Tindak Pidana Korporasi, Perusahaan ataukah Pengurus yang Diancam Hukuman Pidana?

LEGAL OPINION

Question: Rumusan pasalnya hanya mengancam orang, dengan isi pasal menyebutkan “setiap orang yang ...”, bukan “setiap orang maupun korporasi”, maka apa artinya jaksa penuntut masih bisa dakwa suatu perusahaan (badan hukum) dengan pasal pidana itu? Sebenarnya juga kapan, orang yang mengurusnya dapat dipidana dan kapankah juga, perusahaan itu yang dapat dipidana?

Brief Answer: Hingga kini memang belum terdapat konsistensi dari praktik di lembaga pengadilan maupun pada Mahkamah Agung RI yang merumuskan kebijakan “Tindak Pidana Korporasi” sebagai bersifat saling tentatif-alternatif antara mempidana pengurusnya, korporasinya, dan/atau keduanya. Mempidana denda kepada pengurus perorangan, tujuan pidana denda mungkin tidak akan tercapai karena kurang rasional bila harus ditanggung orang perseorangan terutama bila sanksi pidana denda mencapai angka puluhan miliar Rupiah, dan baru akan membuat efek jera bila korporasi bersangkutan yang dipidana denda dan akan membayarnya karena memegang izin konsesi yang jauh lebih bernilai daripada denda sebesar apapun yang dijatuhkan pengadilan. Idealnya, bila pidana yang dijatuhkan ialah kurungan / penjara berikut denda, maka baik pengurus maupun korporasinya didakwa secara bersama-sama.

Ancaman sanksi pidana yang dikenal dalam stelsel penalisasi maupun yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dikenal setidaknya beberapa jenis sanksi, antara lain : mati, kurungan, penjara, denda, pencabutan hak, dan lain sebagainya. Ketika kejahatan atau delik pidana yang dilakukan tergolong berat, pengurus korporasi bersangkutan dapat dipidana “mati” sementara korporasi yang dijadikan wadah aksi perbuatan kejahatan dapat dicabut segala izin operasional hingga pendiriannya (di-likuidasi) sebagai analogi hukuman pidana “mati”. Namun bisa juga pengurusnya dipidana “pencabutan hak untuk menjabat sebagai pengurus pada korporasi lain” atau sanksi bagi korporasinya berupa “pencabutan hak untuk mengikuti segala tender pengadaaan barang dan jasa yang diadakan pemerintah baik pemerintah pusat maupun daerah”.

Menurut teori “Corporate Organs” dalam konsep Tindak Pidana Korporasi (teori yang bermaksud untuk menunjuk pada individu yang menjalankan kewenangan dan pengendalian dalam suatu badan hukum, atau orang yang mengarahkan dan bertanggung-jawab atas segala perbuatan hukum dari badan hukum, orang yang membuat keputusan dalam korporasi, dan orang yang menjadi “otak” dari korporasi bersangkutan, sehingga patut dimintakan pertanggung-jawaban pidana korporasi), menjadikan pihak individu perorangan sebagai pihak yang dapat dimintakan pertanggung-jawaban secara pidana. Namun teori tersebut belum dibakukan dalam praktik peradilan di Indonesia, mengingat masih adanya teori lainnya yang menyebutkan:

1. Pengurus korporasi yang melakukan tindak pidana, pengurus yang bertanggung-jawab;

2. Korporasi yang melakukan tindak pidana, pengurus yang bertanggung-jawab;

3. Korporasi yang melakukan tindak pidana, korporasi yang bertanggungjawab;

4. Pengurus dan korporasi yang melakukan tindak pidana, maka keduanya harus bertanggung-jawab.

Menurut SHIETRA & PARTNERS, teori di atas tersebut “absurd”, terutama frasa “pengurus korporasi” pada butir ke-1. Sebagaimana kita ketahui, ciri-ciri badan hukum (legal entity, rechtspersoon) salah satu yang terutama ialah : “hak dan kewajiban tetap melekat pada badan hukum, sekalipun pengurusnya silih-berganti” serta “legal mandatory atau wakil dari badan hukum ialah pengurus, dimana perbuatan hukum pengurus ialah dalam rangka mewakili badan hukum yang diurus oleh sang pengurus”.

