SEPELE dan MEREMEHKAN, Ciri Utama Pelaku Aksi Bullying

ARTIKEL HUKUM

Bangsa yang Gemar Menyepelekan dan Meremehkan PERBUATAN BURUK TERCELA, Menjelma TERBIASA dan BERKUBANG dalam KEJAHATAN

Tidaklah mengherankan bila di Indonesia, tidak sedikit warga yang tidak mengenakan masker dikala wabah merebak, dan sekalipun korban jiwanya telah cukup banyak disamping kerugian ekonomi korban maupun ekonomi negara. Akibatnya, pandemik kian berlarut-larut, kian “menggurita”, dan pada gilirannya menjadikan satu negara beserta segenap rakyatnya sebagai korban imbas dari “efek domino”-nya. Tidak mengenakan masker, apakah “sepele” (dikala wabah)? Sepele bagi siapa, jika bukan di mata para pelanggar “protokol kesehatan”—dan disaat bersamaan tidak akan pernah “sepele” di mata korbannya.

Sekalipun mereka telah diberikan penyuluhan dan mengetahui bahwa wabah menular lewat respirasi mulut dan hidung, karenanya penting mengenakan masker agar tidak merugikan diri sendiri terlebih mengancam keselamatan orang lain, namun semata karena sikap “telah terbiasa meremehkan” serta “gemar menyepelekan” perbuatan yang tergolong jahat demikian (karena dapat mematikan), alhasil budaya “gemar menyepelekan” demikian kini memakan korban dengan harga mahal yang harus kita bayarkan. Gemar menabung, sekalipun “recehan”, dengan tidak menyepelekan sikap rajin menabung “receh”, pada akhirnya menjadi gunung juga. Akibat gemar menabung (sekaligus menyepelekan) “dosa kecil”, pada gilirannya menumpuk menjelma “dosa besar”.

Untuk menguji apakah para pembaca termasuk satu diantara warga kita di Indonesia ini yang menderita penyakit mental “suka meremehkan dan menyepelekan perbuatan jahat” (bila tidak dapat kita sebut sebagai “gangguan mental”), kisah inspiratif yang pernah penulis simak meski tidak diketahui benar-benar pernah terjadi atau tidaknya, dapat menjadi petunjuk berharga guna memahami bahaya dibalik sikap “gemar meremehkan dan menyepelekan” demikian.

Alkisah, seseorang yang telah tua renta hendak menikmati masa pensiunnya, karena sudah berusia lanjut usia, sang kakek hanya mampu beraktivitas duduk sambil berjemur sinar matahari pagi pada pekarangan di halaman kediaman rumah tempat tinggalnya. Ketika rombongan anak-anak sekolahan lewat di depan kediaman sang kakek, selalu saja bocah-bocah nakal-usil tersebut menjadikan sang kakek sebagai objek “bullying” karena melihat bahwa sang kakek tampaknya telah tidak lagi berdaya untuk melawan dan mengejar sang anak-anak nakal, “Wei itu si Kakek Gila, Kakek Gila, Kakek Gila...!” seru bocah-bocah nakal itu dengan riang gembira, meremehkan perasaan sang korban, seolah menjadi objek permainan dan pelecehan demikian adalah hal yang mengasikkan untuk dilakoni.

Satu hari terjadi demikian, dapat diberi kompromi dan toleransi. Keesokan harinya, kembali terjadi hal serupa, sang kakek dengan tenang ingin hidup damai setelah semasa muda banyak mencicipi asam-pahit kehidupan menghadapi sesama “manusia Indonesia” yang dikenal sebagai “serigala bagi sesamanya” (akibat “salah didik” dan “salah asuh”), duduk tenang berjemur di pekarangan rumah, sampai kembali tiba-tiba melintas anak-anak sekolahan nakal yang sama dengan pagi hari sebelumnya. “Wei itu si Kakek Gila, Kakek Gila, Kakek Gila...! Hahaha, Kakek Gila! Hahaha...

