Melarang Menyalah-Nyalahkan Sama Artinya Sedang Menyalahkan Orang Lain karena Menyalah-Nyalahkan Kesalahan, Salah yang Lebih Salah daripada Kesalahan yang Salah

ARTIKEL HUKUM

Hakim yang baik tidak akan pernah melarang Jaksa Penuntut untuk menyalah-nyalahkan seorang Terdakwa, sepanjang dapat dibuktikan kebenaran tuduhannya. Polisi yang baik tidak akan melarang warga korban pelapor untuk menyalah-nyalahkan pelaku yang menjadi terlapor, sepanjang adalah fakta. Raja Neraka, akan berkata “salah sebagai salah, dan benar sebagai benar”. Bagi sang Raja Neraka, membenar-benarkan kesalahan adalah dosa besar, karena tidak berbeda dengan perilaku pelaku kesalahan itu sendiri. Kebenaran adalah “harga mati” yang tidak dapat ditawar-tawar. Raja Neraka adalah seorang Eksekutor, memang tugasnya untuk menghukum yang bersalah. Jika tidak ada yang bersalah, tentunya neraka akan kosong dari penghuni, dan penjara tidak akan sepadat seperti sekarang ini. Mengapa faktanya justru OVERLOAD, sehingga pemerintah menerapkan kebijakan OBRAL REMISI?

Namun, baru akan menjadi “akar penyakit”, ketika aktor pelaku kesalahan kemudian bersikap “sok suci” dengan nada menggurui justru merasa berhak untuk “menghakimi” para korbannya, berkomentar kepada publik:

Jangan menyalah-nyalahkan, saya tidak pernah menyalahkan siapapun, saya tidak pernah menyalahkan pemerintah ataupun masyarakat, karena itu dosa bila menyalah-nyalahkan (seolah dirinya hendak berkata : salahkan saja nasib buruk korban jiwa yang meninggal akibat wabah yang tidak kunjung diatasi dan tidak kunjung ditangani secara serius di Republik Indonesia ini, dimana pemerintah lebih sibuk mengurusi ekonomi lewat kebijakan ‘pura-pura tidak ada wabah’). Saya sendiri tidak pernah jatuh sakit selama hidup saya yang telah mencapai umur 50 tahun ini, sekalipun tanpa memakai masker saat pandemik dan ikut berkerumun, karena saya beriman pada Tuhan (seolah dirinya hendak berkata : Salahkan saja korban jiwa yang tewas karena pandemik virus menular mematikan, karena mereka tidak memiliki ‘Vaksin Iman’.)”

Memang disayangkan, orang-orang yang telah tewas dan terbujur kaku di peti jenasah karena pandemik, tidak lagi dapat berkomentar—sementara orang-orang “arogan” yang kebetulan sedang beruntung ternyata memiliki mulut yang besar sekali, menebarkan “virus pikiran” yang tidak bertanggung-jawab. Jika memang hendak “tidak menyalah-nyalahkan siapa pun”, mengapa juga dirinya masih berkomentar alih-alih menutup mulutnya sendiri?

Masih juga melontarkan komentar, sama artinya dirinya hendak “menyalah-nyalahkan”, siapa lagi jika bukan menyalah-nyalahkan pihak-pihak yang sedang menyalah-nyalahkan? Menyalah-nyalahkan dengan “balutan” atau “kemasan” sikap “sok suci” lewat permainan kata-kata “jangan menyalah-nyalahkan, saya tidak pernah menyalah-nyalahkan siapapun, karena itu dosa”. Ternyata, masyarakat kita sangat pandai dalam hal “tipu muslihat” (permainan kata). Dalam hal ini, sebagian dari masyarakat kita bahkan sama berbahayanya dengan virus penyebab wabah itu sendiri.