Karenanya, perbuatan hukum “pengurus korporasi” ialah mengikat korporasi dan menjadi kehendak dari korporasi itu sendiri, terutama bila menguntungkan pihak korporasi. Dengan kata lain, “mens rea” maupun “actus reus” dari suatu korporasi, dicerminkan oleh sikap batin maupun perbuatan lahiriah pengurus internal organisasinya. Dalam konsep badan hukum yang sesuai falsafahnya, “pengurus” merupakan organ dari korporasi, sehingga “pengurus” secara yuridis tidak berdiri sendiri seolah terpisah dari badan hukum yang diwakili olehnya dalam kepengurusan—namun “dependen”.

Sebagai contoh, “pengurus” untuk dan atas nama Perseroan Terbatas, menanda-tangani suatu kontrak, maka hak dan kewajiban ialah melekat kepada Perseroan Terbatas semata, bukan kepada pejabat pengurusnya. Sehingga, yang ditekankan disini ialah pada konsepsi seputar “jabatan”, bukan pada “pejabat” dari suatu badan hukum. Karenanya itulah, sekalipun kemudian pengurusnya silih-berganti pihak yang menjabat, selama suatu perbuatan hukum seperti menanda-tangani sebuah kontrak dilakukan saat sang “pejabat” masih efektif menjabat “jabatan” sebagai pengurus, maka sekalipun kemudian sang “pejabat” digantikan oleh “pejabat” lainnya, kontrak yang sebelumnya ditanda-tangani “untuk serta atas nama” korporasi yang “diwakili” oleh sang pengurus, tetap sah dan berlaku mengikat sang korporasi.

PEMBAHASAN:

Untuk memudahkan pemahaman, tepat kiranya SHIETRA & PARTNERS merujuk ilustrasi konkret sebagaimana putusan Pengadilan Negeri Tenggarong yang mengadili perkara “pidana korporasi”, register Nomor 526/Pid.Sus-LH/2017/PN.Trg tanggal 6 Desember 2017, dimana yang menjadi Terdakwa ialah PT. INDOMINCO MANDIRI semata sebagai entitas atau subjek hukum korporasi (legal entity), dimana yang menjadi tuntutan pidana yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, ialah sebagai berikut:

1. Menyatakan Terdakwa PT. INDOMINCO MANDIRI terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup “melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin” sebagaimana yang didakwakan kepada Terdakwa dalam dakwaan Kedua melanggar 104 jo. Pasal 116 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;

2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa PT. INDOMINCO MANDIRI dengan pidana denda sebesar Rp. 3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah).

Subjek hukum Korporasi yang dijadikan sebagai Terdakwa dalam perkara ini, didakwa karena telah menghasilkan limbah “B4” (bahan berbahaya dan beracun) namun tidak melakukan pengelolaan sebagaimana mestinya. Terdakwa PT. Indominco Mandiri adalah badan usaha yang bergerak dalam bidang tambang batu bara, juga memiliki Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan kapasitas 2 X 7 MW yang bahan bakar batu bara digunakan untuk keperluan internal yaitu aktivitas kegiatan perkantoran, penambangan, peremukan batu batu bara dan “stockpile” batu bara untuk pengiriman melalui kapal.

Adapun tugas pokok fungsi, tanggung jawab dan wewenang Direktur Utama dari Terdakwa adalah bertanggung.jawab atas strategi bisnis dan pengarah secara umum operasi PT. Indominco Mandiri pertambangan batu bara. Direktur Utama bertanggung jawab kepada pemegang saham. Berdasarkan Akta Notaris tertanggal 10 April 2008, berdirinya Terdakwa telah mendapat persetujuan dari Menteri Hukum dan HAM pada tahun yang sama.

Pemimpin tertinggi di PT. Indominco Mandiri adalah Direktur Utama yang membawahi 6 (enam) Direktur yaitu Direktur Operasi bertanggung-jawab terhadap marine dan logistic, Direktur Hubungan dengan Pemerintah bertugas hubungannya dengan pemerintah, pengembangan masyarakat dan komunikasi perusahaan, Direktur Pengelolaan Lahan keseluruhan kegiatan perusahaan bertugas manajemen lahan, Direktur Kepatuhan dan Manajemen Resiko bertugas pengelolaan resiko dan kepatuhan, Direktur Penjualan dan Pemasaran.

