Hak untuk Menentukan Nasib Sendiri, Kedaulatan Rakyat, Bukan Kedaulatan Undang-Undang OMNIBUS LAW

ARTIKEL HUKUM

Tipe Negara Eksklusivisme Tidak Akan Pernah Diminati Investor Asing, Sekalipun telah Menjual Murah Diri Bangsanya

Ketika pemerintah yang sedang memegang tampuk kekuasaan mencoba “menjual murah” atau bahkan “meng-obral” dan “meng-gadai-kan” keringat sumber daya manusia rakyatnya disamping kekayaan sumber daya alam Bumi Pertiwi Nusantara kepada investor asing maupun pemberi pinjaman hutang, namun masih juga “sepi peminat”, maka apa jadinya? Ketika pemerintah yang sedang berkuasa, meminjam hutang, sama artinya sedang “mengagunkan” rakyatnya sendiri kepada pihak pemberi pinjaman hutang, dengan memakai indikator “Gross Domestic Brutto” (GDB) yang merupakan aset kekayaan rakyat alias bukan memakai rasio hutang antara total pinjaman berbanding aset kekayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Ketika negara bangkrut karena dipailitkan oleh kreditornya, maka apakah artinya segenap rakyat yang harus menanggung dan membayar hutang yang dibuat oleh negara? Siapa juga kalangan kreditor yang berminat meminjamkan, ketika tiada jaminan pengembalian dana dari pihak negara ini yang selalu mengaku-ngaku sebagai “negara miskin” ketika ditagih pelunasannya. Mengapa tiada pernah terdapat referendum untuk meminta pendapat rakyat, ketika negara berniat meminjam hutang dan mewarisi hutang kepada generasi penerus? Jika demikian itu namanya bukanlah pembangunan, namun menjadi “bangsa penghutang” alias “bangsa penuh hutang” diambang pailit. Anda bangga alih-alih merasa malu? Ingatlah selalu, hutang pada kodratnya untuk ditagih dan dilunasi, BUKAN UNTUK DIKOLEKSI HINGGA MENUMPUK MENJELMA HUTANG YANG TIDAK LAGI MUNGKIN DAPAT DILUNASI OLEH ANAK DAN CUCU GENERASI PENERUS.

Syukur-syukur jika mampu dilunasi (dan kapan?), namun bagaimana bila “terjerat hutang hingga kiamat” dimana bahkan untuk membayar komponen tagihan atas bunga dari total hutang pun tampak tidak lagi dapat dijangkau? Disinilah tepatnya, harga diri serta martabat bangsa dipertaruhkan. Bukankah untuk hal yang demikian menentukan nasib serta hajat hidup segenap rakyat, lebih tepat dalam bentuk payung hukum “referendum” ketimbang “demokrasi keterwakilan” antara Parlemen dan Presiden selaku pembentuk Undang-Undang?

Bila dalam konstruksi hukum Perseroan Terbatas, niat direksi untuk menggadaikan aset kekayaan perseroan untuk itu membutuhkan prasyarat bernama izin para stakeholders, yakni para pemegang saham dalam forum Rapat Umum Pemegang Saham, bahkan untuk berhutang dalam nominal besar yang membebani neraca keuangan perseroan, maka semestinya stakeholder dari republik ini ialah rakyat itu sendiri, sehingga referendum bukan hanya berlaku dalam konteks hendak memisahkan diri dan memerdekakan diri dari Negara Kesaturan Republik Indonesia (NKRI).

