Social is Social, Business is Business, Itulah makna PROFESIONALISME PROFESI seorang PROFESIONAL

ARTIKEL HUKUM

Bukan Lagi Zaman KERJA KERAS, namun KERJA CERDAS, sebuah Kiat untuk Menjadi Pengusaha / Penyedia Jasa yang PROFESIONAL

Berbisnis wajib Hukumnya PENGHITUNGAN dan PENUH PERHITUNGAN

Bila terdapat pihak-pihak secara tidak simpatik berkata kepada Anda yang sedang membuka usaha dalam rangka mencari nafkah, baik sebagai penyedia barang ataupun jasa, bahwa Anda “begitu perhitungan”, maka inilah cara menjawab yang paling akurat : “MEMANG! Apakah dosa membuka usaha komersial berbasis profit? Mengapa tidak Anda saja yang kerja atau buka usaha untuk mencari RUGI? Saya sedang mencari nafkah, bukan membuka Panti Sosial. Nafkah bersumber dari PROFIT atau laba hasil usaha, dan itu legal serta tidak dapat dicela secara moral. Usaha yang benar itu sama-sama untung, bukan hanya konsumen atau pengguna jasa yang untung, mengambil keuntungan diatas kerugian penjual. Justru Anda sendiri yang begitu perhitungan. Timpang sebelah bukanlah ‘win win solution’.” Atau, sebagai alternatif, jawab dengan versi jawaban singkat berikut : “Saya sedang berbisnis, bukan sedang usaha Panti Sosial. Wajar bila saya penuh perhitungan. Jika ingin cari yang sosial, maaf Anda salah alamat. Kamu sendiri PERHITUNGAN.

Mungkin ketika kita membuka usaha, kita tergoda untuk berasumsi bahwa ketika kita mengalah, rela merugi, tidak perhitungan, sungkan menagih, merasa tidak memiliki daya tawar, menjadi “dermawan”, dan merelakan hak-hak kita kepada konsumen ataupun pengguna jasa, membiarkan hak-hak kita dirampas dan dilecehkan, maka (seolah dan asumsi) pengguna jasa atau konsumen akan berterima-kasih pada kita, membalas budi baik kita dengan “membalas air susu dengan air susu” di kemudian hari, “tahu diri”, saling bersimbiois-mutualisme. Namun faktanya, selama demikian lama penulis membuka jasa dibidang konsultasi seputar hukum, yang kemudian terjadi ialah pihak konsumen atau pengguna jasa justru menjelma “BESAR KEPALA”, “diberi hati meminta jantung”, “tidak tahu diri”, “meminta lebih”, “tidak kenal malu”, dan bahkan tega memakan hak-hak penulis dalam artian melecehkan dan terus-menerus “memperkosa” profesi penulis, tanpa sedikit pun penghargaan ataupun penghormatan terhadap profesi maupun hak-hak profesi yang penulis jalankan.

Sebagai konsekuensi dibalik sikap “tidak perhitungan” karena faktor “kebaikan hati” atau bahkan rasa sungkan menagih dan membebani tarif jasa, akibatnya profesi penulis kerap dipandang remeh dan dilecehkan sebagai “tidak profesional”, “gampangan”, “murahan”, “dapat diberi makan BATU”, “orang baik adalah MANGSA EMPUK”, “objek untuk di-eksploitasi”, “bisa dan mudah diperdaya ataupun ditipu untuk ‘curi ilmu’”, “penuh kompromi”, “dapat meminta dan diberikan toleransi”, “penyabar mudah dibodohi”, “menggoda untuk diperalat dan dimanipulasi”, “gampang didikte”, “mudah diatur”, dan bisa diperlakukan secara “seenaknya”.

Tidak ada pengusaha ataupun pedagang dan penyedia jasa yang sebodoh itu hendak merugi dalam konstruksi : konsumen / pengguna jasa mengambil keuntungan dari kerugian yang diderita penjual / penyedia jasa—itu namanya timpang sebelah, tidak saling menguntungkan, namun konsumen / pengguna jasa yang “memakan” hak-hak pihak penjual / penyedia jasa. Pengusaha yang tidak perhitungan, sama artinya membuka pintu seluas-luasnya bagi “serigala-serigala kanibal”.

