Keabsahan HIBAH dengan AKTA DIBAWAH TANGAN (Bukan Akta Otentik Notaris)

LEGAL OPINION

HIBAH TANAH DIBAWAH TANGAN, Tanpa Akta Otentik Notaris, TIDAK SAH dan BATAL DEMI HUKUM

Waarmerking Akta Dibawah Tangan Bukanlah Akta Otentik

Question: Apakah hibah bisa lewat akta dibawah tangan yang cukup di-waarmerking pihak notaris? JIka tidak bisa, dan harus lewat akta notaris, apa artinya objek-objek dalam akta dibawah tangan yang sudah terlanjur dibuat ini, yang berisi hibah mobil dan rumah, dianggap tidak pernah dihibahkan sama sekali?

Brief Answer: Dalam “waarmerking”, pihak penghadap yang membuat sendiri dokumen yang di-“waarmerking” oleh pihak notaris. “Waarmerking” itu sendiri artinya pihak notaris membubuhkan keterangan bahwa pihak penghadap menghadap pada tanggal sekian untuk menanda-tangani “akta dibawah tangan” yang dibawa dan telah disiapkan oleh pihak penghadap itu sendiri, sehingga pihak notaris hanya menjamin identitas pihak yang menanda-tangani, tanda-tangan, serta tanggal penanda-tanganan. Namun, dokumen yang dibubuhkan “waarmerking” itu sendiri tetap berstatus sebagai “akta dibawah tangan”, bukan menjelma menjadi berstatus “akta otentik”. “Akta dibawah tangan” selamanya berstatus sebagai “akta dibawah tangan”.

Hukum tidak se-fatalistis itu, dengan seketika menyatakan gugur seutuhnya meski tidak memenuhi syarat sah perjanjian sebagaimana ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, terutama terkait unsur objektif “causa yang sahih”, dengan ancaman “batal demi hukum” (null and void).

Contohnya, bila memang terdapat objek hibah dalam “akta dibawah tangan” demikian, berupa kendaraan bermotor (benda bergerak), maka akta hibah tersebut tetap berlaku sepanjang untuk objek hibah benda bergerak, dimana selebihnya seperti hibah terhadap benda tidak bergerak menjadi gugur, alias “batal separuh isinya” (partial annulment). Singkat kata, hibah kendaraan dalam “akta dibawah tangan” tersebut tetap sah, sementara terkait objek hibah berupa hak atas tanah (benda tidak bergerak) dianggap tidak pernah dihibahkan karena tidak memenuhi syarat sah perjanjian.

PEMBAHASAN:

Waarmerking” merupakan terminologi dalam praktik profesi notaris di Indonesia, tidak sama dengan “legalisir” (yang bermakna fofokopi sesuai asli). Adapun komponen dari pembubuhan “waarmerking” oleh pihak notaris, terdiri dari pencantuman dalam dokumen yang dibubuhkan “waarmerking”, antara lain:

- nomor register sebagaimana dalam buku khusus “waarmerking”;

- pencantuman kalimat : “Melihat dan mengesahkan tanggal dan tanda-tangan dari:

- identitas pihak yang menghadap dan menanda-tangani dokumen yang dibubuhkan “waarmerking”, sebagaimana KTP pihak penghadap;

- keterangan dalam identitas penghadap : “...untuk sementara berada di ...”, bila penghadap menghadap notaris yang berbeda wilayah kota / kabupaten dengan kota / kabupaten dalam alamat KTP pihak penghadap.

- keterangan “Yang menanda-tangani dokumen di hadapan saya, Notaris.

- kota / kabupaten wilayah kerja notaris bersangkutan, dan tanggal;

- tanda-tangan notaris disertai stempel notaris; serta

- nama dan keterangan statusnya sebagai notaris di kabupaten / kota apakah.

Dalam dokumen yang dibubuhkan “waarmerking”, tidak disyaratkan adanya pihak saksi sebagaimana biasanya “akta otentik notaris”. Sementara itu ketentuan mengenai “hibah”, terdapat pengaturannya dalam norma Pasal 1666 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:

“Hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu.”

Kewajiban penggunaan “akta otentik” dalam konteks hibah “benda tidak bergerak”, pengaturannya dapat kita jumpai dalam norma Pasal 1682 KUHPerdata:

“Tiada suatu hibah kecuali yang disebutkan dalam Pasal 1687, dapat, atas ancaman batal, dilakukan selainnya dengan suatu akta notaris, yang aslinya disimpan oleh notaris itu.”

Sementara pengecualian menggunakan “akta otentik” dalam hibah, semisal dalam konteks objek hibah berupa “benda bergerak” semacam kendaraan roda empat ataupun kendaraan roda dua, dimana bahkan hibah semacam ini dapat terjadi secara lisan, pengaturannya dapat kita temukan sebagaimana norma Pasal 1687 KUHPerdata:

“Pemberian-pemberian benda-benda bergerak yang bertubuh atau surat-surat penagihan utang kepada si penunjuk dari tangan satu ke tangan lain, tidak memerlukan suatu akta, dan adalah sah dengan penyerahan belaka kepada si penerima hibah atau kepada seorang pihak ketiga yang menerima pemberian itu atas nama si penerima hibah.”

Kesimpulan dan Penutup dari SHIETRA & PARTNERS:

Suatu hibah bisa jadi mencantumkan objek-objek majemuk didalam akta hibah, berupa benda-benda bergerak dan benda-benda tidak bergerak. Tidak disyaratkan oleh hukum dalam satu akta hibah hanya dapat dicantumkan satu buah objek hibah. Ketika hal demikian terjadi dalam suatu akta hibah yang hanya saja berwujud “akta dibawah tangan”, tidak otomatis seluruh akta hibah tersebut menjadi gugur demi hukum, akan tetapi hanya “batal separuh” (partial annulment) sebatas benda-benda tidak bergerak, sementara hibah terkait benda bergerak didalamnya tetap sah dan berlaku bagi penerima hibah serta mengikat pihak pemberi hibah bila penerima hibah telah menerima pemberian hibah.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.