Apakah negara tetangga Indonesia, seperti Singapura, memainkan permainan “obral murah negerinya sendiri” guna mengundang minat investor asing untuk “betah” berlama-lama menanamkan modalnya bahkan tanpa pernah berminat repatriasi dana ke negara asalnya? Singapura sudah “manis”, tidak lagi butuh “pemanis artifisial”. Singapura, dikenal dengan biaya ongkos pembayaran Upah pekerja yang terbilang jauh lebih tinggi dibanding tingkat Upah Buruh di Indonesia, biaya sewa properti perkantoran yang setinggi langit (karena faktor keterbatasan ruang dan tanah), namun terbilang jauh lebih kalkulatif dan dapat diprediksi (predictable, bukan unpredictable) total biaya yang dibutuhkan untuk membangun bisnis hingga kapan modalnya dapat kembali dan menghasilkan profit, mengingat nihilnya kolusi pejabat, nihilnya pemerasan oleh oknum penguasa, nihilnya aksi-aksi premanisme terlebih demonstrasi berbasis keagamaan, nihilnya “pungutan liar” (pungli) dalam pengurusan perizinan usaha, kepastian hukum lewat praktik peradilan maupun penegakan hukum yang tegas tanpa kompromi, sehingga pada ujung kalkulasi muaranya ialah adanya “kepastian harga yang ditanam dan kepastian imbal hasil” (dapat dikalkulasi dalam perencanaan), tiada spekulatif ala “beli kucing dalam karung” yang bernama “Faktor X” seperti yang kerap terjadi di Indonesia.

Singkat kata, iklim investasi dan iklim berusaha di Singapura sangatlah kondusif. Kalangan pengusaha dan pemodal, sangatlah kalkulatif terhadap modal yang akan mereka tanamkan pada suatu negara serta kapan akan terjadi pengembalian dan kapan imbal hasilnya dapat dipetik, terlebih dalam jumlah nominal yang besar. Jika dinilai tidak dapat diprediksi dan tiada tawaran kepastian usaha serta kepastian hukum, maka “harga buruh” yang murah bukanlah daya tarik utama, itu hanya menjadi “pemanis”. Barang pahit, sebanyak apapun diberi pemanis, tetap saja tidak sedap di lidah, justru akan tampak “manis tapi pahit”.

Seluruh pemodal besar memahami betul, lebih baik membeli dan membayar “tas yang mahal namun kualitasnya terjamin” daripada membayar “tas yang murah namun penuh keropos dimana pada muaranya jauh lebih boros” (murah namun murahan). Umpama, seorang pria “tergila-gila” pada seorang gadis, semata karena sang gadis “jual mahal”. Secantik apapun seorang gadis, namun bila tiada pernah bersikap “jual mahal”, tiada pria yang akan tergoda untuk “tergila-gila” pada sang gadis nan jelita ini—bahkan akan diremehkan sebagai “gampangan” dan tiada tantangan untuk “dikejar”. Artinya, sifat “jual mahal” itu merupakan rahasia dibalik daya tarik yang memikat.

Kini, mari kita melepas perspektif kita selaku warga lokal Indonesia, dan mulai mencoba memakai sudut pandang “kacamata” seorang investor asing, apakah para pembaca akan berminat untuk berinvestasi dan menanamkan modal di Indonesia, sekalipun pihak pemerintah saat ini sedang gencar-gencarnya “mengobral” demikian murah (menjurus “murahan”) terhadap proses perizinan usaha hingga ongkos Upah Buruh, secara objektif dan transparan dalam artian jujur-sejujurnya?

Tingkat spekulasi bila kita memilih menanamkan modal di Indonesia, terbilang tinggi, sehingga tidak lagi “worthed” untuk diambil, mengingat negara-negara tetangga Indonesia di ASEAN juga membuka ruang bagi investor asing untuk masuk dan menanamkan modalnya. Hal kedua yang perlu kita garis-bawahi, investasi semacam berupa pabrik kalkulasinya ialah untuk hitungan puluhan tahun ke depan, bukan hanya pada iklim investasi yang coba dibentuk oleh pemerintahan yang sedang berkuasa. Kelebihan utama negara yang banyak diminati oleh investor, silih-bergantinya penguasa tidak menjadikan perubahan arah kebijakan investasi asing secara radikal di dalam negeri mereka.

