Perbedaan antara PENILAIAN dan PENGHAKIMAN, Vonis artinya Memutlakkan

ARTIKEL HUKUM

“Handwriting is really ‘brain’ writing ... And you can’t fool your brain, no matter how hard you try!” [Mary Ann Matthews]

Sebuah “assesssment”, apapun itu nama dan proses atau metodologinya, baik ujian, tes, konseling, baik itu ujian di sekolah, tes psikologi semacam tes IQ maupun tes minat dan bakat, seleksi masuk perguruan tinggi ataupun seleksi bagi calon pegawai tenaga kerja, kesemua itu hanyalah “alat bantu” atau sarana untuk membuat penilaian secara “garis besar”-nya, tiada “testing” ataupun “assessment” apapun yang sifatnya mutlak karena tidak akan ada “alat ukur” atau “penggaris “yang mampu mengukur “kedalaman”, “kekelaman”, dan tidak terkecuali “kegelapan” disamping “keluhuran” karakter seorang manusia.

Pada “kodrat”-nya, “alat ukur” selalu terbatas dan memiliki keterbatasan sebagai hakekatnya—suatu fakta yang harus selalu kita sadari selalu dalam membuat penilaian terhadap diri sendiri ataupun terhadap orang lain. Contoh, mungkin kita tidak akan lolos pada suatu seleksi dan dianggap tidak dapat menjawab secara benar berbagai pertanyaan pada soal yang diujikan, semacam suguhan soal-soal dalam bentuk pilihan berganda, essai, dsb. Namun, mungkin saja kita mengetahui jauh lebih banyak dari apa yang dipersoalkan dalam pertanyaan yang diujikan pada saat itu.

Celakanya, sebagian orang-orang yang tergolong “jenius” bisa jadi tidak akan kesulitan untuk pertanyaan-pertanyaan ilmu eksakta, namun untuk pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya non-eksakta yang masih terbuka pada ruang perdebatan, kemungkinannya bisa sangat tidak terbatas di mata seorang “jenius” dimana “benar” bagi sang pembuat soal bisa jadi “tidak benar” di mata seorang “jenius”.

Seorang psikopat, bahkan dapat dengan mudah selalu mendapatkan skor tinggi dalam setiap tes apapun yang dijalani olehnya, sukar dideteksi karena dirinya baru hanya akan membuka “wajah asli”-nya terhadap korban sang psikopat, dan akan tampak berperilaku normal-normal saja di depan umum, dimana konon bahkan pasangan hidupnya pun tidak mengetahui bila pasannya menderita “kelainan jiwa” demikian.

Terdapat dua jenis psikopat, yakni “psikopat berdarah dingin” dan “psikopat berdarah panas”. Bila seorang “psikopat berdarah dingin” dapat menjadi pembunuh berdarah-dingin yang menikmati aksi kejahatannya sekalipun jatuh korban jiwa sebagai “tumbal” yang dijadikan target sang pelaku, maka seorang “psikopat berdarah panas” dapat melakukan tindakan yang merugikan dan menyakiti orang lain tanpa rasa bersalah sedikit pun. Mereka biasanya adalah orang-orang dengan kecerdasan diatas tingkat rata-rata orang pada umumnya, namun sayangnya, tumpul dalam hal etika-moralitas dan nurani. Singkatnya, mereka tergolong manusia dengan tipe kepribadian “meng-halal-kan segala cara”.

Beruntunglah penulis belum pernah berhadapan dengan “psikopat berdarah dingin” (dan tidak berminat untuk berjumpa tipe pribadi semacam itu), namun ironisnya penulis seringkali dan dapat dengan mudah berjumpa para “psikopat berdarah panas” di negeri ini di Indonesia—dan sebaiknya sebisa mungkin dihindari orang-orang semacam itu, karena dapat melukai dan merugikan diri kita berulang-kali tanpa rasa bersalah dari pelakunya. Apapun itu, keduanya termasuk dalam kategori orang dengan “penyakit mental” yang berbahaya. Kesan yang akan kita dapatkan, seolah-olah dirinya “mati rasa” karena tidak dapat menaruh prihatin terhadap perasaan sakit dan luka ataupun derita yang dialami oleh orang lain akibat perbuatannya.