Prinsip paling utama dalam hal apapun, paling pantang bagi kita untuk bersikap atau menampilkan sikap-sikap “lemah”, “lembek”, ataupun semacam “lunak” dan “gampangan”, terlebih sikap “ringkih”, karena sikap-sikap lahiriah tidak unggul demikian selain “tidak sedap dipandang”, sama artinya juga membuka diri untuk “diremehkan”, “dipandang rendah”, “dimakan” dan “dimangsa” oleh “manusia Indonesia” yang seolah-olah tidak boleh membiarkan orang lemah ataupun orang-orang baik untuk tidak “dimakan”.

Begitu pula kita dalam berusaha ataupun berdagang jasa maupun barang, tidak boleh sekalipun menunjukkan sikap-sikap “seolah-olah tidak punya daya tawar dan pilihan bebas”, ataupun sikap-sikap seperti “mudah disetir dan diatur”, “gampang didikte”, “sasaran empuk untuk dieksploitasi dan dimanipulasi”, “tidak mampu menghargai waktu maupun hak-hak diri sendiri”—yang disebut terakhir adalah unsur terpenting yang paling krusial sebagai garda / benteng paling esensial yang tidak boleh dikompromikan oleh diri kita sendiri sekalipun, karena itulah “defence mechanism” yang paling dominan memainkan peranan penting dalam menghadapi calon-calon konsumen ataupun pengguna jasa yang memiliki karakter “manipulatif” dan “eksploitatif”. Syukur bila kita mendapat konsumen / pengguna jasa yang mampu saling menghargai, namun kita tidak dapat selamanya mengharapkan demikian ataupun ber-“positive thinking” secara kurang rasional demikian.

Pebisnis dan pengusaha yang profesional, memahami betul prinsip utama dalam hubungan transaksional, yakni apa yang dikenal dengan sebutan sebagai prinsip “resiprositas” atau yang juga kita kenal sebagai prinsip “resiprokal” yang mana bermakna “saling bertimbal-balik”, dengan konstruksi : kontraprestasi “ada hak maka ada kewajiban”, atau yang biasa kita sebut sebagai “hak dan kewajiban masing-masing”, pihak konsumen memiliki hak dan disaat bersamaan memiliki kewajiban terhadap pihak penjual / penyedia jasa, dan disaat bersamaan pihak penjual / penyedia jasa memiliki hak dan kewajiban terhadap konsumen / pengguna jasa.

Terhadap apa yang menjadi hak kita, kita tidak pernah boleh sungkan terlebih takut untuk menagih dan memperjuangkannya. Ketika seorang konsumen / pengguna jasa sukar ditagih komitmen ataupun realisasi kewajibannya, maka itulah cerminan itikad kurang baik diri bersangkutan. Itulah yang kerap penulis umpamakan sebagai : “Jangan pernah bersikap seolah-olah tidak punya daya tawar ataupun pilihan bebas, sekalipun di hadapan konsumen, pelanggan, ataupun calon konsumen. Namun, mulailah membiasakan diri untuk bersikap sebaliknya.”

Lantas, apa yang disebut sebagai “profesional”? Profesional artinya “social is social, business is business”. Sebagai contoh, Aparatur Sipil Negara yang bertugas melayani masyarakat, namun kemudian bertindak tidak ubahnya pedagang bermental profit sehingga memeras dan memungut pungutan liar dari masyarakat dengan menyalah-gunakan kekuasaan monopolistiknya sekalipun telah digaji dari “uang rakyat” (durhaka terhadap rakyat), adalah cerminan sifat dan budaya pemerintahan yang tidak profesional.

