Swasembaya Nasib dengan Cara Berdikari, Berdiri di Atas Kaki Sendiri

ARTIKEL HUKUM

Rakyat Perlu Swadaya Hidupkan Pelita Ketika Pemerintah Menutupi Mentari dengan Kekelaman dan Kegelapan Undang-Undang

Pemerintah mengharapkan serta menuntut rakyatnya untuk patuh dan taat terhadap hukum, sementara pemerintah menjadikan Undang-Undang sebagai “law as a tool of crime” (perfect crime)—penulis menyebutnya sebagai “TELADAN YANG BURUK”. Ternyata, seorang Kepala Negara yang tampak sangat “santun”, bisa sangat tidak “pro” terhadap kalangan rakyat kecil bernama “buruh”. Setidaknya itulah pelajaran pertama yang kita dapatkan dari pengalaman yang terjadi seputar problematik dan fenomena ketata-negaraan kita di Indonesia. Calon presiden yang tampak “ketus” dan “nyeleneh” gaya berbicara serta orasinya, alias tidak ramah (unfriendly), bisa jadi lebih “pro” terhadap kalangan rakyat banyak.

Menurut para pembaca, ketika seorang penguasa ataupun pengusaha, meski tampak santun dan ramah kepada pihak eksternal, namun anak buahnya bersikap arogan terhadap warga demi kepentingan sang majikan dan dibiarkan bersikap demikian atau bahkan atas perintah sang atasan, maka apakah sang penguasa ataupun sang pengusaha masih dapat dikatakan sebagai “berwajah asli” santun, lembut, dan ramah?

Ketika Presiden Jokowi Dodo berkuasa sebagai Kepala Pemerintahan di Indonesia, terbit dan disahkan Undang-Undang tentang Penggembosan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang diberi label “Penguatan KPK” dengan “downgrade” dari fungsi penindakan menjadi fungsi pencegahan lengkap dengan syarat izin untuk penyadapan, terbit pula Undang-Undang “Sapu Jagat” Omnibus Law, sang presiden membiarkan anak buahnya “memukul mundur” mahasiswa dan kalangan buruh yang berdemonstrasi menolak pengesahan dan pemberlakuan Undang-Undang yang dinilai tidak “pro” terhadap rakyat, maka apakah benar, “wajah asli” sang Kepala Negara adalah seorang yang santun, saleh, penyabar, lembut, pemurah, baik hati, dan “suci” bak malaikat yang turun dari kahyangan?

Sang Presiden mungkin akan berkilah, “Bukan saya yang memukul-mundur mahasiswa-mahasiswa ataupun buruh-buruh yang berdemonstrasi di luar itu! Lebih baik saya duduk di tempat yang sejuk ber-AC”; maka kita berhak untuk menanggapi, “Ya, namun Bapak Presiden juga yang membiarkan dan tidak melarang anak buah Bapak untuk melawan rakyat sipil, seolah Bapak menikmati tontonan demikian dari balik layar berita di televisi, lewat siap diam Bapak.” Tanggung jawab majikan, secara hukum maupun secara moril, itulah pesan yang hendak kita tangkap dari berbagai kejadian dan fenomena “negara yang demikian penuh jarak dari rakyatnya sendiri”, itulah yang menjadi “wajah asli” seseorang penguasa atau pengusaha.

Kini kita masuk pada topik bahasan utama kita, yakni ketika pemerintah Republik Indonesia tampak tidak lagi “pro” terhadap kesejahteraan kalangan Buruh dan Pekerja penerima Upah, dengan memberikan “karpet merah” kalangan pengusaha bermodal besar dengan membonceng alasan “banyaknya usaha ‘startup’ yang butuh tenaga kerja namun modal terbatas”. Adapun yang sebenarnya terjadi, berdasarkan observasi pribadi penulis, ‘startup’ bermodal lemah tidak pernah membutuhkan tenaga kerja terlebih memusingkan masalah pesangon pegawai, hanya pengusaha bermodal besar yang merekrut tenaga kerja secara masif dan disaat bersamaan mengeksploitasi tenaga serta keringat Buruh.