Karena sifatnya hanyalah “alat ukur” atau “penggaris” belaka, maka kodrat-nya ialah penilaian “nisbi”, bukan “absolut”, terlebih untuk dapat disebut sebagai sebuah nilai “kemutlakan” yang “mutlak” nilai keakuratan dan kebenarannya. Se-ilmiah dan secanggih apapun metode tersebut, sifatnya tetap saja “kebenaran nisbi” sebagaimana kodrat ilmu pengetahuan paling modern sekalipun, sehingga kebenarannya menjadi bernilai “tentatif” belaka, bukan mutlak nilai keberlakuannya yang tidak dapat lagi dibantah ataupun dipatahkan oleh teori dan penemuan lainnya yang lebih akurat.

Kompetensi, karakter, alam batin, empati, kemampuan merasa dan intuisi, daya pikiran, kebiasaan, latar belakang hidup, visi misi, ideologi diri, haluan hidup, talenta, tendensi, kondisi mental, potensi dalam berpikir abstrak, keterampilan, pengetahuan, ketajaman, semua itu bersifat “tiga dimensi”, yakni kedalaman dan keluasan—karenanya, tiada “alat ukur” mana pun yang terlampau “sempit” untuk mampu mengukur sebuah subjek yang terlampau dalam dan luas, seperti seorang manusia. Penggaris dan alat ukur lainnya, dapat saja mengukur kedangkalan maupun kedalaman lautan, namun seorang manusia bisa jadi lebih dalam dari lautan samudera mana pun, karenanya tiada alat ukur apapun yang bisa mengklaim keakuratannya sampai tidak lagi terbantahkan.

Meski demikian, “alat ukur” bukanlah hal yang perlu ditabukan, dan tetap dibutuhkan untuk keperluan praktis-pragmatis tertentu seperti untuk menentukan penilaian dan pemeringkatan. “Alat ukur” diciptakan sebagai “alat bantu” selayaknya alat-alat bantu lainnya semacam alat-alat pertukangan. Mengukur, bukan artinya sebagai alat untuk menghakimi (seolah “vonis” untuk seumur hidup, “labeling” atau “stigma”)—terdapat perbedaan prinsipil dari konsep keduanya.

“Alat ukur” tidaklah dibentuk dari sejak semula untuk menjadi penentu kemutlakan yang menjurus penghakiman, namun sekadar penilaian pragmatis semata. Dalam derajat tertentu, “alat ukur” sangat menyerupai seorang “paranormal” dalam membaca garis-tangan, sehingga masih terbuka ruang untuk diragukan. Contoh, seseorang anak bisa saja hampir tidak lulus sekolah, lolos dengan nilai yang dipandang “di ujung tanduk” alias “pas-pas-an”. Namun, siapa sangka ketika ia tumbuh besar, dirinyalah yang menjadi lebih menonjol dari segi prestasi hingga pengakuan luas, sehingga mampu “bersinar” bak bintang, baik dari segi keberhasilan karir ketimbang teman-temannya semasa sekolah yang semula dinilai “berprestasi” akademik dan diprediksi akan memiliki karir gemilang dimasa mendatang.

Penilaian tetaplah sebuah penilaian, namun “kedalaman” serta “keluasan” seorang manusia dapat berkata lain dan sebaliknya, bukan ditentukan oleh “vonis” sebuah penilaian, namun yang bersangkutan merasa berdaya untuk mengambil-alih nasibnya sendiri dengan memutuskan untuk menjadi seperti apa dirinya sendiri dimasa mendatang. Determinasi bukan bersumber dari hasil penilaian “alat uji”, namun berangkat dari determinasi dari dalam diri untuk “merubah nasib”, yang kita sebut sebagai perjuangan dan tekad seorang anak manusia.

