Peralihan Hak Dahulu ataukah Pendaftaran Hak Atas Tanah Terlebih Dahulu ke Kantor Pertanahan?

LEGAL OPINION

Pertanyaan Paling Membingungkan dan Paling Penuh Teka-Teki Ketidakpastian dalam Hukum Pertanahan di Indonesia

Question: Sebenarnya kapan kepemilikan tanah itu beralih dari penjual kepada pihak pembeli rumah, saat Akta Jual-Beli (AJB) telah dibuatkan oleh pihak PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) atau saat itu AJB sudah dikirim ke BPN (Badan Pertanahan Nasional) untuk balik-nama?

Brief Answer: Perihal kapankah suatu peralihan hak atas tanah terjadi, apakah saat dibuatkan akta PPAT ataukah saat didaftarkan ke Kantor Pertanahan, tidak pernah menjadi pertanyaan yang mudah untuk dijawab di Republik Indonesia. Dari segi regulasi dibidang pertanahan, tiada satu pun ketentuan normatif peraturan perundang-undangan yang mengaturnya dan menyebutkannya secara tegas dan eksplisit maupun secara implisit, apakah kepemilikan hak atas tanah telah beralih saat ditanda-tanganinya baik itu Akta Jual-Beli ataukah Akta Hibah, ataukah saat akta-akta tersebut telah didaftarkan kepada pihak Kantor Pertanahan setempat. Akibatnya, hingga saat kini sekalipun sudah sejak lama berlangsung, timbul ketidak-pastian hukum dalam praktik di lapangan, alias serba “ambigu”.

Kesimpang-siuran dan ketidak-samaan persepsi pun terjadi dalam ranah teori ilmu hukum maupun konsepsi teoretik dibidang hukum pertanahan nasional, seolah-olah semua ini berlangsung dan berjalan tanpa suatu “grand design” yang tuntas adanya, yang mana selama ini dibiarkan berjalan tanpa suatu ketegasan, namun semata ambiguitas yang seolah tidak kunjung dibenahi—sekalipun konsepsi perihal “peralihan hak atas tanah” demikian merupakan isu klasik yang tidak kunjung usai seolah pihak regulator selalu “absen” untuk membenahi, serta telah memakan banyak “korban” di tengah-tengah masyarakat, sehingga bukanlah lagi masalah yang dapat dipandang sebelah mata dan perlu di-serius-kan.

PEMBAHASAN:

Carut-marut dalam bidang pertanahan di Indonesia, bersumber atau bermula dari ketidak-tegasan pengaturan dalam rumusan normatif yang digunakan dalam peraturan perundang-undangan dibidang pertanahan itu sendiri. Sebagai pembuka latar-belakang isu hukum klasik sekaligus laten yang tidak pernah mendapat sentuhan perhatian yang serius oleh pihak regulator di Indonesia untuk di de-regulasi, sumber ketidak-jelasan akan lebih kentara ketika kita membaca rumusan redaksional yang “banci” karena seolah mengandung “standar berganda” sebagaimana akan diulas oleh SHIETRA & PARTNERS sebagai berikut.

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) ialah pejabat yang membuat baik AJB maupun Akta Hibah terkait hak atas tanah yang dialihkan serta yang kerap dipakai jasanya untuk “mendaftarkan” peristiwa hukum peralihan hak atas tanah. Yang cukup rancu, ialah sebuah peristiwa “peralihan hak atas tanah” demikian kapankah efektif terjadi dan berlaku secara hukum, pada saat sejak di-akta-kannya peristiwa hukum seperti jual-beli, hibah, tukar-menukar hak atas tanah, ataukah pada saat di-daftarkannya akta-akta tersebut kepada pihak otoritas dibidang pertanahan, dalam hal ini pada Kantor Pertanahan setempat?

Ketika warga hendak mengadakan perbuatan hukum seperti menghibahkan, tukar-menukar, ataupun jual-beli hak atas tanah, maka pihak PPAT akan membuatkan Akta Hibah, Akta Jual-beli, ataupun Akta Tukar-Menukar—dimana seringkali sertifikat asli tidak dipertunjukkan oleh pihak penghadap PPAT, semisal telah dilangsungkan AJB dengan pihak pembeli, sekalipun sertifikat induk belum dipecah dan masih atas nama pihak pengembang (developer) perumahan, sehingga praktik tiada wujud fisik sertifikat hak atas tanah apapun, yang dengan kata lain sebuah akta peralihan hak dapat mendahului keberadaan sebuah asli fisik sertifikat hak atas tanah terkait.