Hak atas pesangon ialah bicara perihal dimasa mendatang lama setelah puluhan tahun operasional. Apakah selamanya ‘startup’ akan berstatus ‘startup’ sekalipun telah belasan hingga puluhan tahun beroperasional? Sama artinya pemerintah menciptakan “kegaduhan sosial” dikala wabah sedang merebak demikian ganasnya (apa urgensi penerbitan Undang-Undang ini? Mengapa pemerintah tidak fokus menangani wabah agar ekonomi cepat pulih dan bangkit kembali bila memang pemerintah “pro” terhadap rakyat?), tidak sinkron terhadap kenyataan dimana Buruh yang berdemonstasi sebelum dan setelah Undang-Undang disahkan dimana juga tiada sejarahnya UKM (usaha kecil menengah) yang berdemonstrasi menuntut diterbitkannya Undang-Undang semacam ini, serta tidak sinkron terhadap klaim pemerintah bahwa pengurangan besaran pesangon ialah untuk kepentingan pengusaha UKM, dimana kenyataannya kita ketahui pelaku usaha UKM tidak pernah mengikat pekerjanya dengan perjanjian kerja secara formal (terlebih bicara pesangon) namun selalu diposisikan sebagai buruh informal mengingat hanya perusahaan bermodal besar dengan ribuan pegawai yang secara formil mempekerjakan pekerjanya sehingga menimbulkan konsekuensi pesangon.

Artinya pula dari berbagai fakta empirik demikian, hanya pengusaha bermodal besar dengan ribuan pegawai yang paling menikmati “amputasi kewajiban besaran pesangon”, yang sama artinya pula profesi Buruh dan Pekerja / Pegawai bukan lagi profesi yang “worthed” untuk dipilih terlebih untuk ditekuni sampai akhir hayat seorang insan manusia yang mampu berdarah dan merasakan rasa sakit di perut karena kelaparan. Pesangon yang hanya sejumlah empat puluh bulan, sebagai contoh, hanya cukup untuk menghidupi ekuivalen kurang dari empat tahun biaya hidup, yang artinya ketika seorang pegawai dipensiunkan pada usia 55 tahun, maka dirinya akan terjerat kemiskinan akut paska memasuki usia 59 tahun—ini pun masih hendak diamputasi keberlakuan norma besaran pengason lewat “Omnibus Law”.

Dari sejarah sengketa ketenagakerjaan di Pengadilan Hubungan Industrial, hanya perusahaan-perusahaan yang tergolong bermodal besar (perusahaan formal, sementara UKM rata-rata perusahaan informal) yang memiliki sengketa terkait pesangon, karena pekerjanya diikat secara formal dengan perjanjian kerja. Hampir tidak terdapat pelaku usaha UKM yang digugat pegawainya karena masalah pesangon, karena realitanya UKM tidak pernah mengangkat pekerjanya dengan secara formal sebagai pegawai tetap terlebih pegawai kontrak yang mensyaratkan surat perjanjian tertulis. Karena tiada formalitas pengangkatan tenaga kerja, artinya UKM tidak pernah dipusingkan masalah pesangon.

Fakta empirik tersebut tidak dapat lagi dibantah dan tidak terbantahkan, sehingga seketika itu juga mementahkan segala alibi pemerintah dalam niatnya mengesahkan rancangan Undang-Undang “Sapu Jagat” ini yang tampaknya ialah untuk memanipulasi lewat “mengalihkan isu” kepada hal-hal lain diluar isu ketenagakerjaan yang juga diatur didalamnya. Bayangkan apa jadinya bila pemerintah memasukkan norma hukum yang sama ke dalam revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan, amuk massal tidak terelakkan, sehingga dipilihlah opsi seolah-olah norma-norma demikian hanyalah sisipan dan susupan belaka yang hanya sedikit nila dari Undang-Undang “Omnibus Law” guna meminimalisir resistensi publik. Namun pemerintah tampaknya lupa, norma hukum ketenagakerjaan selalu merupakan norma hukum yang sensitif karena terkait nafkah dan hajat hidup orang banyak.

Contoh, bagaimana cara membuktikan seseorang Buruh memang pernah bekerja selama puluhan tahun, sementara puluhan tahun bekerja dirinya tanpa pernah diberikan surat perjanjian kerja dan tanpa pula slip gaji dari perusahaan? Ditambah kemelut daya tawar yang lemah dari kalangan Buruh, mengakibatkan tiada negosiasi apapun yang dibuka ruangnya oleh pihak pelaku usaha, selain ruang negosiasi formalistis yang semu dan penuh kepalsuan karena secara politis terdapat komunikasi nonverbal : “JIka Anda meminta dan menuntut terlampau banyak, maka masih banyak yang mengantri di luar sana. Jika Anda menjual murah diri Anda, bahkan menggadaikan diri Anda kepada perusahaan bila perlu, kemungkinan andalah yang akan lolos seleksi.”

