Tekstual Sarat Asumsi, Kontektual Sarat Kondisional

ARTIKEL HUKUM

Wabah atau Tidak Wabah, yang Penting Pesta Demokrasi

Orang-orang “lama” kita, mengatakan lewat semboyan yang tidak asing lagi di telinga kita : “Makan tidak makan, yang penting ngumpul”—kalimat adalah contoh ragam “TEKS” (tekstual), dimana perlu kita sadari dan pahami kontektualnya saat itu dicetuskan oleh para senior pendahulu kita. Asumsinya saat itu, keadaan negeri sedang berjalan normal tanpa adanya ancaman wabah seperti pandemik virus menular antar manusia yang mematikan.

Sebuah “TEKS”, perlu kita pasangkan dengan “KONTEKS” agar dapat kita pahami sebagai satu-kesatuan yang saling komplomenter sifatnya, dan tidak dapat kita saling-pisahkan satu sama lainnya. Antara “teks” dan “konteks” merupakan satu-kesatuan “produk” bernama “pesan komunikasi” baik lisan maupun tertulis. Karenanya, komunikasi selalu berupa interaksi “tiga dimensi” layaknya dua sisi pada satu keping koin yang sama, tidak pernah “dua dimensi” layaknya tulisan di atas kertas.

Bila untuk suatu slogan, pepatah, semboyan, propaganda, ideologi, nasehat, peribahasa, semua itu adalah “TEKS” yang perlu kita lihat dan pahami secara bersamaan “KONTEKS” dibaliknya (metafisika), maka tidak terkecuali terhadap keberlakuan sebuah norma aturan hukum yang berisi perintah, larangan, maupun kebolehan. Sebagai contoh, Konstitusi Republik Indonesia menyatakan bahwa hak untuk hidup adalah “hak asasi manusia”—dengan asumsi, warga bersangkutan adalah warga yang patuh dan taat terhadap hukum, tidak melanggar hukum, dan juga tidak mengancam keselamatan warga lainnya.

Seeorang pengedar obat terlarang, sebagai contoh, tidak dapat mendalilkan bahwa dirinya tidak dapat dihukum mati karena dilindungi hak-haknya oleh Konstitusi—semata karena “asumsi” dibalik keberlakuan atau pengaturan “hak asasi manusia” dalam Konstitusi NKRI sifatnya tidak lagi relevan untuk sang pelaku pengedar obat terlarang. Banyak kita jumpai pemberitaan, polisi menembak mati penjahat yang melakukan perlawanan, apakah sang aparat penegak hukum dapat kita katakan sebagai melanggar konstitusi? Karenanya, penting untuk melihat “konteks” dibalik pengaturan sebuah “teks”, agar “teks” tidak diperalat dan disalah-gunakan sebagai justifikasi pihak-pihak yang menyalah-gunakan instrumen “payung hukum” sebagai “alasan pembenar” bagi dirinya dalam rangka melanggar hak-hak warganegara lainnya.

Sama halnya, hak untuk tidak dirampas kemerdekaan seseorang warga sipil, diatur dan diakui dalam Konstitusi Republik Indonesia maupun instrumen Hukum Internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Apakah artinya, keberadaan penjara dan hukuman vonis penjara, melanggar Konstitusi RI dan melanggar pula Konvensi internasional tersebut? Sekali lagi, penting untuk kita melihat asumsi dibalik pengaturan norma-norma hukum yang ada, dimana asumsinya ialah warga sipil dimaksud adalah warga yang baik dan patuh serta taat terhadap hukum, bukan warga yang melanggar hukum.

Begitupula ketika Pemerintah Indonesia bersikukuh hendak menyelenggarakan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) ditengah-tengah kondisi yang tidak kondusif, yakni serangan wabah yang kian mengkhawatirkan dimana kondisi serta situasi Bangsa Indonesia semakin mencekam keadaannya karena tidak ada tanda-tanda penurunan angka prevalensi terjangkit penularan wabah di tengah masyarakat, justru tren-nya kian meningkat pada akhir Bulan September 2020 saat ulasan ini disusun, pemerintah seolah hendak “bermain api” dengan menjadikan nyawa dan kesehatan serta keselamatan warganya sendiri sebagai ajang pertaruhan politik. Bayangkan, apa yang akan terjadi, bila Indonesia kembali dijajah oleh bangsa asing, lalu masyarakat kita seolah hendak tawar-menawar dengan sang penjajah, “Wahai Bapak penjajah, mohon Pilkada diselenggaran, sudah waktunya, ini perintah Undang-Undang Pilkada!