PLTU yang dibangun dan dioperasionalkan PT. Indominco Mandiri dalam menjalankan usahanya mengantongi beberapa dokumen diantaranya dokumen lingkungan UKL/UPL tahun 2006 yang disahkan oleh Bapedalda Provinsi Kalimantan Timur, Izin dari Surat Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kalimantan Timur, Sertifikat boiler dari Departemen Tenaga Kerja, Sertifikat Operasi alat-alat angkat, Sertifikat operasi Operator, Sertifikat Laik Operasi Unit I dan Unit II, Izin Penggunaan Air Permukaan (Air Laut), Sertifikat Jaringan sejak tahun 2011.

Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berlokasi di area wilayah tambang PT. Indominco Mandiri, mulai beroperasi menggunakan bahan bakar batu bara untuk boiler unit I dan unit II, yang telah mendapat izin operasi dari Surat Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kalimantan Timur, Sertifikat boiler dari Departemen Tenaga Kerja, Sertifikat Operasi alat-alat angkat, Sertifikat operasi Operator, Sertifikat Laik Operasi Unit I dan Unit II.

PLTU milik PT. Indominco Mandiri terdiri dari 2 boiler dan 2 turbin dengan waktu operasional selama 24 jam menggunakan bahan bakar batu bara sebanyak ± 80-110 ton dengan kalori ± 5.000-6.000 kkal; hasil pembakaran batu bara yaitu limbah B3 berupa fly ash dan bottom ash sebanyak ± 6-10 ton/24 jam/hari serta PLTU PT. Indominco Mandiri menghasilkan limbah B3 berupa “fly ash” dan “bottom ash” hasil pembakaran batu bara, oli bekas dan aki bekas.

Terdakwa PT. Indominco Mandiri memiliki Tempat Penyimpanan Sementara (TPS) limbah B3 untuk menyimpan limbah B3 berupa “fly ash” dan “bottom ash”, namun tempatnya tidak memadai untuk dapat menampung limbah B3 yang dihasilkan. Berhubung Tempat Penyimpanan Sementara (TPS) penuh, maka limbah B3 tersebut ditempatkan / dibuang di lahan terbuka didekat tempat produksi pembuatan “paving block” karena “fly ash” dan “bottom ash” merupakan bahan baku pembuatan “paving block”.

Tujuan ditempatkannya “fly ash” dan “bottom ash” lahan terbuka tersebut agar lebih mudah dalam mengambil bahan baku pembuatan paving blok. Akan tetapi Terdakwa PT. Indominco Mandiri hanya memiliki 1 (satu) unit mesin “paving block” sehingga tidak memadai antara mesin pembuat “paving block” dengan limbah B3 berupa “fly ash” dan “bottom ash” yang dihasilkan, maka limbah B3 “fly ash” dan “bottom ash” semakin menumpuk.

Pada tanggal 23 November 2013, Terdakwa telah limbah B3 “fly ash” dan “bottom ash” yang bekerjasama dengan PT. Holcim sebanyak ± 3.000 Ton sesuai dengan dokumen limbah B3 (manifest). Setelah pengiriman limbah B3 tersebut ke PT. Holcim pada bulan November 2013, PT. Indominco Mandiri tidak mengelola limbah B3 yang dihasilkan secara maksimal, yaitu tidak memperluas TPS limbah B3 dan menambah mesin pencetak “paving block”, sedangkan limbah B3 terus saja dihasilkan.

Limbah B3 yang disimpan di TPS tersebut, akan tetapi karena mulai kembali penuh, maka sejak bulan Februari 2014 s/d November 2015 limbah B3 “fly ash” dan “bottom ash” dibuang / ditempatkan lagi di lahan terbuka dekat produksi “paving block” di dalam areal PLTU milik PT. Indominco Mandiri. Akibatnya, pada tanggal 25 November 2015 timbunan limbah B3 yang dibuang / ditempatkan di lahan terbuka dekat produksi “paving block” di dalam areal PLTU PT. Indominco Mandiri, tanpa izin, disegel dengan garis PPNS oleh Penyidik Kementerian Lingkugan Hidup dan Kehutanan sebagai barang butki. Maka perusahaan dilarang merubah atau menghilangan timbunan limbah B3 “fly ash” dan “bottom ash” tersebut.

