Mengikuti Kebijakan Pemerintah yang SALAH ARAH, Rakyat Bukanlah Penumpang, dan Pemerintah Bukanlah Nahkoda (Namun Wakil Rakyat)

ARTIKEL HUKUM

Sejauh Apapun Kita Salah Melangkah, PUTAR HALUAN SEKARANG JUGA, Sebelum Kita Dipaksa dan Terpaksa Memutar Arah

Salah adalah salah, benar adalah benar. Keliru sebagai keliru, tepat sebagai tepat. Membenar-benarkan yang salah adalah “keliru”, dan menyalah-nyalahkan yang salah adalah “tepat”. Menjadi mengherankan melihat fenomena yang terjadi di republik ini, siapakah yang sebenarnya membangkang serta pembangkang. Pada satu sisi, pemerintah kerap memaksakan diri merancang serta menerbitkan Undang-Undang yang dinilai tidak “pro” terhadap kepentingan rakyat dan tetap mengesahkannya sekalipun telah mendapat penolakan dari rakyat, yang mana pada sisi lain rakyak kemudian meneladani sikap “pembangkang” pemerintah dengan tidak pernah mengikuti anjuran ataupun himbauan pemerintah seperti untuk menerapkan “protokol kesehatan” dikala wabah merebak yang diakibatkan oleh pandemik virus menular mematikan.

Pemerintah seolah membelot dari mandat yang diberikan oleh rakyat, dan sebaliknya rakyat seolah membelot dari kepentingan nasional akibat semata sentimen negatif terhadap pemerintahnya yang selama ini dipilih secara demokratis, dimana salah satu kelemahan paling fatal dari sistem hukum demokratis, ialah para pejabat terpilih seringkali ialah tokoh-tokoh “populis” yang belum tentu “pakar” dalam hal manajerial sebuah negara dan pemerintahan. Rakyat yang “bodoh”, keputusan yang “bodoh”, pilihan yang “bodoh”, dan pemimpin terpilih yang tidak kalah “bodoh”-nya.

Ibarat rakyat selaku penumpang hendak memacu kendaraan ekonomi dengan pedal gas akselerasi diinjak dalam-dalam dalam kecepatan penuh melaju, dan dikemudikan oleh pemerintah yang tidak mau menyadari bahaya dibalik permintaan demikian. Ketika pada akhirnya kendaraan (negara) yang dikemudian pemerintah melaju kencang menuju jurang kehancuran akibat wabah pandemik virus menular mematikan, para penumpang (rakyat) mulai menjerit panik dan meminta agar kendaraan dihentikan saat mulai menyadari adanya jurang di depan mata, akan tetapi sang pengemudi tetap asyik menginjak pedal gas (ekonomi) sedalam-dalamnya sebagaimana permintaan semula para penumpangnya (rakyat) sembari berkata : “Kalian sendiri yang meminta semua ini! YOU ASKED FO IT!

Terdapat sebuah peribahasa Tiongkok, yang cukup relevan dengan berbunyi : “Hendak ke Selatan, tetapi mengendarai kereta kuda ke arah Utara.” Makna dari peribahasa Chinese tersebut, perbuatan atau tindakan yang tidak mengikuti cara yang benar, tidak berada di jalur yang semestinya, sebaliknya malah menyimpang. Idiom tersebut seolah hendak mengingatkan sekaligus menyentil sifat tidak rasional diri kita : Jika pendirian kita tetap bersikukuh tanpa melihat realita, dan terus-menerus bersikeras, ibarat hendak ke Selatan tetapi mengendarai kereta kuda ke arah Utara, semua rencana dan upaya tidak akan pernah menuju hasil yang diharapkan.

Kisahnya bermula ketika alkisah pada zaman dahulu kala, terdapat seorang tua yang maksud dan tujuannya justru bertolak-belakang dengan apa yang diperbuat olehnya sendiri. Dirinya hendak berpergian ke Negara Chu yang berada di Selatan, akan tetapi mengambil jalan yang berlawanan arah. Walaupun sudah diberi saran, ia tetap bersikukuh dengan sikapnya.

Mari kita simak kisah selengkapnya. Dalam perjalanannya ke Negara Chu, orang tua tersebut berpapasan dengan seorang pemuda setempat yang bernama Ji Liang. Ji Liang yang saat itu sedang berjalan-jalan santai di kaki gunung Taihang melihat orang di dalam kereta memberikan salam, ia pun membalas dengan senyum sambil bertanya untuk berbasa-basi, “Mau ke mana, Tuan?

Mau ke Negara Chu,” sahut orang tua dari dalam kereta kudanya dengan penuh keyakinan.

Negara Chu ada di Selatan, mengapa Anda berkendara menuju jalan ke arah Utara?” tanya Ji Liang dengan rasa heran.

Oh, tidak masalah, karena kudaku dapat berlari dengan sangat cepat, selain itu saya juga membawa bekal dan uang yang banyak,” sahut orang tua itu tanpa mau menyadari bahaya dibalik sikap kerasnya.

Semakin cepat kuda Anda berlari, semakin jauh Anda meninggalkan Negara Chu, Tuan!

Tanpa memberikan kesempatan kepada orang tua dalam kereta tersebut untuk membalas perkataannya, Ji Liang pun langsung melanjutkan ucapannya. “Tidak perduli berapa banyak uang yang Anda bawa, semuanya akan habis kelak dan Anda tidak akan pernah sampai ke tujuan.”