Apakah Anda percaya, nilai raport ketika penulis bersekolah di masa kanak-kanak hingga remaja, mayoritas “kebakaran” dengan nilai merah? Anak “gagal” menjelma profesional yang dikenal hingga ke seluruh penjuru Indonesia sebagaimana dapat para pembaca saksikan dan buktikan sendiri dalam berbagai ulasan website hukum profesi yang penulis asuh ini—ibarat kisah “the ugly duck”. Siapa “di hari gini:, yang tidak mengenal nama atau brand “Konsultan Shietra” dengan hukum-hukum.com-nya?

“Alat ukur” hanya mengenal “angka”. Sementara itu kedalaman ataupun kedangkalan seorang manusia, mengenal “rasa”. Karena itulah, sebuah “alat ukur” hanya mampu menggambarkan “kuantitas”, namun terbatas dalam mencerminkan tingkat “kualitas” seseorang manusia yang diukur olehnya. Contoh, sebuah danau bisa saja tidak luas, namun bisa jadi sangat dalam. Sebaliknya, sebuah rawa-rawa bisa jadi tidak dalam, dangkal saja, namun rawa-rawa biasanya sangat luas. Terdapat orang-orang yang mudah “ditebak” dan “diukur” kedangkalannya, namun juga terdapat tipe-tipe pribadi orang tertentu yang sangat sukar “ditebak” tendensi dan kecenderungan respons-nya terlebih utuk “diukur”. Seorang jenius, selalu tampak “aneh” dan “nyeleneh” dari segi penampilan, namun siapa yang dapat meremehkan dirinya bila orang-orang telah mengetahui kemampuan sebenarnya dari sang jenius?

Salah satu “alat ukur” untuk menilai dan “mengukur” seorang subjek, ialah ilmu Graphology atau yang juga dikenal dengan istilah “handwriting analysis”, telah menjadi salah satu ilmu pengetahuan berskala global dengan metodologi yang sangat ilmiah dalam mengetahui karakter seseorang lewat tulisan tangannya, dimana tingkat akurasinya tergolong lebih tinggi ketimbang tes-tes psikologi konvensional yang masih bisa “diakali” oleh sang peserta uji. Apakah itu “grafologi”? Merujuk https:// www. handwriting-graphology .com/handwriting-analysis-chart, memberikan definisinya sebagai berikut:

“What is Graphology is the study of human personality through writing. Is a projective personality test, that let you know temperament, genetic factors that lead our behaviours, biological basis, character. Our behavioral habits and reactions character acquired through life based on life experiences.

The present Graphologist is a professional whose formation and ethics is beyond the image that some have of one who ‘predicts’ through a magnifying glass hanging from the neck. It is demonstrated that there is an existing relationship between personality, conducts, intellectual level and volitive level, temper, and character in handwriting.”

Grafologi bukanlah permainan “tebak-tebakan”, mitos, mistik, atau sejenisnya, namun sangat ilmiah dan telah banyak digunakan di negara-negara modern, tidak terkecuali untuk keperluan “linguistic forensic”. Sementara itu Amarnath Mishra dalam paper-nya berjudul “Forensic Graphology: Assessment of Personality”, Amity Institute of Forensic Sciences, Amity University, India, menuliskan abstrak perihal ilmu Grafologi:

“The analysis of handwriting has been studied for almost four hundred years. Forensic graphology is the study of handwriting. It is unique meaning and has many things for the study. Integrative graphology focuses on various strokes and their relation to personality of an individual. Holistic graphology is based on form, movement during writing, and use of space.

“Forensic investigators use handwriting pattern / technology to determine personality traits of an individual. In different agencies use graphology for checking application for jobs, recruitment procedure, compatibility for marriage, career guidance, motivates different employees and child behavior and development.

“In this study we discussed that forensic graphology helps in analyzing handwriting on ransom notes in kidnapping cases or blackmailing letters or in the cases of pen poison letters. It helps in investigation by determining the psychological state of the writer, identifying the writer as well as helping in criminal profiling. The various features of handwriting (such as, spacing, margins, pen pressure, size of the letters etc.) are discussed in this report as well as their significance in describing various behavioral aspects of the persons.”