Klien yang meminta opini hukum dari penulis selaku Konsultan Hukum Indonesia secara netral dan objektif, entah berlatar-belakang warga lokal (pengusaha Indonesia) maupun pihak asing (investor asing), akan penulis berikan rekomendasi untuk membangun kantor dan pabrik kegiatan industrinya di negara tetangga, sementara cukup membangun kantor perwakilan untuk tujuan pemasaran di Indonesia, mengingat importasi produk bukanlah hal sukar untuk dilakukan di Indonesia yang dikenal “konsumtif” rakyatnya sehingga tetap hanya dipandang sebagai target pangsa pasar yang “seksi” di mata produsen mana pun.

Namun, Indonesia hanya “seksi” dalam hal target pangsa pasar (bangsa “konsumen”), bukan sebagai calon negara dimana sang investor akan masuk untuk berproduksi. Memasarkan di Indonesia adalah keharusan, karena barang impor akan dapat terserap dengan baik oleh pasar yang rata-rata didominasi kaum konsumen yang “irasional” di Indonesia, sementara beroperasi kegiatan hulu di Indonesia bukanlah opsi yang masuk diakal dan bukan juga opsi yang masuk di kantung saku. Berikut akan penulis uraikan satu per satu latar-belakang analisa sosiologi-hukum hingga penulis membuat kesimpulan dan rekomendasi demikian.

Pertama, Indonesia bukanlah negeri yang ramah terhadap kemajemukan. Berbagai Peraturan Daerah “intoleran” yang mengkultuskan satu kaum tertentu, agama tertentu, ras tertentu, seperti penutupan rumah makan pada bulan keagamaan tertentu, hingga aksi “sweeping” masyarakat terhadap berbagai rumah makan yang tetap beroperasi. Seolah hendak mengkomunikasikan kepada dunia, Indonesia adalah negara yang menutup diri dari kaum yang berbeda, anti toleransi terlebih kemajemukan, terlebih perbedaan warna kulit hingga perbedaan keyakinan.

Kedua, masyarakat Indonesia kerap mengkampanyekan “ANTI CINA”, “ANTI YAHUDI”, dan “ANTI KAFIR”, sampai pada akhirnya Bangsa Indonesia dikenal serta diberi stigma negatif oleh masyarakat global sebagai masyarakat yang “narsistik” sekaligus “tidak ramah” terhadap hal-hal berbau asing, tidak menerapkan budaya “tangan dan pintu terbuka” seperti layaknya Negeri Thailand yang multi-etnik namun dapat hidup berdampingan secara harmonis dengan warga lokal Thai.

Ketiga, masyarakat Indonesia gemar “mengkafir-kafirkan” kaum yang berbeda, bahkan terjadi hingga ranah privat seperti lingkungan perumahan. Praktik intoleran yang saling mengkotak-kotakkan antara “kafir” dan “non kafir” pada gilirannya menimbulkan efek psikologis global bahwa Indonesia bukanlah negeri dimana toleransi terhadap pluralistik hidup dan bertumbuh secara sehat, dimana rakyatnya saling “berjarak” terhadap kaum yang berbeda dan sekaligus “menutup diri” dari kemajemukan.

Keempat, rasisme yang tinggi. Di Aceh, sangat minim investor yang berminat masuk, itu adalah pengakuan langsung seorang warga asli Aceh kepada penulis pada satu kesempatan. Jangankan investor asing, investor lokal dari pulau lain di Indonesia pun kerap tidak berminat menyentuh daratan Aceh. Mengapa demikian? Pernah diberitakan, seorang warga memakai baju agamais, mengaku-ngaku sebagai pengurus tempat ibadah, mencoba memeras pihak pengelola minimarket waralaba dengan kemasan “meminta sumbangan untuk tempat ibadah”. Ketika karyawan minimarket hanya memberikan nominal kecil dari saku kantung bajunya sendiri (uang pribadi sang karyawan), sang “pengemis berbusana agamais” merasa terlecehkan seperti seorang pengemis (yang mana memang layak tersinggung, karena sejatinya dirinya lebih buruk daripada pengemis, dimana pengemis tidak pernah memaksa dalam meminta-minta dan tetap menghargai diberi nominal kecil), sembari memaki dan berkata : “Ini toko punya CINA, ya?