Itulah komentar-komentar yang tidak jarang kita saksikan atau dengar dalam keseharian, dari warga-warga yang merasa berbangga diri terjebak dalam apa yang disebut oleh Sang Buddha sebagai “kesombongan atas kesehatan serta kehidupan”. Komentar-komentar semacam itu jugalah, yang mengklaim tampil bak “suciwan” namun disaat bersamaan mendiskreditkan korban-korban jiwa yang bertumbangan maupun calon-calon korban berikutnya (terutama kalangan medik yang gugur dalam menjalankan tugasnya) seolah para korban jiwa tersebut tewas akibat tidak memiliki “iman” sementara diri sang komentator “di-anak-emas-kan” oleh Tuhan karena rajin “lip service” kepada Tuhan sementara para tenaga medik tersebut melakukan pelayanan kepada masyarakat secara real, bukan sekadar “umbar lidah”. Komentar-komentar yang mencerminkan betapa dangkal IQ dan EQ para rakyat “komentator” yang menjadi bagian dari Bangsa Indonesia.

Pemerintah Indonesia dituding oleh sebagian pihak yang “intelek” (minoritas, orang-orang “eling” adalah kaum minoritas di republik ini, yang justru suaranya kerap dianggap sebagai “nyamuk pengganggu” yang seolah wajib untuk disingkirkan), dimana pemerintah ditengarai tidak menerapkan kebijakan tegas seperti “lock down” karena adanya faktor politis seperti unsur “kepentingan segelintir pihak spekulan”, sekalipun secara kalkulasi bisnis dana untuk “lock down” tidak-lah sebesar biaya yang dikeluarkan untuk kebijakan “berlarut-larut” seperti sekarang ini dalam menghadapi wabah yang diakibatkan pandemik virus menular mematikan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Mungkin, inilah proyek “akal-akalan” terbesar setelah proyek “mega-korup” e-KTP, dana yang digelontorkan tidak tanggung-tanggung, ratusan triliun rupiah di-umbar serta di-obral pemerintah dengan mengatas-namakan bantuan sosial. Wabah, justru menjadi alasan pembenar bagi pihak penyusun kebijakan untuk menguras keuangan negara [baca : uang (milik) rakyat].

Pemerintah, dinilai kalangan cendekiawan, sebagai terlampau “serakah”, meminta dan menuntut “terlampau banyak”, mengharap dapat “mencurangi keadaan” realita wabah dengan memungkiri realita terkait ancaman yang dibawa oleh wabah, namun tidak ingin berkorban secara ekonomi lewat kebijakan “puasa” bernama “LOCK DOWN murni”. Dengan demikian, yang patut dimintakan pertanggung-jawaban karena mengumbar “hoax” kepada publik dan warga, seolah-olah wabah tidak pernah ada, adalah pihak pemerintah itu sendiri, dimana rakyat kini hanya meneladani kebijakan “pura-pura tidak ada virus menular mematikan”.

Lock down” ataupun tidak “lock down”, stabilitas ekonomi tetap akan terdepresiasi, bahkan jauh lebih merugikan secara kalkulasi ekonomi akibat keadaan yang serba tidak pasti yang ditimbulkan kebijakan tidak tegas, “separuh hati”, hingga keadaan yang serba “berlarut-larut”. Pemerintah dinilai menutup mata dari adanya bahaya laten dibalik kebijakan serba “berlarut-larut” tanpa adanya ketegasan. Semakin berlarut-larut, semakin kondisi ekonomi suatu negara akan kian menjurus ke dalam lembah resesi makin dalam dan makin dalam lagi. Pada gilirannya, ekonomi siapa lagi yang bukan dikorbankan jika bukan ekonomi segenap rakyat kita itu sendiri akibat kebijakan yang “separuh hati” dan “penuh KOMPROMI POLITIS” demikian?

