Sekelumit Ambiguitas Parameter Tindak Pidana PENADAHAN, Harga Murah apakah Identik Hasil Kejahatan Pencurian / Penggelapan?

ARTIKEL HUKUM

Membeli dengan Harga Murah Dibawah Harga Pasar, apakah Selalu Diancam dengan Tuduhan sebagai Penadah Pidana Penadahan?

Tidak sedikit teori ilmu hukum pada “text book” di Indonesia, baik pidana maupun perdata, yang mungkin saja relevan dan benar adanya satu atau dua abad yang lampau, namun bisa jadi sudah tidak lagi relevan seiring perkembangan zaman terutama pada abad modern ini yang telah banyak perubahan konteks sementara tekstual konsep hukumnya terutama teori serta asas-asas ilmu hukum ternyata masih mengadopsi teori dan konsepsi hukum klasik yang tergolong “usang” serta “berkarat” akibat tertinggal oleh zaman—sehingga sudah saatnya dan sudah sepatutnya untuk kita tinjau atau setidaknya dikaji ulang dengan perspektif yang lebih kontemporer guna rasionalisasi penerapan ilmu hukum pada praktik yang lebih dapat diterima secara akal sehat sesuai “konteks” zaman yang ada saat kini, yang dalam kesempatan ini SHIETRA & PARTNERS akan melakukan eksaminasi teori ilmu hukum pidana secara spesifik terkait delik kejahatan klasik bernama “penadahan”.

Untuk menentukan “harga pasar” produk baru, mungkin masih memungkinkan, namun bagaimana dengan menentukan “harga pasar” sebuah produk “second”? Harga produk-produk “second hand” sangatlah beragam usia pakai dan kondisi amortasinya, dimana juga siapakah yang berhak menentukan “harga pasar” ini? Contoh lain, barang-barang yang dijual dalam lelang eksekusi, baik lelang eksekusi putusan pengadilan, lelang eksekusi Hak Tanggungan, hingga lelang eksekusi fidusia berupa kendaraan bermotor maupun alat berat, dapat mencapai separuh dari harga pasar.

Bila Kantor Lelang Negara disahkan dan dilegalkan dalam praktik hukum lelang selama ini untuk menjual barang dengan harga jauh dibawah “harga pasar”, dimana dimungkinan hanya terdapat satu orang peserta lelang yang menawar dan membeli sebatas “harga limit lelang” yang ditetapkan boleh jadi hanya separuh “harga pasar”, lantas mengapa masyarakat dan para “trader” ataupun pedagang pada toko-toko yang dikelola sipil, tidak diperbolehkan melangsungkan transaksi jual-beli produk dengan harga diskonto yang tinggi? Jual-beli piutang semacam cessie atau subrogasi, bahkan sudah lazim dapat dipotong diskon hingga lebih dari tiga puluh persen.

Sebagaimana diketahui banyak pengusaha dan kalangan “trader”, semakin banyak membeli produk grosiran / kulakan, semakin besar diskon diberikan pihak penjual, dan semakin besar pula ruang negosiasi harga, karenanya kian berjarak dengan “harga pasar”. Masalahnya, baik norma pidana pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun pada berbagai preseden putusan pengadilan, tidak pernah menjadikan pertimbangan faktor pembelian secara kulakan / grosiran ini sebagai unsur yang mempengaruhi harga jual-beli dalam transaksi jauh dibawah “harga pasar”—sekalipun sudah lazim dalam dunia niaga para “trader” dan pebisnis yang sehari-hari jual-beli produk niaga. Adalah wajar mencari dan mengejar “harga termurah” semurah mungkin lewat ruang negosiasi dan relasi ataupun eksplorasi pasar yang tersebar luas dengan harga yang saling beragam atas produk baru yang sama.

Terkadang beberapa pedagang melakukan aksi “cuci gudang”, dimana untuk mempercepat proses, maka sang pedagang bahkan siap untuk “jual rugi” agar gudang miliknya dapat cepat bersih-kosong untuk dapat diisi dengan inventaris stok produk-produk perdagangan model keluaran terbaru, sebagai contoh. Apakah usahawan “trading” lain yang mengetahui niat sang pedagang untuk menjual harga murah lewat “cuci gudang”, lantas mundur dari niatnya hendak membeli seluruh produk “cuci gudang” di gudang sang pedagang, semata karena harganya jauh dibawah “harga pasar”, mengingat ancaman dituduh dan tertuduh sebagai pelaku penadah aksi penadahan?