Begitupun orang-orang yang membuka lembaga semacam panti ataupun yayasan yang berkedok “nonprofit” alias “nirlaba” ketika membuat pencitraan diri kepada masyarakat luas, namun dalam realitanya berorientasi profit semata dengan memakai selubung atau kemasan “lembaga nirlaba”, atau pihak-pihak pengusaha yang menjual barang komersiel dibalut “embel-embel” seperti “membeli produk kami artinya turut berdana kepada korban tanah longsor...”—adalah cerminan-cerminan sikap yang jauh dari kata “profesional”. Sama halnya, seorang penjahat harus menjadi penjahat yang profesional dengan tidak mengaku-ngaku sebagai seorang “malaikat baik hati yang gemar menolong”, begitupula seorang polisi dan penegak hukum harus menjadi polisi dan penegak hukum yang profesional alih-alih justru bersikap lebih jahat daripada agen kejahatan yang semestinya mereka tindak secara tegas atau juga dalam artian tidak kenal kompromi terhadap penjahat yang meresahkan masyarakat.

Sama halnya, sebagai seorang pedagang dan pebisnis yang “profesional”, kita harus mampu memilah mana kegiatan sosial dan mana kegiatan bisnis yang sifatnya komersial. Bisnis adalah bisnis, titik, tidak ada tolerir ataupun kompromi bagi calon konsumen ataupun calon pengguna jasa yang hendak melecehkan ataupun merugikan hak-hak seorang pedagang / penyedia jasa dan mengambil keuntungan dari kegiatan usaha yang dijalankan olehnya atau terhadap resiko usaha yang ditempuh oleh sang pengusaha. Pedagang dan pebisnis yang “profesional” harus semata “jual UNTUNG”, bukan “jual RUGI”—terkecuali dalam rangka “promosi”, dimana promosi sekalipun ialah dalam rangka strategi marketing yang masih termasuk dalam golongan bisnis mendulang profit yang lebih besar dikemudian hari. Tidak ada “promosi” yang berlaku untuk selamanya, bila ada maka itu penipuan namanya oleh “pedagang penipu” yang hendak mengeksploitasi “keserakahan” pihak konsumen / pengguna jasa.

Penting untuk memastikan antara penjual / penyedia jasa dan pihak konsumen / pengguna jasa saling “equal” dalam artian “saling profesional satu sama lain”. Calon konsumen / pengguna jasa yang hanya ingin ambil untung dari pihak penjual / penyedia jasa, alih-alih “saling menguntungkan”, itu namanya “salah alamat”. Pihak penjual / penyedia jasa paling pantang untuk bersikap “seolah-olah tidak punya daya tawar ataupun pilihan bebas” menghadapi seorang calon konsumen ataupun konsumennya yang sudah menjadi pelanggan lama sekalipun.

Karenanya, seorang penjual barang dan penyedia jasa yang profesional, paling tidak boleh pantang untuk berkata “TIDAK” secara tegas kepada calon konsumen ataupun pelanggannya, bahkan “MENOLAK”, “TIDAK SEPAKAT”, “TIDAK BERSEDIA”, “MENDUNGURKAN DIRI”, atau seperti “KEBERATAN” dan “KOMPLAIN” bila calon pengguna jasa secara sengaja melanggar “syarat dan ketentuan layanan”—suatu cerminan itikad kurang baik bila calon konsumen atau pelanggan sengaja melanggarnya meski mengetahui keberadaan “term and condition” yang terkait layanan ataupun usaha yang kita tawarkan, dimana seringkali “tahu, namun pura-pura tidak tahu”.

Kesalahan yang umum dilakukan oleh pedagang ataupun penyedia jasa pemula, ialah terlampau kerap “mengumbar” kompromi demi kompromi, tolerir tanpa akhir, mengalah dan selalu mengalah seolah kasta rendahan, membiarkan diri dirugikan dan terus merugi, bersabar tanpa batas, sungkan-sungkan untuk menuntut hak diri kita sendiri, tidak keberatan dilecehkan, tidak berani perhitungan namun pihak konsumen demikian penuh perhitungan, seolah-olah “mengobral diri sendiri” dan timbul-lah stigma “gampangan” seolah “murahan” untuk diremehkan di mata konsumen dan/atau pengguna jasa kita di Indonesia yang tampaknya belum memiliki budaya “balas kemurahan hati dengan kebaikan hati”. Yang akan terjadi kemudian ialah, berdasarkan pengalaman penulis, ialah “kebaikan hati yang menjadi bumerang” bagi pihak penjual / penyedia jasa itu sendiri.

