Aturan Main Mediasi di Luar Pengadilan, oleh Konsultan Shietra

LEGAL OPINION

Mediasi sebagai Amicable Dispute Setttlement, mencapai Konsensus di Luar Pengadilan, dan Peran Mediator

Question: Bapak Hery Shietra menyediakan jasa mediasi, atau sebagai mediator bagi pihak-pihak yang saling berselisih atau yang saling memiliki sengketa hukum, secara kekeluargaan di luar pengadilan?

Brief Answer: Syarat paling utama agar dapat dilangsungkannya mediasi dengan jasa seorang mediator sebagai penengah yang memberikan pandangan hukum secara netral serta objektif, sekaligus berkedudukan sebagai “wasit”, ialah para partisipan (para peserta mediasi) perlu sedari awal memiliki niat untuk saling “mundur (mengalah) satu langkah” agar terbuka ruang untuk tercapai konsensus yang “reasonable”.

Faktor kedua yang tidak kalah penting, perlu dipahami akan adanya “aturan main” yang diterapkan dan dipersyaratkan oleh seorang mediator, agar mediasi berjalan tertib sesuai aturan main yang memang dirancang khusus oleh pihak mediator agar tercipta “iklim” perundingan serta dialog yang setara dan seimbang—bukan “monolog” satu arah terlebih “orasi” sepihak oleh satu pihak yang mendominasi jalanannya perbincangan dalam mediasi. Ketika para partisipan tampak mampu menjaga betul etika komunikasi dan saling menghargai antar partisipan maupun menghormati pihak mediator, maka “aturan main” dalam mediasi tidak perlu ada ataupun disampaikan, cukup saling menunjukkan sikap hormat dan saling menghargai antar partisipan dan terhadap pihak mediator.

Namun, seringkali yang terjadi dalam praktik, tanpa keberlakuan “aturan main” yang diterapkan secara tegas, mediasi tidak berjalan sebagaimana diharapkan, bahkan cenderung menyerupai “debat kusir” ajang “mau menang sendiri” dan “mau bicara sendiri” (secara mendominasi), bahkan hingga tahap bantah-membantah terhadap sang mediator yang sejatinya duduk sebagai pihak yang netral dan memberikan opini hukum serta masukan disamping rekomendasi yang netral dan objektif saja sifatnya bagi para partisipan tanpa bersikap parsial.

PEMBAHASAN:

Berdasarkan pengalaman serta “best practiceKonsultan Hukum Shietra dalam membawakan mediasi, sengketa dan pertikaian hukum bahkan dalam lingkup internal suatu keluarga, dapat terjadi karena kemungkinan satu dari tiga faktor berikut : Pertama, karena faktor mis-komunikasi, mis-persepsi, ataupun salah-kaprah yang terjadi antar para pihak yang saling bersengketa. Disini, unsur emosional seperti “sentimentil” menjadi jurang sekaligus tembok pemisah yang dapat diatasi lewat medium mediasi yang difasilitasi oleh sang mediator yang netral sifatnya dalam memberikan penilaian terhadap duduk perkara, sehingga dapat diterima oleh para pihak yang saling berselisih paham dan agar mau membuat fleksibel pendiriannya yang semula. Tujuannya, tidak lain ialah untuk membuat para peserta mediasi lebih terbuka untuk bersikap objektif serta membuka ruang komunikasi “dialog” (lawan kata dari “monolog”) yang sebelumnya tidak memiliki “jembatan” untuk itu.

Kedua, karena faktor “harapan semu”, seolah salah satu pihak dapat mengambil keuntungan dari kerugian pihak lain. Kemungkinan skenario kedua ini kerap terjadi ketika salah satu pihak yang “termakan” oleh “harapan semu” berpikir dan sebelumnya berasumsi bahwa dapat memanfaatkan “kesempatan dalam kesempitan” seperti kondisi yang tidak menguntungkan bagi pihak lain, atau ketika pihak lain tampak tidak memahami aturan hukum baik hak dan kewajibannya masing-masing secara hukum, karenanya “harapan semu” bersumber dari penyalah-gunaan kondisi serta situasi oleh satu pihak terhadap pihak lainnya.

