Surat Kuasa Hibah Tanah, Cukup dengan Akta Notaris, Tidak Wajib Berupa Akta PPAT

LEGAL OPINION

Kiat Hibah Tanah / Rumah secara Sah dengan Akta Notaris di Kota yang lain, Tanpa Akta PPAT

Question: Mengapa tampak aneh sekali, jika wasiat atau hibah wasiat saja boleh cukup dengan akta notaris yang bahkan notaris dari provinsi lain dari kota dimana objek tanah wasiat berada, mengapa untuk hibah tanah ataupun hibah rumah, harus dengan akta PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah)? Apa betul satu akta hibah hanya boleh mengandung satu buah objek hibah?

Jika penghibah memiliki banyak objek yang hendak dihibahkan kepada anak, artinya ada banyak akta hibah, sungguh tidak efisien dari segi anggaran serta biaya. Jika surat wasiat yang berisi banyak objek warisan, boleh cukup dengan satu buah akta notaris, mengapa hibah hanya boleh satu objek per akta hibah dan harus berupa akta PPAT untuk hibah tanah?

Brief Answer: Untuk keperluan proses “balik nama” (peralihan hak atas tanah) di Kantor Pertanahan, memang dipersyaratkan Akta Hibah yang dibuat oleh PPAT, sekalipun itu wasiat ataupun hibah wasiat berbentuk akta notaris, maka Akta Wasiat ataupun Akta Hibah Wasiat tersebut menjadi “alas hak” bagi penerima wasiat ataupun hibah wasiat ketika menghadap PPAT setempat objek hibah berada, untuk keperluan tindak-lanjutnya dibuat akta-akta tindak-lanjutnya guna keperluan permohonan peralihan hak atas tanah kepada Kantor Pertanahan setempat.

Sama halnya seperti Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan maupun Surat Kuasa Menjual Hak Atas Tanah, kesemua itu adalah produk hukum yang diterbitkan oleh seorang notaris, bukan PPAT, bahkan dapat diterbitkan oleh notaris dalam suatu wilayah kerja yang berbeda dengan provinsi dimana letak objek Hak Tanggungan berada ataupun objek hak atas tanah yang akan dijual berada.

Pihak penerima kuasa menjual hak atas tanah ataupun penerima kuasa untuk membebankan Hak Tanggungan, cukup seorang diri dengan berbekal akta Surat Kuasa dari pihak Notaris tersebut datang menghadap PPAT setempat objek tanah disertai dengan dokumen berupa asli sertifikat hak atas tanah, mengajukan permohonan peralihan hak atas tanah ataupun untuk membebankan Hak Tanggungan dengan mengatas-namakan pihak pemberi kuasa.

Karenanya, hibah pun sejatinya dapat dilakukan semata menggunakan Akta Notaris yang tidak merangkap sebagai PPAT (tidak semua notaris merangkap sebagai PPAT di Indonesia), yakni semata dengan memakai Akta Notaris yang berkantor / berpraktik tidak jauh pada domisili Anda, sekalipun objek hak atas tanah berada pada provinsi lain. Selanjutnya, Surat Kuasa Meng-Hibah-kan tersebut dibawa serta oleh penerima hibah disertai asli sertifikat hak atas tanah, menghadap PPAT yang berkantor / berpraktik pada provinsi dimana objek hak atas tanah berlokasi dan berada.

PEMBAHASAN:

Hibah hak atas tanah dan bangunan TIDAK harus dilakukan dengan akta otentik yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), namun proses pendaftaran peralihannya barulah membutuhkan peran PPAT setempat. Karenanya, ketentuan Pasal 37 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah tidak dapat dimaknai secara dangkal. Perhatikan rumusan pasal normatif di bawah ini:

Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Yang SHIETRA & PARTNERS garis-bawahi serta berikan penegasan rumusan pasal di atas, antara lain frasa “peralihan hak atas tanah”, “hibah”, “hanya dapat DIDAFTARKAN”, serta “dengan akta PPAT”. Dengan demikian, konteks dari peran PPAT ialah untuk mendaftarkan hibah pada Kantor Pertanahan setempat, bukan dalam rangka proses menghibahkan itu sendiri dari hulu hingga hilir. Karena, jelas-jelas rumusan pasal di atas memisahkan serta membedakan antara “peralihan hak atas tanah” serta terhadap “DIDAFTARKAN”. Bila memang antara “peralihan hak atas tanah” dan “DIDAFTARKAN” adalah dua konstruksi hukum yang sama dan identik, maka mengapa rumusan redaksionalnya demikian berjenjang dan menggunakan komponen penyusun kata yang majemuk bertingkat?

Sebelum lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, akta hibah harus dibuat dalam bentuk tertulis dari Notaris. Namun disebutkan pula oleh sebagian kalangan, setelah lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tersebut, setiap pemberian hibah tanah dan bangunan SEOLAH harus dan wajib dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)—meski senyatanya keliru atau bahkan menyesatkan publik.

Tanpa mengurai unsur-unsur dari rumusan sebuah pasal, atau tanpa penegasana pada unsur-unsur komponen penyusunnya, membaca redaksional sebuah pasal dapat menjadi masalah tersendiri, karena demikian multi-tafsir disamping resiko mis-persepsi. Cobalah untuk mengulang kembali membaca ketentuan Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 berikut, tanpa memberikan penekanan pada unsur-unsur yang relevan terkait hibah:

“Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Mata para pembaca seringkali tergoda untuk seketika itu juga menyasar frasa “hibah” serta “PPAT”, kemudian membuat lompatan kesimpulan secara prematur. Seringkali, para pembaca norma pada peraturan perundang-undangan semacam rumusan pasal di atas, akan seketika itu juga membuat kesimpulan yang “melompat” semata pada dua komponen unsur rumusan pasal yang paling mencolok, yakni “hibah” dan “PPAT” = “hibah wajib dengan akta PPAT”.

Sementara itu, penegasan atau penekanan terhadap unsur penting terkait dalam rumusan yang ada dalam pasal tersebut itu sendiri, menjadi seolah termarjinalisasi atau tersisihkan dari pandangan, sehingga timbul mis-persepsi seolah hibah hanya mungkin dengan “Akta PPAT”, meski senyatanya dengan Akta Notaris terbuka kemungkinan serta dapat dilakukan, bahkan dengan notaris yang berkantor pada provinsi yang berlainan letak dengan objek hibah.

Berbekal pemahaman atas ketentuan di atas, dapat ditarik kesimpulan secara lebih tepat, bahwa hibah hak atas tanah TIDAK harus dituangkan dalam sebuah akta yang dibuat oleh PPAT, yaitu bernama “Akta Hibah (oleh) PPAT”, sehingga dapat pula berupa “Surat Kuasa Hibah (oleh) Notaris”, dimana keunggulan utamanya ialah lebih fleksibel dari segi tempat atau lokasi (dapat menggunakan notaris yang berlokasi dimana saja ketika pihak pemberi hibah berada dan menetap), yang tidak kaku seperti lingkup wilayah kerja seorang PPAT. Sehingga, bila seseorang warga hendak menghibah harta kekayaannya, maka hibah itu TIDAK wajib dan tidak identik dibuat dalam bentuk “Akta Hibah PPAT”.

PENUTUP DARI SHIETRA & PARTNERS:

Karenanya, persepsi di tengah publik bahwa seolah hibah tanah dan/atau bangunan diatasnya hanya dapat dilakukan dengan “Akta PPAT”, adalah pandangan yang salah-kaprah dan perlu diluruskan. Sebuah akta notaris perihal “Surat Kuasa Hibah”, sama halnya seperti sebuah “Akta PPAT”, yakni dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi yang biasanya pegawai dari PPAT maupun Notaris bersangkutan, sekalipun eksekusi akhirnya memang perlu keterlibatan PPAT setempat.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.