Peran Norma Hukum Bentukan Preseden dalam Perkara Pidana, Meminimalisir Disparitas antar Putusan

LEGAL OPINION

Question: Seperti apa contohnya pengetahuan tentang preseden dapat diaplikasikan dalam kasus nyata perkara pidana?

Brief Answer: Salah satu peran penting norma hukum bentukan preseden, ialah dalam rangka meminimalisir disparitas vonis penghukuman antar putusan dengan karakter serupa. Semisal terhadap satu perbuatan pidana serupa, menjadi sebentuk disparitas bila antara satu putusan pidana dan putusan pidana lainnya dijatuhi vonis hukuman penjara yang sangat senjang berat-ringannya. Disini, aspek psikologi hukum seorang Terpidana maupun Korban Pelapor menjadi subjek perhatian yang patut diberi kepastian hukum dalam derajat paling minimum.

Dalam hal ini, Undang-Undang sama sekali tidak memberikan kepastian hukum, mengingat redaksional rumusan pemidanaan dalam Undang-Undang hanya mencantumkan ancaman hukuman pidana secara “paling berat” (seberat-beratnya) dan “paling ringan” (seringan-ringannya) atas suatu delik yang dilanggar oleh seorang Terdakwa. Karenanya, hakim tidak dapat mendalilkan bahwa dirinya memutus tidak menyimpangi koridor hukum yang berlaku, dalam hal ini ancaman sanksi maksimum dan minimum. Dengan demikian, tumpuan terakhir masyarakat pencari keadilan ialah pada peran penting norma hukum bentukan preseden, alias kebiasaan praktik di ruang peradilan untuk dibakukan, terutama terkait berat-ringannya sanksi hukuman dalam vonis.

Terdapat urgensi penting dibalik konsistensi antar putusan, terutama dalam hal penghukuman (sentencing), guna menghindari kesenjangan berat-ringannya vonis antar putusan, sehingga tidak mencederai nurani keadilan masyarakat, korban, maupun pelaku. Akan lebih dirasakan adil, bahkan oleh para pelaku, ketika para pelakunya tersebut atas perbuatan pidana dengan karakter serupa divonis secara berat masing-masing sepuluh tahun penjara, daripada pelaku yang satu divonis enam tahun penjara sementara pelaku kedua hanya divonis dua tahun penjara—terdapat selisih empat tahun penjara sebagai kesenjangan diantara kedua putusan. Sehingga, isunya bergeser bukan lagi perihal berat atau ringannya vonis yang dijatuhkan kepada sang pelaku, namun apakah terdapat perlakuan yang berbeda (disparitas) antar terhukum dalam hal berat-ringannya vonis penghukuman.

PEMBAHASAN:

Salah satu ilustrasi apik memanfaatkan data putusan guna membuat kontras antar putusan yang tampak saling berdisparitas, bahkan secara kontras sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan lewat perkara tindak pidana penyuapan hakim yang dilakukan oleh seorang pengacara “kondang” senior bernama OTTO CORNELIS KALIGIS, didakwa karena menyuap hakim demi kepentingan perkara yang menimpa sang klien, sebagaimana tertuang dalam putusan Mahkamah Agung RI perkara Peninjauan Kembali putusan pidana register Nomor 176 PK/PID.SUS/2017 tanggal 19 Desember 2017, dimana status OC Kaligis selaku pengacara justru menjadi bumerang bagi dirinya sendiri karena menjadi salah satu faktor yang memberatkan kesalahan dirinya selaku Terdakwa dalam pertimbangan hukum hakim pemutus.

Tidak dibutuhkan “segudang” gelar akademik untuk memenangkan perkara dengan cara suap-menyuap, bahkan sama sekali tidak dibutuhkan gelar akademik apapun sebagaimana para mafia dan makelar kasus yang biasa bermain pada “dunia hitam” di ruang-ruang peradilan dan di “bawah meja”. Lawan dari klien sang “pengacara kondang” tidak memiliki sederet gelar akademik seperti dirinya, namun mengapa tidak berani “adu ilmu” secara akademik, justru baru merasa percaya diri untuk menang lewat memberikan uang suap, dan justru memakai cara-cara rendahan yang “lebih murah daripada murahan” (hina) semacam suap-menyuap? Bahkan makelar kasus yang tidak lulus Sekolah Dasar sekalipun dapat memenangkan pertarungan hukum apapun dalam melawan seorang Sarjana Hukum dengan ratusan ribu jam terbang yang menguasai undang-undang dan teori hukum, cukup dengan bekal “modal” bernama “uang sogokan” alias “uang suap”.

