Hibah Tidak Membutuhkan Izin Ahli Waris ataupun Anak-Anak Penghibah

LEGAL OPINION

Question: Ada Notaris dan PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) yang mensyaratkan persetujuan anak-anak ketika saya hendak mengibahkan salah satu rumah kepada salah satu anak saya. Apa betul ada aturan hukumnya seperti itu? Anehnya, ada Notaris-PPAT lainnya yang tidak memakai syarat semacam itu. Bukankah hibah, sifatnya sepihak dari pemilik barang (penghibah)?

Brief Answer: Itu adalah cara kalangan PPAT yang hendak “bermain aman” (comfort zone) serta “takut direpotkan” oleh sengketa dikemudian hari bila terdapat salah satu atau lebih ahli waris memperkarakan ketika penghibah meninggal dunia, sekalipun peraturan dibidang hukum pertanahan tidak ada kewajiban bagi penghibah untuk meminta persetujuan anak-anaknya, dimana juga Kantor Pertanahan dapat memproses permohonan “balik nama” sertifikat hak atas tanah dari pemberi kepada penerima hibah tanpa dipersyaratkan izin dari anak-anak pemberi hibah.

Hibah dan warisan adalah dua hal yang berbeda, dimana hibah terjadi tatkala pemberi hibah masih hidup, sementara “hibah wasiat” terjadi tatkala pemilik yang meng-“hibah wasiat”-kan telah meninggal dunia dengan meninggalkan suatu kehendak tertulis secara akta otentik berupa wasiat. Warisan dan hukum waris, hanya relevan dalam konteks yang bersangkutan telah meninggal dunia, sehingga sejatinya tiada istilah “ahli waris” sebelum seseorang warga telah betul-betul dinyatakan telah meninggal dunia—sehingga menjadi prematur menyinggung perihal hak-hak “ahli waris” ketika penghibah masih hidup. Hak-hak “ahli waris” atas “legitieme portie” (bagian mutlak atas pembagian harta warisan), adalah urusan nanti yang belakangan ketika penghibah telah meninggal dunia.

Sama halnya seperti ketika kita hendak menjual atau membuat Surat Kuasa Menjual Tanah, tidak terkecuali ketika kita mentransfer sejumlah dana sebagai hadiah ataupun hibah kepada anak ataupun bahkan kepada pihak ekternal (pihak ketiga), tiada kewajiban hukum bagi pemilik tanah ataupun pemilik dana untuk meminta persetujuan anak-anak—mengingat, masing-masing individu adalah subjek hukum yang saling mandiri dan berdiri sendiri, kecuali telah dalam keadaan pailit atau “diampu” dan “terampu” oleh walinya yang biasanya ialah anak-anaknya sendiri.

Begitupula ketika tiada “legitieme portie” para ahli waris yang dirugikan lewat hibah segelintir harta kepada salah satu anak karena anak-anak lainnya masih dapat menunut “hak waris mutlak” dari berbagai harta kekayaan orangtuanya, mengapa juga pihak PPAT masih mensyaratkan izin dari keseluruh anak-anak dari orangtua yang hendak menghibahkan, bilamana tiada satupun syarat demikian pada SOP yang berlaku pada Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk proses hibah?

PEMBAHASAN:

Adapun ketentuan hukum mengenai “hibah”, terdapat pengaturannya dalam norma Pasal 1666 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:

Hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu.”

Dari ketentuan di atas, tampak jelas bahwa hibah merupakan perbuatan hukum sepihak satu arah, semata hak mutlak pihak “si penghibah” tanpa menyertakan izin dari anak-anak ataupun ahli waris. Kewajiban penggunaan “akta otentik” dalam konteks hibah “benda tidak bergerak”, pengaturannya dapat kita jumpai dalam norma Pasal 1682 KUHPerdata:

“Tiada suatu hibah kecuali yang disebutkan dalam Pasal 1687, dapat, atas ancaman batal, dilakukan selainnya dengan suatu akta notaris, yang aslinya disimpan oleh notaris itu.”