Kita, bahkan bisa jadi dan besar kemungkinan belum benar-benar memahami siapa diri kita sendiri. Karena itulah, penilaian bisa kita gunakan sebagai alat untuk bercermin diri dalam rangka lebih mengenal dan memahami diri sendiri, baik dari segi watak, bakat, maupun potensi dan tabiat (baik yang positif maupun yang negatif). Daniela Cardenas dalam paper-nya yang berjudul “Handwriting Analysis (Graphology), dapat diakses pada https:// media.lanecc. edu/users/mitchella/rd_wr/Handwriting%20Analysis.pdf, menguraikan hal senada sebagai berikut:

What is Graphology? Handwriting can be a way to understand your personality. Your conscious mind determines WHAT you write and your subconscious mind controls HOW you write.

Personality characteristics can be analyzed by size, pressure, speed, spacing, slant, and over 20 others elements.

How’s it Used?

Personal analysis.

Want to know yourself or people you care about better? You'll be surprised by the insights you will receive.

Criminal cases.

What kind of person committed the crime? Who is telling the truth? Knowing this can help law enforcement determine what they're up against and the type of person sought.

“Poison pen” letters.

How dangerous is that nasty note? What is the nature of the writer? Handwriting analysis can shed light on these questions.

Old letters.

What was Grandpa really like?”

Se-betapa pun tinggi akurasinya metode ilmu Grafologi demikian, dan sudah sangat populer digunakan oleh para para psikologi-forensik di negara-negara maju untuk menemukan pelaku kejahatan lengkap dengan karakternya, tetap saja hanya sebuah “alat ukur” yang memiliki keterbatasannya sendiri. Akan tidak lagi menjadi sekadar “alat bantu” dalam membuat penilaian, “alat bantu” semacam Grafologi sekalipun akan menjelma “menghakimi” ketika tiada dinyatakan bahwa kesimpulan yang ditarik dari “alat bantu” demikian adalah bisa jadi keliru dan tidak akurat sepenuhnya—dimana artinya bisa jadi “meleset” atau terbuka ruang kemungkinan kebenaran yang lain dari yang kita simpulkan lewat teropong “alat bantu” demikian.

Karenanya, penting bagi kita untuk selalu membuat pernyataan bahwa dalam rangka tidak menghakimi yang bisa jadi saja keliru penilaian kita, maka adalah menjadi sebuah keharusan untuk turus-serta disertakan pernyataan yang pada pokoknya menerangkan bahwa tingkat akurasinya tidak mutlak 100% sehingga tetap bisa jadi menyimpang dari kebenaran yang ada, dengan kesalahan analisa serta kesimpulan yang bisa jadi meleset dan tidak mutlak hasil kesimpulannya.

Bila pernyataan lisan ataupun tertulis demikian tidak dinyatakan secara terbuka, maka itu sama artinya memutlakkan atau menjadikan mutlak “alat ukur” yang penuh keterbatasan dan ketidak-sempurnaan ketika mencoba mengukur kedalaman potensi seorang manusia. Memutlakkan hasil kesimpulan dari “alat bantu” yang serba terbatas, sama artinya dengan upaya “PENGHAKIMAN”, bukan lagi sebagai sekadar “PENILAIAN”. Kembali pada kodrat sebuah “alat ukur”, tidak akan pernah mampu mengukur apa yang lebih besar dan lebih tinggi ketimbang “alat ukur” yang serba memiliki keterbatasan tersebut.

Kita dapat menjawab, memang kita tidak mengetahui semua itu dan tidak dapat menjawab soal-soal yang ditanyakan pada suatu ujian, tes, maupun seleksi, namun kita pun perlu untuk turut menyertakan jawaban berikut : “Sayangnya, saya tahu jauh lebih banyak daripada apa yang tidak saya ketahui dari soal-soal ujian tersebut.” Sama halnya, terdapat perbedaan gradual antara “belum bisa” dan “tidak bisa”. Sebuah “alat ukur”, tidak pernah mampu mengukur sebuah talenta ataupun bakat dan potensi, karena sebuah “alat ukur” hanya mengenal logika biner “tidak bisa” dan “bisa”, tiada “belum bisa” ataupun semacam “semestinya bisa” atau bahkan seperti “dahulu bisa kini tidak bisa”.

