Silent Killer Sukar Dijerat Pidana Percobaan Pembunuhan terlebih Percobaan Pembunuhan Berencana

ARTIKEL HUKUM

Tidak Taat Protokol Kesehatan Dikala Wabah Virus Menular Menjelma Pandemik, artinya Menjadi Pelaku Percobaan Pembunuhan, Diancam Sanksi Pidana Penjara

Menjadi fakta hukum menarik, ada apa dengan pemerintah Indonesia, enam bulan sudah pandemik Virus Corona Tipe-2 atau yang dikenal juga dengan sebutan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) merebak di Negeri Indonesia hingga saat ulasan ini disusun, pemerintah bersama parlemen belum juga mengatur perihal ancaman sanksi pidana bagi masyarakat yang melanggar “protokol kesehatan (cegah pandemik virus menular mematikan)”, dimana bahkan pemerintah dalam hal ini Kepala Pemerintahan terkesan enggan menerbitkan “Perpu” yang setingkat Undang-Undang yang mampu memuat ketentuan sanksi pidana bagi warga yang melanggar, namun disaat bersamaan begitu mulusnya menerbitkan “Perpu” terkait penggelontoran dana ratusan triliun Rupiah sekadar untuk langkah-langkah kuratif.

Banyak negara tetangga kita di Asia yang berhasil mengatasi wabah, semudah menerapkan “protokol kesehatan” secara disiplin dan konsisten baik pemerintah maupun warganya. Namun, dikala wabah merebak di Indonesia, dengan sangat serakah baik pemerintah maupun warganya tetap bersikukuh mendahulukan faktor ekonomi, berharap tetap sehat tanpa dibatasi “protokol kesehatan”, dan masih pula menuntut diadakan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada). Kebijakan pemerintah Indonesia yang selama ini demikian “LONGGAR”, masih juga ingin dilonggarkan dan ditawar-tawar, bahkan “protokol kesehatan” pun ingin ditawar-tawar, seolah Bangsa Indonesia mampu dan memiliki daya tawar untuk berkompromi dan bernegosiasi dengan sang virus penyebab wabah (baca : SERAKAH).

Sekalipun, sebagaimana kita ketahui, pandemik sama urgensi dan berbahayanya dengan penjajahan oleh kolonial asing untuk segera diatasi dan ditangani secara serius tanpa kompromi, tanpa menunda-nunda, dan tanpa berlarut-larut. Ketika penjajah asing menyerang masuk ke republik kita, apakah kita masih tawar-menawar dengan keadaan dengan tetap bersikap “pura-pura tiada wabah / ancaman penjajah”? Sang virus penyebab wabah ataupun pihak penjajah, tampaknya akan menjawab sebagai berikut : “Kamu pikir siapa dirimu, hendak tawar-menawar dengan kami?

Saat pasukan penjajah asing memasuki Indonesia, mungkin Rakyat Indonesia justru lebih sibuk berdemo menuntut agar kegiatan ekonomi terus berjalan, ketidak-relaan “puasa makan”, menolak keras untuk menerapkan “protokol darurat militer”, ingin terus keluar rumah untuk mencari hiburan, dan kegiatan harian lainnya seolah-olah (pura-pura) tiada penjajah dan tiada penjajahan yang tengah terjadi di depan mata. Siapa dan apa yang hendak kita curangi, dengan kebijakan atau paradigma “berpura-pura” tidak terjadi apa-apa ini? Ketika wabah kian merebak, masyarakat kita justru menuntut “reward”—alih-alih diberikan “punishment”—berupa kelonggaran terhadap pengetatan kegiatan ekonomi dan sosial. Ketika penjajah kian merangsek masuk menjejakkan kakinya dalam-dalam di Tanah Air, masyarakat kita justru menuntut “reward” berupa diberi kelonggaran serupa dengan alasan klasik : “Mati karena lapar dan bosan di dalam rumah, atau mati karena kena wabah / tembakan peluru”.