Kelima, iklim usaha yang tidak kondusif. Kerap munculnya aksi demonstrasi yang mengatas-namakan buruh ataupun gerakan solidaritas keagamaan (bukan solidaritas antar agama), turun ke jalan-jalan dan menutup akses jalan umum, sehingga menimbulkan ketakutan dan kecemasan publik, seolah negara Indonesia dapat sewaktu-waktu muncul kerusuhan dan kericuhan yang menyerupai perang dingin di Somalia ketika salah satu unsur dalam pelaku demonstrasi tersebut merasa “tersulut” atau tidak dikabulkan tuntutannya.

Lihat kembali kasus kriminalisasi terhadap salah satu mantan Gubernur Jakarta oleh salah satu elemen keagamaan mayoritas di Indonesia, sekalipun sang mantan Gubernur hanya sekadar menggunakan “hak jawab” (namun dimaknai sebagai “menista”, sehingga berbahaya dan riskan sekali hidup dan tinggal menetap di Indonesia karena segala sesuatunya dimaknai sebagai “menista agama”), hingga kasus-kasus menyerupai “tolak kriminalisasi ulama” seolah seorang koruptor yang memakai busana ulama pun berhak menyerukan slogan demikian. Saat kini, dimana tiada investor asing berminat masuk ke Indonesia, itulah “kick back” sekaligus “harga” yang harus dibayarkan oleh Bangsa Indonesia. Dunia global kerapkali memberikan “punishment” bukan dengan cara frontal militeristik, namun lewat “pengucilan” secara ekonomi maupun pergaulan sosial. Seperti halnya ketika Indonesia gagal mengatasi dan menangani wabah, Malaysia kemudian menutup diri dari Warga Negara Indonesia.

Keenam, bangsanya cukup “primitif” dengan sentimen keagamaan yang fanatik sekaligus irasional. Di Tanjung Balai, beberapa tahun lampau, seorang warga beretnik Tionghua mengeluhkan tingkat desibel kerasnya suara pengeras suara tempat ibadah suatu agama tertentu, dinilai sebagai terlampau keras. Pihak pemuka agama dan umatnya memanas-manasi keadaan dengan mengumandangkan umat agamanya seolah telah terjadi “dilarang untuk beribadah”, “menghina toa sama artinya menghina agama kami” (apakah toa terdapat di kitab suci dan praktik ribuan tahun lampau telah dikenal alat elektronik semacam pengeras suara?), “tanpa toa umat agama kami tidak dapat beribadah”, sampai pada akhirnya kediaman sang warga diamuk ribuan massa yang turun ke jalan, belasan tempat ibadah keyakinan yang berbeda di rusak dan dibakar, bahkan berdemo menuntut agar sang korban dipenjara dan benarlah hakim mengikuti keinginan publik mayoritas sehingga terjadi pemidanaan vonis penjara terhadap sang korban yang hanya mengeluhkan “agar beribadah secara tidak merugikan ataupun mengganggu umat beragama lain”.

Ketika warga Indonesia memakai atribut ataupun busana keagamaan, jangan pernah mengkritik ataupun menegur perilaku mereka, sekalipun mereka katakanlah, menutup jalan dan atau bahkan menghentikan laju kendaraan roda empat di tengah jalan sehingga menghalangi arus lalu-lintas semata untuk mengobrol dengan warga lain yang mengenakan busana agamais, sebagaimana pernah penulis tegur agar tidak menghalangi jalan, para warga berbusana agamais justru memaki penulis sebagai “Orang lagi mengobrol, di-klakson!