Dalam fenomena terbaru yang belum pernah diketahui oleh para pembuat KUHP lama sebelum era jual-beli “online” (marketplace) dikenal dan marak seperti sekarang kini, terlebih oleh kalangan Hakim Agung yang telah “sepuh”, terdapat fenomena penawaran produk lewat ajang promosi semacam “FLASH SALE” atau “SALEgimmick lainnya, dimana harga jual produk-produknya diluar angka psikologis seorang konsumen, yakni menyerupai “banting harga” yang masuk pada taraf tidak “masuk akal”—dimana ternyata tiada satupun pihak “buyer” yang didakwa sebagai seorang Terdakwa tindak pidana penadahan.

Jangankan berbicara “harga pasar” produk “second”, produk baru sekalipun ternyata harganya demikian beragam, dimana justru harga-harga dapat dipasarkan jauh lebih mahal di dalam suatu “marketplace” yang sama, sehingga disparitas harganya menjadi demikian kontras antara yang termurah dan termahal (yang diperkeruh oleh para “dropshipper” yang me-“mark up” harga penawaran), yang karenanya juga kian menyukarkan kita dalam mengambil “angka tengah” bernama “harga pasar”.

Bagi mereka yang kerap berbelanja secara “online” pada sebuah marketplace apapun itu, dimana produk baru yang dijual ialah sama adanya baik merek maupun spesifikasi, namun oleh beragam pihak penjual “online”, ternyata masing pihak penjual “online” menerapkan penawaran “harga jual” yang saling bervariasi satu sama lain, dimana bahkan yang menjual jauh diatas “harga pasar” jauh lebih banyak daripada yang menjual secara murah dimana juga hanya segelintir yang tergolong sebagai penjual yang menjual dengan harga termurah—dimana juga pedagang yang segelintir inilah yang paling laku diminati kalangan “customers” (TERMURAH!). Jika demikian, bukankah itu artinya yang menjadi “harga pasar” ialah “harga termurah” (semata karena paling laku dan diminati)? Itulah aturan main dan “hukum niaga” dalam dunia jual-beli “online” bernama marketplace.

Tidak jarang pula terdapat sebagian penjual “online” yang menawarkan dengan memasang harga jauh diatas kompetitor lainnya, sehingga sejatinya “merusak harga pasar” bukan hanya dapat terjadi atau dilakukan oleh mereka yang menjual harga secara “banting harga”, namun mereka yang menawarkan dengan harga “kelewat mahal” alias “kemahalan” juga turut berkontribusi merusak “harga pasar”. Karenanya, “harga pasar” tidaklah identik dengan “harga tengah” antara yang Termurah dan yang Termahal.

Para “trader” selaku “orang lapangan dunia bisnis dan perdagangan niaga” yang selama ini mengambil untung dari pencarian hingga perburuan produk-produk dengan margin harga antara “harga termurah” pembelian terhadap “harga pasar”, selama ini mengetahui betul bahwa barang-barang dengan “harga murah” tidak selalu berasal terlebih berkonotasi membeli barang-barang dari hasil kejahatan semacam selundupan, pencurian, ataupun penggelapan. Keterampilan bernegosiasi, bereksplorasi guna menemukan penjual yang kebetulan berniat melepas dengan “harga murah”, bukanlah hal mustahil dalam dunia jual-beli produk, dimana margin selisih antara “harga beli yang termurah” terhadap “harga pasar” menjadi basis keuntungan profit sang “trader”.

Sudah tidak tepat lagi menjadikan faktor “harga pasar” sebagai parameter untuk menentukan seseorang telah melakukan tindak pidana penggelapan atau tidaknya. Secara pribadi, penulis lebih setuju menjadikan barometer “harga pabrik” sebagai faktor yang lebih rasional, dimana para “trader” yang terbiasa bertransaksi jual-beli di tingkat rantai distribusi sebelum sampai ke pedagang eceran di pasaran, menjadikan “harga pabrik” sebagai basis negosiasi tawar-menawar mereka, BUKAN “harga pasar”. Mengingat basis penilaian dan kalkulasi bisnis seorang “trader” ialah memakai “harga pabrik” alih-alih “harga pasar”, maka apakah artinya kalangan profesi “trader” rawan sewaktu-waktu di-kriminalisasi sebagai seorang pelaku penadahan?

