CORPORATE ENVIRONMENTAL RESPONSIBILITY, Tanggung Jawab Lingkungan Perusahaan

ARTIKEL HUKUM

Tanggung Jawab PRODUSEN / IMPORTIR terhadap SAMPAH / LIMBAH B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun)

Negeri Indonesia ialah negeri “sampah”, cerminan “salah urus” dan “salah kelola” akibat “salah aturan”. Betapa tidak, dengan mudahnya pihak produsen ataupun importir mencetak produk-produk an-organik yang tidak mudah terurai oleh mikro-organisme sehingga “tidak ramah lingkungan”, mengakibatkan sampah-sampah menumpuk serta mencemari lingkungan disamping mencemari tanah tempat tumbuhnya tanaman budidaya pangan, habitat satwa, maupun air sumber konsumsi warga. Itulah sebabnya, produsen asing gemar memasarkan produk ke Indonesia, karena minimnya tanggung-jawab pihak produsen yang dituntut oleh otoritas pemerintah Indoenesia—bahkan dapat dikatakan “nihil” sama sekali.

Kita perlu menyadari, lewat logika awam paling sederhana, produk-produk elektronik apapun, apapun bentuk dan wujudnya, sekalipun pada kondisi barunya tampak bagus dan berharga, namun ketika usia masa pakainya telah usai atau karena kerusakan, semua itu hanyalah menjadi onggokan serta timbunan sampah / limbah “B3” yang mengancam kesehatan serta keberlangsungan lingkungan hidup. Seperti apapun swadaya masyarakat untuk mengolah sampah komunitasnya sendiri, tidak akan pernah mampu menangani sampah-sampah bekas elektronik sekelas sampah / limbah “B3” yang butuh teknologi dan metode tersendiri untuk mengolah dan mengelolanya.

Idealnya, sebanyak apa pihak produsen berproduksi, maupun sebanyak apa pihak importir mengimpor produk ke dalam negeri, maka sebanyak itulah juga pihak produsen dan importir diwajibkan serta memiliki tanggung-jawab etika bisnis untuk menyerap kembali produk-produk yang dicetak dan dipasarkan olehnya yang kini dan kemudian menjelma menjadi sampah / limbah “B3”. Dengan cara begitulah, tanggung-jawab produsen dan/atau importir dapat benar-benar diawasi otoritas dan ditegakkan keberlakuannya lewat instrumen-instrumen hukum maupun rezim perizinan “pro (terhadap) lingkungan” yang imperatif sifatnya, TANPA KOMPROMI.

Kesadaran akan pentingnya tanggung-jawab pihak produsen maupun importir demikian, tidaklah dapat kita mengandalkan kesadaran pribadi pihak produsen maupun importir, oleh sebab kalangan korporasi cenderung hanya memandang tanggung-jawab lingkungan perusahaan (corporate environmental responsibility) maupun tanggung-jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) sebagai beban terhadap keuangan perseroan yang semata hanya berorientasi mengejar profit setinggi-tingginya dimana berkurangnya margin keuntungan selalu dimaknai sebagai “kerugian”—ketidak-jujuran terbesar kalangan pengusaha bermental “laba” semata, serusak apapun alam bumi ini dibuat oleh mereka.

Bermula ketika pada suatu hari perangkat digital (gadget) yang biasa penulis “pekerjakan” untuk keperluan pekerjaan sehari-hari, mengalami kerusakan sehingga tidak dapat dioperasionalkan kembali sama sekali, sehingga perlu digantikan dengan gadget yang baru. Sama sekali bukan menjadi masalah ketika mencari dan mendapatkan produk baru, sangat muda diakses serta dijangkau bahkan tanpa harus keluar rumah, namun selama berhari-hari penulis mengalami apa yang disebut “pemikiran yang mendalam”, merenungkan objek berupa benda digital yang di dalamnya terkandung komponen “B3” (bahan berbahaya dan beracun), dimana pada buku manual produk gadget tersebut ketika pertama kali membeli, tercantum keterangan agar produk gadget ini ketika telah menjadi sampah agar jangan dibuang ke dalam tong sampah domestik, karena dapat mencemari lingkungan, mengingat sifatnya ialah limbah beracun yang perlu instalasi penanganan dan pengolahan khusus limbah “B3” seperti sampah gadget yang jauh lebih tidak mudah terurai oleh lingkungan.