“Menggadaikan anak-anak muda negara kepada investor asing sebagai sapi perahan yang murah”, demikian suara kecemasan kalangan Buruh yang secara puluhan tahun real merasakan asam-pahit realita lapangan (orang lapangan), bukan akademisi yang hidup berliang di “menara gading” namun merasa paling dan lebih mengetahui nasib seorang Buruh. Pihak pemerintah mendalilkan, “Omnibus Law” dibentuk demi mendukung UKM (usaha kecil dan menengah). Sekali lagi, pesangon bicara perihal konsekuensi di masa mendatang ketika telah belasan dan puluhan tahun beroperasional. Apakah seorang pengusaha UKM, selamanya hendak menjadi UKM? Ini sama artinya pembodohan terhadap publik, menurut hemat penulis secara pribadi.

Pada gilirannya, timbul “mega distrust” alias ketidak-percayaan sekaligus kekecewaan publik terhadap pemerintahnya, dan disaat bersamaan menciptakan resistensi publik terhadap program-program pemerintah, yang pada gilirannya menciptakan efek domino berupa pembangkangan publik terhadap berbagai himbauan pemerintah terkait penanganan wabah, yang pada giliran selanjutnya ialah fenomena saling sandera dan saling tidak-percaya antara pemerintah dan rakyatnya sehingga motor negara “mandek” dan jalan di tempat. Itulah kelemahan utama demokrasi, mandat yang diberikan oleh rakyat tidak dapat sewaktu-waktu dicabut kembali oleh rakyat, rakyat tersandera selama lima tahun hanya akibat satu hari membuat kekeliruan pada “pesta demokrasi” berbiaya mahal.

Efek berantainya sangat panjang, terutama “kegaduhan hukum”, dengan munculnya berbagai upaya uji materiil terhadap Undang-Undang dimaksud, belum lagi dirusaknya tatanan asas hukum “Lex Spesialis Derogat Legi Generalis” terhadap Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan. Contoh, ketika “Omnibus Law” bernama Undang-Undang Cipta Kerja ini diterbitkan per tahun 2020, lantas Undang-Undang Ketenagakerjaan yang baru diterbitkan pada tahun 2025, sebagai contoh, norma terkait ketenagakerjaan manakah yang akan berlaku? Timbul perdebatan yang tidak ada ujung pangkal dan tiada ujung akhirnya, sangat kontraproduktif dan tidak berfaedah diwacanakan, yang pada pokoknya ialah akan memboroskan segala sumber daya akibat perdebatan tiada habisnya disamping kebingungan massal bahkan ditengah kalangan Sarjana Hukum dan praktisi tidak terkecuali hakim. Bahkan kelak rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang kemudian disahkan sebagai Undang-Undang pun, akan diklaim pemerintah sebagai “Omnibus Law” mengingat norma di dalamnya mengatur pula norma-norma sudah diatur secara spesifik didalam Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi.

Mungkin memang akan tercipta “New Normal” berupa kian sukarnya kalangan pengusaha mendapatkan pekerja karena tiadanya minat warga untuk melamar pekerjaan kepada pemberi kerja, oleh sebab generasi muda lebih memilih untuk memulai usahanya sendiri seperti yang menjadi fenomena unik baru di Thailand, dimana anak-anak muda Thailand lebih memilih untuk membuka usaha dan berkarir sendiri ketimbang melamar pekerjaan pada perusahaan, mengakibatkan kalangan tenaga kerja meningkat daya tawarnya sehingga pihak pemberi kerja tidak lagi dapat mempermainkan dan menyalah-gunakan daya tawarnya yang selama ini terlampau kuat posisi dominannya.