Bagi kalangan trader, istilah-istilah seperti “harga pasar”, “harga pabrik”, “harga distributor”, “harga lusinan”, “harga kuintal”, “harga reseller“, menjadi variasi harga yang variabelnya demikian bersenjang satu sama lain, dimana ternyata “harga pasar” menjadi basis harga TERTINGGI dimana margin keuntungan seorang “trader” didapatkan atau bersumber dari mengejar dan memburu produk-produk dengan harga yang setidaknya mendekati “harga pabrik” maupun “harga distributor” ataupun “harga pembelian jumlah besar”. Singkat kata, yang dikejar atau sumber penghasilan profit kalangan “trader” ialah memang “HARGA MURAH” hingga mendekati “HARGA TERMURAH”. Fakta realita dunia niaga di lapangan inilah, yang tampaknya kurang dimiliki pengalaman serupa oleh para Hakim Agung di lembaga Mahkamah Agung RI yang berlatar-belakang bukan sebagai seorang “trader”.

Celakanya, Mahkamah Agung Republik Indonesia telah memiliki padangan hukum, bahwasannya  barang yang dibeli dengan harga yang tidak sesuai harga pasar, patut diduga bahwa barang tersebut diperoleh dari kejahatan. Pasal 480 Ayat (1) KUHP menyatakan bahwa melakukan perbuatan-perbuatan tertentu, yang diantaranya adalah menjual dan membeli, terhadap barang yang diketahui atau patut diduga berasal dari tindak pidana, dikategorikan sebagai kejahatan penadahan. Frasa “patut diduga”, menjadi ruang perdebatan akibat “sumir” disamping “ambigu”. Kita pun patut menduga seluruh barang-barang TERMURAH yang dijual di marketplace, adalah barang hasil pencurian atau penggelapan.

Kita ambil pula contoh ekstrim lainnya, bilamana harga barang yang dijual di marketplace itu ternyata sudah merupakan harga TERMURAH, namun akibat pedagang lain yang demikian nakalnya merusak “harga pasar-an” dengan memasang harga yang jauh lebih tinggi ketimbang produk serupa lainnya di masyarakat (berkebalikan dari manuver “banting harga” lewat aksi “tidak ambil untung” atau bahkan “dumping”), dan jauh lebih tinggi berkali-kali lipat dari “harga pasar”, maka itu sama artinya “harga pasar” secara otomatis dibuat bergeser pula statusnya sebagai “harga TERMURAH”, dimana “harga TERMURAH” pastilah “pidana penadahan”—bagai “lingkaran setan”, siklus wacana yang menyerupai “perang urat saraf” dalam suatu skema “perang dagang” pada kawasan pasar lokal.

Mahkamah Agung RI secara bertendensi tanpa mau memahami dunia “trading” dewasa ini bergerak dalam skala bukan lagi “lusinan” seperti para satu abad lampau yang masih memakai moda transportasi semacam seekor kuda atau “gerobak” sederhana, namun bisa berupa “harga jual-beli partai besar”, sehingga kalangan Hakim Agung secara “absurd” berpendapat bahwa apabila sebuah barang dijual atau dibeli di bawah harga pasar / standar, maka barang tersebut wajib serta harus patut diduga berasal dari tindak pidana.

Mari kita uji pandangan hukum “naif” demikian dengan contoh ilustrasi sederhana. Cobalah masukkan produk satu merek mie impor dari Korea pada kolom pencarian dari salah satu marketplace di Tanah Air, dan lihatlah hasilnya, terdapat ratusan pedagang “online” di dalamnya menjajakan produk baru yang sama antar pedagang yang menjadi kompetitornya, namun rentang harga termurah hingga termahal dapat mencapai rentang selisih yang sangat tinggi perbedaannya berkali-kali lipat. Lantas, yang manakah yang merupakan “harga pasar”? Apakah artinya memutuskan untuk memesan dan membeli “harga termurah” yang bisa kita temukan dan dapatkan pada marketplace dimaksud, alih-alih membeli “harga tengah-tengah” (dari nilai pertengahan antara yang harga termurah dan harga yang termahal atas produk baru yang sama), sudah merupakan indikasi terjadinya tindak pidana penggelapan?