Kejahatan, terjadi karena adanya niat (dari pelakunya) serta karena adanya kesempatan. Seorang mediator akan memanfaatkan medium mediasi ini untuk “membuka pandangan” secara sejernih-jernihnya bagi seluruh partisipan, dengan harapan mengajak para pihak yang saling bertikai untuk bersikap saling rasional satu sama lain.

Seorang mediator yang kompeten dibidangnya, dalam hal ini ialah ilmu hukum, akan memberikan pemetaaan masalah secara legal-formil dengan menyisihkan isu-isu non-hukum yang mengemuka dan disaat bersamaan memberikan gambaran konsekuensi-kosekuensi hukum dibalik konstruksi fakta-fakta hukum yang ditemukan dalam sesi mediasi, untuk kemudian diberikan mitigasi serta solusi alternatif yang memungkinkan secara hukum guna tercipta “win win solution” (amicable dispute settlement) yang tampak rasional dan dapat diterima oleh para pihak (mencari tawaran yang dapat disetujui oleh seluruh pihak, sebagai ruang gerak untuk bernegosiasi).

Dimana, bila salah satu pihak masih juga bersikukuh untuk melakukan aksi langkah hukum yang ilegal dan melanggar hukum, atau seperti melanggar hak hukum pihak lain dengan melanggar serta kewajiban hukumnya sendiri, seorang mediator akan memberikan penegasan terhadap konsekuensi hukum yang ada dibaliknya serta bahaya yang tersembunyi untuk mampu dipahami oleh diri bersangkutan dalam bahasa yang mudah dipahami secara awam—terutama bila para partisipan bukan berlatar-belakang Sarjana Hukum.

Dengan cara seperti itulah, para partisipan mulai memahami hak dan kewajibannya masing-masing secara hukum, serta gambaran atas prediksi hukum bila perbuatan demikian terus dilakukan, mengingat masing-masing opsi memiliki konsekuensi hukumnya sendiri, hal mana menjadi tugas serta tanggung-jawab seorang mediator yang memfasilitasinya sebagai sarana edukasi kepada para partisipan, yang karenanya juga “harapan semu” tidak lagi batu sandungan bagi masing-masing pihak, dan mulai dapat saling membuka diri satu sama lain untuk peluang terciptanya konsensus yang hendak dibangun oleh pihak mediator.

Ketiga, faktor “irasional” dan “tidak logis” dari satu atau lebih partisipan. Seringkali Konsultan Shietra menemukan keadaan, dimana tembok besar yang faktor penghalang komunikasi yang lugas ialah suatu sifat yang bernama “tidak rasional” dan “tidak logis”. Jangan pernah berasumsi, bahwa partisipan yang sudah dewasa secara sendirinya memiliki paradigma berpikir yang logis serta dewasa pula sebagaimana umurnya. Kerap terjadi, salah satu pihak partisipan bersikukuh dengan pendiriannya, dan membuatnya tampak irasional sekaligus tidak logis sekalipun secara hukum sudah jelas menunjuk diri bersangkutan sebagai telah melakukan pelanggaran terhadap hak-hak hukum partisipan yang lain.

Sebuah mediasi tidak dapat dilangsungkan, bilamana terjadi satu diantara dua kondisi berikut: Pertama, salah satu pihak sama-sekali tidak bersedia “mundur satu langkah” meski berbagai pihak lainnya telah bersedia untuk itu, sehingga ruang komunikasi yang ditawarkan oleh partisipan lainnya tersebut ibarat “bertepuk (dengan) satu tangan”. Kedua, kedua belah pihak saling tidak bersedia “mundur satu langkah”, yang pada gilirannya fungsi dan tujuan utama dari mediasi menjadi tidak lagi mendapat pijakannya untuk tetap dilangsungkan. Fondasi utama dalam mediasi, ialah ketika para partisipan bersedia untuk “mundur satu langkah”. Ketika hanya salah satu atau kedua belah pihak tidak bersedia untuk “mundur satu langkah”, maka opsi yang terbuka ialah bersengketa di pengadilan untuk diberikan putusan oleh Majelis Hakim.