Dua hari, dua kejadian yang buruk, masih dapat “tutup mata” dan “tutup telinga”. Sang kakek masih menjalani kesehariannya secara normal seperti sedia kala. Tiba pada hari ketiga, pagi yang sama, kursi yang sama, belaian lembut sinar matahari yang sama, dan anak-anak bocah nakal yang sama kembali melintas, lengkap dengan celotehan dan cemoohan yang sama seperti hari sebelumnya, “Wei itu si Kakek Gila, Kakek Gila, Kakek Gila...!” Kini, rasanya mulai menyerupai sebuah “mimpi buruk” yang sangat mengganggu serta meresahkan.

Sang kakek tua renta masih dapat menahan diri, mencukupi kesabaran, mengambil nafas panjang sembari mencoba berlapang dada, meski pun jemari tangannya yang ringkih mulai mengurut dada. Hari keempat, terjadi kembali, “Wei itu si Kakek Gila, Kakek Gila, Kakek Gila...!”, sang kakek mulai trauma dan terguncang batinnya, terluka meski tidak dapat terucapkan (dan mungkin hanya sang kakek yang memahami betul luka perasaan yang dialami olehnya). Hari kelima, hari keenam, hari ketujuh, hingga berminggu dan berbulan-bulan kemudian, tetap terjadi rutinitas yang serupa, seolah telah menjadi menu sehari-hari, anak nakal yang sama dengan celotehan yang sama “Wei itu si Kakek Gila, Kakek Gila, Kakek Gila...!”

Apakah para pembaca mengetahui, apa yang kemudian terjadi? Pada suatu pagi keesokan harinya, ketika anak-anak nakal itu kembali berangkat sekolah di jalan yang sama dan telah berada dekat dengan kediaman sang kakek serta siap untuk merudung sang tua renta, kakek tersebut ternyata telah mempersiapkan sebongkah batu besar yang dipasang sedemikian rupa, sehingga ketika anak-anak nakal itu melintas di depan kediamannya maka batu tersebut dijatuhkan sehingga menimpa dan mengenai bocah-bocah itu dimana beberapa diantaranya tewas sementara lainnya terluka.

Sang kakek, didakwa karena telah melakukan pembunuhan berencana. Ketika di hadapkan ke persidangan, Jaksa Penuntut Umum berorasi dan mengomentari berikut perihal sang kakek yang kini duduk meringkuk di kursi terdakwa, dengan nada dingin menghakimi, “Terdakwa hanya karena masalah sepele, telah membunuh generasi penerus bangsa kita. Karenanya patut bila Terdakwa dihukum seberat-beratnya demi keadilan bagi keluarga para bocah korban yang tidak bersalah tersebut. Kita semua turut prihatin, hal sepele berujung maut bagi bocah-bocah malang tersebut.”

Apakah ada diantara para pembaca yang seketika itu juga menyadari, sang Jaksa adalah dan hanyalah “pihak ketiga” (outsider) dari kejadian, namun merasa berhak untuk menghakimi warga lain sebagai “hal sepele” (dan disaat bersamaan meremehkan serta menyepelekan perasaan serta derita korban). Dirinya bukanlah pihak korban yang mampu merasakan langsung gonjangan jiwa serta perasaan terluka yang sayangnya berbeda dengan luka fisik luar kulit yang mudah untuk diamati, namun sekadar sebagai “pihak luar” alias pihak eksternal yang sejatinya tidak berhak membuat komentar apapun, terlebih menghakimi korban, karena tugasnya ialah hanya sekadar untuk menuntut, bukan untuk “menghakimi” yang menjadi tugas dan kewenangan seorang hakim.

Jika saja para pembaca adalah sang hakim pemeriksa dan pemutus perkara, maka apakah yang akan menjadi pertimbangan hukum serta vonis hukuman yang paling layak dan paling patut dijatuhkan oleh sang hakim bagi sang terdakwa? Apakah sang Terdakwa, sejatinya adalah “pelaku kejahatan” ataukah “korban kejahatan”? Berdasarkan prinsip “causa prima” sebagaimana teori penalisasi pemidanaan, kejadian terbunuhnya para murid-murid “badung” demikian tidak akan terjadi, bila saja para murid hasil “salah asuhan” tersebut tidak setiap harinya memberikan akumulasi luka pada batin sang tua renta, maka kejadian demikian tidak perlu terjadi.