Bangsa Indonesia ternyata adalah bangsa yang sangat-amat serakah, untuk ukuran “protokol kesehatan” yang sedemikian sederhana seperti menjaga jarak dan memakai masker secara baik dan benar, masih juga KOMPLAIN dan PROTES disamping KEBERATAN, sekalipun itu untuk kebaikan dirinya sendiri dan tanggung-jawab terhadap keselamatan dan kesehatan orang lain antar penduduk. Masih juga tawar-menawar dan minta diberi kompromi “kelonggaran” atas kebijakan pemerintah yang selama ini sudah sangat “LONGGAR”—alias meminta dan menuntut “terlampau banyak”. Sekalian saja, menuntut agar tiada “protokol kesehatan” sama sekali dan hidup dalam kepalsuan “membohongi diri sendiri” sekaligus “mencurangi realita wabah”. Maka, bagaimana bila pemerintah hendak melakukan “LOCK DOWN murni”?

Bila kita memakai “mind set” seorang penjajah, kita menjadi memahami betul kelemahan paling krusial dari Bangsa Indonesia yang hendak kita jadikan target sebagai negara jajahan. Yakni, semudah mengenali fenomena betapa lemah mental Bangsa Indonesia dan melakukan strategi infiltrasi lewat faktor kelemahan mental bangsa jajahan, yang untuk ukuran “lock down” selama satu atau dua bulan pun masyarakat Indonesia MENOLAK DENGAN SELURUH DARAH PENGHABISAN.

Maka, untuk melemahkan dan menjajah Bangsa Indonesia, semudah melumpuhkan sistem / infrastuktur keuangan seperti “backbone” jaringan digital dunia perbankan nasional, melumpuhkan transportasi, melumpuhkan pasokan logistik, maka dengan sendirinya Bangsa Indonesia akan PUNAH karena lemahnya daya tahan mental mereka—meski disaat bersamaan mengaku sebagai “jagoan dalam urusan puasa makan”. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang terlampau “manja” dan “cengeng”, itulah kelemahan utama bangsa ini, yang akan mudah dijajah oleh penjajah asing yang mengetahui betul betapa “cengeng” dan “manja” alias lemahnya mentalitas bangsa ini.

Terdapat sebagian kalangan masyarakat kita yang menilai, bukanlah “dosa secara yuridis” dengan tidak memakai masker dan juga tidak menjaga jarak fisik, karena memang tiada “payung hukum” yang mengatur perihal kewajiban serta larangan disertai ancaman sanksi hukuman pidananya bagi pelanggar. Itulah isu utamanya, mengapa hingga saat kini, saat ulasan ini disusun telah enam bulan lamanya pandemik COVID-19 merusak sendi-sendi kesehatan serta ekonomi disamping tatanan soisial-kemasyarakatan di Indonesia, namun belum juga regulasi yang memadai diterbitkan oleh otoritas negara, sekalipun bila ada kemauan maka semua itu bukanlah hal yang mustahil namun suatu keniscayaan karena negara tetangga seperti Malaysia berhasil menerapkannya secara tegas dan konsisten terhadap warganya sendiri yang terbukti membawa manfaat positif bagi keselamatan rakyat dan negaranya (kebijakan proteksionisme seperti mengisolasi diri dari Warga Negara Indonesia yang dikenal tidak disiplin dalam hal “protokol kesehatan”, atas dasar prinsip “zero tolerance” terhadap ancaman wabah yang dapat merusak sendi ekonomi dan keselamatan rakyat).