Kini, kita masuk pada bahasan mengenai “aturan main” dalam suatu mediasi secara kekeluargaan diluar forum pengadilan. Bila keadaan belum memungkinkan bagi sang mediator untuk membacakan “aturan main” dalam mediasi yang akan dibawakan olehnya, maka para partisipan penting untuk mampu memahami “etika komunikasi” sebagai basis “kode etik”-nya, dimana disaat bersamaan “kode etik” kalangan mediator ialah bersifat netral serta objektif terhadap para partisipan, pihak mana pun itu yang membayar biaya jasa sang mediator.

Meski demikian, idealnya pihak mediator membuka mediasi dengan membacakan “aturan main” bagi para peserta dalam forum mediasi, dimana bila para partisipan menyepakati dan menyatakan siap melaksanakan serta patuh pada “aturan main” yang dibawakan oleh sang mediator, maka mediasi dapat dilangsungkan dan dimulai secara damai—sebagaimana dapat dikondisikan oleh pihak mediator. Ketika salah satu atau para pihak berkeberatan atas “aturan main” yang disampaikan pihak mediator, maka pihak mediator berhak untuk mengundurkan diri sebagai mediator karena dapat dipastikan mediasi tidak akan berjalan secara optimal sebagaimana diharapkan.

Adapun substansi “aturan main” dalam mediasi diluar pengadilan, dapat SHIETRA & PARTNERS susun dengan rincian norma sebagai berikut:

- Pertama, ada hak bicara maka ada kewajiban untuk mendengarkan bagi masing-masing partisipan, dalam artian ketika satu orang partisipan berbicara dan menyampaikan pendapat serta kehendaknya dalam forum mediasi, maka selama itu jugalah dirinya wajib mendengarkan pendapat serta kehendak yang disampaikan oleh partisipan lainnya, tanpa boleh diperkenankan untuk meninggalkan forum mediasi (inilah yang disebut sebagai prinsip resiprositas dalam mediasi, alias dialog yang bertimbal-balik dua arah);

- Kedua, ketika mediator ataupun pihak partisipan bertanya kepada seorang partisipan, maka partisipan lainnya tidak diperkenankan untuk menyela ataupun mengintervensi;

- Ketiga, mediator wajib bersifat imparsial dan independen, dalam artian bersikap netral serta objektif ketika menyampaikan serta pandangan hukum atas fakta-fakta yang terungkap dalam forum mediasi;

- Keempat, mediator yang memimpin jalanannya mediasi, dan sekaligus duduk sebagai pemangku jabatan “wasit” yang berhak untuk memberikan kesempatan pada partisipan untuk berbicara dan menyampaikan pendapat atau untuk mengingkari pernyataan partisipan lainnya, serta untuk menyatakan agar suatu partisipan untuk berhenti berbicara sekaligus perintah agar partisipan tersebut mulai mendapat giliran untuk menyimak / mendengarkan pernyataan partisipan lainnya;

- Kelima, para partisipan wajib menaruh hormat dan penghargaan terhadap seorang mediator yang menjalankan profesinya secara profesional. Membangun “aura” saling terbuka dan saling percaya antar peserta mediasi, dimulai dari sikap menaruh kepercayaan dan hormat terhadap seorang sosok mediator ketika “duduk bersama” dalam satu forum mediasi;

- Keenam, ego pribadi, sifat ketidak-terbukaan, sifat kekanakan, sikap-sikap tidak akuntabel, wajib disisihkan oleh para partisipan;

- Ketujuh, masing-masing partisipan didorong untuk saling kooperatif, tidak berbelit-belit, agar mediasi tidak berlarut-larut;

- Kedelapan, masing-masing partisipan penting untuk mampu dan mau memahami hak dan kewajiban hukumnya masing-masing, dan mana bila perlu mediator yang akan membuat uraian serta penegasannya, dengan memastikan seluruh partisipan telah memahami sepenuhnya dengan baik sehingga tiada lagi keraguan dan pertanyaan penuh ketidak-pastian di benak;

- Kesembilan, tiada partisipan yang berhak membuat interupsi ketika mediator menguraikan ataupun menjelaskan pandangan hukumnya;

- Kesepuluh, sikap-sikap yang mencerinkan “kecurangan” ataupun upaya “manipulasi”, tidak akan ditolerir, dimana mediator berhak untuk memberikan teguran secara tegas bagi partisipan yang bersangkutan, serta memberikan pandangan hukum yang semestinya untuk meluruskan persepsi bagi para peserta mediasi;