Sementara pengecualian menggunakan “akta otentik” dalam hibah, semisal dalam konteks objek hibah berupa “benda bergerak” semacam kendaraan roda empat ataupun kendaraan roda dua, dimana bahkan hibah semacam ini dapat terjadi secara lisan, pengaturannya dapat kita temukan sebagaimana norma Pasal 1687 KUHPerdata:

“Pemberian-pemberian benda-benda bergerak yang bertubuh atau surat-surat penagihan utang kepada si penunjuk dari tangan satu ke tangan lain, tidak memerlukan suatu akta, dan adalah sah dengan penyerahan belaka kepada si penerima hibah atau kepada seorang pihak ketiga yang menerima pemberian itu atas nama si penerima hibah.”

Sementara yang dikhawatirkan oleh kalangan PPAT ketika menghadap seseorang warga yang hendak membuat Akta Hibah, ialah sebuah “praduga buruk” (presumption of default, atau suatu asas “prudent”) alih-alih menerapkan asas “praduga itikad baik”, sekalipun norma hukum terkait waris (salah satunya perihal “legitieme portie”, alias hak minimum masing-masing ahli waris yang tidak dapat dikurangi oleh pemberi warisan) sejatinya baru akan terjadi dijauh hari ketika penghibah meninggal dunia, yang artinya juga menjadi tidak rasional bila pemberi hibah ternyata masih tergolong berusia relatif muda atau hanya memiliki anak-anak yang masih dibawah umur.

Pasal 611 KUHPerdata:

Cara memperoleh hak milik karena perwarisan menurut undang-undang atau menurut surat wasiat, akan dibicarakan dalam bab keduabelas dan ketigabelas buku ini.

Pasal 830 KUHPerdata:

Perwarisan hanya berlangsung karena kematian.

Pasal 832 KUHPerdata:

Menurut undang-undang yang berhak untuk menjadi ahli waris ialah, para keluarga sedarah, baik sah, maupun luar kawin dan si suami atau istri yang hidup terlama, semua menurut peraturan yang tertera di bawah ini.” [Note SHIETRA & PARTNERS : Perihal “luar kawin”, tidak lagi dianggap sebagai ahli waris sejak diterbitkannya Undang-Undang Perkawinan. Dapat pula dimaknai, bukan hanya istri di-“luar kawin” yang tidak tergolong sebagai ahli waris, anak di-“luar kawin” sekalipun tidak dapat digolongkan sebagai ahli waris, mengingat KUHPerdata dibentuk jauh sebelum Undang-Undang tentang Perkawinan diterbitkan Indonesia.]

Adapun kekhawatiran kalangan PPAT dalam membuat Akta Hibah, terutama berkaitan terhadap “bagian mutlak” alias “legitieme portie” dan pengurangan dari tiap-tiap pemberian yang kiranya akan mengurangkan bagian mutlak itu, terdapat pengaturannya dalam Pasal 913 KUHPerdata:

Bagian mutlak atau legitieme portie, adalah suatu bagian dari harta peninggalan yang harus diberikan kepada para waris dalam garis lurus menurut undang-undang, terhadap bagian mana si yang meninggal tak diperbolehkan menetapkan sesuatu baik selaku pemberian antara yang masih hidup, maupun selaku wasiat.” [Note SHIETRA & PARTNERS : Perhatikan betul-betul penekanan yang disertakan pada pasal di atas, istri / suami tanpa keturunan bukanlah ahli waris, sebagaimana frasa “dalam garis lurus” baik ke atas maupun ke bawah.]