Jangan pernah berasumsi bahwa dengan mengalah memberikan harga murah dengan margin keuntungan yang kian dibuat tipis, maka pihak konsumen / pengguna jasa akan merasa senang. Kalangan konsumen / pengguna jasa di Indonesia sangat irasional dan tidak logis, mereka mengharap, meminta, dan bahkan tidak jarang menuntut dilayani namun tidak bersedia membayar kompensasi tarif jasa ataupun harga barang SEPERAK PUN, dan masih pula “mengharap selamat” serta “berkualitas”—tuntutan yang terlampau “serakah” disamping berlebihan, dan terbukti ribuan warga Indonesia telah menyalah-gunakan nomor kontak kerja dan email profesi penulis, semata untuk “memperkosa” profesi penulis sekalipun sengketa hukum yang mereka miliki adalah terkait masalah tanah ataupun upah yang artinya mereka bukanlah tidak mampu membayar tarif jasa sehingga mengemis-ngemis layaknya seorang gelandangan tanpa rumah dan tanpa pekerjaan, namun karena faktor “keserakahan” semata. Mengharap dilayani, namun disaat bersamaan menyuruh penyedia jasa untuk “makan BATU”? Jika sudah demikian, apanya lagi yang hendak dinegosiasikan? Hubungan transaksional yang baik ialah, prinsip “tawar-menawar”, bukan perampokan ataupun pelecehan terlebih “perkosaan” terhadap profesi orang lain, karena itu sama artinya dengan merampok nasi dari piring profesi orang lain yang (jelas-jelas) sedang bekerja mencari nafkah.

Kalangan pedagang ataupun penjual jasa yang “profesional”, adalah wajar dan sudah sepatutnya hanya membuka diri bagi kalangan konsumen / pengguna jasa yang “siap untuk sama-sama untung dan saling menguntungkan”, dan tertutup atau menutup diri dari konsumen / pengguna jasa “penghisap darah” ataupun yang menyerupai “pencuri”, “benalu”, “perampok”, “penjajah” lewat aksi-aksi eksploitasi dan manipulasi—itulah sebabnya dibentuk apa yang disebut sebagai “syarat dan ketentuan layanan”. Pedagang / penyedia jasa yang “profesional” penting untuk memahami, tidak sedikit kalangan konsumen / pengguna jasa yang tidak jujur dan tidak memiliki itikad baik, karena perlu dirancang dan diterapkan SOP guna melindungi diri dari “tangan-tangan jahil” milik pihak-pihak yang tidak bertanggung-jawab, semata agar dapat berfokus pada “core bussiness” tanpa diganggu ataupun terganggu oleh para “perampok nasi”.

Terakhir namun bukan yang paling akhir, penting bagi seorang pedagang / penyedia jasa profesional dalam menyusun “syarat dan ketentuan” atau semacam “SOP” (standart operation procedure), yang dirancang memang untuk melindungi diri pihak pelaku usaha dari itikad-itikad tidak baik dari calon konsumen ataupun calon pengguna jasa. Itu adalah mekanisme “filtering”, kegunaannya ialah dalam rangka menyaring hanya konsumen-konsumen atau pengguna jasa potensial yang mampu saling beritikad baik saja yang dapat melibatkan diri dalam hubungan kerjasama transaksi bisnis.

Seketat dan serapat apapun SOP kita rancang dan buat berdasarkan “best practice” bidang usaha kita, agar tidak menjelma “lebih bodoh daripada keledai yang tidak akan jatuh untuk kedua kalinya pada lubang yang sama”, maka kita sebagai pedagang / penyedia jasa penting sekali untuk membuat komitmen diri untuk tidak akan pernah melanggar SOP kita sendiri, mengkompromikannya untuk ditegakkan kepada pihak calon konsumen / pengguna jasa. SOP yang baik, tidak akan berfaedah dan berfungsi sebagaimana mestinya bila kita sendiri tidak tegas menerapkannya.