Bila sampah plastik membutuhkan puluhan tahun untuk terurai, maka bagaimana dengan sampah-sampah ataupun limbah “B3” bekas produk elektronik yang biasa kita pakai dalam rumah tangga maupun perkantoran? Itulah yang menjadi dilematika pada benak penulis, dihadapkan kepada realita kemudahan mendapat produk serupa yang baru kondisinya, dan disaat bersamaan fakta bahwa untuk menangani sampah / limbah “B3” produk yang telah usai masa pakainya ternyata bukan urusan mudah.

Itulah juga sebabnya, penulis selama ini sangat membatasi diri pada produk-produk yang tampak tidak ramah lingkungan, sebisa mungkin penulis membatasi diri untuk membelinya bukan karena tidak sanggup membeli dan memiliki, namun semata karena memikirkan dan mengingat betapa kelak semua itu hanya akan menjadi sampah menumpuk yang sukar diurai oleh lingkungan hidup bahkan mengancam habitat satwa yang memakannya serta kesehatan masyarakat. Konon, pernah disebutkan, biaya untuk menangani per satu satuan barang produk digital yang telah menjelma sampah / limbah “B3”, biaya penanganan atau pengelolaannya bahkan lebih tinggi ketimbang harga produk barunya ketika pertama kali diproduksi dan dipasarkan.

Kita selama ini terlena oleh produk-produk canggih berharga murah yang dijual dan ditawarkan di pasaran, namun kita lupa betapa biaya penanganannya serta “enviromental cost” dibaliknya jauh lebih tinggi dan lebih mahal. Sebagai saran dari penulis bagi kalangan konsumen di Indonesia, sebaiknya pilih produk yang kualitasnya tergolong “awet” sekalipun tampak lebih mahal saat pertama kali membelinya, agar pada gilirannya “beban lingkungan” dari potensi tumpukan sampah / limbah “B3” dapat sedikit terkurangi bebannya bila tidak dapat kita nihil-kan sama sekali.

Perenungan mendalam berlanjut kepada fakta bahwa Indonesia setiap tahunnya menjual jutaan produk handphone maupun komputer disamping produk elektronik lainnya ke pangsa pasar lokal di Indonesia, baik produk manufaktur dalam negeri maupun impor. Menjadi pertanyaan mendasar, jutaan produk menjadi sampah baru setiap tahunnya, setara atau ekuivalen dengan volume berapa buah gunung atau bukit sampah?

Jika memang kuantitas sampah “B3” menjadi demikian semasif itu, setiap tahunnya dengan tren terus meningkat angka penjualannya, maka menjadi mengherankan ketika pemerintah dalam hal ini otoritas dibidang lingkungan hidup, belum juga menerbitkan regulasi perihal penangangan khusus bagi barang-barang “B3” yang bersumber dari pemakaian warga dalam suatu lingkup rumah-tangga, mulai dari produk-produk elektronik semacam “rice cooker” atau penanak nasi, televisi, handphone, tablet, laptop, komputer, sound system, maupun produk-produk yang mengandung komponen logam berat lainnya yang akan sangat berbahaya jika sampai mencemari sumber air bersih untuk konsumsi warga ataupun ketika terserap ke dalam tumbuhan pangan seperti halnya “mikro plastik” yang dapat mencemari buah-buahan pada tumbuhan.

Akumulasi demi akumulasi sampah “B3”, sejatinya hanya tinggal menunggu “bom waktu” ketika “etalase negara” ini tidak lagi mampu menampung “open dumping” sampah-sampah domestik yang dicampur bersama limbah “B3”, menjelma apa yang disebut sebagai “negara sampah” yang “berbau busuk”. Kerusakan ekosistem, dengan demikian tidak akan lagi dapat terelekkan, dimana pemulihannya mungkin akan membutuhkan ratusan atau bahkan ribuan tahun hingga segala “B3” netral kembali dan terurai menjadi unsur hara bersama tanah tanpa lagi mengandung ancaman bagi kesehatan.

Adalah tumpukan sampah “B3” berjumlah gunungan limbah “B3” anorganik, yang kemudian kita wariskan kepada generasi penerus disamping kerusakan lingkungan akut yang mengakibatkan ekosistem rusak yang butuh pemulihan diri ratusan hingga ribuan tahun. Akibatnya, sumber mata air bersih untuk konsumsi maupun untuk bertani dan berladang, hilang. Tumbuhan untuk herbal maupun untuk perkebunan buah-buahan konsumsi, punah. Satwa untuk diternakkan, turut hilang karena habitatnya menjelma padang gurun tandus atau lubang-lubang bekas galian. Itu menjadi kutukan serta “kiamat” bagi generasi penerus, sekalipun generasi saat kini belum merasakan dampaknya secara langsung.