Pemerintah, sekali lagi, lewat otoritas penyusun kebijakan mengklaim diri mereka terikat dan “tertindas” oleh keberlakuan undang-undang yang mengatur kewajiban Pilkada agar diselenggarakan tepat waktu—seolah, bukanlah pemerintah yang membuat peraturan perundang-undangan tersebut. Seolah, peraturan perundang-undangan tidak dapat diubah. Seolah-olah, Kepala Pemerintahan tidak dapat menerbitkan “Perpu” yang setingkat Undang-Undang dikala keadaan darurat dan mendesak seperti terjadinya pandemik yang sangat tinggi urgensinya untuk mendahulukan faktor kesehatan diatas segala prioritas lainnya.

Bangsa Indonesia terkesan terlampau “memaksakan keadaan”. Makan tidak makan yang penting “anti lock down”. Wabah atau tidak wabah yang penting Pilkada dan kegiatan ekonomi tidak boleh dibatasi. Apakah kurang penting, nilai sebuah nyawa ketimbang Pilkada? Ekonomi adalah statistik, maka apakah kematian warga juga direduksi nilai kemanusiaannya menjadi sebatas sebuah angka-angka pada statistik? Jangan-jangan, saat Bumi ini “kiamat” sekalipun, Bangsa Indonesia hendak tawar-menawar pada Tuhan, agar Pilkada tetap diberlangsungkan, “SEKALIPUN LANGIT RUNTUH” sebagai harga yang harus dibayarkan.

Ketika pemerintah bersikukuh untuk tetap menyelenggarakan Pilkada, menjadi tanda-tanya besar bagi publik, seperti itukah keseriusan pemerintah menangani wabah, mengapa kesannya ialah lebih serius “berpesta demokrasi”? Untuk urusan menerbitkan masyarakat agar mengenakan masker penutup hidung dan mulut saja, pemerintah kita GAGAL TOTAL, kini hendak berperang melawan wabah plus menyelenggarakan Pilkada? Itulah yang tepatnya kita sebut sebagai “overestimated”.

Apakah dunia ini akan kiamat tanpa “Pesta Demokrasi”? Dunia ini sudah terasa hampir “kiamat” satu semester wabah melanda, sementara Indonesia telah menikmati “pahit”-nya berbagai “pesta demokrasi” yang silih-berganti dilangsungkan dan berlangsung dengan silih-berganti pula pejabat negara maupun pejabat daerah dipilih dan terpilih. Pilkada bisa saja dibatalkan, calon terpilih dibatalkan, dan sebagainya bisa dibatalkan, namun bagaimana dengan keselamatan nyawa yang menjadi taruhannya, apakah kematian dapat dibatalkan semudah mengajukan gugatan ke hadapan mahkamah? Ekonomi dan demokrasi akan kembali pulih (recovery) tatkala wabah usai dan terkendalikan, namun satu hal belum tuntas diselesaikan hendak beralih pada ekonomi dan demokrasi? Mungkin itulah yang disebut sebagai “pengalihan isu”.

Kembali lagi, pemerintah mendalilkan adanya “desakan” dari amanat undang-undang untuk segera melaksanakan dan menyelenggarakan Pilkada ketika masa jabatan para Kepala Daerah akan menjelang usai. Tanpa adanya Pilkada sekalipun, Negara Indonesia tidak akan bubar, karena Negara Indonesia saat kini dibangun dengan rancangan hukum tata negara “Sentralistik” (meski “banci” dengan embel-embel “desentralisasi” ala “otonomi daerah”), bukanlah tipe negara “Federalistik”.

Karenanya, bila perlu, undang-undang dapat diubah dengan kembali menjadi tipe negara “Sentralistik Murni”, dimana tidak perlu diadakan Pilkada, cukup figur seorang Kepala Negara terpilih, selebihnya tidak perlu eksis “raja-raja kecil” di daerah yang kerap membangkang kebijakan maupun perintah dan arahan sang Kepala Negara selaku pemimpin Pemerintah Pusat—semata karena alasan “sama-sama dipilih secara langsung oleh rakyat, sehingga kepala Daerah adalah ‘hamba rakyat’ bukan seorang ‘hamba presiden’”, jadilah “saling kunci” dan “saling sandera” disamping “saling tuding”.