Hal tersebut menjadi sangat-amat penting, sebab dari pengalaman pribadi profesi penulis, ketika seseorang menghubungi penulis dengan maksud untuk ditolerir pelanggaran yang dibuatnya atas “syarat dan ketentuan layanan” atau SOP bidang jasa ataupun produk yang penulis tawarkan, dan jika penulis berikan kompromi untuk menyimpangi SOP yang ada, maka selalu yang kemudian terjadi ialah “pelecehan” tehadap profesi penulis, pelanggaran demi pelanggaran terjadi, kian parah, dan dilakukan oleh yang bersangkutan tanpa “kenal tahu diri”, menjadi “besar kepala”, dan “kelewatan”.

Karena itulah, penting untuk memahami bahwa TIADA FAEDAH APAPUN BAGI PROFESI ATAUPUN USAHA KITA DIBALIK KOMPROMI TERHADAP KEBERLAKUAN “TERM AND CONDITION” KETIKA DITERAPKAN—karena yang akan terjadi kemudian dialah berbagai mudarat mulai dari “diremehkan”, “mudahan”, “gampangan”, “boleh dilanggar”, “enak untuk dimakan”, “kompromistis”, “objek empuk untuk dilecehkan dan dieksploitasi”, dan “bodoh”. Tidak kalah penting untuk diingat, masyarakat kita seolah tidak bisa membiarkan orang-orang baik, pemurah, penyabar, dan pemaaf untuk tidak “dimakan”. Kejahatan terjadi bukan hanya karena adanya faktor niat dari diri sang pelaku, namun juga karena adanya “kesempatan”.

Istilah kunci lainnya, yang menggambarkan pentingnya menegakkan SOP atau “terms and conditions”, ialah sikap TEGAS dari sejak awal, pertengahan, serta akhir layanan jasa yang kita tawarkan dan usahakan bagi klien pengguna jasa. SOP dibuat bukan untuk dilanggar, baik oleh diri kita sendiri maupun oleh pihak pengguna barang / jasa—dimana inilah esensi “profesionalisme”, saling profesional. Saling patuh menjadi wujud cerminan itikad baik para pihak. Bila “belum apa-apa” telah melanggar dan menyimpangi SOP, itulah pertanda adanya itikad kurang baik atau bahkan itikad buruk yang menjadi sinyalemen bagi kita untuk mewaspadai pihak-pihak bersangkutan.

Sekali lagi, SOP maupun “syarat dan ketentuan layanan” dibuat untuk DITEGAKKAN, bukan untuk dilanggar baik oleh kita sendiri ataupun oleh pihak calon pengguna jasa. SOP dibuat dan dirancang demi kebaikan profesi dan diri kita sendiri, sebagai “benteng pengaman”, karena kita tidak pernah tahu apa yang ada dibalik otak pihak-pihak yang menghubungi atau menghadap kita yang bisa jadi “menyaru” sebagai calon konsumen ataupun calon pengguna jasa. SOP dirancang sebagai langkah antisipatif dan preventif, bukan kuratif. Keberanian untuk bersikap tegas tanpa kompromi dan TIADA TOLERIR, merupakan cerminan profesionalisme.

Terkadang, bahkan acapkali, kita memang penting sekali membentengi diri dari pihak-pihak yang “tidak jelas” dan “beritikad buruk”, yakni dengan menjadikan SOP maupun “syarat dan ketentuan layanan” sebagai benteng pelindung / “FIREWALL” agar profesi kita dapat kita berikan penghormatan dan penghargaan dari segala bentuk potensi pelecehan-pelecehan dari pihak-pihak yang tidak bertanggung-jawab, melindungi diri dari orang-orang bermental “pelanggar”, manipulatif, eksploitatif, dan “pemerkosa profesi orang lain”, terlebih pihak kompetitor yang menyaru sebagai calon pengguna jasa.