Terhadap tuntutan Jaksa Penuntut, yang menjadi amar putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat Nomor 89/Pid.Sus/TPK/2015/PN.Jkt.Pst. tanggal 17 Desember 2015, dengan amar sebagai berikut:

MENGADILI :

1. Menyatakan Terdakwa Prof. DR. OTTO CORNELIS KALIGIS, S.H, M.H. terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Korupsi sebagaimana didakwakan dalam Dakwaan Pertama, “setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili”;

[Note SHIETRA & PARTNERS : Sang Profesor yang menjadi Terdakwa alias ‘pesakitan’ di persidangan pidana ini seolah hendak berkata dan mendidik para mahasiswanya lewat teladan contoh nyata : “Wahai anak-anak didik-ku, ‘gugu dan tiru’-lah gaya saya profesor hukum kalian ini, tidak perlu merepotkan diri menyusun dalil-dalil hukum, cukup berikan uang suap, habis perkara. Soal ujian hari ini ialah : bagaimana cara memenangkan perkara, repot-repot belajar hukum atau cukup memberikan uang suap?

JIka begitu untuk apa kami repot-repot kuliah hukum, Pak Profesor?

Karena kamu bodoh, karena itulah kamu (terjebak masuk) kuliah hukum.

Satu faktor tambahan yang memberatkan kesalahan sang Terdakwa, bukan hanya statusnya sebagai seorang pengacara, namun juga selaku seorang “public figure”, dosen, bahkan seorang bergelar akademik profesor hukum.]

2. Menjatuhkan pidana oleh karena itu terhadap Terdakwa dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun dan 6 (enam) bulan, dikurangi selama berada dalam tahanan dan pidana denda sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) Subsidiair pidana kurungan pengganti selama 4 (empat) bulan;

3. Menyatakan lamanya penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangkan sepenuhnya dengan pidana yang dijatuhkan;

4. Menyatakan Terdakwa tetap dalam tahanan.”

Dalam tingkat banding, alih-alih merenungi kesalahannya sebagai seorang “profesor” yang semestinya dapat arif dan bijaksana mengakui kebenaran dan bersyukur hanya diganjar vonis ringan, ternyata masih juga melakukan upaya hukum banding, yang kemudian menjadi putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Nomor 14/PID/TPK/2016/PT.DKI., tanggal 19 April 2016, dengan amar sebagai berikut:

MENGADILI :

- Menerima permintaan banding dari Penuntut Umum dan Terdakwa tersebut;

- Mengubah putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 89/Pid.Sus/2015/PN.JKT.PST. tanggal 17 Desember 2015 yang dimintakan banding tersebut sekedar mengenai lamanya pidana penjara terhadap Terdakwa sehingga amar putusan selengkapnya sebagai berikut:

1. Menyatakan Terdakwa Prof. DR. OTTO CORNELIS KALIGIS, S.H, M.H. telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Korupsi secara bersama-sama dan berlanjut” sebagaimana didakwakan dalam dakwaan Pertama;

2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda sebanyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama 4 (empat) bulan;

3. Menyatakan lamanya penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangkan sepenuhnya dengan pidana yang dijatuhkan;

4. Memerintahkan Terdakwa tetap dalam tahanan.”

Dalam tingkat kasasi, merasa belum puas dengan vonis yang ringan atas kesalahan fatalnya merusak moralitas kaum generasi muda hukum, yang kemudian menjadi putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1319 K/PID.SUS/2016 tanggal 10 Agustus 2016, dengan amar sebagai berikut:

MENGADILI :

“Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi II/TERDAKWA PROF. DR. OTTO CORNELIS KALIGIS, S.H., M.H. tersebut;

“Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I / PENUNTUT UMUM PADA KOMISI PEMBERANTARASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA tersebut;

“Membatalkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 14/PID/TPK/2016/PT.DKI. tanggal 19 April 2016 yang mengubah putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 89/Pid.Sus/TPK/2015/PN.Jkt.Pst., tanggal 17 Desember 2015;

MENGADILI SENDIRI

1. Menyatakan Terdakwa PROF. DR. OTTO CORNELIS KALIGIS, S.H., M.H. terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “KORUPSI SECARA BERSAMA-SAMA DAN BERLANJUT”;

2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) tahun dan denda sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka kepada Terdakwa dikenakan pidana pengganti pidana denda berupa pidana kurungan selama 6 (enam) bulan;

3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa sebelum putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap, dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;

4. Menetapkan Terdakwa tetap ditahan.”

Sang Terdakwa alih-alih menyesali perbuatannya yang mencoreng berbagai gelar akademik maupun statusnya sebagai seorang “pengacara koruptor” (alih-alih menjadi “pengacara rakyat korban korupsi”), seolah memberi teladan bagi para muridnya bahwa “kasih uang habis perkara” (alih-alih bermain dalam tataran pengetahuan hukum), mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, dengan merujuk pada data-data berupa daftar sekitar sepuluh orang advokat tersangkut perkara “gratifikasi” dengan vonis dibawah 5 tahun (sekalipun tiada satupun diantara daftar nama-nama di bawah ini yang bergelar “profesor” bahkan memiliki sederet gelar akademik):

1. Tengku Syaifuddin Popon. Kasusnya di tahun 2005 diketahui melakukan suap terhadap pegawai Pengadilan Tinggi Tindak Pidana Korupsi sebesar Rp250.000.000,00; divonis hukuman 2 tahun 8 bulan.

2. Harini Wijoso. Advokat ini dilaporkan tersandung kasus suap Pegawai dan Hakim Agung di Mahkamah Agung pada tahun 2005. Oleh Mahkamah Agung ia dijatuhi vonis 3 (tiga) tahun penjara dan denda Rp100.000.000,00.

3. Manatap Ambarita. Manatap dilaporkan menghalang-halangi proses pemeriksaan yang dilakukan oleh Kejaksaan terhadap Tersangka Korupsi Penyalah-gunaan Sisa Anggaran Tahun 2005 yang dilakukan Dinas Kimpraswil Kabupaten Kepulauan Mentawai, Afner Ambarita. Pengadilan Negeri Padang menjatuhkan vonis 1,5 tahun penjara dan diperkuat Pengadilan Banding Sumatera Barat. Pada tahun 2010 Mahkamah Agung menjatuhkan vonis 3 tahun penjara.

4. Lambertus Palang Ama. Lambertus diduga terlibat dalam kasus Gayus Halomoan Tambunan pada tahun 2010, dengan dugaan merekayasa asal-usul uang Rp28.000.000.000,00. Ia divonis Pengadilan Negeri Jakarta Selatan selama 3 (tiga) tahun penjara ditambah denda Rp150.000.000,00.

5. Adner Sirait. Advokat ini ditetapkan pada tahun 2010 menyuap Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, Ibrahim terkait perkara sengketa tanah seluas 9,9 hektar di Cengkareng Jakarta Barat. Kasus ini bersengketa dengan Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Ia divonis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi 4 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp150.000.000,00.

6. Mario C Bernardo. Kasus pemberian uang atau suap pegawai Mahkamah Agung yang disangkakan pada Mario pada tahun 2013 di tingkat kasasi. Divonis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dengan pidana penjara selama 4 tahun dan denda Rp200.000.000,00.

7. Moh. Yagari Bhastara Guntur alias Gerry. Gerry tertangkap tangan tengah memberikan sejumlah uang bagi hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Medan, divonis 2 tahun penjara.

8. Kasman Sangaji (Pengacara Saiful Jamil). Kasus pemberian sejumlah uang atau suap kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Utara divonis dengan pidana penjara 3 tahun 5 bulan dan denda sebesar Rp100.000.000,00.