Sungguh, adalah jauh menyukarkan penulis ketika memikirkan bagaimana harus memperlakukan sampah / limbah “B3” berupa gadget digital yang sudah tidak lagi dapat terpakai, sementara pihak produsen tidak diwajibkan pemerintah untuk menampung dan menyerap produk-produknya yang telah menjelma sampah / limbah “B3”, dimana pula pihak pemerintah tidak pernah memikirkan untuk menyediakan fasilitas pengelohan sampah / limbah “B3” yang mudah diakses publik, sehingga praktis tiada dibuka sarana apapun bagi masyarakat untuk menyalurkan sampah / limbah “B3” sementara produk-produk gadget digital baru terus diproduksi dan dipasarkan ke tengah-tengah masyarakat, sehingga tumpukan jutaan produk yang telah menjelma sampah / limbah “B3” setiap tahunnya tersalurkan pada tempat yang tidak selayaknya bersama sampah-sampah domestik rumah-tangga pada tempat pembuangan akhir sampah atau bahkan pada bantaran sungai sebagaimana kebiasaan “jorok” sebagian masyarakat Indonesia, mengakibatkan kontrol terhadap pencemaran lingkungan tidak mungkin lagi dapat dikendalikan. Bangsa Indonesia masih memiliki kebiasaan membuang sampah sembarangan, terlebih untuk ukuran sampah / limbah “B3”?

Sampah / limbah “B3” butuh penanganan khusus, karena sama berbahayanya dengan limbah dari kegiatan medik di rumah sakit, sehingga tidak dapat diperlakukan sama terlebih dicampur-aduk bersama sampah-sampah domestik rumah tangga. Indonesia merupakan negara yang sungguh telah “salah atur” dan “salah urus”, hal yang kurang penting diatur namun hal yang sangat penting dan urgen justru abai untuk diatur serta ditegakkan—sekalipun diatur namun penerapannya kerap “separuh hati”, tidak terkecuali dalam hal ekosistem dan lingkungan hidup.

Menjadi timpang, dimana masyarakat demikian dipermudah membeli serta memperoleh produk-produk gadget digital baru, bahkan diantar dengan ongkos kirim yang terjangkau, semudah dan secepat menekan tombol pemesanan, seketika produk baru telah berada di tangan kita. Terlebih ketika budaya hedonistik-materialistik kehidupan modern mengakibatkan anak-anak muda kita kerap termakan “mode” sehingga mudah gonta-ganti gadget baru semata karena alasan “gengsi” dan “bosan”, atau karena alasan “masih terjangkau”.

Namun disaat bersamaan, sebagai kontras perbandingan, tiada kemudahan dari pihak produsen maupun pihak pemerintah maupun penjual, ketika produk-produk yang mereka produksi serta pasarkan kemudian menjelma sampah / limbah “B3”. Pada titik ketimpangan inilah, sampah-sampah / limbah “B3” terus menumpuk dan menggunung secara “tidak terpusat” alias “tidak terlokalisir”, sehingga sukar diawasi, dikendalikan, terlebih untuk diolah dan ditangani secara semestinya.

Sekarang menjadi pertanyaan, tanggung-jawab siapakah atas sampah / limbah “B3” yang beredar luas di tengah-tengah masyarakat ketika produk-produk produksi para manufaktur tersebut telah rusak atau habis masa pakainya? Apakah menjadi tanggung-jawab pihak produsen, tanggung-jawab pihak distributor, tanggung jawab pihak penjual, ataukah tanggung-jawab konsumen selaku “end user”? Negara memungut PPN (pajak pertambahan nilai) atas produk-produk yang dijual dan beredar di tengah masyarakat Indonesia, sehingga pemerintah pun sejatinya memiliki kontribusi untuk turut bertanggung-jawab perihal sampah / limbah “B3” yang beredar di tengah-tengah masyarakat, bukan hanya sanggup untuk memungut retribusi dan pajak dari konsumen maupun dari pihak produsen ataupun bea masuk bagi importir.