Oh.... tidak masalah, kusir saya sangat mahir membawa kereta kuda.”

Selesai bicara, orang tua tersebut memberikan aba-aba kepada kusir untuk segera melanjutkan perjalannya tanpa memberikan kesempatan kepada JI Liang untuk bertanya lebih jauh. Sang kusir pun mencambuk kuda dengan keras, yang dalam sekejap mata, kereta kuda telah pergi meninggalkan Ji Liang dan hanya meninggalkan segumpalan debu.

Sementara kereta kuda telah pergi melaju kencang meninggalkan Ji Liang di belakang, Ji Liang hanya bisa berdiri termangu dan terheran-heran, menyimak kereta kuda itu melesat pergi demikian cepatnya tanpa satu patah kata pun menghiraukan perkataan dan peringatan dari JI Liang.

Dalam hati Li Jiang berkata, “Orang tua ‘keras kepala’ ini benar-benar mencari penyakit. Sudah diberikan penjelasan dan argumen untuk mudah dipahami, masih bersikeras dengan pendiriannya sendiri, sedikit pun tidak mau menerima nasehat orang lain.”

Ketika wabah merebak menjelma pandemik, tidak ada cara lain guna mengatasinya selain dengan sepenuhnya melakukan isolasi diri secara mandiri atau pemberlakuan kebijakan tegas oleh pemerintah bernama “LOCK DOWN” selama kurun waktu tertentu guna memutus mata rantai penularan. Sejumlah negara seperti China, Vietnam, Malaysia, maupun Thailand, melakukan kebijakan tegas dengan berani mengorbankan faktor ekonomi untuk beberapa periode awal masa pengetatan guna mengendalikan wabah, kini negara-negara tersebut dapat memetik buah manis “rebound” tingkat pertumbuhan ekonomi atau memasuki masa “recovery” ekonomi makro dan mikro kerakyatannya—meninggalkan Indonesia jauh di belakang yang masih sibuk berkutat pada masalah wabah ditambah resesi ekonomi yang tidak terelakkan.

Sebaliknya, baik rakyat maupun pemerintah Indonesia, menghendaki kebijakan “pura-pura tiada wabah” dengan tetap memacu faktor kegiatan ekonomi, yang akibatnya wabah sama sekali tidak terkendali, bahkan menjelma pandemik masif yang tidak lagi dapat terkendalikan karena telah demikian berlarut-larut, sementara keuangan negara tersedot habis untuk upaya kuratif belaka dan tabungan masyarakat kian menipis, sementara produk produksi produsen dalam negeri tidak laku akibat daya beli masyarakat melemah, sementara angka prevalensi warga terjangkit wabah terus menukik tinggi, maka sama artinya baik warga maupun pemerintah Indonesia bersama-sama menghendaki memasuki jurang resesi ekonomi maupun jurang kerusakan sendi kesehatan masyarakat—sekalipun telah kita maklumi bahwa kesehatan adalah modal paling utama untuk berkegiatan dan berekonomi.

China dan negara-negara ASEAN lainnya telah memperlihatkan efektivitas keberlakuan tegas “LOCK DOWN”, namun tanpa menghiraukan himbauan negara-negara tetangga kita untuk turut “LOCK DOWN”, pemerintah Indonesia yang mengklaim tidak memiliki dana untuk “LOCK DOWN”, justru menghambur-hamburkan uang yang lebih banyak lagi untuk upaya kuratif yang jelas-jelas tidak akan pernah efektif menekan laju pertumbuhan pandemik, dan menjadikan nasib serta nyawa rakyatnya sebagai ajang pertaruhan—sama sekali bukan langkah strategis yang ilmiah, namun cenderung bernuansa politis serta spekulatif. Pemerintahan yang baik tidak menjadikan nasib warganya sebagai pertaruhan melawan wabah. Alih-alih berfokus menangani penyebaran wabah, pemerintah Indonesia justru menyibukkan diri dan masyarakatnya untuk urusan ekonomi dan pemilihan Kepala Daerah. Alih-alih berfokus menganggarkan dana yang ada untuk “LOCK DOWN”, justru membuat kebijakan “bakar-bakar uang” untuk faktor kuratif yang “mahal”, seolah-olah uang dan ekonomi adalah “vaksin” itu sendiri.

Kembali kepada kisah Li Jiang dan seorang Bapak Tua dengan kereta kudanya di atas, mungkin dapat penulis tambahkan kisah kelanjutannya. Pak Tua yang bersikukuh menuju ke Utara, namun tujuannya menuju ke Negara Chu di Selatan, pada gilirannya realita akan memaksa sang Bapak Tua untuk mau mengakui fakta dan pada akhirnya kehilangan banyak waktu dan biaya di perjalanan yang mubazir, harus memutar-balik laju keretanya ketika sudah jauh salah melangkah.

Seperti kata pepatah lainnya, sejauh apapun salah melangkah, putar-haluan sekarang juga. Pada gilirannya, wabah yang tidak kunjung usai akan memukul mundur pemerintah dan rakyat Indonesia, untuk benar-benar dipaksa dan terpaksa menerapkan kebijakan “LOCK DOWN” ketika rakyat telah miskin, letih, sakit, kelaparan, dan “burnout” akibat kebijakan penuh spekulasi pihak pemerintah yang selama ini berlarut-larut dan menguras energi serta emosi.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.