Beberapa waktu lampau diberitakan, seorang artis Korea Selatan yang terkenal, meninggal dunia karena “suicide” alias “bunuh diri”. Penyebabnya, ditengarai akibat “cyber bullying” para “warga-net” di Korea Selatan. Para pelaku aksi “bullying” dalam media digital kepada sang artis, berkilah dengan menyatakan bahwa komentar dan pendapat mereka adalah “sepele” belaka—“sepele” bagi pelakunya, namun tidak pernah “sepele” bagi pihak korban dan tidak pernah ada kejahatan sekecil apapun yang sifatnya “se-sepele. Seluruh pelaku kejahatan, memiliki satu pola yang sama dalam perspektif ilmu kriminologi, yakni : selalu meremehkan dan menyepelekan akibat dari perbuatannya terhadap korban sekaligus menyepelekan luka serta kerugian dan derita yang dialami oleh sang korban. Apakah seorang pelaku kejahatan, berhak untuk turut pula menghakimi korbannya dengan menyatakan “itu hanya hal SEPELE”?

Kejahatan dan perilaku jahat, tetap adalah perilaku jahat yang membuat derita pihak korban, dan tetaplah TERCELA. Karenanya, tiada perbuatan jahat, sekecil apapun itu, baik disengaja ataupun akibat kelalaian, yang sifatnya tidak tercela sifatnya. Tercela tetaplah tercela, dan tercela adalah hal yang memalukan, dimana hal yang memalukan adalah hal yang serius. Derita ini dapat terakumulasi sifatnya di dalam batin sang korban, sekalipun tampak tidak signifikan dampak satu kali momen kejadian.

Pernah terjadi, pada satu wilayah pemukiman, terdapat seorang pengusaha “serakah tidak takut dosa” yang mengalih-fungsikan fungsi perumahan miliknya secara ilegal menjadi tempat usaha berskala besar, dengan memesan ratusan ojek online (ojol), mobil kontainer, mobil box, hingga kargo berukuran raksasa, setiap harinya, tanpa menyediakan tempat parkir yang patut dan layak, sehingga mengakibatkan jalan umum serta halaman rumah warga setempat dijadikan lahan “parkir liar” oleh kepentingan sang pengusaha “serakah tidak takut dosa”.

Sebulan demikian berlangsung, warga setempat memberi toleransi, sekalipun menjadi terganggu mulai dari berbagai polusi suara hingga sampah dan “polusi sosial” akibat kegiatan usaha ilegal demikian, jalanan rumah warga yang rusak, menjadi sukar untuk keluar-masuk rumah milik warga sendiri, jalan umum yang tersita oleh kendaraan milik sang pengusaha yang parkir liar di jalan umum, bahkan hingga tahap memakai alamat rumah warga setempat ketika memesan “ojol” sehingga “ojol-ojol” tersebut mengganggu warga setempat dengan mengetuk pintu rumah warga yang ternyata dipesan oleh pihak sang pengusaha ilegal (dengan tujuan agar para “ojol” tersebut parkir liar di rumah-rumah warga), sehingga terjadi keresahan bagi warga karena tingkat intensitasnya berlangsung untuk setiap harinya dari pagi hingga menjelang malam, karenanya tidak lagi dapat ditolerir keberadaan praktik ilegal demikian.

Tiada praktik ilegal yang “sepele”, karenanya hukum wajib ditegakkan (sayangnya, pejabat kelurahan setempat justru menjadi “beking” dari sang pengusaha ilegal sekalipun telah dilaporkan oleh warga yang merasa terganggu oleh praktik usaha ilegal demikian). Praktik ilegal adalah kejahatan sekaligus pelanggaran yang sudah sepatutnya ditindak dan ditertibkan. Ketika warga yang tidak lagi dapat bersikap kompromistis karena telah memasuki tahap mengganggu dengan kesabaran yang telah habis, terjadi kericuhan antara sang warga yang menjadi korban terhadap sang pelaku usaha, berujung pada penganiayaan hingga pengeroyokan oleh sang pelaku usaha bersama anak buahnya yang merupakan para pendatang di wilayah pemukiman tersebut, mengakibatkan luka fisik hingga trauma kepada sang warga yang telah tinggal menetap hampir separuh abad lamanya pada kediaman di pemukiman tersebut.