- Kesebelas, berbicara dan menguraikan klaim secara dilandasi fakta yang dapat dibuktikan (klaim sepihak), bukan sekadar asumsi, bertendensi pada satu kesimpulan yang prematur, justifikasi / pembenaran diri tanpa ladasan hukum memadai, mendiskreditkan martabat partisipan lainnya, terlebih pendapat yang mampu mengecoh partisipan lainnya maupun menggiring mediator agar memiliki asumsi yang keliru;

- Keduabelas, mediator berhak untuk “walk out” bilamana salah satu partisipan tidak kooperatif, tidak menaruh hormat terhadap mediator maupun partisipan lainnya, ataupun ketika mencoba untuk mendominasi jalannya mediasi, atau bahkan tidak patuh terhadap teguran maupun perintah mediator untuk “menutup mulut”-nya sekalipun telah diberikan kesempatan berbicara sebelum itu, terutama pelanggaran terhadap aturan main mediasi ini;

- Ketigabelas, para partisipan menyatakan persetujuannya secara lisan maupun tertulis, untuk tunduk sepenuhnya pada “aturan main” yang diberlakukan dalam forum mediasi, tanpa pengecualian.

Harkat serta martabat seorang mediator, bukan berarti lebih rendah dibanding para partisipan yang menjadi peserta mediasi. Sebaliknya, agar mediasi berjalan lancar dan saling transparan serta akuntabel, para partisipan perlu menaruh sikap hormat terhadap sosok sang mediator yang menjadi “wasit” dalam suatu forum mediasi—karenanya, reputasi serta ketenaran nama sang mediator kadang memang memiliki peran penting, mengingat nama tokoh yang disegani cenderung lebih dihormati dan akan didengar pendapatnya.

Seorang mediator memang perlu bersikap fleksibel, dalam artian mampu memahami kondisi dan situasi masalah, disamping latar-belakang para pihak, serta kendala yang mungkin dapat terjadi. Namun, tidak jarang terjadi pula keadaan menuntut agar sang mediator bersikap tegas tanpa kompromi. Sebagai contoh, ketika salah satu partisipan memaksakan opini serta teorinya kepada partisipan lain yang saling bersengketa, sang mediator dapat menengahi dan memberikan pandangan hukumnya selaku profesional dibidang hukum:

Ini negara hukum, semua hal diatur oleh hukum. Tidak ada istilah perjanjian internal ataupun eksternal keluarga, yang ada ialah perjanjian tersebut sah atau tidaknya secara hukum. Jika mengandung cacat formil, artinya perjanjian itu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, termasuk terhadap internal keluarga yang bersangkutan.

Pernah pula terjadi, dalam suatu mediasi yang dibawakan oleh Konsultan Shietra, salah satu partisipan mencoba mendominasi jalannya mediasi, dengan melakukan berbagai intervensi ketika mediator bertanya kepada seorang partisipan namun partisipan lainnya melakukan interupsi dan intervensi, sebelum kemudian mendominasi jalannya mediasi sehingga menjelma “orasi” alih-alih “mediasi”, dimana bahkan mencoba mendikte sang mediator dan mengambil-alih peran sebagai “wasit”, sampai pada akhirnya bermuara pada aksi arogansi berupa : setelah panjang-lebar secara sepihak dan linear “ber-orasi”, diri yang bersangkutan meninggalkan forum mediasi tanpa mempertanggung-jawabkan sikapnya demikian yang hanya menuntut untuk didengarkan tanpa pernah mau mendengarkan.

Apa yang kemudian terjadi ialah, Konsultan Shietra selaku mediator mempersilahkan yang bersangkutan untuk “OUT” meninggalkan forum mediasi ketika yang bersangkutan puas “ber-orasi” dan menyatakan ingin “out” seketika setelah puas melancarkan “birahi verbal”-nya, yang mana sejatinya juga tidak perlu izin siapapun bila yang bersangkutan hendak “out”—namun mengapa juga menyanggupi diri untuk memasuki forum mediasi bila hanya ingin “pamer arogansi” demikian, dimana semata untuk berbicara secara panjang-lebar tanpa pernah mau mendengarkan, terlebih memberikan kesempatan bagi partisipan lain maupun mediator untuk berbicara, seolah harkat dan martabatnya lebih tinggi daripada sang mediator maupun peserta mediasi lainnya.