Tanggal 7 Agustus 2016 s/d 2 September 2016, Terdakwa mengirim limbah B3 yang baru dihasilkan dari bulan Desember 2015 ke PT. Pengelola Limbah Kutai Kartanegara sebanyak ± 4.364 ton sesuai dengan dokumen (manifest) limbah B3. Berdasarkan hasil pengambilan gambar dengan menggunakan alat “drone” (pesawat tanpa awak), diperoleh fakta bahwa volume timbunan limbah B3 “fly ash” dan “bottom ash” yang dibuang di dekat pembuatan “paving block” pada pada area PLTU milik PT. Indominco Mandiri sebanyak ± 3.950 ton.

Adapun menurut sifatnya yang merupakan limbah B3, maka baik “fly ash” maupun “bottom ash” tidak boleh dilakukan pembuangan langsung ke media lingkungan. Bila tidak melakukan pengolahan atau pemanfaatan limbah B3 secara mandiri, limbah-limbah B3 tersebut harus disimpan di tempat pembuangan sementara khusus limbah B3 (TPS) berizin, sebelum diserahkan ke pihak lain (pengangkut / pengumpul / pengolah / pemanfaat / penimbun berizin). Sebagai bagian dari limbah B3 sumber spesifik khusus, limbah “fly ash” dan “bottom ash” sesungguhnya masih bisa diolah dan/atau dimanfaatkan menjadi produk lain yang lebih berguna bahkan memiliki nilai jual ekonomi, akan tetapi kegiatan tersebut tetap harus memiliki izin dan mengikuti prosedur pengolahan dan pemanfaatan yang baik dan benar.

Terdakwa PT. Indominco Mandiri tidak melakukan pengelolaan B3 yang ditimbun di lahan terbuka tanpa izin sejak tahun 2014 sampai dengan 2015 sebanyak ± 4.000 ton dan Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 101 tentang Pengelolaan Limbah B3, limbah tersebut memenuhi karakteristik sebagai limbah B3, sebagaimana tercantum pada Lampiran peraturan.

Hasil lab menunjukkan, “fly ash” / “bottom ash” berpotensi mengandung berbagai jenis logam berat, meskipun dalam skala konsentrasi jejak relatif kecil (tracing) tetap harus diperlakukan sebagai limbah B3, sebagaimana aturan PP No. 101 tentang Pengelolaan Limbah B3. Setidaknya ada 4 hal yang menjadikan limbah B3 khususnya “fly ash” / “bottom ash” harus diwaspadai, antara lain:

1. TOXIC. Sesuai namanya, limbah B3 yang mengandung logam-logam berat seifatnya berbahaya dan beracun;

2. FLUIDEZED & DISPERSED. Lindi “fly ash” dan “bottom ash” yang muncul atau terbentuk akibat terkontak air hujan dan/atau debu, terutama “fly ash” yang bila terkena terpaan angin, akah dialirkan dan disebarkan secara mudah ke lingkungan sekitar;

3. BIOACCUMULATION. Meskipun mungkin sangat kecil konsentrasinya, berbagai logam berat yang disebarkan air lindi ke tanah / air tanah dan lingkungan sekitar secara perlahan dan akumulatif akan masuk ke dalam jaringan hidup tubuh tanaman dan hewan, yang pada gilirannya mengancam keselamatan satwa ternak dan manusia sebagai puncak rantai piramida;

4. PERSITEN. Berbagai logam berat yang dikandung “fly ash” / “bottom ash” bersifat abadi di alam, alias tidak bisa dicerna oleh alam dan menetap tak terurai dalam tubuh makhluk hidup. [Note SHIETRA & PARTNERS : Itulah fakta yang paling mengerikan dari kegiatan usaha yang tidak bertanggung-jawab, racun berbahaya yang akan dihadapi oleh seluruh generasi penerus karena sifat karsinogeniknya seumur hidup mencemari ekosistem, serta tidak terurai oleh waktu di alam.]