Mari kita saksikan praktik pada lembaga peradilan selama ini yang masih dipertahankan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia bahkan hingga dewasa ini. Mahkamah Agung RI dalam putusan perkara pidana “penadahan” register Nomor 170 K/Pid/2014, membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:

“Bahwa alasan kasasi Penuntut Umum tidak dapat dibenarkan, karena putusan Judex Facti Pengadilan Tinggi yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri adalah putusan yang telah mempertimbangkan pasal aturan hukum surat dakwaan secara tepat dan benar berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap dan sesuai dengan alat bukti yang diajukan dimuka sidang, yaitu Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana: Penadahan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 480 Ke-1 KUHP.

“Bahwa seharusnya Terdakwa curiga dengan harga 1 (satu) unit pompa air milik PDAM seharga Rp3.000,00 (tiga ribu rupiah) yang tidak sesuai dengan harga pasar.”

Adapun tanggapan Konsultan Shietra : Penulis bahkan baru mengetahui bahwa “harga pasar” pompa air milik PDAM ternyata tidak senilai harga demikian, dan bahkan sama sekali tidak memiliki gambaran ataupun petunjuk berapa “harga pasar” untuk sebuah produk bernama pompa air. Kita tidak begitu rajinnya membuang-buang waktu yang terbatas untuk riset “harga pasar” segala macam produk di Indonesia, dari satu toko ke toko lainnya, dari perkotaan hingga pedesaan.

Terdapat jutaan produk di dunia ini, mustahil kita mengetahui seluruh “harga pasar” jutaan produk tersebut yang beredar di pasaran. Sebagai contoh, adakah yang mengetahui berapakah “harga pasar” untuk sebuah produk semacam mesin cuci, rice cooker, dispenser air dengan listrik, blender jus, maupun produk-produk rumah tangga lainnya? Jika kita mencoba riset “harga pasar” pada marketplace, barulah kita akan memahami, TIDAK ADA YANG NAMANYA “HARGA PASAR”—kecuali Anda atau sang Hakim Agung tidak pernah mencoba terlebih terbiasa berbelanja secara “online”.

Resiko kedua memakai pandangan Mahkamah Agung RI, fluktuasi harga dapat membawa peran pengaruh penting dalam rentang harga. Perubahan harga produk sepeda dikala pandemik yang disebabkan wabah virus menular mematikan, seperti yang pernah melanda dunia akibat Corona Virus, tidak terkecuali di Indonesia, mengakibatkan “harga jual” produk semacam sepeda naik nilainya berkali-kali lipat di pasaran. Mengapa untuk naik harga, seolah sah-sah saja, sementara untuk turun harga seolah terancam dikriminalisasi pidana “penadahan” karena membeli dengan harga menyimpang dari “harga pasar” yang ada selama ini? Itulah yang disebut dengan “standar ganda pemidanaan”. Apakah artinya pula, untuk kembali ke harga semula ketika keadaan kembali normal, pasca terjadinya fluktuasi tinggi “harga jual” produk di pasaran, menjadi mustahil tejadi akibat dihantui ancaman pidana “penadahan” yang sumir dan tidak jelas indikator rumusan pasalnya?

Mari kita tinjau kembali pendirian Mahkamah Agung RI dalam putusan pidana “penadahan” pada register perkara lainnya. Mahkamah Agung RI lewat putusan Nomor 1008 K/Pid/2016, membuat pertimbangan hukum bahwa Terdakwa terbukti melakukan tindak pidana penadahan karena telah membeli satu unit Laptop merk Toshiba dengan processor core i5 beserta charger-nya dan satu unit power bank serta satu tas warna hitam seharga Rp. 2.200.000,-; padahal harga pasar / standar untuk barang tersebut adalah Rp. 5.500.000,-.