Seorang tukang “ojek online”, secara tidak netral dan tidak objektif, semata karena sering mendapat “order” panggilan oleh sang pengusaha ilegal untuk mengantar barang, juga yang sekaligus paling kerap parkir liar di lingkungan pemukiman tersebut, dengan sengaja tidak memarkirkan kendaraan pada depan gedung sang pengusaha “serakah tidak takut dosa” yang memberikan “order”, namun justru sang “ojol” memarkir tepat di depan pagar rumah warga yang lebih teduh, yang ketika ditegur oleh pemilik rumah atas perilaku tidak etis demikian karena kendaraan roda empat pemilik rumah tidak dapat masuk ke dalam rumah sendiri sekalipun untuk keluar-masuk rumah sendiri adalah hak yang tidak dapat diganggu-gugat pihak luar, justru lebih galak yang ditegur bahkan menantang berkelahi, seolah para “ojol” tersebut yang lebih berhak atas rumah warga penghuni, dimana sang pengusaha “serakah ilegal” yang memanggil para kurir tersebut sama sekali tidak bertanggung-jawab dengan berkata bahwa “suka-suka kurir tersebut parkir liar”, kemudian sang “supir ojol” secara tanpa hati nurani dan secara salah alamat justru menambah luka batin sang warga yang sudah lama bersabar menjadi korban (alih-alih menegur perbuatan kriminal sekaligus ilegal sang pelaku usaha, seolah-olah usaha ilegal bukanlah hal tabu terlebih untuk ditentang dan dicela, seolah-olah korban hanya berhak untuk “diam bungkam dan membisu”), dengan komentar sebagai berikut : “Masalah sepele saja, diributkan. Yang sepele saja diributkan. Saya hajar juga kamu!

Korban disalahkan, pelakunya dijunjung, sungguh rusak moralitas negeri ini. itulah sebabnya dirinya bernasib hingga usia sudah sangat tua hanya dapat sebagai berstatus “driver ojol” yang kastanya tidak lebih tinggi daripada seorang “tukang becak”, bukan sebagai seorang hakim dengan palu di pengadilan. Dirinya bukanlah korban, namun merasa berhak menghakimi korban, dimana status korbannya bahkan “berkasta” lebih tinggi ketimbang sang komentator yang “bak polisi bergaya preman”, bukan pula selaku warga setempat yang merasakan langsung dampaknya, bahkan merupakan salah satu “ojol” yang kerap parkir secara liar pada lingkungan pemukiman tersebut bahkan memarkir kendaraannya tepat pada persimpangan jalan di perempatan jalan sehingga menimbulkan kesukaran arus lalu-lintas ketika hendak melintas karena terjadi “bottleneck”.

Seorang “biadab” hendak mengomentari dan menghakimi warga yang menjadi korban yang jauh lebih berkepentingan atas lingkungan pemukimannya dan lebih intelek serta jauh lebih tinggi “kasta”-nya dari sang “tukang ‘becak besi’”, tidak heran dirinya hanya mampu menunggangi “becak besi butut” yang patut dipandang sebelah mata dan diremehkan sebagai “profesi yang SEPELE”.

Seolah gagal untuk bercermin diri, sang “driver ojol” yang akan sangat berbahaya bila sampai menjabat sebagai hakim bermental “becak besi butut” karena lancang berkomentar dan menghakimi secara tidak netral disamping tidak objektif, dan bahkan juga kerap melanggar ketertiban umum dengan ulah parkir liar di sembarang tempat, sang “SEPELE” merasa berhak menghakimi derita korban selaku warga setempat yang paling berkepentingan atas lingkungan pemukimannya sebagai “SEPELE”, ingin rasanya penulis menyampaikan pada sang “hakim gadungan bermental becak besi” ini : “Hei, tukang becak, singkirkan ini becak butut-mu, mengganggu pemandangan saja. Jika tidak, saya tendang becak butut-mu, ini baru SEPELE bagi saya! Cepat bawa pergi muka SEPELE dan becak BUTUT-mu dari sini. Marah? Hinaan SEPELE seperti ini saja, kamu sudah marah, wahai Tukang Becak?!”—namun tidak penulis lontarkan, karena sudah jelas tabiat Bangsa Indonesia, yakni deretan sifat-karakter bar-bar berikut : “lebih galak yang ditegur”, “premanis”, “aroganis”, “mau menang sendiri”, dan “menyelesaikan segala sesuatu lewat kekerasan fisik”, serta “masih juga yakin serta berharap masuk surga”.