Sementara dalam Dakwaan Alternatif Kedua, Terdakwa didakwa karena telah melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin. Dimana terhadapnya tuntutan Jaksa Penuntut, Majelis Hakim membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:

“Menimbang, bahwa Terdakwa telah didakwa oleh Penuntut Umum dengan dakwaan yang berbentuk alternatif, sehingga Majelis Hakim dengan memperhatikan fakta-fakta hukum tersebut diatas memilih langsung dakwaan alternatif kedua sebagaimana diatur dalam Pasal 104 jo. Pasal 116 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut:

1. Setiap orang;

2. Melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin;

“Menimbang, bahwa terhadap unsur-unsur tersebut Majelis Hakim mempertimbangkan sebagai berikut:

Ad.1. Setiap orang;

“Menimbang bahwa, yang dimaksud dengan pengertian ‘Setiap Orang’ adalah setiap orang sebagai subyek hukum yang telah didakwa melakukan suatu tindak pidana dan dapat dipertanggung-jawabkan menurut hukum atas perbuatan pidana yang telah dilakukannya tersebut, baik sebagai orang-perseorangan, maupun korporasi;

“Menimbang, bahwa orang sebagai subyek hukum yang telah dihadapkan ke depan persidangan sebagai Terdakwa oleh Penuntut Umum dalam perkara ini adalah bernama PT. INDOMINCO MANDIRI dan ternyata Terdakwa melalui orang yang mewakili telah membenarkan dan mengakui bahwa identitas Terdakwa sebagaimana dalam surat dakwaan Penuntut Umum adalah benar identitas diri PT. INDOMINCO MANDIRI. Dengan demikian unsur ini terpenuhi;

Ad.2. Melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin;

“Menimbang, unsur ini berbentuk alternatif, bila salah satu sub unsur terpenuhi, maka unsur terpenuhi secara keseluruhan;

“Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan ‘Dumping’ (pembuangan) adalah kegiatan membuang, menempatkan, dan/atau memasukkan limbah dan/atau bahan dalam jumlah, konsentrasi, waktu, dan lokasi tertentu dengan persyaratan tertentu ke media lingkungan hidup tertentu;

“Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan;

“Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan “tanpa izin“ adalah suatu perbuatan dilakukan tanpa adanya dasar berupa persetujuan yang membolehkan dari yang berwenang dalam hal ini pemerintah;

“Menimbang, bahwa dalam pertanggung-jawaban pidana korporasi dalam hukum pidana, ada beberapa teori pertanggung-jawaban yang dapat diterapkan pada korporasi, yaitu:

1. Teori Strict Liability (tanggung jawab mutlak), yaitu pertanggung-jawaban pidana yang harus dilakukan tanpa harus dibuktikan kesalahannya;

2. Teori Vicarious Liability (pertanggung-jawaban pengganti), yaitu suatu pertanggung-jawaban pidana yang dibebankan kepada seseorang atas perbuatan orang lain;

3. Teori Doctrine of Delegation, yaitu teori yang menjadi dasar pembenar untuk membebankan pertanggung-jawaban pidana yang dilakukan pegawai korporasi, dengan adanya pendelegasian wewenang kepada seseorang untuk mewakili kepentingan perusahaan;

4. Teori Identifikasi, yaitu teori yang digunakan untuk memberikan pembenaran pertanggung-jawaban pidana korporasi, meskipun pada kenyataannya korporasi bukanlah sesuatu yang berbuat sendiri dan tidak mungkin memiliki mens rea karena tidak memiliki kalbu, artinya korporasi dapat melakukan tindak pidana secara langsung melalui orang-orang yang memiliki hubungan erat dengan korporasi;

5. Teori Corporate Organs, yaitu teori menunjuk pada orang-orang yang menjalankan kewenangan dan pengendalian dalam badan hukum, dengan kata lain, orang yang mengarahkan dan bertanggung-jawab atas segala gerak-gerik badan hukum, orang yang menetapkan kebijakan korporasi, dan orang yang menjadi otak dan pusat syaraf dari korporasi tersebut, dengan demikian otak dari korporasi merupakan organ penting dari korporasi sehingga bisa dimintakan pertanggung-jawaban pidana korporasi;

“Menimbang, bahwa Majelis Hakim menilai bahwa dari semua teori tersebut di atas, kesemuanya dapat digunakan dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana lingkungan hidup yang dilakukan oleh korporasi;