Baiklah, kita mengalah dengan menggunakan dalil pihak pemerintah yang entah mengapa begitu bersikukuh hendak menyelenggarakan Pilkada secara manual, bukan Pilkada secara “pemilihan umum elektronik”, dimana dapat dipastikan “protokol kesehatan (cegah virus menular mematikan)” tidak akan dapat dijalankan secara baik dan benar, MUSTAHIL. Hal demikian seolah kontradiktif terhadap himbauan pemerintah untuk “jangan keluar rumah, “stay home, work from home, learning at home”, jaga jarak, physical distancing, hindari pertemuan dengan banyak orang, hindari pusat kerumunan, larang ‘izin keramaian’”. Yang kemudian terjadi ialah, ambiguitas publik, masyarakat menjadi “gamang”, sebenarnya apakah yang diinginkan pihak pemerintah kita dari rakyatnya? Pemerintahan yang “ambigu” penuh ketidak-tegasan, melahirkan rakyat yang “gamang” penuh kebingungan.

Kini, kita kembali pada undang-undang dimaksud yang menjadi “alat pembenar” bagi “birahi” atau “libido” pihak pemerintah yang begitu “seolah tidak tahan lagi” ingin menyelenggarakan Pilkada, seolah-olah harga mati yang tidak dapat lagi ditawar-tawar dengan alasan “tidak jelas wabah akan berakhir kapan”—meski, disaat bersamaan, pemerintah lupa atau sengaja mengabaikan dan menutup mata serta telinga, “tidak jelas akibat pesta demokrasi yang berdarah-darah ini akan membawa bencana sampai kapan, sekalipun jurang sudah di depan mata”. Tidak jelas pula nyawa yang harus menjadi “tumbal” pesta demokrasi, dimana resepsi pernikahan, konser, pertunjukkan, dilarang pemerintah namun “pesta demokrasi” yang lebih banyak dinikmati para penguasa justru hendak dipaksakan untuk diberlakukan dan dilangsungkan sekalipun wabah GAGAL DIKENDALIKAN OLEH PIHAK PEMERINTAH ITU SENDIRI.

Semestinya, kita menerapkan kebijakan “reward and punishment”. Akibat warga yang tidak patuh terhadap disiplin diri dengan menerapkan “protokol kesehatan”, sebagai akibatnya wabah kian menggurita tanpa kunjung selesai, maka “pesta demokrasi” terancam untuk dibatalkan sebagai “punishment”—dapat menjadi motivasi bagi masyarakat untuk mulai patuh terhadap “protokol kesehatan” bila kurva penularan masih “liar”. Sebaliknya, disaat bersamaan, ketika pihak otoritas pemerintahan bersikap tidak serius dan “separuh hati” dalam menangani wabah, sebagai akibatnya pandemik terus berlarut-larut dan mengorbankan demikian besar “social cost” yang ditanggung warga-masyarakat, maka sebagai “punishment”-nya maka Pilkada harus di-boikot oleh segenap publik agar para penguasa kita “uring-uringan”.

Kembali pada undang-undang dimaksud tentang Pilkada, undang-undang yang dianggap sebagai “Kitab Suci” tersebut oleh pemerintah Indonesia telah mengamanatkan agar Pilkada diberlangsungkan pada tahun ini, dimana pemerintah berargumentasi seolah bila Pilkada tidak dilangsungkan maka pemerintah “tidak pro terhadap rakyat”, melanggar Undang-Undang, takut beramai-ramai digugat “class action” oleh warga ke Pengadilan Tata Usaha Negara karena tidak menyelenggarakan “pesta demokrasi” tepat waktu, seolah “harga mati”. Pertanyaan yang patut kita ajukan bersama, se-mematikan itukah perintah dalam sebuah undang-undang tentang Pilkada ini? Mana yang lebih mematikan, wabah ataukah penundaan “pesta demokrasi”? “Pesta” demokrasi, namun banyak rakyat jelata yang sama sekali tidak mendapat sentuhan perhatian dari pemerintah saat pandemik melanda. Pernahkah kita menyaksikan sebuah ajang sekelas “pesta”, dimana tamu hanya menjadi penonton tanpa mendapat suguhan “makan siang”?