Dimana beberapa waktu kemudian, Konsultan Shietra lewat partisipan lainnya yang berselisih dengan yang bersangkutan, mengirimkan pesan singkat sebagai berikut kepada sang partisipan yang tampaknya lebih ulung menjadi “ORATOR” ketimbang sebagai partisipan (peserta belaka, bukan berkedudukan selaku “wasit”) dalam forum mediasi, dengan substansi sebagai berikut:

“Dear Bapak ... , sebagaimana janji Anda yang menyatakan akan memberikan saya kesempatan bicara setelah Anda selesai dan puas berbicara. Kini izinkan saya menyampaikan SATU PATAH KALIMAT, yakni : Saya tidak pernah perduli sebanyak apapun kata-kata atau teori Anda, saya hanya perduli pada apa kata HAKIM DI PENGADILAN.”

Menurut keterangan dari partisipan lainnya, sejak saat itulah sang “ORATOR” tidak lagi pernah tampil bak “arogan” meski sebelumnya dikenal sebagai sosok yang penuh arogansi menurut para partisipan lainnya. Partisipan mana pun janganlah pernah menyangka bahwa seorang mediator tidak membekali dirinya dengan kemampuan pengamatan terhadap karakter peserta mediasi, dimana penilaian terhadap “personality” bahkan terjadi sejak masing-masing partisipan mengucapkan kata-kata pertamanya hingga kata-kata terakhir—guna menilai “niat batin” dibalik ucapan, tingkat intelejensi, kesopanan, jiwa keadilan, keseriusan, itikad, hingga tendensi / kecondongan dalam berpikir, bertutur-kata, dan bersikap.

Seorang mediator, sejatinya menjadi fasilitator bagi para pihak untuk simulasi apa yang akan dikatakan oleh hakim di pengadilan, secara memakai “kacamata” norma hukum yang ada dan berlaku bilamana perselisihan hukum atau sengketa ini benar-benar diteruskan ke “meja hijau” sesuai hukum positif yang berlaku di Indonesia. Dengan cara seperti itulah, sengketa dapat dibuat terang-benderang guna menemukan titik “jalan keluar”-nya, disamping faktor edukasi bagi para partisipan, hingga masing-masing menyadari hak dan kewajiban masing-masing.

Ketika salah satu partisipan tidak mampu menghargai kesempatan berharga untuk memprediksi apa yang akan terjadi bila sengketa ini berlanjut ke pengadilan, sama artinya diri bersangkutan kehilangan kesempatan untuk diberikan “prediksi” oleh sang mediator, yang dalam derajat tertentu, ialah seorang “cenayang” yang dapat memprediksi masa depan yakni kejadian di persidangan lengkap dengan apa yang menjadi putusan hakim dengan produk putusan pengadilannya yang dapat diterapkan lewat alat-alat pemaksa.

Ilmu Hukum adalah ilmu tentang prediksi, dimana sang mediator dapat menjadi fasilitator untuk memprediksi gambaran akan “masa depan” bagi para partisipan bilamana sengketa hukum demikian benar-benar sampai berlanjut ke depan “meja hijau” untuk diputus oleh seorang hakim, sebelum memastikan kepada para pihak partisipan agar tidak menyesal dikemudian hari dan apakah benar demikianlah yang hendak ia atau mereka inginkan terjadinya dikemudian hari.

Mitigasi, hanya dapat ditempuh bilamana seorang mediator dapat memberikan gambaran perihal prediksi perihal konsekuensi logis yang mungkin akan tercipta terhadap sengketa hukum yang menjadi pokok diskusi dalam forum mediasi, serta disaat bersamaan kepatuhan para partisipan untuk saling menjaga etika komunikasi, serta untuk memberikan “early warning” bila masih dilakukan oleh salah satu ataupun oleh kedua belah pihak. Mediasi, adalah bagian dari mitigasi itu sendiri, sepanjang para pihak yang bertikai saling beritikad baik dan menaruh hormat disamping kepercayaan terhadap pihak mediator selaku “penengah” yang memberikan fasilitas berupa “jembatan”.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.