Kini mari kita beralih dari perihal “becak besi”, kembali kepada topik bahasan utama kita perihal “meremehkan” dan “menyepelekan” yang merupakan satu paket tabiat yang keduanya sama-sama bertendensi melecehkan korban—di Indonesia, terdapat budaya komunal-kemasyarakatan yang terbilang sangat “aneh”, yakni alih-alih membela dan menolong seorang warga yang menjadi korban, korban justru kian di-“bully” oleh masyarakat, semata karena seolah-olah “menjadi korban adalah kesalahan”, sementara “mampu menjahati warga lain adalah “keren”).

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat-amat tumpul dari segi hati nurani sekaligus memiliki “sense of justice” yang lebih tumpul lagi. Kecerdasan berkeadilan, “justice quotien” yang dapat disebut sebagai “tiarap”, jika bukan “JQ jongkok”. Penulis adalah Warga Negara Indonesia yang lahir dan tumbuh-besar di Indonesia, karenanya memiliki hak untuk membuat testimoni perihal tabiat dan watak Bangsa Indonesia, yang mana, bila penulis tidak telah terlanjur kepalang basah mendalami ilmu hukum di Indonesia, penulis sudah lama hijrah ke negara tetangga yang lebih beradab seperti Thailand yang lebih “citizen friendly” dimana aksi-aksi semacam “bullying” dapat dikatakan nihil sama sekali.

Seorang hakim, ketika dihadapkan kepada sebuah perkara gugatan, dimana pihak penggugat mendalilkan bahwa dirinya menggugat karena sebuah boneka usang miliknya telah dirusak dan dihilangkan oleh pihak tergugat, karenanya untuk itu menuntut pertanggung-jawaban secara perdata lewat medium gugatan, maka apabila Anda adalah sang hakim pemeriksa dan pemutus perkara, apakah yang akan menjadi putusan Anda?

“Boneka usang”, itu adalah perspektif kita sebagai pihak luar (pihak eksternal). Namun istilah “sepele” tidak pernah berhak kita jadikan komentar bagi pihak diluar diri kita, semisal untuk menghakimi orang lain, seperti menyepelekan sebuah “boneka usang”, dengan berkata kepada sang penggugat di persidangan : “Hanya boneka usang, hal SEPELE, mengapa diributkan ke persidangan? Yang SEPELE saja pakai gugat-menggugat, apakah Anda kurang kerjaan? Apakah Anda berpikir kami para hakim, kurang kerjaan untuk urusan SEPELE semacam gugatan boneka sampah semacam ini?” Sang penggugat menjawab dengan nada santai nan elegan, “Pak Hakim yang tidak patut dihormati, Anda mati pun itu hal SEPELE bagi saya, karenanya juga bukan urusan saya.”

Silahkan saja bila sang hakim ataupun bagi kita selaku “outsider” untuk berpikir dan berasumsi demikian, namun tidak pernah dapat dibenarkan menghakimi orang lain diluar diri kita dengan komentar kata-kata semacam “sepele” dan “menyepelekan”, yang pada pokoknya bernada “meremehkan” perasaan seorang warga yang menjadi korban. Nilai intrinsik boneka peninggalan almarhum nenek dari sang penggugat, tidak ternilai harganya bagi diri pribadi pihak penggugat, sehingga sama sekali bukanlah hal “sepele”—itulah sebabnya, seorang “outsider” sekalipun itu seorang hakim di pengadilan dalam persidangan yang terbuka bagi umum, tidak berhak untuk melontarkan kata-kata semacam frasa “sepele” kepada orang lain diluar diri kita, karena itu sama artinya dengan “penghakiman” (yang secara langsung atau tidak langsung, ialah aksi “bullying” itu sendiri. Itulah sebabnya mengapa, penulis kerap menyebut Bangsa Indonesia ialah bangsa yang amat sangat menggemari perilaku menyakiti perasaan warga lain semacam “bully”).