Dalam strategi perang klasik maupun modern, mundur satu langkah tidak jarang adalah langkah untuk maju bertempur secara lebih efektif, dimana dalam konteks berperang melawan wabah, “lock down” adalah langkah mundur satu atau dua bulan “puasa ekonomi”. Kebijakan yang paling tampak mencolok ditampilkan pemerintah Indonesia, alih-alih kebijakan tegas tidak kenal kompromi, ialah justru kebijakan “pura-pura semua sudah normal dan aman saja seperti sedia kala tanpa adanya ancaman wabah apapun”—sehingga sikap pemerintah justru lebih buruk ketimbang sikap “bandel” dan “pembangkang” warga kita terhadap “protokol kesehatan (cegah COVID-19)”, karena pihak otoritas pemerintahan kita itu sendiri yang menampilkan wajah demikian KOMPROMISTIS terhadap sang wabah seolah mampu menegosiasikan dan bernegosiasi dengan sang wabah dengan tawaran konyol “pura-pura tidak ada wabah”, mengingat budaya bangsa kita ialah kultur patronase yang meneladani sikap “munafik” pemerintahnya.

Secara logika sederhana, faktor keselamatan segenap rakyat seyogianya dijadikan isu proriotas dalam rangka menyusun kebijakan dalam kondisi “DARURAT” ketimbang memaksakan diri menjaga stabilitas ekonomi tanpa bersedia “puasa ekonomi” selama pemberlakuan “lock down” selama satu hingga dua bulan laamnya. Sebagai contoh, ketika dalam kondisi darurat semacam peperangan dengan musuh yang “kasat mata”, apakah kita masih memikirkan faktor ekonomi? Bisa selamat saja sudah syukur, sehingga mengapa tiada memori kolektif yang tersisa bagaimana Negeri Indonesia sebelumnya pernah dijajah dan terjajah?

Apakah ini, yang disebut “mental terjajah”, belum benar-benar berperang saja sudah menyerah dan bertekuk lutut memohon dikasihani dengan mengandalkan “vaksin”? Di-kemanakan pula “Vaksin Iman” yang semula begitu dibangga-banggakan bangsa kita ini, yang merasa kebal pada mulanya dari wabah apapun, kini ternyata harus pula “babak-belur” mencicipi “azab dari Tuhan”, sementara Tiongkok saat kini telah “lepas landas” meninggalkan Indonesia yang tertinggal jauh di belakang yang berjibaku dengan wabah yang tidak kunjung tuntas. Bangsa Indonesia dikenal “jagoan” karena sanggup “puasa makan” selama sebulan penuh, mengapa kini takut dan ANTI kembali ber-“puasa” untuk periode yang sama? JIka sanggup patuh pada “halal lifestyle” dengan demikian ketatnya secara penuh fanatisme, mengapa untuk urusan mengenakan masker saja, justru terjadi “perang saudara”?

Indonesia, mengaku sebagai negara “miskin” sehingga mengklaim tidak sanggup membiayai rakyatnya sendiri untuk “lock down”—namun, mengapa disaat bersamaan seolah pemerintah Indonesia bersikap seolah memiliki sumber daya memadai untuk mengobati / kuratif (bantuan sosial tunai) terhadap warga terjangkit wabah ketimbang biaya untuk preventif (lock down), sekalipun di hadapan WTO pemerintah Indonesia merasa bangga digolongkan sebagai negara “maju”, alias kebijakan “berstandar ganda”, terhadap dunia global mengaku bukan negara “miskin” namun terhadap warganegara sendiri mengklaim “miskin” alis “mendadak miskin”. itulah sebabnya, Indonesia kerap dijuluki sebagai “Negara BUNGLON”, karena dapat berubah warna “sesuai kebutuhan”—dipimpin oleh Mr. BUNGLON yang “plin-plan”, tentunya.

Pemerintah mengklaim, kebijakan “TANPA lock down” demi melindungi masyarakat kelas kecil dan menengah agar tidak menjadi korban terdampak langsung dari wabah secara ekonomi. Namun, disaat bersamaan, pemerintah seolah “tutup mata” terhadap fakta realita bahwa kebijakan yang “berpura-pura normal-normal saja” berdampak langsung berupa efek domino pemutusan tenaga kerja secara masif, turunnya daya beli masyarakat, biaya kesehatan yang melonjak, dan “social cost” yang sangat mahal harus dibayar oleh masyarakat dan rakyat, dan kian merosotnya tingkat ekonomi makro dan mikro negara ini seiring keadaan yang “BERLARUT-LARUT”.