Kini, tidak jarang beredar produk laptop dengan harga kisaran Rp. 2.000.000 dan sudah merupakan produk baru yang tergolong “low end“ sekalipun. Namun siapa yang mengetahui, bahwa merek tersebut dengan spesifikasi semacam “processor core i5” ialah seharga demikian tinggi? Komputer merupakan produk yang cepat sekali “kadaluarsa”, dalam artian beberapa tahun kemudian dapat menjadi “ketinggalan zaman” sehingga harganya terdepresiasi. Bisa jadi, kini, selang beberapa tahun sejak putusan di atas dijatuhkan, laptop dimaksud sama sekali tidak laku meski dijual separuh harga.

Dalam beberapa putusan lain, Mahkamah Agung RI tampaknya masih mengadopsi pandangan serupa untuk melihat apakah barang yang diperjual-belikan “patut diduga” berasal dari tindak pidana, meski digunakan untuk konteks sebaliknya guna membuktikan bahwasannya Terdakwa tidak terbukti melakukan penadahan, sebagaimana dapat kita jumpai pada putusan Mahkamah Agung RI Nomor 770 K/Pid/2014 serta Nomor 607 K/Pid/2015, dimana Terdakwa dalam putusan-putusan tersebut membeli barang dengan harga yang sama dengan harga pasar / standar, sehingga barang tersebut tidak patut diduga berasal dari tindak pidana, oleh karenanya Terdakwa tidak dapat dinyatakan telah terbukti melakukan “penadahan”.

Seolah inkonsisten dengan pendirian Mahkamah Agung RI sebelumnya, dimana semata “harga pasar” sebagai indikator mutlak penentu seseorang patut diduga melakukan “penadahan” atau tidaknya, pada perkara pidana lainnya Mahkamah Agung RI justru mengambil indikator lain, yakni pendapat : Bilamana seseorang membeli kendaraan bermotor tanpa dilengkapi surat-surat kendaraan yang sah, orang tersebut seharusnya patut menduga kendaraan tersebut berasal dari kejahatan. Patut menjadi pertanyaan oleh SHIETRA & PARTNERS : Bagaimana bila membeli kendaraan bermotor sekalipun tanpa surat-surat kendaraan, namun dengan harga pasar? Bagaimana juga bila sebaliknya, membeli kendaraan bermotor lengkap dengan segala dokumen kendaraan, namun dengan harga jauh dibawah “harga pasar”?

Mahkamah Agung dalam perkara dakwaan terkait penadahan kendaraan bermotor, berpendirian bahwa apabila kendaraan bermotor diperoleh dengan tidak dilengkapi surat-surat legalitas terkait kendaraan, maka patut diduga kendaraan bermotor tersebut diperoleh dari tindak pidana, sebagaimana tertuang dalam putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1586 K/Pid/2011 maupun Nomor 1750 K/Pid/2012, yang pada pokoknya menyatakan bahwa Terdakwa menyadari perihal tiadanya dokumen terkait kendaaan yang dibeli olehnya sehingga patut diduga bahwa motor dimaksud adalah kendaraan hasil kejahatan dikarenakan tanpa disertai surat-surat yang sah.

Tampaknya, penadahan lebih banyak menjerat seorang Terdakwa yang dinyatakan bersalah semata karena kelalaiannya (karena tidak “menduga-duga” alias tidak “berprasangka buruk”), alias “delik culpa”. Pendapat yang senada dapat kita jumpai dalam putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1056 K/Pid/2016, dimana terdapat pertimbangan hukum:

“Bahwa seharusnya Terdakwa ketika membeli sepeda motor yang tidak dilengkapi dengan surat-surat harus dapat menduga bahwa sepeda motor yang dibeli tersebut berasal dari hasil kejahatan atau dalam keadaan bermasalah.”

Secara terpisah, Mahkamah Agung RI lewat putusan Nomor 371 K/Pid/2017, membuat pertimbangan hukum serupa:

“Bahwa putusan Judex Facti telah mempertimbangkan fakta hukum yang relevan secara yuridis dengan tepat dan benar sesuai fakta hukum yang terungkap di muka sidang, yaitu perbuatan Terdakwa yang menerima gadai 1 (satu) unit sepeda motor ... tanpa surat-surat dan plat nomor dari Saksi Abdul Rahman seharga Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), kemudian menyuruh Saksi Rusdi membeli plat nomor ,,, untuk dipasang pada sepeda motor yang diterima gadainya tersebut, telah memenuhi semua unsur tindak pidana dalam Pasal 480 Ayat (1) KUHP pada Dakwaan Tunggal.”