Sebenarnya, bukan tiada jalan untuk menindak warga kita yang tidak disiplin, tidak patuh, dan tidak taat terhadap “protokol kesehatan”—namun lebih kepada kemauan dan keseriusan disamping tiadanya ketegasan pihak pemerintah itu sendiri yang disaat bersamaan dikenal tegas tiada kompromi (represif) terhadap mahasiswa yang berdemonstrasi menolak pengesahan suatu peraturan perundang-undangan. Sudah ada dan tersedia instrumen hukum pemidanaan untuk menindak dan menjatuhkan sanksi pidana penjara bagi warga masyarakat kita yang “nakal”, “badung”, “pembangkang”, “arogan”, “berjiwa desersi”, “pemberontak”, “sukar diatur”, “suka berkelit”, dan bentuk-bentuk karakter yang tidak menghargai martabat dan harkat serta eksistensi individu lainnya seolah derajat manusia yang lain lebih rendah daripada dirinya seorang, yakni instrumen hukum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) itu sendiri.

Bagi warga yang tidak menjalankan “protokol kesehatan”, seperti memiliki masker namun hanya “dikantungi di kantung saku” atau hanya menjadi pajangan karena dipasang secara tidak benar, dapat diancam dengan pidana penjara “percobaan pembunuhan”. Bagi warga yang terjaring razia tidak mengenakan masker dan juga tidak mambawa masker saat keluar rumah, dijerat ancaman pidana “percobaan pembunuhan BERENCANA”.

Masyarakat kita, baik yang tidak pernah mengenyam bangku sekolah formal ataupun yang berpendidikan tinggi, semuanya telah mengetahui bahwa COVID-19 menular lewat medium droplet dan udara (bioareosol / airborne). Harga masker kain yang dapat dicuci serta dipakai ulang, juga tidak lebih mahal ketimbang sebungkus produk bakaran tembakau yang sudah menjadi “makanan pokok” rakyat kecil Bangsa Indonesia. Tiada masyarakat kita yang tidak mengetahui bahwa keadaan negara saat ini sedang darurat wabah karena sudah menjadi berita nasional yang didengung-dengungkan sehari-harinya, karenanya adalah merupakan sebentuk kesengajaan bila seorang warga keluar rumah tanpa membawa ataupun mengenakan selembar pun masker, terlebih tidak menjaga jarak dan sengaja berkerumun (tiada berkerumun yang tidak disengaja).

Namun, tampaknya lebih banyak pelanggar dibanding warga yang patuh dan taat terhadap hukum dan aturan di republik ini. Terbukti, hanya kurang dari 20% dari warga tetangga pada lingkungan pemukiman penulis bertempat-tinggal yang mengenakan masker saat keluar rumah dikala wabah sedang ganas-ganasnya, sekalipun ini adalah ibukota dan tingkat pendidikan mereka relatif tinggi. Artinya, bila pemerintah betul-betul hendak menerapkan ancaman sanksi pidana bagi penduduk yang menjadi pelanggar terhadap “protokol kesehatan”, entah dengan menerapkan pasal-pasal “percobaan pembunuhan” sebagaimana telah lama diatur dalam KUHP ataupun menerbitkan undang-undang baru, sama artinya pemerintah kita hendak memasukkan 80% dari penduduknya ke dalam PENJARA di balik SEL JERUJI—dan itulah tepatnya yang tampaknya membuat pemerintah hingga saat kini terperangkap dalam keadaan dilematis “serba salah”, karenanya memilih untuk bersikap “pragmatis” dengan “berpura-pura tiada warga yang melanggar ‘protokol kesehatan’ sehingga tiada dibutuhkan aturan sanksi bagi pelanggar ‘protokol kesehatan’” atau setidaknya “berpura-pura tiada wabah sehingga warga tidak diwajibkan memakai masker dan menjaga jarak”.