Akan lebih elok, bila Terdakwa melepas dahulu gelar-gelar kehormatan dan berbagai gelar akademiknya sebelum melakukan tindak pidana kejahatan yang “hina” semacam menyuap seorang hakim, alih-alih mengajukan “komplain” dan “protes” dengan “iri hati” terhadap Terpidana lainnya yang tidak memiliki “segudang” gelar akademik maupun status sebagai seorang “profesor” dengan puluhan hingga ratusan mahasiswanya.

Makin tua, seharusnya makin menjadi arif bijaksana, bukan menjadikan faktor umurnya sendiri sebagai “alasan pembenar” untuk melakukan tindak pidana yang demikian “tercela”-nya lalu meminta keringan hukuman dengan alasan “perikemanusiaan” sebagaimana diungkapkan sendiri oleh sang Terdakwa : “Ini Hakim Agung mau membuat saya mati membusuk di penjara?” Mengapa juga masih melakukan tindakan terlarang berat seperti menyuap hakim, dikala sudah uzur “bau tanah”? Korban-korban korupsi, ialah para rakyat jelata, banyak diantara mereka yang mungkin jauh lebih lanjut-usia (lansia) ketimbang sang “pengacara koruptor”, tercerabut hak-haknya, seolah korban tidak pernah berhak “komplain” dan “protes” di republik bernama Indonesia ini.

Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung RI tingkat Peninjauan Kembali membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:

“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali / Terpidana tersebut Mahkamah Agung berpendapat sebagai berikut:

“Bahwa alasan permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali / Terpidana pada pokoknya menyatakan terdapat putusan yang saling bertentangan mengakibatkan terjadi disparitas atau perlakuan berbeda dalam pemidanaan perkara Pemohon Peninjauan Kembali / Terpidana Prof. Dr. Otto Cornelis Kaligis, S.H., M.H., yang dinyatakan secara bersama-sama (Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana) melakukan tindak pidana Korupsi Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dengan Moh. Yagari Bhastara Guntur sebagai pihak yang tertangkap Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (diajukan terpisah). Demikian pula halnya dalam perkara Tripeni Irianto Putro (Hakim yang disuap). Alasan tersebut dapat dibenarkan dengan pertimbangan sebagai berikut:

- Bahwa Judex Juris dalam putusannya Nomor 1319 K/Pid.Sus/2016 tanggal 10 Agustus 2016, atas nama Pemohon Peninjauan Kembali / Terpidana Prof. Dr. Otto Cornelis Kaligis, S.H., M.H., dengan memperberat pidana penjara menjadi pidana penjara selama 10 (sepuluh) tahun, sedangkan dalam putusan Judex Facti Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 14/Pid/TPK/2016/PT.DKI tanggal 19 April 2016, Pemohon Peninjauan Kembali / Terpidana dijatuhi pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun, hal tersebut telah menimbulkan disparitas yang mencolok dan tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 263 ayat (2) huruf b KUHAP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana;

- Bahwa Judex Juris memperberat pidana penjara Pemohon Peninjauan Kembali / Terpidana mengenyampingkan atau tidak mempertimbangkan sama sekali pidana penjara yang dijatuhkan dalam perkara Nomor 151/Sus/TPK/2015/PN.Jkt.Pst atas nama Moh. Yagari Bhastara Guntur (sudah mempunyai kekuatan hukum tetap) dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun. Padahal Pemohon Peninjauan Kembali / Terpidana dengan Terdakwa Moh. Yagari Bhastara Guntur dinyatakan bersama-sama, kedudukan, peran dan tanggung-jawab serta kesalahan yang dilakukan kurang lebih sama;