Siapa yang melarang mengobrol, mengapa mengobrol secara merugikan hak pengguna jalan lainnya dan di sembarang tempat? Konteksnya ialah, para pelakunya sedang mengenakan busana agamais, bagaimana bila para pelakunya tidak sedang berbusana agamais dan tidak sedang beribadah, dapat kita bayangkan sendiri betapa “primitif” dan “belum beradabnya” bangsa “Made in Indonesia”. Busana agamais = imun dan kebal dari kritik, sekaligus memberi legitimasi untuk “main hakim sendiri”. Investor asing yang masuk ke Indonesia, sama artinya mencari penyakit sendiri, seolah tiada negara lain yang lebih ramah budaya rakyatnya di ASEAN.

Ketujuh, maraknya aksi premanisme hingga ormas-ormas (organisaasi kemasyarakatan) yang seolah dipelihara dan dilestarikan oleh negara lewat praktik penegakan hukum yang “separuh hati”, “tebang pilih”, dan absennya aparatur penegak hukum di tengah-tengah masyarakat, sehingga seolah menyerupai “negara preman”. Buntutnya ialah selalu berbentuk aksi-aksi pemerasan dan aksi “lebih galak yang ditegur daripada yang menegur”, “tidak malu berbuat kejahatan”, dan “tidak takut hukum negara terlebih hukum karma”. Investor asing lebih menyayangi nyawa mereka, daripada “mati konyol” di negeri yang belum cukup beradab. Memasuki dan menyentuhkan kaki ke tanah Indonesia, hampir sama artinya dengan “menyerahkan nyawa”.

Kedelapan, aparatur penegak hukum yang pada praktiknya bersikap lebih jahat ketimbang penjahat itu sendiri yang lebih perlu ditangkap dan di-“bui”, hakim dan praktik peradilan yang korup penuh kolusi yang lebih perlu diadaili, pejabat yang tidak berintegritas bahkan masih juga merampas nasi dari piring rakyat yang lebih miskin, lempar tanggung-jawab para penguasa dan aparatur penerbit perizinan, tender-tender fiktif dimana iklim usaha benar-benar tidak sehat sehingga tidak kompetitif untuk dimasuki, gedung-gedung pemerintahan yang mewah dan megah namun infrastruktur jalan hanya jalan tol berbayar yang layak untuk disebut “jalanan” untuk keperluan mobilisasi dan distribusi logistik.

Kesembilan, carut-marutnya pertanahan di Indonesia, lengkap dengan aparatur pejabat pertanahan yang tidak profesional dan penuh kolusi disamping pungutan liar—sekalipun Kepala Negara-nya silih-berganti. Tumpang-tindih sertifikat hak atas tanah, ketidak-jelasan bidang tanah, beragam macam jenis hak-hak atas tanah yang ambigu, hingga berbagai permasalahan pertanahan yang pada pokoknya masih terbelenggu oleh sistem hukum pertanahan yang tergolong “primitif” dan “terbelakang” tanpa pembenahan berarti dari segi regulasi maupun praktik. Investasi terbesar selain mesin produksi, ialah aset berupa properti. Investasi dapat menjadi terancam tidak produktif, ketika aset tanah tersandung masalah hukum pertanahan yang carut-marut, praktis akibatnya seluruh proses produksi menjadi lumpuh dan mesin-mesin produksi menjadi tidak beroperasional tanpa dapat berproduksi.

Kesepuluh, aparatur penegak hukum semacam kepolisian, kerapkali mengabaikan dan menelantarkan korban pelapor, bahkan dijadikan objek “sapi perahan” oleh oknum-oknum kepolisian secara “berjemaah” sehingga menjela budaya korps kepolisian di Republik Indonesia yang polanya selalu serupa dan tersebar merata, dimana hukum dapat di-“pelintir” dan diperjual-belikan sesuai kepentingan pragmatis pihak-pihak yang kuat dalam “lobi” terjadap pemegang kekuasaan untuk memproses pemidanaan. Tiada pelanggaran yang lebih masif terhadap hukum ketimbang pengabaian tugas dan tanggung jawab profesi kalangan kepolisian yang memegang monopoli penggunaan senjata api dan maupun monopoli proses pemidanaan terhadap pelaku pelanggar. Selalu absen ketika dibutuhkan, namun selalu hadir saat menilang kendaraan bermotor.

