak pidana asusila, aksi pungutan liar, aksi penelantaran, aksi pemelintiran, aksi perampokan dan pencurian, aksi ingkar janji, hingga aksi-aksi yang melukai dan merugikan lainnya.

Contoh, “bantuan sosial” (bansos) dikala wabah pandemik akibat virus menular mematikan merebak, ternyata disalurkan secara tidak tepat sasaran, ada oknum Ketua Rukun Warga yang berkolusi dengan kerabatnya, mampu dari segi ekonomi namun masih juga merampas hak-hak rakyat kecil yang lebih miskin, masyarakat yang selama ini “mengkafir-kafirkan” kemudian menyeluh dan keluhkan siapa jika bukan sesama rakyat sendiri yang notabene seagama “mengkafir-kafirkan”?

Cobalah tanyakan secara jujur kepada diri Anda sendiri (siapa juga yang dapat hendak kita bohongi dalam hal ini, terutama diri kita masing-masing?), siapa yang selama ini meng-korupsi hak-hak kita selaku warga, siapa yang selama ini menjadikan kita objek pungutan liar, siapa yang selama ini melakukan aksi premanisme terhadap kita, penipuan, perampokan, modus-modus lainnya hingga berbagai perilaku tidak bermoral lainnya?

Tetap saja, yang dibenci dan dimusuhi ialah Yahudi dan “kafir”. Seburuk apapun perilaku kaumnya terhadap kaumnya sendiri, yang “dikafir-kafirkan” ialah tetap Yahudi dan “kafir”—itulah tepatnya, yang penulis sebut sebagai “ideologi kebencian, penuh permusuhan, serta sarat doktrinisasi”. DISCLAIMER : Ulasan oleh penulis ini tidak menyebutkan agama manakah yang merupakan agama “mengkafir-kafirkan” dimaksud, sehingga bila ada yang merasa tersindir, itu urusan Anda pribadi selaku pembaca, sekaligus artinya mengakui agamanya benar demikian adanya sehingga “merasa” sedang disinggung karenanya tersinggung sekalipun artikel ini tidak pernah menyebutkan nama agama tertentu secara spesifik. Bila terdapat diantara pembaca yang menyebutkan nama salah-satu agama, sama artinya dirinya yang telah menista agama dimaksud. Anda berhak tersinggung dan tersindir, atau juga “menggonggong”, namun khafilah juga berhak berlalu.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.