- Bahwa berdasarkan fakta yang terbukti di persidangan peran yang dilakukan Moh. Yagari Bhastara Guntur dengan Pemohon Peninjauan Kembali / Terpidana kurang lebih sama, yakni pada bulan April 2015 Pemohon Peninjauan Kembali / Terpidana dan Moh. Yagari Bhastara Guntur menemui Saudara Syamsir Yusfan untuk dipertemukan dengan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Medan Saudara Tripeni Irianto Putro untuk konsultasi masalah gugatan yang diajukan Pemohon Peninjauan Kembali / Terpidana dan Moh. Yagari Bhastara Guntur, ketika itu terjadi pemberian amplop berisi uang SGD 5.000 (lima ribu dollar Singapura) kepada Tripeni Irianto Putro. Pada tanggal 5 Mei 2015 Pemohon Peninjauan Kembali / Terpidana dan Moh. Yagari Bhastara Guntur kembali lagi ke Pengadilan Tata Usaha Negara Medan bertemu dengan Saudara Tripeni Irianto Putro terjadi pemberian amplop berisi uang sebesar USD 10.000 (sepuluh ribu dollar Amerika) kepada Saudara Tripeni Irianto Putro agar Saudara Tripeni Irianto Putro menjadi Hakim yang menangani perkara gugatan Pengujian Kewenangan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan Atas Penyelidikan Tentang Dugaan Terjadinya Tindak Pidana Korupsi Dana Bantuan Sosial (Bansos), Bantuan Daerah Bawahan (BDB), Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Tunggakan Dana Bagi Hasil (DBH) dan Penyertaan Modal pada sejumlah Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) pada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara;

- Bahwa pada tanggal 1 Juli 2015 Pemohon Peninjauan Kembali / Terpidana bersama dengan Moh. Yagari Bhastara Guntur dan Yurinda Tri Achyuni alias Indah berangkat ke Medan, kemudian pada tanggal 2 Juli 2015 Pemohon Peninjauan Kembali / Terpidana bersama dengan Moh. Yagari Bhastara Guntur dan Yurinda Tri Achyuni alias Indah menemui Saudara Tripeni Irianto Putro di ruang kerjanya. Setelah itu Pemohon Peninjauan Kembali / Terpidana pulang ke Jakarta, sedang Moh. Yagari Bhastara Guntur dan Yurinda Tri Achyuni alias Indah tetap tinggal di Medan untuk selanjutnya menemui Saudara Dermawan Ginting dan bertemu di ruang Saudara Syamsir Yusfan di Kantor Pengadilan Tata Usaha Negara Medan dalam rangka melakukan paparan hukum terkait dengan gugatan / permohonan yang diajukan terkait Pengujian Kewenangan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan Atas Penyelidikan Tentang Dugaan Terjadinya Tindak Pidana Korupsi Dana Bantuan Sosial (Bansos), Bantuan Daerah Bawahan (BDB), Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Tunggakan Dana Bagi Hasil (DBH) dan Penyertaan Modal pada sejumlah Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) pada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara;

- Bahwa setelah Moh. Yagari Bhastara Guntur selesai melakukan paparan, selanjutnya Moh. Yagari Bhastara Guntur meminta agar permohonan / gugatannya dikabulkan dengan janji akan diberikan uang;

- Bahwa pada tanggal 6 Juli 2015 Pemohon Peninjauan Kembali / Terpidana menghubungi Moh. Yagari Bhastara Guntur membahas kemungkinan amar putusan, Moh. Yagari Bhastara Guntur meyakinkan kepada Pemohon Peninjauan Kembali / Terpidana bahwa Majelis Hakim akan mengabulkan permohonan / gugatan;

- Bahwa untuk menunjukkan bahwa peran Moh. Yagari Bhastara Guntur sangat besar dan signifikan dalam hal terjadinya tindak pidana korupsi (suap), dapat dibuktikan melalui fakta sidang pada tanggal 2 Juli 2015 Moh. Yagari Bhastara Guntur yang menyerahkan uang kepada Tripeni Irianto Putro, dan juga Moh. Yagari Bhastara Guntur melakukan paparan mengenai permohonan / gugatan dimuka Dermawan Ginting, selain itu Moh. Yagari Bhastara Guntur menyerahkan uang kepada Dermawan Ginting dan Amir Fauzi;