Kesebelas, eksekusi putusan yang sangat ambigu, penuh ketidak-pastian, menjurus “menang diatas kertas”, jurusita pengadilan yang arogan dan penuh pungutan liar, lengkap dengan deal-deal politis pihak tereksekusi dan pihak aparatur peradilan sehingga eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap menjadi tumpul sehingga tidak dapat dieksekusi bahkan tidak dapat dimohonkan eksekusinya seolah pejabat pengadilan memungkiri sendiri putusan hakimnya.

Keduabelas, budaya bangsa Indonesia masih tampak kerap “ingkar janji”, sukar menepati janji, sulit dimintakan tanggung-jawab sesuai apa yang telah dijanjikan, bila tiada menagih janji maka akan “berpura-pura lupa pernah menjanjikan”, wanprestasi secara masif, sudah wanprestasi masih juga menggugat yang menagih, perlu didesak terus-menerus bagai keledai yang perlu di-lecut bokong-nya untuk merealisasi janji, bahkan diperkeruh kalangan pengacara yang kekurangan pekerjaan sehingga memperkarakan apa yang tidak perlu diperkarakan. Dengan demikian, berusaha di Indonesia selalu dihantu kecemasan ingkar-janjinya rekan bisnis, pelanggan, dan sebagainya, sehingga “cash flow” terancam sukar terukur maupun ter-arahkan.

Ketigabelas, masyarakat Indonesia entah bagaimana lebih menyukai dan lebih memilih produk-produk “berbau impor” alias “Made in Non-Indonesia”, sehingga produk-produk dengan label “impor” mampu mendongkrak popularitasnya di mata masyarakat konsumerisme di Indonesia yang sangat memperdulikan dan mendahulukan produk-produk impor sebagai pilihan utama, dan disaat bersamaan memandang rendah produk dalam negeri.

Keempatbelas, terlampau banyak pelanggar dan penjahat di negeri bernama Republik Indonesia ini, dimana bahkan otoritas dibidang Lembaga Pemasyarakatan (Lapas, alias Penjara) telah melakukan serangkaian kebijakan “Obral Remisi” agar penghuni Lapas tidak demikian over-kapasitas, namun tetap saja tidak pernah sepi dari narapidana penghuni baru “hotel prodeo” satu ini, seolah negeri Indonesia ini demikian produktif mencetak penjahat—itu pun penjahat-penjahat yang dibiarkan berkeliaran mencari mangsa di luar sana dengan tidak ditindak secara serius oleh aparatur penegak hukum, sejatinya jauh lebih masif.

Lihat saja warga pelanggar “protokol kesehatan” dikala wabah merebak, bila sanksi pidana benar-benar diberlakukan, mau ditampung dimanakah keseluruhan dari para narapidana tersebut? Mereka yang dijebloskan ke penjara, hanya segelintir kecil dari para penjahat yang masih dibiarkan berkeliaran di luar sana, sehingga tugas pihak berwajib untuk memberantas seluruh kejahatan dan penjahat di Indonesia, hampir menyerupai “mission impossible”—mati satu tumbuh seribu.

Lihat saja bagaimana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kian “digemboskan” untuk menjadi lembaga “pencegahan” korupsi dan kolusi, sekalipun tugas “pencegahan” dari sikap-sikap korup bukanlah tugas lembaga penegak hukum, namun merupakan dan menjadi tugas pemuka agama dan tenaga guru “budi pekerti” di sekolah—sehingga juga menjadi cerminan betapa gagalnya kalangan pemuka agama maupun para guru di republik ini, sehingga menjadikan KPK bak “tong sampah” dimana semuanya dilimpahkan dan bertumpu pada KPK sebatang kara, sang “lonely ranger” yang menyerupai “solo fighter” yang kesepian.