Faktanya, hakim di persidangan tidak pernah melontarkan kalimat-kalimat ataupun komentar-komentar yang bernama meremehkan ataupun menyepelekan, baik terhadap korban dalam perkara pidana maupun terhadap pihak penggugat dalam perkara perdata—karena itu sama artinya melanggar “Kode Etik Profesi Kehakiman”, dimana tugas hakim ialah untuk “memutus dan mengadili” bukan “menghakimi”.

Contoh, ketika seorang korban pencabulan melapor dan mempidanakan pelaku pencabulan, apakah dapat dibenarkan bagi sang hakim yang kebetulan seorang bergender pria, berkomentar kepada sang korban-pelapor ketika dihadapkan ke persidangan, “Ah, hanya pegang-pegang, raba-raba, dan remas-remas sedikit saja, anggap saja di-service pijat sekaligus pertanda disukai. Coba jika Saudari tidak laku sampai tua, baru Saudari pelapor berhak bersedih dan protes terhadap kehidupan ini.” Komentar atau pendapat bernada tidak simpatik demikian, adalah sama tendensinya dengan bentuk-bentuk meremehkan disamping menyepelekan pengalaman serta perasaan sang korban pelapor. Entah mengapa, sensitifitas “kepekaan” atau “daya prihatin” masyarakat kita di Indonesia, demikian tumpul, namun disaat bersamaan begitu membanggakan diri (yang semu) seolah diri mereka ber-EQ tinggi karena memiliki banyak teman bicara untuk bicara “omong kosong” seharian penuh, yang bagi penulis lebih menyerupai “buang-buang waktu untuk sampah serta tidak produktif”.

Bagaimana pula, ketika sang terdakwa memberikan keterangan di hadapan persidangan dan turut pula didengar oleh korban pelapor dari bangku pengunjung sidang, bahwa : “Yang Mulia Majelis Hakim, saya adalah korban dari kejadian yang SEPELE. Ini tidak adil, hanya karena se-SEPELE meremas-remas, mengelus-elus, dan mencium-cium, saya hendak dipenjara? Jangan sok ‘jual mahal’-lah, tidak empuk-empuk sekali kok, ternyata, kecil pula. Masih untung ada yang mau, seperti perkataan Pak Hakim sebelum ini. Coba, jika tidak laku sampai jadi ‘perawan tua’, barulah ‘menyesal datang terlambat’. Masih untung ada pria yang tergila-gila pada pelapor, bagaimana jika sama sekali tidak laku? Cepat atau lambat juga akan ‘peot’ sendiri, jadi mengapa disia-siakan? Ini hal SEPELE, di kereta api ketika jam pulang kerja, justru kaum wanita yang suka mendesak-desak kaum pria, itu adalah PELECEHAN SEKSUIL, Yang Mulia Majelis Hakim, tapi itu SEPELE saja bagi saya, jadi tidak saya permasalahkan. Demikian pidato pencerahan dari saya, terimakasih atas kesempatannya Yang Mulia Majelis Hakim. I Love You All, para penonton dari bangku pengunjung.” Ruang pengadilan menjelma ajang mimbar umbar kemunafikan yang “seronok”.

Sang hakim, menggut-manggut menyetujui “pidato pencerahan” oleh sang terdakwa yang kini tampil bak agamawan. Sang korban pelapor sontak berdiri dari bangkunya di ruang persidangan, sembari menjerit berkata dengan masih berlinang air mata, “Jadi saya, yang harus berterima-kasih kepada Terdakwa karena telah meluangkan waktunya meremas-remas anggota tubuh saya? Jadi, salah saya sendiri karena saya cantik? Jadi, artinya, ini hanya hal SEPELE?” Sepele bagi kaum pria, namun tidak pernah sepele bagi kaum wanita yang sangat menjaga kehormatan diri.