- Bahwa pada tanggal 9 Juli 2015 Moh. Yagari Bhastara Guntur berangkat ke Medan ke Kantor Pengadilan Tata Usaha Negara Medan menemui Syamsir Yusfan di ruangan kerjanya untuk bertemu dengan Tripeni Irianto Putro membawa amplop berisi uang sebesar USD 5000 (lima ribu dollar Amerika), setelah Moh. Yagari Bhastara Guntur keluar dari ruangan Tripeni Irianto Putro, Moh. Yagari Bhastara Guntur ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi;

- Bahwa berdasarkan fakta tersebut sangat jelas dan terang bahwa peran Moh. Yagari Bhastara Guntur jauh lebih besar dan signifikan dalam hal terjadinya tindak pidana korupsi (suap) dibandingkan dengan Pemohon Peninjauan Kembali / Terpidana; [Note SHIETRA & PARTNERS : Mahkamah Agung tingkat Peninjauan Kembali seolah melupakan, Yagari Bhastara Guntur merupakan ANAK BUAH yang hanya menjalankan perintah majikan dari atasannya, yakni Terdakwa itu sendiri. Anak buah yang “diperalat”, dan anak buah pula yang dijadikan “tumbal”, “bumper”, sekaligus “kambing hitam”.]

- Bahwa disparitas pemidanaan yang mencolok harus dihindari karena hal ini menyangkut soal keadilan dalam pemidanaan yang wajib ditegakkan;

- Bahwa demikian halnya dengan Tripeni Irianto Putro selaku Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Medan (Hakim yang menerima suap) dalam perkara Nomor 06/PID/TPK/2016/PT.DKI, tanggal 15 Maret 2016 dijatuhi pidana penjara selama 4 (empat) tahun (sudah mempunyai kekuatan hukum tetap), Dermawan Ginting (Hakim yang meneria suap) dalam Perkara Nomor 22/Pid/TPK/2016/PT.DKI tanggal 09 Mei 2016 dijatuhi pidana penjara selama 4 (empat) tahun (sudah mempunyai kekuatan hukum tetap), Amir Fauzi (Hakim yang menerima suap) dalam perkara Nomor 33/PID/TPK/2016/PT.DKI., tanggal 12 Mei 2016 dijatuhi pidana penjara selama 4 (empat) tahun (sudah mempunyai kekuatan hukum tetap), dan Syamsir Yusfan (Panitera yang menerima suap) dalam perkara Nomor 02/Pid/TPK/2016/PT.DKI, tanggal 8 Maret 2016 dijatuhi pidana penjara selama 3 (tiga) tahun (sudah mempunyai kekuatan hukum tetap);

- Bahwa Judex Juris tidak mempertimbangkan pidana penjara terhadap ketiga orang Hakim dan satu orang Panitera dalam menjatuhkan pidana penjara terhadap perkara Pemohon Peninjauan Kembali / Terpidana;

- Bahwa adanya disparitas pemidanaan yang sangat mencolok sebagaimana dipertimbangkan di atas menjadi alasan permohonan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud Pasal 263 ayat (2) huruf b KUHAP untuk memperbaiki / mengoreksi pidana penjara yang dijatuhkan kepada Pemohon Peninjauan Kembali / Terpidana;

- Bahwa seharusnya dengan peran masing-masing sebagaimana fakta yang dikemukakan di atas, Pemohon Peninjauan Kembali / Terpidana harus dijatuhi pidana penjara sama atau setidaknya mendekati pidana penjara yang dijatuhkan terhadap Moh. Yagari Bhastara Guntur dan tidak mencolok perbedaaannya, namun dalam kenyataannya Judex Juris bahkan memperberat pidana penjara yang dijatuhkan kepada Pemohon Peninjauan Kembali / Terpidana;

- Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali / Terpidana tidak layak mendapat pemberatan pidana penjara sebab dari segi nilai atau besaran suap yang diberikan kepada Hakim yang memeriksa permohonan / gugatan terkait Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014, nilai suapnya relatif sedikit yang sekitar Rp396.000.000,00 (tiga ratus sembilan puluh enam juta rupiah), jika dibandingkan dengan perkara suap lainnya yang nilainya miliaran bahkan puluhan miliar ditambah adanya kerugian keuangan negara miliar bahkan puluhan miliar dijatuhi pidana penjara rata-rata 7 (tujuh) tahun. Sedangkan Pemohon Peninjauan Kembali / Terpidana dijatuhi pidana penjara selama 10 (sepuluh) tahun; [Note SHIETRA & PARTNERS : Suap tetaplah suap, bukan dinilai dari “uang suap”-nya, namun dari dampaknya, semisal kerugian yang dialami oleh rakyat bila aksi korupsi ataupun kolusi demikian dibiarkan terjadi dan berlangsung. Sering terjadi, uang suap bernilai kecil, namun proyek tender yang penuh kolusi demikian mengakibatkan kerugian keuangan negara jauh lebih besar. Dengan nilai uang suap mencapai ratusan juta demikian, dimana sang hakim penerima suap dapat seketika “pensiun dini”, dinilai sebagai “relatif sedikit”, dimana seorang penyuap dan penerima suap tentunya?]

- Bahwa perbedaan pemidanaan sebagaimana dijelaskan adalah termasuk bentuk disparitas yang harus dihindari;

- Bahwa Judex Juris dalam putusannya mempertimbangkan umur Pemohon Peninjauan Kembali / Terpidana 74 tahun sebagai alasan atau keadaan meringankan pidana yang dijatuhkan kepada Pemohon Peninjauan Kembali / Terpidana, namun dalam kenyataannya Judex Juris tidak meringankan pidana yang dijatuhkan, melainkan memperberat pidana penjara. Pertimbangan Judex Juris tersebut adalah kontradiktif dengan keadaan atau fakta yang sesungguhnya. Bukankah alasan pertimbangan umur yang semakin berusia lanjut / semakin tua, selama ini dalam praktek peradilan menjadi faktor meringankan. Hal ini dimaksudkan agar orang yang berusia lanjut tidak mengakhiri hidup di Lembaga Pemasyarakatan. Seandainya Pemohon Peninjauan Kembali / Terpidana saat dijatuhi pidana penjara 10 (sepuluh) tahun oleh Judex Juris berumur 74 tahun maka Pemohon Peninjauan Kembali / Terpidana menjalani masa pemidanaan di Lembaga Pemasyarakatan hingga berumur 84 tahun. Sedangkan rata-rata umur orang Indonesia jarang mencapai umur 84 tahun; [Note SHIETRA & PARTNERS : Anak muda dilarang bersalah, orang tua diberi “alasan pemaaf” untuk berkorupsi-ria, dan disaat bersamaan menjadi teladan buruk yang dapat merusak moralitas generasi muda.]

- Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali / Terpidana yang saat ini telah berumur 74 tahun tentu dalam menjalani masa pemidanaan di Lembaga Pemasyarakatan akan menghadapi masa-masa sulit dengan berbagai macam penyakit dan penderitaan fisik dan psikhis yang bisa dialami Pemohon Peninjauan Kembali / Terpidana dan tentu akan memperburuk kondisi kesehatannya di Lembaga Pemasyarakatan;

- Bahwa namun demikian pidana yang akan dijatuhkan kepada Terpidana tidaklah sama dengan pidana yang dijatuhkan dalam perkara Moh. Yagari Bhastara Guntur dan yang lainnya, dengan pertimbangan bahwa Terpidana selaku Advokat Senior, sebagai penegak hukum tidak menunjukkan sikap dan perilaku yang taat hukum, taat kode etik profesi Advokat dan Terpidana merupakan intelektual / ahli hukum tetapi tidak memberikan contoh tauladan berperilaku yang baik bagi penegak hukum, terutama bagi Advokat generasi muda dalam penegakan hukum;

- Bahwa berdasarakan pertimbangan tersebut, maka pidana penjara yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim Peninjauan Kembali dalam perkara ini dipandang telah memenuhi rasa keadilan guna mengembalikan Pemohon Peninjauan Kembali / Terpidana agar bisa berbakti hingga akhir hayatnya kepada keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara;

M E N G A D I L I :

“Mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana: Prof. DR. OTTO CORNELIS KALIGIS, S.H, M.H., tersebut;