“Menimbang, bahwa menurut SUTAN REMY SJAHDEINI, sistem pertanggung-jawaban ada empat, yaitu:

1. Pengurus korporasi yang melakukan tindak pidana, pengurus yang bertanggung-jawab;

2. Korporasi yang melakukan tindak pidana, pengurus yang bertanggung-jawab;

3. Korporasi yang melakukan tindak pidana, korporasi yang bertanggungjawab;

4. Pengurus dan korporasi yang melakukan tindak pidana, maka keduanya harus bertanggung-jawab;

“Menimbang, bahwa hal yang dapat dipakai sebagai alasan bahwa korporasi sebagai pembuat dan sekaligus yang bertanggung-jawab adalah karena dalam berbagai delik ekonomi fiscal, keuntungan yang diperoleh korporasi atau kerugian yang diderita masyarakat;

“Menimbang, berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, bahwa Terdakwa PT. INDOMINCO MANDIRI adalah badan usaha yang bergerak dalam bidang pertambangan batu bara;

“Menimbang, berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, bahwa sejak tahun 2011 PT. INDOMINCO MANDIRI membangun / mendirikan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) / Power Plant dengan kapasitas 2 x 7 MW di dalam areal konsesi tambang PT. Indominco Mandiri di Kabupaten Kutai Kartanagera yang dipergunakan untuk kebutuhan operasional tambang PT. INDOMINCO MANDIRI dan tidak untuk kebutuhan masyarakat sekitar tambang berdasarkan Dokumen Lingkungan UKL/UPL tahun 2006 yang disahkan oleh Bapelda Propinsi Kalimantan Timur Nomor ... , tanggal 20 November 2006;

“Menimbang, berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, bahwa bahan bakar PLTU berupa batu bara dari hasil tambang PT.INDOMINCO MANDIRI yang berkualitas rendah yang tidak laku di pasaran;

“Menimbang, berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, bahwa PLTU PT. INDOMINCO MANDIRI terdiri dari 2 (dua) boiler dan 2 (dua) turbin dengan waktu operasional selama 24 jam menggunakan bahan bakar batu bara sebanyak ± 80 – 110 ton dengan kalori ± 5.000 – 6.000 kkal;

“Menimbang, berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, bahwa hasil pembakaran batu bara di PLTU PT. INDOMINCO MANDIRI menghasilkan limbah B3 berupa fly ash dan bottom ash (FABA) sebanyak ± 6-10 ton FABA/ 24 jam/hari;

“Menimbang, berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, bahwa PLTU PT. INDOMINCO MANDIRI memiliki Tempat Penyimpanan Sementara (TPS) Limbah B3 berupa fly ash dan bottom ash (FABA) berdasarkan Izin Tempat Penyimpanan Sementara (TPS) untuk limbah B3 Fly ash dan Bottom ash dari BLH Kab. Kutai Kartanegara Nomor ... , tanggal 14 Januari 2016 serta Izin Pemanfaatan Limbah B3 Fly ash dan Bottom ash dari Kementerian Lingkungan Hidup Nomor ... tanggal 04 Maret 2014;

“Menimbang, berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, bahwa Tempat Penyimpanan Sementara (TPS) berijin untuk limbah B3 Fly ash dan Bottom ash PLTU PT. INDOMINCO MANDIRI berada di areal PLTU tertutup (berupa gedung yang beratap dan berdinding);

“Menimbang, berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, bahwa limbah B3 Fly ash dan Bottom ash PLTU PT. INDOMINCO MANDIRI setelah ditempatkan di TPS yang berijin kemudian berdasarkan Izin Pemanfaatan Limbah B3 Fly ash dan Bottom ash dari Kementerian Lingkungan Hidup Nomor ... tahun 2014 tanggal 04 Maret 2014, dilakukan pemanfaatan limbah B3 Fly ash dan Bottom ash menjadi paving block;

“Menimbang, berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, bahwa pada periode tahun 2013 telah dilakukan kontrak dengan PT. HOLCIM untuk pengelolaan limbah B3 Fly ash dan Bottom ash berdasarkan Kontrak Kerjasama dengan PT.INDOMINCO MANDIRI Nomor ... tanggal 15 Juli 2013 yang berlaku 5 bulan s/d 15 Desember 2013 dengan estimasi mengangkut limbah B3 fly ash dan bottom ash sebanyak +3.000 ton ke PT.Holcim Indonesia, Tbk.;