Meski demikian, telah ternyata dalam praktik di Mahkamah Agung RI, unsur “kesengajaan” dalam penadahan tidak selalu otomatis dapat dianggap terbukti walaupun terdakwa membeli kendaraan tanpa surat-surat, sebagaimana tampak secara kontras lewat putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1503 K/Pid/2015 tanggal 29 Maret 2016, unsur “kesengajaan” ini dianggap tidak terbukti, karena dalam perkara tersebut sebelum melakukan pembelian dilakukan atas kendaraan yang ada di showroom pihak penjual, serta terdakwa telah berkali-kali menanyakan surat-surat kendaraan tersebut, sehingga Mahkamah Agung RI membuat pertimbangan hukum elaboratif untuk memecah “kebuntuan” teori hukum penalisasi, sebagai berikut:

“Putusan Judex Facti yang menyatakan Terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan Penuntut Umum telah didasarkan pada pertimbangan atas seluruh fakta-fakta yuridis yang terungkap dalam persidangan perkara a quo. Terdakwa tidak mengetahui bahwa mobil yang ditawarkan tersebut diperoleh dari kejahatan, terbukti Terdakwa ada beberapa kali menanyakan surat-surat mobil tersebut kepada Roni, terlebih mobil yang ditawarkan Terdakwa tersebut adalah mobil yang dijual di showroom milik Roni, sehingga Judex Facti mempertimbangkan bahwa perbuatan Terdakwa tersebut bukan merupakan perbuatan kejahatan dalam Pasal 480 Ke 1 jo. Pasal 55 KUHPidana atau Pasal 480 ayat (2) KUHPidana jo. Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.”

Sifat kasuistik suatu perkara, sangat ditentukan oleh detail karateristiknya, hal mana tidak terdapat pertimbangannya dalam teori yang sifatnya menggeneralisir seluruh karakter perkara yang mungkin terjadi. Sifat kontektual sebuah perkara yang kasuistik lainnya, dapat kita jumpai pula lewat putusan Mahkamah Agung RI Nomor 300 K/Pid/2014 tanggal 28 Agustus 2014, dimana Terdakwa didakwa dengan tuduhan telah melakukan penadahan karena membeli sebuah sepeda motor Rp. 1.500.000,00 (satu juta rupiah) tanpa dilengkapi surat-surat.

Namun yang menarik perhatian, oleh Pengadilan Negeri Muara Bungo pihak Terdakwa diputus vonis “bebas”. Putusan Pnengeri Muara Bungo demikian kemudian dikukuhkan oleh Mahkamah Agung RI dengan pertimbangan hukum bahwa ternyata sepeda motor tersebut tidak berasal dari pencurian, namun merupakan jaminan pembayaran utang oleh sang pemilik kendaraan kepada pihak penjual (sebagai “agunan”, atau gadai), sehingga karena itulah Mahkamah Agung RI merasa perlu untuk membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:

“Bahwa alasan keberatan Pemohon Kasasi tentang terbuktinya dakwaan Penuntut Umum terhadap Terdakwa yang telah dinyatakan tidak terbukti oleh Judex Facti tidak dapat dibenarkan, karena Judex Facti telah mempertimbangkan dengan tepat dan benar, bahwa Terdakwa harus dinyatakan tidak terbukti bersalah, karena sejak awal sepeda motor tersebut bukan barang curian tetapi pinjaman yang akhirnya sampai kepada Terdakwa tanpa surat-surat lengkap sebagaimana in casu, sebagai jaminan pinjaman sejumlah Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).”

Penutup oleh SHIETRA & PARTNERS:

Untuk menentukan terbukti atau tidaknya dakwaan Jaksa Penuntut terhadap seroang Terdakwa pidana “penadahan”, lebih tepat kiranya menyesuaikan masing-masing karakteristik perkara secara “kasuistik” ketimbang secara “generalis” yang “pukul rata” indikatornya. Karenanya, peran “preseden” menjadi penting mengingat sifatnya sangat kontekstual antar “norma hukum bentukan preseden” lainnya sesuai ragam karakteristik masing-masing “preseden”.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.