Masalah utama di republik ini memang ialah “over supply” tenaga kerja yang minim swasembada secara ekonomi. Negara modern mana pun, tidak pernah terjadi “over demand” tenaga kerja, mengingat industri “padat modal” kian hari kian lebih berinvestasi pada tenaga mekanik berupa mesin robotik untuk memproduksi produk dari hulu hingga ke hilir, tanpa pernah menuntut Upah terlebih Pesangon, cukup biaya listrik dan oli pelumas, disaat kesemuanya menjadi otomatisasi dan mekanistik sehingga praktik hanya operator dan tenaga mekanik yang masih menyisakan dan mengadalkan tenaga manusia (labor man power) untuk melakukan perakitan, perawatan, dan perbaikan mesin produksi (maintanance).

Artinya, sekalipun pemerintah menggelar karpet merah dan menggadaikan tanah negara untuk dicengkeram kuat investor asing yang bercokol dengan senang mencetak profit sekalipun setiap tahunnya melaporkan “mencetak rugi” guna menghindari pungutan pajak, pada hakekatnya sifat “padat modal” tidak pernah “padat karya”, sehingga serapan tenaga kerja tidak akan pernah seiring berjalan dengan besaran investasi modal ditanam yang masuk ke Indonesia (logika yang tidak berjalan secara paralel). Sebaliknya, yang kemudian terjadi ialah pelemahan rupiah disamping terhisapnya kekayaan ekonomi bangsa lewat praktik “transfer pricing” alias “profit shifting” yang menjadi sumber utama kemiskinan suatu negara, “patriasi arus dana” terlihat dari tidak pernah menguatnya kurs mata uang Rupiah terhadap valuta asing—yang dapat kita baca sebagai penjajahan secara ekonomi oleh bangsa asing secara terselubung lewat instrumen permodalan.

Lewat berbagai pengalaman buruk mengenyam status sebagai seorang karyawan swasta (jangan samakan dengan Pegawai Negeri Sipil), sebagaimana pula telah penulis rasakan langsung di Indonesia saat baru memulai karir sebagai praktisi hukum yang masih dependen, pada gilirannya mendorong penulis untuk memulai karir sendiri dengan merintis personal brandKonsultan Shietra” dan “hukum-hukum.com”. Bila tiada banyaknya pengalaman pahit yang mendorong penulis untuk “banting setir” dari berstatus karyawan menjadi “self-entrepreneur”, maka penulis bisa jadi tidak akan pernah mengetahui sampai sejauh mana potensi dalam diri penulis yang dapat digali dan dieksplorasi serta ditantang disamping untuk dipacu.

Bila keadaan perburuhan di Tanah Air sebelum terbitnya Undang-Undang “Omnibus Law” telah demikian mendiskreditkan kalangan Buruh dan Pekerja, maka tiada dapat kita bayangkan ketika praktik-praktik ilegal seperti tidak membayar Upah seorang pekerja dihapus norma hukum ancaman sanksi pemidanaan bagi sang pelaku usaha, sama artinya memberikan “angin surga” disamping melegalisasi praktik-praktik penyimpangan yang ada selama ini.

Pada dasarnya, selama ini hanya pekerja sektor formal (perusahaan besar bermodal besar) yang dilindungi oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan. Pekerja-pekerja pada UKM, hampir tidak pernah mendapat sentuhan perlindungan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Ketika Undang-Undang “Omnibus Law” diklaim pemerintah sebagai bentuk penggiatan dan dukungan terhadap pelaku usaha UKM, maka yang sejatinya paling diuntungkan ialah pelaku usaha besar bermodal kuat dengan ribuan tenaga kerja. UKM tidak pernah membutuhkan “Omnibus Law”, karena seluruh pegawai dan pekerjanya diposisikan sebagai tenaga kerja informal, karenanya UKM tidak pernah memusingkan terlebih menganggarkan pesangon.

Pengetahuan seperti demikian, hanya diketahui oleh orang lapangan yang pernah mengenyam pengalaman sebagai pegawai dan pekerja, bukan mereka yang mengaku sebagai akademisi ataupun Aparatur Sipil Negara yang selama ini hanya hidup diatas “menara gading” yang angkuh dan “mati suri” serta “mati rasa”. Undang-Undang “Omnibus Law” menjadi lonceng kematian bagi profesi “Buruh” dan “Pekerja”, serta disaat bersamaan menjadi “angin surga” bagi pemodal kuat dalam negeri maupun investor asing. Kecuali kita menjadikan momen ini sebagai momentum untuk mulai “banting setir” menjadi pengusaha mandiri yang independen dalam mencari nafkah.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.