Idealnya, dibuat suatu kebijakan setingkat regulasi berbentuk Undang-Undang sehingga dapat memuat norma sanksi pemidanaan maupun sanksi administratif secara tegas, dimana margin keuntungan pihak produsen atau manufaktur, sudah harus memasukkan komponen biaya untuk menyerap, menampung, dan mengolah sampah / limbah “B3” atas produk-produk yang mereka produksi dan pasarkan sebelumnya. Pihak produsen wajib menjadikan seluruh gerai, outlet, ataupun kantor cabang dan pabriknya sebagai pusat untuk menampung serta menyerap sampah / limbah “B3” produknya yang telah habis masa pakai agar tidak merusak lingkungan hidup, dimana juga dimungkinkan untuk menyerahkan produk yang telah menjelma sampah / limbah “B3” secara daring lewat kurir yang siap mengambil produk rusak ataupun sampah / limbah “B3” dari kediaman konsumen dan dibebaskan dari ongkos pengiriman kepada pihak pabrikan untuk didaur-ulang (recycle dan re-use) ataupun diolah kembali dalam rangka untuk menetralkan sifat kandungan kimiawi beracunnya, terutama “logam berat” yang sukar terurai oleh mikroorganisme dan dapat menyerap ke dalam tumbuhan pangan serta tanah dan air, sehingga menjadi ramah terhadap lingkungan.

Tiadanya kewajiban dari segi regulasi yang diterbitkan otoritas terkait Lingkungan Hidup, maka tiada pengusaha manufaktur produk mana pun yang akan bersedia merepotkan dirinya menjalankan etika bisnis berbiaya mahal berupa “Corporate Environmental Responsibility” (CER). Pada prinsipnya, sepanjang otoritas suatu negara tidak mewajibkan pemberlakuan “CER” sebagai tanggung-jawab disamping kewajiban pihak manufaktur, maka tiada produsen mana pun yang bersedia menganggarkan biaya besar untuk menyerap serta menampung kembali produk-produk produksinya yang telah menjelma sampah / limbah “B3”. Sekali lagi, dibutuhkan anggaran tidak sedikit untuk menangani sampah / limbah “B3”, karenanya tiada produk elektronik manapun yang benar-benar “berharga rendah” karena selalu terkandung konsekuensi laten inheren didalamnya untuk penanganan ketika menjelma sampah / limbah “B3”—inilah yang perlu disadari kalangan konsumen maupun pemerintah dan regulator di Tanah Air.

Tingkat regulasi ini harus setingkat Undang-Undang yang berlaku makro dalam satu negara, bukan berbentuk “Peraturan Daerah” (Perda), mengingat sifat produk demikian beredar secara luas lintas batas kabupaten maupun kota, lintas provinsi, lintas pulau, karenanya pengaturannya bersifat umum dan global. Pengaturannya sederhana saja, dimana prinsip utamanya ialah berapa banyak produksi satu tahun dicetak dan diedarkan ke masyarakat, maka setelah durasi masa pakai produk habis, maka sebanyak itu pula sampah / limbah “B3” produk-produk mereka yang telah habis masa pakai WAJIB diserap kembali serta diolah oleh asal pabrikan bersangkutan. Bila ketentuan ini tidak dipenuhi, maka tiada izin industri yang dapat diperpanjang kembali untuk masa produksi tahun berikutnya—dapat dapat diancam pidana denda pemulihan kerusakan lingkungan maupun kurungan penjara hingga penutupan tempat usaha, atau jiwa perlu berbentuk “dwangsom” (yakni “uang paksa” hingga kewajiban dilaksanakan sepenuhnya, jauh lebih mengerikan dan membuat “efek jera” ketimbang sekadar “denda”).

Ketika pihak produsen diwajibkan untuk menampung dan menyerap sebanyak produk yang mereka produksi dan edarkan ke pasaran, maka daya tawar pihak konsumen menjadi lebih tinggi, sehingga tidak perlu khawatir kesukaran dalam hal pengembalian produk, pengiriman, maupun biaya untuk pengiriman produk-produk gadget digital yang telah menjelma sampah / limbah “B3”, dimana daya tawar konsumen yang menjadi tinggi akibat regulasi yang mewajibkan pihak produsen untuk menyerap kembali produk produksinya, mengakibatkan seluruh akses dibuka selebar-lebarnya tanpa penyulit apapun untuk menyerap kembali sampah / limbah “B3” seperti membuka outlet penerimaan dan penampungan sebanyak outlet penjualan atau dijadikan satu fungsi “penjualan dan penampungan limbah”—semudah seperti ketika memesan dan membelinya. Mudahnya, tiada boleh ada sales ataupun “booth” penjualan yang tidak membuka kesempatan untuk menampung dan menyerap sampah / limbah “B3”.