Sebagai contoh, seorang warga hendak menghibahkan sebidang tanah miliknya kepada kerabat atau kepada keturunannya, dimana sekalipun sang warga menghadap PPAT setempat untuk memohon dibuatkan Akta Hibah, tidaklah dapat dibenarkan pihak PPAT menolak untuk membuatkan Akta Hibah bagi sang warga penghadap, semata dengan alasan karena tidak dipertunjukkan asli dokumen berupa asli sertifikat hak atas tanah yang hendak dihibahkan—alias menerapkan “standar ganda” mengingat sebuah AJB tidak pernah mensyaratkan telah adanya sertifikat hak atas tanah, sehingga tidak mengherankan kerap dijumpai tidak sedikitnya warga pemilik perumahan ataupun unit apartemen yang hingga belasan tahun telah membeli, membayar lunas, bahkan menempatinya masih juga belum mengantungi sertifikat tanah / rumah yang dibeli olehnya sekalipun telah dibayar lunas, selain sekadar mengantungi sebuah AJB.

Mengapa? Semata karena meng-akta-kan dan men-daftar-kannya ialah ternyata dua perbuatan hukum yang saling berbeda, saling terpisah, serta saling berdiri sendiri menurut hukum agraria nasional yang berlaku sekaligus yang serba rancu pengaturannya, sehingga bisa saja saat kini dibuatkan Akta Hibah sementara setahun kemudian asli sertifikat dipertunjukkan ke hadapan PPAT setempat untuk dilangsungkan pendaftaran peralihan hak atas tanah (“balik-nama” dari atas nama pemberi hibah keatas nama penerima hibah).

Salah satu norma hukum pertanahan di Indonesia yang dapat mencerminkan betapa rancunya konsep pertanahan kita, ialah dengan merujuk  ketentuan Pasal 37 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang tidak dapat kita maknai secara dangkal, dengan rumusan normatif sebagai berikut:

Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Sebagai konsekuensi dibalik pengaturan yang “rancu” demikian, kemudian dalam praktiknya konsepsi yang serba ambigu di atas ternyawa membawa “efek berantai” berupa membuahkan dampak yang sangat kontraproduktif, yakni ketidak-jelasan masa berlaku sebuah Akta Jual-Beli, ketidak-jelasan kapan masa kadaluarsa sebuah Akta Hibah, dan maupun jenis-jenis akta peralihan hak atas tanah lainnya. Akibatnya, kerap terjadi dan membuka ruang bagi terjadinya “modus” hingga sengketa hukum pertanahan dikemudian hari.

Pada satu sisi, memberikan masa kadaluarsa pada umur sebuah Akta Jual-Beli, dirasakan cukup riskan dan berisiko bagi kalangan konsumen produk properti, mengingat fakta bahwa terdapat demikian banyaknya para pembeli properti yang sekalipun telah membayar lunas properti yang dibeli olehnya seperti apartemen dan kawasan perumahan baru, dimana bahkan telah dibentuk AJB bertahun-tahun lampau, ternyata hingga saat kini belum kunjung juga pihak pengembang (developer) menepati janjinya untuk memberikan sertifikat hak atas tanah atas nama pembelinya yang mana menjadi hak pihak pembeli.

Namun pada sisi lain, kerap muncul pelaku penyalah-guna pengetahuan akan “kekosongan pengaturan hukum” demikian untuk disalah-gunakan, menjelma modus pertahanan yang sangat membahayakan kalangan pembeli hak atas tanah, semisal terjadi jual-beli antara pihak penjual tanah kepada pembeli tanah, dimana kemudian pihak pembeli mendaftarkannya kepada Kantor Pertanahan, selanjutnya terjadi proses “balik-nama” yang menjadikan “peralihan hak atas tanah” tampak menjadi finalisasi dari segala proses peralihan hak atas tanah sekali pennada telah tuntasnya proses yang berlangsung, alias selesai-sempurna.

