LEGAL OPINION
Question: Korupsi artinya ada kerugian negara, namun bila belum terbukti adanya kerugian negara, apa masih bisa seseorang dituduh atau dijadikan sebagai tersangka tindak pidana korupsi?
Brief Answer: Dalam praktik di persidangan, percobaan kejahatan diancam pemidanaan, dimana tindak pidana korupsi (Tipikor) tergolong delik “kejahatan”, sehingga terhadap terdakwa kasus percobaan korupsi tetap dapat didakwa dan dipidana, sepanjang tidak selesainya perbuatan terlarang tersebut terjadi akibat diluar kehendak sang pelakunya—semisal karena terkena “operasi tangkap tangan” (OTT) oleh aparatur penegak hukum sehingga kerugian negara dicegah terjadinya, dan dapat dijerat berdasarkan Undang-Undang Tipikor.
Secara teoretis, terdapat perbedaan laten antara konsepsi “korupsi” dan “kolusi”. Bila “korupsi” identik dengan adanya “kerugian keuangan negara”, maka delik pidana “kolusi” tidak mensyaratkan adanya kerugian pada “keuangan negara” bahkan bisa jadi tiada kerugian pada “keuangan negara” sama sekali (delik formil). Menurut pendapat SHIETRA & PARTNERS, adalah mustahil Jaksa Penuntut Umum dapat membuktikan adanya unsur “kerugian keuangan negara” yang menjadi syarat esensial dari suatu tindak pidana “korupsi” terhadap pelaku “percobaan korupsi” (yang berkarakter “delik formil”), sehingga menjadi tampak dipaksakan untuk tetap didakwakan dengan pasal-pasal terkait delik materiil bernama “korupsi”—mengingat fakta yuridis bahwa ancaman hukum bagi pelaku “potential loss” telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi RI dalam putusannya Nomor 25/PUU-XIV/2016. Kecuali, terhadap Terdakwa pelaku “percobaan korupsi” demikian dijerat dengan dakwaan delik “kolusi” yang tidak mensyaratkan pembuktian adanya “kerugian keuangan negara”, namun semata karena menyalah-gunakan wewenangnya.
PEMBAHASAN:
Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang Tipikor):
“Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.” [Note SHIETRA & PARTNERS : Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor adalah delik “korupsi”, namun putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 25/PUU-XIV/2016 tidak pernah membatalkan sebagian atau seluruhnya dari ketentuan Pasal 15 UU Tipikor ini, yang artinya delik formil masih dapat diberlakukan terhadap Terdakwa yang didakwa melanggar Pasal 2 maupun Pasal 3 UU Tipikor.]
Penjelasan Resmi Pasal 15 Undang-Undang Tipikor:
“Ketentuan ini merupakan aturan khusus karena ancaman pidana pada percobaan dan pembantuan tindak pidana pada umumnya dikurangi 1/3 (satu pertiga) dari ancaman pidananya.”
Pasal 2 Undang-Undang Tipikor merupakan rumusan tindak pidana “korupsi”, mengatur:
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.”
Pasal 3 Undang-Undang Tipikor dapat dikategorikan sebagai tindak pidana “kolusi” yang berujung “korupsi”, mengatur:
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliyar rupiah).” [Note SHIETRA & PARTNERS : Frasa “dapat” baik pada Pasal 2 maupun Pasal 3, telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi RI Nomor 25/PUU-XIV/2016.]
Terdapat sebuah ilustrasi konkret terkait “percobaan korupsi” sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan lewat putusan Mahkamah Agung RI perkara tindak pidana korupsi register Nomor 601 K/PID.SUS/2016 tanggal 18 Mei 2016, Terdakwa didakwa karena keterlibatannya dalam upaya korupsi, tepatnya dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum atau dengan menyalah-gunakan kewenangannya memaksa seseorang memberikan sesuatu atau membayar bagi dirinya sendiri, namun perbuatan tersebut tidak selesai pelaksanaannya bukan karena kehendak Terdakwa, dimana para pelakunya ditangkap oleh petugas intelijen Kejaksaan Agung sebelum terjadinya kerugian keuangan negara.