Bila “pesta demokrasi” tersebut mencerdaskan masyarakat, silahkan. Namun, apa yang akan terjadi paska “pesta demokrasi” yang “buta” dan tidak arif-bijaksana, ialah masyarakat akan kian meremehkan wabah, kian tidak patuh para “protokol kesehatan”, kian menganggap “pesta” sebagai hal yang wajar dan lumrah dikala wabah merebak, kerumunan serta ajang keramaian bukanlah lagi hal tabu untuk dilakoni dan diadakan serta dihadiri, maka efek domino, efek sosiologi, dan efek psikologisnya akan jauh lebih fatal bukan saat “pesta demokrasi” diadakan dan dilangsungkan, justru jauh setelah pasca Pilkada usai dilangsungkan. Pihak pemerintah sadar betul ancaman dari segi sosiologi dan psikologi publik ini, namun mengapa pemerintah seolah “tutup mata hati”?

Undang-undang tentang Pilkada dimaksud dibentuk saat negara dalam (KONTEKS) keadaan berjalan normal, ekonomi makro dan mikro yang berjalan stabil, dan bebas dari pandemik virus menular mematikan. Asumsi-asumsi demikian yang berlaku saat Undang-Undang dibentuk, hanyalah sebuah “potret” yang kaku sekaligus “buram”, karena kita tidak dapat memakai asumsi yang sama ketika konteksnya bias jadi telah berubah seratus delapan puluh derajat.

Peluang atau kemungkinan terjadinya perubahan kontektual sehingga asumsi menjadi tidak lagi relevan, perlu kita akomodir dalam suatu implementasi norma hukum, mengingat keadaan dan situasi suatu negara ataupun suatu dunia global tidak selalu stabil-normal adanya—potensi untuk “meleset”-nya asumsi yang berlaku saat pembentukan peraturan perundang-undangan, tetap terbuka peluangnya, perlu diakui dan diakomodasi oleh para legislator di parlemen ke dalam pengaturannya pada peraturan perundang-undangan itu sendiri, lewat semacam pasal “escape clause”.

Karenanya, proses perumusan sebuah undang-undang yang baik (legislative drafting), dalam bagian “Penjelasan Umum” perlu menjelaskan kepada masyarakat, semacam kalimat : “Bahwa undang-undang ini dibentuk saat keadaan negara berjalan normal dan diberlakukan dengan asumsi keadaan negara masih dan tetap berjalan normal” sehingga terdapat sebentuk “syarat batal” atau “syarat tangguh” ketika “konteks asumsi”-nya tidak lagi atau tidak sedang relevan.

Regulasi yang dibentuk oleh sebuah negara dikala keadaan stabilitas politik sedang kurang kondusif, cenderung represif. Regulasi yang disusun oleh pemerintah ketika salah satu ideologi mencuat, maka akan tampak semangat ideologi dimaksud dalam pengaturannya (sebagai contoh, Undang-Undang tentang Pokok Agraria menyebut-nyebut frasa “sosialisme” karena dibentuk pada tahun 1960 dimana ideologi sosialisme sedang tumbuh subur di Tanah Air, sekalipun konteks saat kini sudah jauh berbeda, sehingga terang bahwa regulasi dimaksud telah tidak lagi relevan diberlakukan secara utuh). Itulah juga sebabnya, secara terminologi falsafah hukum, peraturan perundang-undangan “dikodratkan” diciptakan bukan untuk secara permanen ataupun abadi keberlakuannya, namun temporal saja sifat keberlakuannya dan perlu pembaharuan secara berkala.

Regulasi yang dibangun dalam era reformasi tampak akan sangat mengusung konsep hak asasi manusia. Regulasi yang dibangun saat negara dalam kondisi “darurat sipil” ataupun “darurat militer”, akan tampak “spirit” militeristik yang mengedepankan kewajiban kepatuhan warganya. Konteks tidak pernah statis, namun dinamis dan cair (liquid). Sementara tekstual cenderung kaku dan rigid.

Contoh lainnya, jika kembali terjadi krisis moneter akut dimana bahkan tiada anggaran negara yang dapat dianggarkan untuk berlangsungnya Pilkada, maka apakah artinya Pilkada yang “mohon maaf” tidak dapat dilangsungkan tepat waktu apakah artinya pemerintah melanggar perintah dan amanat Undang-Undang Pilkada? Jelas tidak, karena asumsinya telah berubah dan tidak lagi relevan menggunakan asumsi disaat Undang-Undang Pilkada dibentuk saat kondisi keuangan negara cenderung stabil, bebas dari inflasi akut, cadangan keuangan memadai, hutang yang terkendali, dan ekonomi rakyat tumbuh subur.