Kerugian rakyat justru akan jauh lebih besar ketika negara jatuh dalam keadaan “BERLARUT-LARUT”—cobalah lakukan simulasi “kalkulasi bisnis”, antara skenario “lock down dua bulan” dan “tiada lock down sama sekali”, pengeluaran dan “potential loss” manakah yang lebih besar dikeluarkan baik oleh rakyat maupun oleh negara? Sudah saatnya kita “berdikari” dalam urusan analisa situasi politik negara (wabah yang dipolitisir), tanpa lagi digiring oleh narasi yang dibangun secara apik oleh pemegang tampuk kekuasaan negeri ini. Terhadap demonstrasi yang dimotori mahasiswa, pemerintah sangat represif. Terhadap wabah yang mematikan, pemerintah hanya sanggup sekadar “menghimbau”? Ada apa dengan republik ini, mengapa demikian demikian sakit akalnya (akal sakit milik orang sakit)?

Berikut inilah komentar-komentar lain dari masyarakat : “Tidak berani ‘lock down’ karena tidak bisa menjamin kebutuhan primer rakyatnya. Makanya, keputusannya menjadi seperti ini.” Jika begitu, untuk apa ada pemerintah, sekalipun kita telah merdeka sejak hampir satu abad lampau? Untuk apa selama ini pemerintah rajin memungut pajak dan retribusi dari rakyat selama puluhan tahun, kemana dan untuk “menggemukkan” siapa semua itu? Bukankah itu artinya negara tidak pernah benar-benar hadir di tengah-tengah rakyatnya, dan lebih cenderung bersembunyi saat benar-benar dibutuhkan rakyatnya yang mana hanya akan sigap tampil saat “menilang” pengendara lengkap dengan “segepok buku tilangan” di tangan?

Komentator lain berkata : “Keputusan ‘lock down’ tidak bisa setengah-setengah, kalahu hendak ‘lock down’ maka harus total, aparat harus represif, jika perlu seperti di india dimana polisi bisa memukul warga yang keluar rumah. Masalahnya, apa Indonesia siap dengan ‘lock down’ seperti itu? yang ada nanti ujung-ujungnya pemerintah lagi disalahkan, dituduh represif, melanggar HAM, dll. Tetapi, kalau ‘lock down’ tanpa ketegasan aparat juga tidak akan bisa, karena masyarakat indonesia dasarnya susah diatur & senang ngumpul. Jadi memang sebaiknya tidak perlu ada ‘lock down’.” Mungkinkah, para senior kita KALAH MELAWAN PENJAJAHAN INGGRIS, BELANDA, DAN JEPANG, karena faktor “kesadaran kolektifnya” yang hanya pandai “ngumpul untuk bicara omong kosong” (buang waktu, alias anti gerilya, gerilya harus ‘tahan-banting’ bersembunyi dan puasa, tidak ‘cengeng’ untuk satu atau dua bulan berpuasa) serta “SUKAR DIATUR”? Kesadaran kolektif, tidak akan pernah dapat berbohong. Buktinya, pemerintah Indonesia yang TIDAK PERCAYA PADA WABAH, rakyat hanya MENCONTOH teladan yang ditampilkan oleh para pemimpinnya. Angka terjangkit wabah melonjak tinggi, pemerintah justru kian melonggarkan restriksi mobilisasi dan “aktivitas sosial konvensional” warga.

Kebijakan “lock down” yang tegas dan represif (mengingat watak masyarakat Indonesia yang kerap tidak taat dan tidak patuh) selama satu hingga dua bulan lamanya, bukanlah kiamat, bukankah masyarakat Indonesia mengklaim jagoan soal “puasa”? Sama seperti guru atau orangtua kita yang “tega” memukul pantat anak didiknya, demi kebaikan siapa? “Anak badung” memang harus dipukul pantatnya. Rakyat Indonesia, menyerupai “Taman Kanak-Kanak”, isinya anak-anak badung berbadan besar, tidak kunjung dewasa dari segi akal dan daya berpikir.