Adapun yang menjadi tuntutan Jaksa Penuntut Umum, ialah agar Terdakwa divonis:
1. Menyatakan Terdakwa bersalah melakukan tindak pidana “Turut Serta Melakukan Percobaan Korupsi” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 huruf e jo. Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHPidana sebagaimana tersebut dalam surat dakwaan;
2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa berupa pidana penjara selama 4 (empat) tahun dikurangi selama Terdakwa berada dalam tahanan dengan perintah agar Terdakwa tetap ditahan dan denda Rp200.000.000,00 subsidair 3 bulan kurungan.
Terhadap tuntutan Jaksa, yang kemudian menjadi putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Mataram Nomor 24/PID.SUS.TPK/2015/PN.Mtr tanggal 19 Oktober 2015, dengan amar yang melampaui tuntutan Jaksa, sebagai berikut:
“MENGADILI :
1. Menyatakan Terdakwa Hasnul Hasan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Korupsi yang dilakukan secara bersama-sama”;
2. Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada Terdakwa Hasnul Hasan, tersebut dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun dan pidana denda sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), dengan ketentuan apabila Terdakwa tidak membayar pidana denda tersebut maka harus diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan;
3. Menetapkan bahwa masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa Hasnul Hasan harus dikurangkan seluruhnya dengan pidana yang dijatuhkan kepada Terdakwa;
4. Menetapkan bahwa Terdakwa Hasnul Hasan, tetap berada di dalam tahanan.”
Dalam tingkat banding, yang kemudian menjadi Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi Mataram Nomor 23/PID.SUS/2015/PT.MTR tanggal 15 Desember 2015, dengan amar sebagai berikut:
“MENGADILI :
1. Menerima permohonan banding dari Penasihat Hukum Terdakwa tersebut;
2. Menguatkan Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Mataram Nomor 24/PID.SUS.TPK/2015/PN.Mtr. tanggal 19 Oktober 2015, yang dimohonkan banding tersebut;
3. Memerintahkan agar Terdakwa tetap berada dalam tahanan;
4. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.”
Pihak Terdakwa mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan bahwa memang benar telah terjadi pemalsuan surat dari Kejagung yang dilakukan oleh Terdakwa maka perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa merupakan perbuatan tindak pidana umum, bukan merupakan tindak pidana Korupsi.
Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi / Terdakwa tersebut Mahkamah Agung berpendapat sebagai berikut:
“Bahwa alasan-alasan kasasi Terdakwa ... tidak dapat dibenarkan, karena Judex Facti tidak salah menerapkan hukum. Pertimbangan dan putusan Judex Facti telah tepat dan benar. Terdakwa terbukti melakukan perbuatan pembantuan, pemufakatan jahat melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf e jo. Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Bahwa Terdakwa membuat surat panggilan kepada Kepala Dinas Perhubungan Lombok Barat dengan mengatas-namakan Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung dengan cara membubuhkan tanda tangannya sendiri dan membubuhkan stempel Kejaksaan Agung yang telah dipalsukan merupakan tindak pidana;
2. Bahwa perbuatan Terdakwa yang mengaku sebagai “Kepala Divisi Tipikor di Kejaksaan Agung” telah merusak nama baik Kejaksaan Agung sekaligus merusak nama baik dan kepercayaan masyarakat terhadap Pemerintah, sehingga dapat mengganggu dan merusak pelaksanaan program Pemerintah dibidang pemberantasan korupsi;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, lagi pula ternyata putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan / atau undang-undang, maka permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi / Terdakwa tersebut harus ditolak;
“M E N G A D I L I :
“Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi / TERDAKWA HASNUL HASAN tersebut.”
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.