Satu hal cukup menarik yang dapat kita tarik sebagai kesimpulan, ternyata Indonesia patut diberi gelar penuh “kebanggaan” sebagai “bangsa PELANGGAR” alias “TUKANG LANGGAR” (dapat penulis prediksi, Bangsa Indonesia benar-benar akan bangga disebut sebagai bangsa yang senang melanggar dan bila berhasil melanggar). Sekalipun tidak kita singgung perihal keadaan wabah dan masifnya pelanggaran terhadap “protokol kesehatan”, terhadap pelanggaran dan kejahatan klasik-primitif seperti pencurian, penganiayaan, dan penipuan yang telah diatur dalam KUHP, dapat dipastikan bila aparatur penegak hukum kita bekerja secara sungguh-sungguh tiada kompromi dan tiada “tebang pilih” serta tanpa mengabaikan ataupun menelantarkan aduan warga korban pelapor, maka dapat penulis pastikan penjara kita tidak akan pernah cukup menampung—dimana sekarang ini di tengah era kebijakan “obral remisi” pun pemerintah lewat otoritas Lembaga Pemasyarakatan mengklaim kapasitas berbagai penjara kita di Tanah Air telah terlampau “OVERLOAD and OVERCAPACITY”, maka bagaimana bila warga pelanggar “protokol kesehatan” yang mencapai 80% dari total populasi penduduk kita konsisten ditindak dan diproses hukum pidana, maka kondisi “ikan sarden” yang berdesak-desakkan di dalam kaleng sarden yang sempit masih lebih baik.

Dilema kedua, menyesakkan terpidana dalam penjara yang tidak mampu menampung, sama artinya pemerintah itu sendiri wajib dihukum pidana karena melanggar “protokol kesehatan”. Disamping itu, warga yang dijadikan terpidana tidak akan merasa “tabu” ataupun malu dijadikan “Terpidana melanggar ‘protokol kesehatan’”, terbukti dari masyarakat kita justru “foto selfie” saat diberi sanksi sosial seperti menyapu jalanan ketika melanggar “protokol kesehatan” dikala wabah. Akibat kebijakan berlarut-larut, banyak pekerja di-putus hubungan kerjanya karena perusahaan tidak sanggup membayar gaji pekerjanya selama dirumahkan untuk lebih dari dua bulan lamanya. Sebagai solusi, sang pengangguran akan memilih mendapat jatah makan tanpa tanpa perlu mengeluarkan biaya, di balik jeruji bernama “sel penjara”, dimana lagi-lagi negara juga yang harus mengeluarkan biaya “LOCK DOWN seluruh rakyat di dalam penjara” (sama artinya memindahkan “lock down” di rumah masing-masing warga menjadi “lock down” di dalam sel penjara).

Masalah ketiga, bila seorang warga yang tidak mentaati “protokol kesehatan”, lantas dipidana penjara sebagai pelaku “percobaan pembunuhan” dan divonis dengan pasal-pasal dalam KUHP sebagai pelaku “percobaan pembunuhan” terhadap warga lainnya yang terancam kesehatan dan keselamatannya dikala pandemik, namun banyak pelanggar “protokol kesehatan” lainnya di luar sana yang dibiarkan berkeliaran tanpa dijerat pasal pemidanaan dan sanksi pidana yang sama, maka akan tampak menyerupai “tebang pilih” yang mencederai rasa keadilan, selain menyerupai “STANDAR GANDA”, dimana pemerintah menggunakan dalih pragmatis “penjara telah penuh” sebagai alibi tidak menindak seluruh pelanggar dan “tutup mata terhadap banyak warga pelanggar lainnya”, maka sama artinya negara lewat otoritas pemerintahan yang berkuasa telah melanggar hak asasi manusia sang terpidana.

Tampaknya pemimpin negeri kita sadar betul bangsa kita ini ialah bangsa yang suka melanggar, belum memiliki kesadaran untuk patuh terhadap hukum (legal culture), “diatur pun akan kembali dilanggar”, dan “yang sudah diatur pun tetap dilanggar” (BUDAYA MELANGGAR, bahkan BANGGA DAPAT MELANGGAR sembari “foto selfie”), bahkan pihak pemerintah secara kontraproduktif mempertontonkan aksi-aksi akrobatik “hukum dan aturan dibuat untuk dilanggar baik oleh pihak warga maupun oleh pihak pejabat pemerintahan itu sendiri entah karena pengabaian terhadap pelanggaran yang terjadi atau bahkan yang melanggar ialah aparatur pemerintahan itu sendiri” (sehingga kehilangan “wibawa hukum” di mata publik).