Akan tetapi, siapa menyangka, ketika pihak pembeli tanah telah menempati rumah yang berdiri di atas tanah yang dibeli olehnya dan telah “balik-nama” ke atas nama dirinya di sertifikat, mendadak muncul pihak-pihak asing tidak dikenal, yang mengaku-ngaku sebagai pemilik tanah yang paling berhak atas tanah tersebut, dimana diri mereka membawa “bekal senjata” berupa dokumen AJB maupun Akta Hibah dengan pencantuman keterangan berupa tanggal pembuatan akta adalah lama jauh sebelum jual-beli paling akhir terjadi oleh sang penghuni baru dari rumah (pembeli terakhir paling belakangan) dan pihak penjual.

Disini, sejatinya tengah terjadi persekongkolan alias komplotan antara pihak penjual dan pihak-pihak yang mengklaim telah memiliki AJB maupun Akta Hibah jauh sebelum ini, namun tidak pernah didaftarkan pada Kantor Pertanahan (sengaja sebagai “jebakan”) ,sehingga berdampak pada sertifikat hak atas tanah masih tercantum atas nama pihak penjual atau pemberi hibah. Ketika dikemudian hari terdapat pembeli yang berminat membeli bidang tanah / rumah dimaksud, maka komplotan demikian akan muncul “secara mendadak” dan tanpa terduga, untuk mencari “mangsa” berupa pihak-pihak yang terjebak dalam perangkap iming-iming tawaran jual-beli tanah / rumah, agar dengan maksud agar dirinya membeli dan kebetulan menjadi pembeli yang paling akhir sebagai “mangsa-sasaran”-nya untuk ditipu dan dirampas haknya.

Gaib-nya, praktik pada Mahkamah Agung di Indonesia, pihak Hakim Agung ketika dihadapkan sebuah perkara gugatan perdata semacam konteks kasus di atas, oleh pihak penggugat yang mendalilkan sebagai telah terlebih dahulu memiliki AJB atas bidang tanah yang sama, seketika itu juga Mahkamah Agung RI membatalkan AJB yang lebih belia dari segi usia, maupun membatalkan “balik-nama” sertifikat yang dimiliki pihak pembeli yang paling belakangan, sekalipun pembeli yang paling belakangan ini tidak sekadar memiliki AJB namun juga telah mendaftarkannya, ternyata pula tetap tidak diberikan perlindungan hukum yang lebih memadai oleh Mahkamah Agung RI, semata dengan alasan AJB milik penggugat telah terlebih dahulu terbit (sekalipun bisa jadi merupakan modus jebakan, semata karena alasan “mengapa tidak pernah didaftarkan ke Kantor Pertanahan untuk “balik-nama”?) yang seolah Mahkamah Agung RI hendak berkata, bahwa peralihan hak dalam Akta Jual-Beli maupun dalam Akta Hibah, kekuatan hukumnya masih lebih tinggi daripada mendaftarkannya kepada pihak otoritas pertanahan, sekalipun sertifikat hak atas tanah merupakan tanda bukti pendaftaran hak atas tanah yang bersifat “kuat” sebagai bukti kepemilikan bagi pihak ketiga, serta sekalipun pendaftaran hak atas tanah sifatnya ialah “finalisasi” tindak-lanjut terhadap sebuah AJB maupun Akta Hibah—dimana kesemua realita demikian sungguh membingungkan disamping membawa ketidak-pastian bagi iklim jual-beli hak atas tanah di tengah masyarakat, sehingga menjelma seperti menyerupai sebuah spekulasi yang tidak memiliki jaminan atau kepastian hukum sekecil apapun oleh negara selaku otoritas serta regulator dibidang pertanahan.

Bila ternyata pemegang AJB semata, yang tidak pernah didaftarkan kepada Kantor Pertanahan untuk di-balik-nama-kan kepada pihak pemegang AJB, adalah lebih kuat kedudukan hukumnya ketimbang pihak-pihak belakangan yang sekalipun telah mendaftarkannya dan justru tidak diberikan perlindungan terlebih kepastian hukum apapun oleh negara, sama artinya republik ini hendak menyampaikan sebuah “bahasa politis” bahwa seolah lebih baik cukup memiliki serta menyimpan AJB serta Akta Hibah tanpa pernah mendaftarkannya, ketimbang resiko kerentanan akibat memiliki AJB ataupun Akta Hibah namun dengan disertai mendaftarkannya untuk proses “balik-nama” hak atas tanah.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.