Seorang atau lebih ahli waris yang mendapatkan hibah, akan diperhitungkan sebagai bagian hak waris “legitieme portie” ahli waris bersangkutan, sebagaimana secara ekplisit tertuang lewat norma Pasal 916a KUHPerdata:

Dalam hal-hal, bilamana guna menentukan besarnya bagian mutlak harus diperhatikan adanya beberapa waris, yang kendati menjadi waris karena kematian, namun bukan waris mutlak maka, apabila kepada orang-orang selain ahli waris tak mutlak tadi, baik dengan suatu perbuatan perdata antara yang masih hidup, maupun dengan surat wasiat, telah dihibahkan barang-barang sedemikian banyak, sehingga melebihi jumlah yang mana, andaikata ahli waris tak mutlak tadi tidak ada, sedianya adalah jumlah terbesar yang diperbolehkan, dalam hal-hal demikian pun, haruslah hibah-hibah tadi mengalami pemotongan-pemotongan sehingga menjadi sama dengan jumlah yang diperbolehkan tadi, sedangkan tuntutan itu harus dilancarkan oleh dan untuk kepentingan para waris mutlak, beserta sekalian ahli waris dan pengganti mereka.

Dari ketentuan di atas, tampak bahwa sifatnya bukan “dapat dibatalkan”, namun sebatas “pemotongan”. Perihal “legitieme portie”, ialah adalah konstruksi “post factum”, bukan “pre factum”, sehingga sifatnya pun berupa hak untuk mengajukan gugatan pembatalan hibah bukan pemberian izin untuk menghibahkan, sebagaimana secara eksplisit diatur dalam norma Pasal 920 KUHPerdata:

Terhadap segala pemberian atau penghibahan, baik antara yang masih hidup maupun dengan surat wasiat yang mengakibatkan menjadi kurangnya bagian mutlak dalam sesuatu warisan, bolehlah kelak dilakukan pengurangan, bilamana warisan itu jauh meluang, akan tetapi hanyalah atas tuntutan para waris mutlak dan ahli waris atau pengganti mereka. Namun demikian, para ahli mutlak tak diperbolehkan menikmati sedikit pun dari sesuatu pengurangan atas kerugian para berpiutang si meninggal.

Inventarisasi aset pemberi waris menjadi penting, untuk menentukan berapakah besaran masing-masing ahli waris sesuai “legitieme portie”, yang diperhitungkan serta dengan hibah-hibah yang sebelumnya masing-masing dari ahli waris pernah mereka peroleh. Ketentuan “aturan main” dari inventarisasi harta kekayaan pemberi waris, terdapat pedomannya secara eksplisit sebagaimana tertuang dalam norma Pasal 921 KUHPerdata:

Untuk menentukan besarnya bagian mutlak dalam sesuatu warisan, hendaknya dilakukan terlebih dahulu penjumlahan akan segala harta peninggalan yang ada di kala si yang menghibahkan atau mewariskan meninggal dunia; kemudian ditambahkannyalah pada jumlah itu, jumlah dari barang-barang yang telah dihibahkan di waktu si meninggal masih hidup, barang-barang mana harus ditinjau dalam keadaan tatkala hibah dilakukannya, namun mengenai harganya, menurut harga pada waktu si penghibah atau si yang mewariskan meninggal dunia; akhirnya dihitungnyalah dari jumlah satu sama lain, setelah yang ini dikurangi dengan semua utang si meninggal berapakah, dalam keseimbangan dengan kederajatan para ahli waris mutlak, besarnya bagian mutlak mereka, setelah mana bagian-bagian ini harus dikurangi dengan segala apa yang telah mereka terima dari si meninggal, pun sekiranya mereka dibebaskan dari wajib pemasukan.

Penegasan serupa dapat kita jumpai kembali secara konsisten sebagaimana pengaturan Pasal 924 KUHPerdata:

Segala hibah antara yang masih hidup, sekali-kali tidak boleh dikurangi, melainkan apabila ternyata, bahwa segala barang-barang yang telah diwasiatkan, tak cukup guna menjamin bagian mutlak dalam suatu warisan. Apabila kendati itu masihlah harus dilakukan pengurangan terhadap hibah-hibah antara yang masih hidup, maka pengurangan itu harus dilakukan mulai dengan hibah yang terkemudian, lalu dari yang ini ke hibah yang lebih tua dan demikian selanjutnya.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.