Indonesia, baru hal “sesepele” menertibkan masyarakatnya untuk memakai masker, ternyata GAGAL TOTAL untuk mendisiplinkan warganya sendiri—dan menjadi gambaran nyata betapa memalukannya pemerintahan Negara Indonesia di mata dunia internasional. BARU MASALAH PENERTIBAN PEMAKAIAN MASKER, pemerintah Indonesia berkutat secara “berputar-putar” seolah-olah telah berada pada titik “jalan buntu” dan tidak juga menemukan jalan keluar? Maka, sebagai kesimpulan, tidak butuh pesawat tempur mahal untuk menjajah Indonesia, karena perihal pemakaian masker pun Indonesia GAGAL TOTAL—itu pun baru urusan “sepele” semacam pemakaian masker, namun ternyata GAGAL TOTAL, terlebih perihal menghadapi tank tempur, rudal balistik, senjata kimia, dan perang nuklir?

Bagaimana bila penjajah asing benar-benar datang menjajah Indonesia? Ini menjadi sinyalemen bagi bangsa-bangsa lainnya di kawasan Asia maupun dunia global, betapa “empuk”-nya menjajah Indonesia sang “Macan Asia tua yang telah ompong”, karena untuk urusan “memakai masker” pun GAGAL TOTAL menertibkan warganya sendiri. SELAMA ENAM BULAN, HINGGA SAAT KINI PANDEMIK MENJADI MOMOK DI INDONESIA, PEMERINTAH INDONESIA MASIH GAGAL UNTUK MENGATASINYA DAN GAGAL TOTAL? Jika sudah seperti ini kondisinya, patutlah kita untuk bertanya : siapa yang sebetulnya tengah tersandera dan siapa jugakah yang sedang disandera, jika bukan antara pemerintah dan warganya saling menyandera satu sama lain?

Solusinya, bila ada di antara para pembaca yang bertanya kepada penulis, maka dapat penulis pastikan bahwa ketegasan dan keseriusan pemerintah adalah satu-satunya jalan keluar untuk negara semacam Bangsa Indonesia yang sukar diatur warganya, dengan tidak lagi melakukan konsultasi publik, menutup ruang wacana dengan publik, seketika itu juga mengambil tindakan keras dan tegas “TOP TO DOWN”, represif jika diperlukan, karena dalam kondiri darurat wabah maka hukum dalam keadaan darurat yang berlaku dan tampil mengambil-alih.

Selama ada kemauan dan ketegasan, maka pemerintah akan berani untuk mengambil kebijakan radikal tidak populis : “LOCK DOWN murni”, dimana warga wajib tinggal di dalam rumah (tidak memakai masker bukan lagi menjadi masalah karena semua warga dirumahkan, atau konstruksinya ialah sebagai seluruh rakyat tanpa terkecuali dijadikan “tahanan rumah” sehingga silahkan bernafas tanpa memakai masker sepuasnya di dalam rumah sendiri), dimana bila ada warga yang melanggar seperti keluar rumah tanpa izin pemerintah maka seketika itu juga DITEMBAK MATI (maka perihal penjara yang over-kapasitas bukan lagi menjadi masalah). Maka, cukup satu hingga dua bulan “LOCK DOWN”, selepas itu tiada lagi “mimpi buruk” bernama wabah yang menghantui—sepanjang “LOCK DOWN” dilakukan secara MURNI, TIADA KOMPROMI, TIADA TOLERANSI, SEPENUH HATI, TOTALITAS, TIDAK SEPARUH-SEPARUH, PENUH, TUNTAS, UTUH, dan TEGAS.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.