“Menimbang, berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, bahwa pada periode tahun 2016 PT. Indominco Mandiri kerjasama dengan PT. Pengelola Limbah Kutai Kartanegara berdasarkan Perjanjian Jasa Pengolahan Limbah B3 Nomor: IMM/CA-2016/0185 tanggal 15 Juli 2016 untuk pengelolaan limbah B3 Fly ash dan Bottom ash sebanyak tidak lebih 4.500 ton;

“Menimbang, berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, bahwa sekitar bulan Pebruari 2014 s/d November 2015 di PLTU PT. INDOMINCO MANDIRI telah ditemukan tumpukan limbah B3 Fly ash dan Bottom ash di areal / lokasi yang tidak tertutup dekat mesin pengelolaan limbah menjadi paving block sebanyak ± 4.000 ton;

“Menimbang, berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, bahwa PT. INDOMINCO MANDIRI memiliki izin untuk Tempat Pembuangan Sementara (TPS) sedangkan untuk izin pengelolaan limbahnya hanya 15% saja;

“Menimbang, berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, bahwa dalam proses pembangunan PLTU PT. INDOMINCO MANDIRI sebelumnya ada dilakukan study kelayakan serta study lingkungan dan pada tahun 2010 sebelum PLTU Jadi PT. INDOMINCO MANDIRI sudah mengajukan izin pemanfaatan Limbah B3 namun izin tersebut keluar pada tahun 2014;

“Menimbang, berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, bahwa Tumpukan Fly ash dan Bottom ash ditempatkan diluar tersebut karena akan dimanfaatkan sebagai bahan pembuat Paving Block agar jarak pengangkutannya dekat, namun hasil produksi dengan pengunaan bahan bakunya tidak seimbang, sehingga terjadilah penumpukan;

“Menimbang, berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, bahwa tumpukan limbah B3 Fly ash dan Bottom ash di areal / lokasi yang tidak tertutup di dekat mesin pengelolaan limbah menjadi paving block sebanyak ± 4.000 ton tersebut tidak mempunyai ijin TPS dari pejabat yang berwenang;

“Menimbang, bahwa berdasarkan bukti surat berupa hasil Analisa Laboratorium PT. ALS Indonesia Nomor ... , tanggal 25 Februari 2016 terhadap limbah B3 PT. INDOMINCO MANDIRI mengandung FLY ASH DAN BOTTOM ASH sebagai limbah B3 dari sumber spesifik khusus sesuai peraturan PERATURAN PEMERINTAH Nomor 101 tentang Pengelolaan Limbah B3;

“Menimbang, bahwa berdasarkan uraian-uraian diatas, Majelis Hakim menilai, unsur kedua ‘Melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin’, telah terpenuhi;

“Menimbang, bahwa oleh karena semua unsur dari Pasal 104 jo. Pasal 116 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah terpenuhi, maka Terdakwa haruslah dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan alternatif kedua;

“Menimbang, bahwa terhadap pembelaan Penasihat Hukum Terdakwa yang menyatakan fly ash dan bottom ash dari PLTU PT. Indominco Mandiri bukanlah tergolong limbah B3, tidak berbahaya, dan tidak mencemari berdasarkan hasil penelitian mandiri yang dilakukan oleh Terdakwa, Majelis Hakim menilai tindak pidana yang dimaksud dalam peraturan perundang-undangan Indonesia masih memasukkan limbah B3 fly ash dan bottom ash sebagai limbah B3. Hal ini sesuai dengan bukti surat sebagaimana telah dipertimbangkan sebelumnya, yaitu hasil Analisa Laboratorium PT. ALS Indonesia Nomor ... ,tanggal 25 Februari 2016 terhadap limbah B3 PT. INDOMINCO MANDIRI mengandung FLY ASH DAN BOTTOM ASH sebagai limbah B3 dari sumber spesifik khusus sesuai peraturan PERATURAN PEMERINTAH Nomor 101 tentang Pengelolaan Limbah B3;