Penting juga untuk tidak mengumbar ataupun mengobral kebaikan hati, kemurahan hati, toleransi, kompromistis, rela merugi, memberi kesan dengan senang hati dan sukarela “membantu dan disaat bersamaan makan BATU”, ataupun sikap-sikap penuh mengalah lainnya—ini bisnis, bukan konteks sosial seperti ngalah-mengalah dan maaf-memaafkan. Tidak ada orang yang membuka bisnis dengan banyak biaya, pengorbanan, hingga resiko usaha, namun mengharap “makan BATU”. Namun faktanya, tidak sedikit kalangan masyarakat kita yang bersikap seolah-olah berhak dilayani namun disaat bersamaan seolah-olah juga tidak memiliki kewajiban untuk membayar sejumlah kompensasi (seolah-olah masih terjadi perbudakan oleh sesama manusia, “kerja rodi” yang melanggar hak asasi manusia).

Dari pengalaman pribadi profesi penulis selaku Konsultan Hukum yang sudah banyak memakan asam-garam di Indonesia, pemberian “obral” kebaikan hati dan kompromi hingga “permisif” terhadap bentuk-bentuk pelanggaran terhadap SOP, seolah-olah SOP dibuat untuk dan boleh dilanggar (preseden buruk yang akan menjadi bumerang bagi profesi kita dikemudian hari), akan berbuah bumerang bagi diri kita dan profesi yang sedang kita jalankan, mengingat mental dan watak karakter masyarakat Indonesia tergolong “tidak tahu balas budi”, “tidak tahu terimakasih”, “senang memperbudak”, “eksploitatif-manipulatif”, “tidak tahu diri”, “tidak tahu malu”, “tidak tahu batas”, “tidak kenal puas”, “besar kepala”, “diberi hati meminta pula diberi jantung”, “tidak malu merampas nasi dari piring orang lain”, dan “serakah”—karenanya menjadi penting bagi kita untuk mengenal betul sosiologi kalangan konsumen ataupun pengguna jasa di Indonesia jika hendak berusaha di Indonesia, yakni ciri khas watak “tidak logis” disamping “irasional” seperti meminta dilayani tanpa bayaran SEPERAK PUN namun mengharap selamat.

Mereka akan membalas “air susu dengan perkosaan” sebagaimana telah terbukti ribuan pihak-pihak “pemerkosa” bahkan merasa bangga berulang-kali “memperkosa” profesi penulis, sekalipun telah demikian tidak terhitung jumlahnya pengorbanan yang penulis keluarkan dari segi waktu, biaya, tenaga, perhatian, pikiran, hingga kesehatan, untuk menyuguhkan website profesi hukum ini, lengkap dengan segudang peringatan pada sekujur tubuh website yang ternyata masih juga dilanggar secara “seronok” (khas kaum “pemerkosa” yang gagal untuk “tahu malu” maupun untuk “tahu diri”). Penulis dapat tetap eksis sebagai penyedia jasa konseling seputar hukum di Indonesia, karena pengalaman buruk sebagaimana telah diuraikan di atas, menjadikan penulis menyusun serta menerapkan berbagai SOP, “term and condition”, serta sikap PENUH PERHITUNGAN kepada pihak-pihak yang mencoba menghubungi pihak penulis. Tanpa adanya ketegasan penulis dalam menerapkan SOP, maka yang terjadi ialah seperti yang semula penulis hadapi, sehari-hari hanya disibukkan oleh berbagai pelecehan dan upaya perbudakan dari para “pemerkosa profesi konsultan” dengan semudah memainkan dan menyalah-gunakan Handphone di tangan mereka. Bukan karena sikap lunak, kita dapat eksis sebagai penyedia jasa di Indonesia, namun ialah KETEGASAN terhadap ditegakkannya SOP profesi yang kita jalankan.