Mari kita ambil sebuah ilustrasi “the worst case scenario” dalam hal ini, untuk memudahkan pemahaman. Katakanlah, Pilkada pada tahun ini benar-benar diberlangsungkan, akibatnya sudah dapat kita prediksi, tiada manfaat ataupun faedah positif apapun bagi tingkat ekonomi rakyat maupun kesehatan publik (seolah-olah para Kepala Daerah yang saat ini menjabat, bukan dipilih secara langsung oleh rakyat dalam Pilkada periode sebelumnya), pandemik tidak kenal kompromi apakah Indonesia adalah negara demokrasi ataupun tidak (tidak dapat ditawar-tawar lewat hal “remeh-temeh” semacam Pilkada dibanding keselamatan publik), sebagai akibatnya resesi kian dalam, kesehatan warga kian merosot, dan siklus Pilkada sekian tahun sekali kembali akan dihadapi, namun seluruh warga telah tumbang satu per satu akibat wabah, dan ekonomi “tiarap” sehingga tiada anggaran negara untuk “pesta demokrasi” periode selanjutnya, apakah pemerintah masih berkata dengan tegas bahwa seolah-olah “pesta demokrasi adalah HARGA MATI” untuk dilangsungkan kembali pada Pilkada selanjutnya dan berikut-berikutnya sekalipun seluruh rakyatnya sudah terancam mati kelaparan? Mengapa antara Pilkada dan pembodohan (terhadap) publik, tampak saling serupa atau selisih tipis?

Pilkada bukanlah “barang” baru di Indonesia. Para Kepala Daerah yang saat kini menjabat, adalah hasil “pesta demokrasi” alias “output” dari Pilkada periode sebelumnya, sehingga menjadi “lucu” bila publik ataupun pemerintah begitu anti terhadap penundaaan Pilkada periode berikutnya. Saat Undang-Undang Pilkada pertama kali disusun dan disahkan, belum terdapat Kepala Daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat dalam suatu Pemilihan Umum. Karenanya, rakyat mungkin akan berkata bahwa Pilkada adalah “harga mati”. Namun, sekali lagi, pejabat Kepala Daerah yang saat kini menjabat, adalah “output” dari Pilkada periode-periode sebelumnya, namun apakah hasil konkritnya bagi rakyat? Bila sistem tata negara kita mengenal konsep “pejabat pelaksana” ataupun “pejabat harian”, mengapa penundaan Pilkada periode berikutnya seolah ialah hal yang “tabu”?

Pertanyaan besar kita saat kini sebagai publik, ialah : APA JAMINAN DARI PEMERINTAH, BAHWA DENGAN DILANGSUNGKANNYA PILKADA INI, AKAN MEMBAWA FAEDAH BAGI RAKYAT DAN PANDEMIK TIDAK AKAN KIAN BERTAMBAH PARAH? Bila para Kepala Daerah hasil Pilkada yang saat kini menjabat dinilai tidak “pro” terhadap rakyat, tidak membawa banyak kebaikan bagi rakyat, sekalipun telah silih-berganti Pilkada berlangsung selama ini, maka atas dasar apa kita kembali berasumsi bahwa “Pilkada” dan calon pejabat terpilih adalah merupakan “juru selamat”? Asumsi, atau “harapan semu”?

Seperti yang sering penulis utarakan dengan mengutip seorang tokoh dari Tiongkok, entah kucing warna hitam ataukah kucing warna putih, yang penting kucing itu harus dapat menangkap tikus dan disaat bersamaan mampu mensejahterakan disamping melindungi segenap rakyatnya. Tidak penting konstruksi hukum tata negara kita adalah berbentuk Sentralistik Murni, Desentralistik yang “banci”, Federal, Demokratisik, K0munistik, Sosialistik, atau bahkan Monarkhi, yang penting dapat mengendalikan wabah sebagai prioritas utamanya.

Karenanya, Pilkada bukanlah “harga mati”. Namun pengendalian wabah secara serius, barulah menjadi “harga mati” yang tidak dapat ditawar-tawar karena nyawa segenap rakyat yang menjadi taruhannya, dimana satu orang kepala keluarga tewas maka ekonomi satu keluarga terancam runtuh. Kita hanya memiliki dua buah tangan, tidak dapat menuntut dan memegang erat terlampau banyak dikala wabah sedang melanda. Kata kuncinya, ialah saling mengajak sesama warga maupun pemerintah untuk “REALISTIS”.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.