“Menimbang, bahwa dalam persidangan, Majelis Hakim tidak menemukan hal-hal yang dapat menghapuskan pertanggung-jawaban pidana, baik sebagai alasan pembenar dan atau alasan pemaaf, maka Terdakwa harus mempertanggung-jawabkan perbuatannya;

“Menimbang, bahwa oleh karena Terdakwa adalah korporasi dan Terdakwa mampu bertanggung jawab, maka sesuai ketentuan Pasal 104 jo. Pasal 116 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan ketentuan Pasal 28 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 13 Tahun 2016, maka atas pidana denda yang akan dijatuhkan memiliki ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak putusan ini berkekuatan hukum tetap, maka harta benda Terdakwa PT. INDOMINCO MANDIRI disita dan dilelang untuk membayar sejumlah denda tersebut;

“Menimbang, bahwa terhadap perbuatan Terdakwa, Majelis Hakim menilai bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 119 huruf c Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan ketentuan Pasal 33 Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 13 Tahun 2016, maka Majelis Hakim akan menjatuhkan pidana tambahan agar Terdakwa melakukan perbaikan akibat tindak pidana tersebut yaitu menghukum Terdakwa untuk melakukan pengelolaan / pemanfaatan Limbah B3 berupa timbunan limbah B3 fly ash dan bottom ash di dekat pembuatan paving block pada titik koordinat Latitude : ... , Longitude : ... pada area PLTU PT. Indominco Mandiri sebanyak ± 4.000 ton secara mandiri dan dengan kontrak kerja dengan perusahaan yang berizin;

“Menimbang, bahwa untuk menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa, maka perlu dipertimbangkan terlebih dahulu keadaan yang memberatkan dan yang meringankan Terdakwa;

Keadaan yang memberatkan:

- Perbuatan Terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup yang baik;

- Bahaya dari Limbah B3 fly ash / bottom ash yang dapat merusak / mengganggu lingkungan / kesehatan mahluk hidup;

Keadaan yang meringankan:

- Terdakwa belum pernah dihukum;

- Terdakwa mengakui perbuatan melakukan perbuatannya;

- Terdakwa telah melakukan pengelolaan / pemanfaatan Limbah B3 berupa fly ash / bottom ash secara mandiri dengan diolah menjadi paving block, serta melakukan pengelolaan / pemanfaatan Limbah B3 berupa fly ash / bottom ash dengan kontrak kerja melalui pihak ketiga yaitu PT. Holcim dan PT. Pengelolaan Limbah Kutai Kartanegara;

- Terdakwa melakukan perbuatan dumping limbah B3 fly ash / bottom ash di area / lokasi yang tidak berijin yang telah dipersiapkan dengan lapisan clay (tanah liat) yang tidak mudah menyerap air dan dilengkapi dengan saluran parit yang alirannya menuju station point (penggelolaan air limbah);

- Terdakwa melakukan dumping limbah B3 fly ash dan bottom ash ke lokasi yang tidak berijin dikarenakan TPS yang berijin over capacity antara hasil pembakaran batubara berupa limbah B3 fly ash dan bottom ash dengan pengelolaan limbah B3 fly ash dan bottom ash sehingga ditempatkan sementara di TPS tidak berijin untuk lebih mendekatkan dengan lokasi pengelolaan limbah B3 yaitu pabrik pengolahan paving block.

M E N G A D I L I :

1. Menyatakan Terdakwa PT. INDOMINCO MANDIRI terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ‘Melakukan dumping limbah tanpa izin’ sebagaimana dakwaan Kedua;

2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa PT. INDOMINCO MANDIRI oleh karena itu dengan pidana denda sebesar Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak putusan ini berkekuatan hukum tetap, maka harta benda Terdakwa PT. INDOMINCO MANDIRI disita dan dilelang untuk membayar sejumlah denda tersebut;

3. Menghukum Terdakwa untuk melakukan pengelolaan / pemanfaatan Limbah B3 berupa timbunan limbah B3 fly ash dan bottom ash di dekat pembuatan paving block pada titik koordinat Latitude : ... , Longitude : ... pada area PLTU PT. Indominco Mandiri sebanyak ± 4.000 ton secara mandiri dan dengan kontrak kerja dengan perusahaan yang berizin.”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.