Sama halnya dengan pabrikan asal luar negeri, bila hendak menjual dan mengedarkan produknya di Indonesia, kewajiban yang sama tidak dapat dikecualikan, kecuali pihak distributor atau importir menyanggupi untuk mengambil-alih seluruh kewajiban itu untuk menyerap dan menampung produk-produk impor yang telah menjelma sampah / limbah “B3”, agar dapat kembali mendapat izin impor produk dari produsen serupa ataupun produsen lainnya. Dengan cara atau metode seperti itu-lah, pengawasan serta penindakan menjadi efektif disamping efisien, mengingat segalanya menjadi “terpusat” sekalipun pada awal proses penyerapan dan penampungan bersifat lokalisir di tengah-tengah masyarakat. Masalah utamanya, berani dan serius-kah pemerintah, dimana pastinya lobi-lobi politis manufaktur raksasa yang berkeberatan atas kebijakan demikian, kerap membuat komitmen pemerintah dapat “disetir” kalangan korporasi. Bila tenaga buruh “dijual murah” di negara sendiri, bagaimana dengan lingkungan hidup? Dijadikan “tong sampah” raksasa pun, pemerintah kita tidak akan berkeberatan, karena generasi penerus selanjutnya yang akan menanggung segala konsekuensinya.

Paradigma yang sama dapat kita terapkan kepada produsen produk tidak ramah lingkungan lainnya, seperti produk-produk berbasis bahan baku plastik, styrofoam, karet sintetik, oli sintetik, beling / kaca, fiber glass, yang pada prinsipnya tidak laku dijual dan tidak diminati pemulung barang bekas. Produk-produk industri berupa besi dan karton kardus serta kertas, mudah diserap kembali pada proses industri dan produksi, karena selama ini “pahlawan sampah” bernama pemulung banyak meminatinya, bahkan menawarkan diri kepada para warga dengan menyertakan harga beli dari warga yang memiliki besi bekas, bahkan kerap melintasi pemukiman penduduk dengan gerobaknya sehingga memberikan kemudahan dalam proses daur-ulang dan penanganannya.

Namun untuk barang-barang an-organik yang tidak laku dan tidak diminati para “pahlawan sampah”, regulasi yang tegas wajib hukumnya disusun serta diberlakukan, dimana negara wajib hadir bukan absen guna menyelamatkan kesehatan warga serta ekosistem lingkungan hidup, tidak dapat lagi dibiarkan “tanpa aturan” seperti keadaan “serba tanpa aturan” sekarang ini, dimana konsumen yang hendak membuang sampah / limbah “B3” pada “tempat semestinya” pun merasa kesukaran, bukan hanya dipersukar, namun tidak diberi ruang akses, jauh lebih sukar daripada saat memesan dan mendapatkan produk barunya.

Atau, sebagai solusi terakhir yang meski tampaknya akan lebih kurang populer, ialah sebelum seorang konsumen diberi hak untuk memesan dan membeli produk baru, dirinya wajib menyerahkan produk bekas serupa yang sudah tidak terpakai sampah / limbah “B3” kepada pihak produsen maupun kepada pihak penjual—konsep mana sangat menyerupai “pajak masukan” dan “pajak keluaran” yang wajib “balance”. Dapat pula disertakan “pajak progresif” agar negara memiliki anggaran lebih untuk penanganan sampah / limbah “B3”.

Dengan keberanian memulai “budaya baru” demikian yang lebih ramah terhadap lingkungan, peredaran sampah / limbah “B3” dalam masyarakat dapat dikontrol serta terkendalikan dengan baik, alam dan lingkungan hidup tersenyum, serta generasi penerus pun turut tersenyum—kecuali, generasi masa kini terlampau bersikap egoistik bahkan terhadap generasi penerus dari bangsanya sendiri. Jangan sampai, kita terjajah oleh sampah / limbah “B3”, dan diberi stigma sebagai “bangsa peng-koleksi sampah”.

Manusia pemakainya yang harus canggih, bukan hanya gadget-nya yang dituntut canggih. Mungkin para pembaca akan terkejut bila mengetahui, bahwa website ini dibangun dengan memakai laptop “butut” yang telah hampir berusia satu dekade, sekalipun para kompetitornya memakai komputer terbaru dan tercanggih, percaya? Orang-orang hebat tidak pernah banyak menuntut, karena mereka “sudah hebat” dari sana-nya. Sementara orang-orang tidak kompeten akan menyembunyikan kegagalannya dibalik alasan tiada memiliki perangkat digital canggih terbaru. Dimanakah dan termasuk yang manakah Anda?

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.