Bullying”, selalu dimulai dari tidak-pekaan terhadap perasaan orang lain (empati yang tumpul, cerminan EQ yang dangkal, sebanyak apapun kawan maupun komunitas pergaulan sesama ber-EQ tumpul yang mereka miliki, serupa dengan serigala selalu akur dengan sesama serigala namun tidak terhadap seekor kelinci). Ciri utama dari pelaku “bullying”, ialah selalu menampakkan satu pola yang sama, yang kita sebut sebagai sikap-sikap meremehkan serta penyepelekan perbuatan mereka, dan disaat bersamaan meremehkan serta penyepelekan luka serta kerugian dan derita yang diderita oleh sang korban. Pola itulah yang selalu penulis jumpai dalam setiap aksi “bullying”, baik “bully” dalam ruang nyata yang oral sifatnya, maupun dalam ruang maya “cyber bullying” yang tertulis sifatnya.

Dari perspektif ilmu viktimologi demikian, dapat mulai kita pahami, sikap-sikap maupun komentar-komentar bernada menyepelekan bahkan hingga meremehkan dampak yang dialami korban, adalah sama atau setara dengan perbuatan jahat itu sendiri—sama-sama melukai dan mencederai perasaan korban yang telah menderita sebagai korban dimana masih juga di-diskreditkan oleh komentar-komentar yang tidak simpatik serta cenderung menghakimi sekalipun seorang hakim sekalipun tidak benar-benar memiliki hak untuk menghakimi subjek hukum lainnya yang saling setara harkat maupun martabat, terkecuali sang “tukang becak besi butut” yang merupakan kasta terendah yang tidak memiliki hak untuk berkomentar dalam ruang publik mana pun. Tiada perbuatan ilegal yang “sepele”, tiada perbuatan tercela yang “sepele”, sama halnya tiada pelanggaran hukum sekecil apapun yang “sepele”.

Dimana juga menurut cara kerja / prinsip dalam Hukum Karma, sebagaimana sabda Sang Buddha, “Perbuatan besar maupun kecil, terlebih yang jahat dan disengaja, akan berbuah pada pelakunya bahkan menjadi besar meski benihnya kecil ketika dilakukan dengan kesenangan hati.” (selengkapnya dapat dilihat dalam Abhidhamma Pittaka). Karenanya, orang yang benar-benar memiliki SQ yang tinggi, bukan hanya mengklaim sebagai seorang “spiritualis”, tidak akan pernah meremehkan ataupun menyepelekan perasaan orang lain, terlebih derita seorang korban. Mereka yang meremehkan pesan dari Sang Buddha, bahkan masih juga meremehkan komentarnya yang “menyepelekan”, maka siap-siaplah untuk menanggung buah pahitnya yang lebat bermula dari satu benih yang kecil.

Kini, sang “tukang becak besi butut” diusir dari tempatnya biasa mangkal secara liar di perempatan jalan—tentu saja, itu SEPELE di mata penulis pribadi, meski tiada yang lebih memalukan daripada “diusir” karena menyerupai gelandangan yang menjadi “penyakit sosial”. Itulah bukti, tiada yang benar-benar “kebal” terhadap Hukum Karma, sebagaimana tidak lama kemudian sang pengusaha mengalami kebakaran tepat pada tengah malam pada gudang miliknya yang membuat panik warga pemukim yang bersebelahan pada pemukiman tersebut sementara sang pengusaha “ilegal serakah tidak takut dosa” tidur nyenyak pada rumahnya di tempat lain.

Tiada yang benar-benar “kebal” terhadap “Hukum Karma”, itulah pelajaran yang dapat kita petik dalam kesempatan berharga ini, serta hal “sepele” tidak benar-benar dapat disepelekan dampak akibatnya karena selalu dibayangi oleh “KONSEKUENSI”. Orang-orang yang penuh tanggung-jawab, tidak akan pernah menyepelekan apapun, sekecil apapun—dimana itulah ciri paling utama orang-orang yang memiliki watak “penuh bertanggung-jawab”. Sedikit demi sedikit menjadi gunung. Tahukah Anda, orang-orang kaya secara materi selalu memilik satu tabiat yang sama, yakni : tidak pernah meremehkan ataupun menyepelekan nominal uang sekecil apapun, untuk ditabung. Orang-orang “sepele”, dikodratkan untuk selalu hidup dalam jeratan kemiskinan, semata karena kebiasaannya “menyepelekan”.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.