Kelimabelas, suka sekali menyepelekan hal-hal yang tidak sepele bahkan menyepelekan hal-hal serius seperti menyepelekan pelanggaran hukum, menyepelekan ancaman wabah, menyepelekan perasaan korban, menyepelekan masalah yang sifatnya laten belum tampak ke permukaan, menyepelekan moralitas, menyepelekan dosa, menyepelekan kejahatan, menyepelekan kesehatan, menyepelekan tanggung-jawab, menyepelekan kejujuran, menyepelekan hak-hak orang lain, menyepelekan kewajiban hukum dirinya sendiri, menyepelekan kode etik profesi, bahkan hingga menyepelekan jati dirinya selaku seorang manusia dengan bersikap seperti seorang “manusia hewan” yang tidak tahu aturan dan tidak patuh terlebih diharapkan untuk taat terhadap hukum.

Keenambelas, perlu harus selalu diawasi dalam proses pengerjaannya, dimana lengah atau ditinggal pergi, dapat dipastikan pekerjaan para pekerjanya akan “mangkrak”. Artinya, pihak pengusaha asing harus mengeluarkan anggaran khusus untuk melakukan fungsi pengawasan di dalam perusahaan yang dimodali olehnya, seperti merekrut tenaga pengawas secara masif, sehingga menambah beban anggaran rutin yang sejatinya tidak perlu ada dan tidak perlu dianggarkan ketika pekerja suatu negara dapat bertanggung-jawab sekalipun tanpa perlu diawasi.

Ketujuhbelas, kedelapanbelas, hingga kesembilanbelas dan lain sebagainya, seperti faktor kemacetan, bencana alam yang timbul akibat mis-manajemen penanggung jawab kota dalam mengatasi banjir, masih tetapnya menerapkan sistem hukum Civil Law yang kaku dan terbelakang ketimbang mengikuti tren negara-negara lain yang mulai alih-haluan menuju sistem tradisi hukum Common Law yang lebih menawarkan kepastian hukum dalam derajat tertinggi, tiadanya budaya tertib dan patuh di benak masyarakatnya, segala sesuatunya yang diselesaikan lewat cara-cara kekerasan fisik, praktik kartel dan monopoli usaha yang belum sepenuhnya ditertibkan oleh otoritas tekait sehingga sukar menjadi “new entry” atau pemain baru ke dalam pasar, tingginya tingkat vandalisme dan persekusi, serta berbagai catatan kelam negatif lainnya yang tiada akan pernah habis untuk dirinci satu per satu.

Barulah menjadi tanda-tanya besar yang sukar dicari penjelasan logisnya, bila masih ada juga investor yang “nekat” memutuskan untuk tetap menanamkan modalnya ke Indonesia dalam bentuk investasi pembangunan operasional seperti pabrik dan perkantoran, secara real memutar arus dana dalam bentuk benda fisik, alih-alih berinvestasi dalam bentuk jual-beli saham pada pada modal.

Berusaha secara sehat di Indonesia, dapat dipastikan tidak akan mampu bertahan lama, karena kompetitor akan memakai cara-cara politis untuk memenangkan persaingan, seperti kolusi agar ditunjuk sebagai pemenang tender, membangun properti diatas tanah yang diperuntukkan untuk ruang terbuka hijau, diberi akses “lampu hijau” selalu, dan berbagai priviledge lainnya secara politis. Mungkinkah, Komisi Pemberantasan Korupsi di-“gembos”-kan pemerintah karena kerap membuat pengusaha besar terungkap aksi kolusinya seperti kasus Meikarta dan Bos Agung Podomoro?

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.