Jangan tanyakan perihal terminologi dunia otomotif kepada seorang ahli dibidang botani, begitupula sebaliknya. Seorang pakar “body language” maupun ahli Grafologi, tidak pernah menyatakan terlebih mengklaim tingkat akurasi ilmu pengetahuannya tersebut adalah mutlak akurat 100%. Para peneliti Grafologi bahkan hanya memberi angka akurasi Grafologi pada angka sekitar 80%-an, yang artinya terdapat belasan persen ketidak-akuratan sebagaimana yakin pun sang Grafologis dalam membuat “assessment”. Bila ada diantara para pembaca yang mempertanyakan perihal cara berternak satwa kepada penulis, maka itu adalah pertanyaan yang “salah alamat”—dalam hal ini yang sejatinya “bodoh” adalah orang yang bertanya, bukan orang yang ditanyakan.

Penulis secara pribadi mendalami sedikit ilmu Grafologi ini, yang memang tampak “ajaib” dan dapat mengejutkan diri kita yang mempelajarinya, serta takjub akan tingkat akurasinya—sekali, sekali lagi, tidak akurat hingga 100%. Banyak masyarakat awam yang meragukan, namun lebih banyak pula mereka yang menjadi pakar linguistik dan psikologi yang mengakui keunggulan metoda dan akurasinya. Mereka yang apatis, seringkali adalah pihak-pihak dengan dua kemungkinan : Pertama, belum pernah bersentuhan dengan metode ilmiah Grafologi. Kedua, karakter yang bersangkutan ditemukan (di-“vonis”) memiliki banyak “cacat” sebagai hasil penilaian, sehingga bersikap “defensif” dengan secara serta-merta menolak akurasinya.

Dalam pengamatan dan pengalaman penulis pribadi, Grafologi sangat tinggi akurasinya dalam membuat penilaian, bahkan dapat membuat kita belajar “self teraphy” dengan mengubah cara serta kebiasaan kita menuliskan bentuk tulisan tangan kita dalam keseharian. Kita dapat mengubah nasib diri kita, ketika kita telah paham benar siapa diri kita sendiri, demikian pepatah berkata. Sun Tzu dalam buku “strategi perang”-nya bahkan menyebutkan, untuk memenangkan pertarungan, dua hal yang perlu kita lakukan, yakni : Pertama, mengenal kelebihan dan kelemahan lawan. Kedua, mengenal kelebihan serta kelemahan diri sendiri.

Hanya saja, yang perlu kita tegaskan di sini, memahami “alat ukur” apapun, tidak terkecuali Grafologi, ialah sebatas menilai diri sendiri ataupun orang lain dengan cukup kita ketahui oleh diri kita sendiri hasil kesimpulannya, tanpa atau tidak perlu sampai membuat pernyataan kepada orang-orang lainnya mengenai hasil penilaian kita terhadap seseorang yang kita nilai—karena itu namanya “PENGHAKIMAN”.

Mungkin inilah yang disebut sebagai era “tidak main hakim sendiri”, mengingat sebuah “penghakiman” acapkali akan menjurus kepada sebuah “stigmatisasi” yang sifatnya ialah “memutlakkan apa yang tidak mutlak”. Mengetahui cukup untuk diri kita sendiri mengetahui hasil penilaiannya, tidak perlu kita membuatnya menjadi terbuka bagi umum, semata agar tidak “menghakimi”. Kita bukanlah seorang hakim yang memiliki kewenangan untuk menjatuhkan “vonis” untuk orang lain, demikianlah kita perlu mengingatnya selalu agar tidak disebut sebagai “arogansi sok tahu”—sekalipun kita mungkin saja benar-benar tahu dan menguasai metoda pemakaian “alat ukur” dimaksud.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.