“Puasa ekonomi” selama satu hingga dua bulan, dianggap sebagai “kiamat”? Itulah cerminan betapa buruknya sistem manajerial keuangan mereka, dapat berapa pun pendapatan bulanan, dihabiskan saat itu juga untuk hiburan, bermain, belanja, dan sebagainya. Adalah mustahil “puasa ekonomi” selama satu hingga dua bulan mengakibatkan rakyat “kecil” Indonesia menjelma “kiamat”. Buktinya, Negara Indonesia merupakan pengirim jemaah Umroh terbanyak di dunia setiap tahunnya, sekalipun biaya Umroh mencapai puluhan juta rupiah per jemaah. Wabah, menjadi momentum bagi Warga Indonesia untuk belajar MENABUNG. Kebiasaan menabung inilah, yang perlu dipaksakan, namun gaib-nya, pemerintah justru menerapkan kebijakan “dorong warga untuk menguras tabungan dengan kian gemar berbelanja” agar tingkat pertumbuhan ekonomi dapat direkayasa seolah tetap positif dikala wabah. Pemerintah kita justru membodohi rakyatnya sendiri, alih-alih mendewasakan warganya. Disaat harus menabung, justru diminta untuk boros. Kelak, saat wabah usai, jangan heran bila rakyat Indonesia semakin “BOROS” gaya hidupnya, berkat pemerintah.

Hanya warga bermental “korup” yang tidak bersedia “puasa ekonomi”. Berikut sentilan ringan namun mengena, sebagai cerminan watak serta karakter khas Bangsa Indonesia : “Saya gak mau lockdown... saya inginnya semua keinginan saya diturutin dan wabah corona menghilang... pokoknya saya gak mau susah dan rugi!!!” Mental CURANG, penuh kecurangan, bahkan wabah pun hendak dicurangi. SELAMAT DATANG DI INDONESIA, negeri dimana manusia penghuninya menjadi “hewan” teraneh di dunia. Jangan tunjuk hidung Amerika Serikat, Amerika Serikat bukanlah negeri “agamais”.

Berikut komentar yang sangat menggambarkan fakta sebenarnya dibalik kebijakan “ANTI Lock Down” (“yang penting bukan Lock Down, mati terkena wabah masih lebih baik daripada mati karena puasa satu atau dua bulan”) : “Jika ada kebijakan lock down oleh pemerintah pusat memang akan sedikit merugikan, tapi lihat sisi positifnya contoh di Malaysia jumlah kematian rakyatnya sangat kecil, jika dibandingkan dengn negara kita Indonesia yang rela kehilangan puluhan rakyatnya dan ratusan lainnya terinfeksi hanya demi kepentingan ekonomi para konglomerat.” Lock down, justru paling memukul kalangan borjuis pemilik grub usaha konglomerasi, bukan paling memukul kalangan kecil. Karenanya, tekanan politis untuk “ANTI lock down” merupakan kepentingan kalangan sebagian elit pelaku ekonomi yang tidak bersedia membayar ribuan pegawainya ketika dirumahkan.

Katakanlah pemerintah memberi subsidi langsung tunai atau berbentuk pasokan sembako senilai dua juta rupiah per orang berdasarkan NIK (Nomor Induk Kependudukan), maka dari jumlah total penduduk Indonesia yang mencapai dua ratus lima puluh juta orang, total yang perlu disiapkan pemerintah ialah senilai lima ratus triliun rupiah sebagai biaya “lock down”. Kini, tanpa kebijakan “lock down”, pemerintah telah menghabiskan ratusan triliun rupiah namun wabah justru kian meraja-lela dan kian merusak berbagai sendi ekonomi rakyat paling kecil hingga sendi-sendi hajat hidup orang banyak seperti sekolah, pasar, transportasi publik, hingga perkantoran. Sekalipun telah ratusan triliun rupiah digelontorkan pemerintah lewat kebijakan “BERLARUT-LARUT” ini, apakah satu orang warga mendapat bantuan senilai dua juta rupiah per satu kepala? Jika begitu, kemanakah dan kepada siapakah porsi terbesar dimakan dan diserap dari kue-kue “sedap” triliunan rupiah dana segar yang digelontorkan pemerintah tersebut?