Jangan pernah biarkan “manusia-manusia predator” memangsa, mencuri, atau bahkan merampok “nasi” (apa yang menjadi hak kita) dari piring kita. Belajarlah untuk menghormati dan menghargai profesi dan usaha kita sendiri yang sedang kita jalankan—karena bila bukan kita, maka siapa lagi? Itulah sebabnya, menjadi penting untuk bersikap profesional sebagai seorang pedagang ataupun penyedia jasa yang sedang mencari nafkah, dengan mengingat betul bahwa kita berusaha ialah dalam rangka untuk mencari hak atas nafkah, dimana UUD RI 1945 sebagai Konstitusi Republik Indonesia telah menegaskan serta memberi pengakuan tegas, “hak atas kompensasi (nafkah) adalah hak asasi manusia”.

Pernah terjadi, bahkan tidak jarang terjadi, seseorang menyalah-gunakan nomor kontak kerja profesi penulis, tanpa memperkenalkan diri (betapa sopannya), melanggar peringatan di website (khas “pelanggar”, belum apa-apa sudah melanggar SOP), menuntut dilayani terkait sengketa tanah akan tetapi tidak bersedia membayar tarif jasa sebagai kompensasinya SEPERAK PUN. Dirinya ketika penulis tegur atas sikapnya yang telah “tanpa malu memperkosa profesi orang lain”, justru menyatakan bahwa penulis “mata duitan”. Menurut para pembaca, siapakah yang sebetulnya paling “penuh keserakahan” dalam kejadian semacam ini? Bersikap seolah-olah hanya dirinya yang berhak atas nafkah, dan orang lain sebagai “budak” dari perbudakan “kerja rodi”, namun masih juga mengharap dilayani? Jika tidak dapat disebut sebagai “insane”, julukan semacam apa lagi yang dapat kita sandangkan bagi “manusia hewan tiada malu” semacam itu, selain “belum beradab”?

Masyarakat Indonesia terlampau “tidak punya malu” dan “serakah”, bahkan ketika penulis tegur : “kamu suruh saya makan BATU?”, diri yang bersangkutan setelah “membalas air susu dengan perkosaan”, justru menambah luka korbannya dengan kembali berkata secara tidak simpatik dengan makian, seolah-olah dirinya entah dari mana memiliki hak untuk memperbudak profesi orang lain yang sedang mencari nafkah secara legal—jika diri bersangkutan menjadi seorang raja, pastilah sudah menjadi seorang penjajah atau setidaknya “raja yang tiran”, seolah-olah manusia lainnya memiliki harkat dan martabat yang lebih rendah daripada diri sang “manusia hewan tiada malu penuh keserakahan”.

Karenanya pula, belajar dari ribuan pengalaman pahit selama penulis berkarir sebagai seorang Konsultan Hukum di Indonesia, penulis tidak pernah lagi bersedia membuka diri untuk negosiasi terkait tarif layanan jasa, karena kerap terjadi, “air susu dibalas air tuba hingga perkosaan”, karena itu sama artinya “merugi sendiri”. Penulis pun tidak lagi pernah mengumbar nomor kontak kerja ataupun email profesi penulis, karena kerap disalah-gunakan oleh para pelanggar maupun oleh para “pemerkosa profesi konsultan hukum”, sehingga keseharian penulis lebih banyak disibukkan dan terganggu oleh berbagai telepon maupun pesan-pesan pelecehan yang menjurus “perkosaan” terhadap profesi penulis—sekalipun website ini adalah website “virtual office” profesi yang sedang penulis jalankan. Terlampau banyak “manusia serigala bernama manusia-hewan ‘made in Indonesia’” yang berkeliaran mencari mangsa untuk diterkam dan dimangsa di luar sana. Indonesia dijajah selama lima abad lamanya, mungkin karena itulah mental bangsanya bermental “penjajah” (Stockhom Syndrome).

Menjadi pedagang ataupun penyedia jasa yang “profesional”, artinya telah sejalan dengan apa yang diajarkan oleh Sang Buddha, yang menyatakan bahwa “Perbuatan baik artinya tidak merugikan orang lain juga tidak merugikan diri sendiri”—yang bila kita terjemahkan dalam konteks berusaha dalam rangka mencari nafkah, dapat pula kita maknai sebagai : Berdagang atau menjual jasa yang baik artinya, tidak merugikan konsumen juga TIDAK MERUGIKAN PROFESI DIRI SENDIRI.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.