Yang akan terlebih dahulu “punah” akibat wabah yang dibiarkan berlarut-larut ini, ialah kalangan medik. Sang Kepala Pemerintahan inilah, yang paling bertanggung-jawab atas meninggalnya ratusan tenaga medis akibat menjalankan tugasnya menangani wabah, sekaligus sebagai “pelakunya”. Sementara itu “stok” warga yang “badung”, tidak akan pernah habis sekalipun bertahun-tahun wabah ini berlangsung tanpa kenal usai karena dibiarkan “menggantung” (baca : “dibiarkan berlarut-larut”). Tepatlah apa yang disampaikan lewat komentar berikut : “Selamatkan dahulu manusianya, nanti ekonomi bisa diperbaiki perlahan. Kalau manusianya tidak selamat, bagaimana akan memperbaiki ekonomi, bahkan mungkin akan memperparah ekonomi di negara ini.”

Empat bulan yang lalu dari saat ulasan ini penulis susun, terdapat komentar warga yang berbunyi sebagai berikut : “Diprediksi korban akan terus bertambah. Hasil dari lalai dan abai, kerja santai. Dari awal sombong koar-koar corona tidak bakal masuk ke Indonesia.” Bila sudah memiliki “Vaksin Iman” yang demikian dibangga-banggakan Bangsa Indonesia, mengapa juga mengimpor “Vaksin Cina”? Bukankah itu artinya bangsa “agamais” ini tengah “desersi” dan “berpaling” dari Tuhan?

Tidak menyalah-nyalahkan siapa pun, artinya disaat bersamaan dirinya sedang menyalah-nyalahkan orang yang menyalah-nyalahkan, mengapa juga masih berkomentar? Warga yang cerdas menyadari, adalah kewajiban konsitusional warga untuk mengkritik pemerintah yang tidak “becus” dan tidak serius serta tidak beritikad baik mengurus hajat hidup orang banyak. Jika memang para pejabat kita adalah para “suciwan” yang tidak memerlukan “kontrol sosial” oleh rakyat, maka silahkan bubarkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tanpa kritik dan kontrol sosial, maka pemerintah bisa menjelma diktator atau sebaliknya lalai dan abai menjalankan kewajibannya. Mengapa juga ia tidak salahkan dirinya sendiri? Seringkali, yang melarang justru yang melanggar—ciri khas watak Bangsa Indonesia, FAKTA (bukan konon).

Pemerintah dalam hal ini pengambil kebijakan untuk TIDAK TEGAS DAN “ANTI LOCK DOWN” yang memilih kebijakan serba “BERLARUT-LARUT”, harus bertanggung-jawab terhadap ribuan nyawa korban jiwa yang di-“tumbalkan” oleh pihak pemerintah akibat pandemik yang terus kian mengganas kian harinya, terhadap kehidupan ekonomi rakyat yang kian menuju “tenggelam” ke dasar jurang. Pemerintah dalam hal ini, abai dan lalai untuk melindungi rakyatnya sebagaimana amanat Konstitusi NKRI.

Mengapa tidak saatnya kita bubarkan saja republik ini? Inilah pilihan pemerintah kita, “kebijakan ANTI lock down”, alias kebijakan “yang penting BUKAN lock down”. Sementara perihal ribuan nyawa telah melayang sia-sia, itu hanya sekadar “statistik”, itulah komunikasi publik yang kini dimainkan oleh pemerintahan “incumbent”. Suntikan ekonomi tidak akan pernah dapat mengatasi “akar penyakit”. Anak kecil pun memahami, Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) tidak butuh uang Anda ataupun uang “suap” dari pemerintah yang mencoba membungkan warga dan seolah dapat membungkam wabah. “Anda pikir diri Anda siapa, mencoba tawar-menawar dengan saya dengan memakai uang?”, mungkin itulah isi pikiran sang COVID-19. “Saya tidak butuh uang Anda!

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.