“Membatalkan putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1319 K/Pid.Sus/2016 tanggal 10 Agustus 2016 yang membatalkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 14/Pid/TPK/2016/PT.DKI tanggal 19 April 2016 yang mengubah Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta PusatNomor 89/Pid.Sus/TPK/2015/PN.Jkt.Pst., tanggal 17 Desember 2015;

MENGADILI KEMBALI:

1. Menyatakan Pemohon Peninjauan Kembali / Terpidana: Prof. DR. OTTO CORNELIS KALIGIS, S.H, M.H., terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Korupsi secara bersama-sama dan berlanjut;

2. Menjatuhkan pidana kepada Terpidana oleh karena itu dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila pidana denda tidak dibayar oleh Terpidana, maka kepada Terpidana dikenakan pidana pengganti berupa pidana kurungan selama 4 (empat) bulan;

3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terpidana dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.”

Catatan Penutup SHIETRA & PARTNERS:

Terdapat sebuah fakta hukum paling menarik yang menjadi perhatian penulis, yakni tidak terungkapnya fakta-fakta hukum yang paling utama dari “penalisasi”, yaitu faktor yang memberatkan dan faktor-faktor yang meringankan kesalahan seorang Terdakwa selama di persidangan. Seringkali, faktor pemberat paling utama yang menimbulkan disparitas hukuman dalam vonis pidana penjara, ialah faktor “berbelit-belit” atau tidaknya sang Terdakwa selama di persidangan maupun dalam menyusun dalil-dalil upaya hukum.

Dalam kasus OC Kaligis di atas, dimulai dari tingkat Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung RI, OC Kaligis sama sekali tidak mengakui kesalahannya, bahkan melemparkan seluruh kesalahan kepada anak-buahnya sendiri yang bisa jadi sekadar menjalankan perintah majikan (dengan sanksi sosial akan di-“pecat” bila membantah perintah atasan), menjadikan anak buah sebagai “kambing hitam”, “bumper”, sekaligus “bidak catur” untuk dikorbankan ataupun ditumbalkan saat tersandung masalah hukum. Melemparkan seluruh tanggung-jawab dan kesalahan kepada anak buah, selalu menjadi “escape argument” bagi seorang otak intelektual kejahatan yang merancang kejahatan dari balil layar.

Yang menjadikan vonis pemidanaan selalu mengandung disparitas, ialah adanya faktor “berbelit-belit” atau terbuka-jujurnya Terdakwa selama di persidangan. Barulah akan menjadi penuh disparitas yang mencederai rasa keadilan dan kepastian hukum masyarakat maupun Terdakwa, bilamana seorang Terdakwa telah bersikap jujur di hadapan persidangan, namun ternyata divonis sama beratnya dengan Terdakwa yang “berbelit-belit” selama proses persidangan.

OC Kaligis, dalam contoh kasus di atas, sangat amat “berbelit-belit”, tidak berterus-terang, terus berkelit sekalipun seluruh ratusan alat bukti telah jelas dan terang-benderang menunjuk hidung OC Kaligis sebagai “otak pelaku”-nya, bahkan menjadikan faktor umurnya yang telah lansia sebagai “alasan pembenar” untuk melakukan kejahatan yang sangat-amat tercela seperti menyuap hakim, sudah memang sudah sepatutnya diganjar vonis pemberatan yang bersifat “double”, dalam artian “pemberatan yang lebih diperberat”.

OC Kaligis tidak memiliki kepatutan terlebih keistimewaan untuk mendapat keringanan apapun, karena menyuap seorang hakim adalah kejahatan yang tidak kalah dengan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Bayangkan bila hakim berpihak kepada lawan Anda, semata karena lawan Anda menyuap sang hakim, apakah kerugian Anda adalah sebatas senilai uang suap yang diterima oleh sang hakim?

Betapa naif-nya Hakim Agung dalam tingkat Peninjauan Kembali, tidak bersedia mengakui betapa OC Kaligis memiliki faktor pemberat hukuman berupa “berbelit-belit”, disamping nilai kerugian intrinsik yang tidak dapat dinilai dari nilai uang suap, namun dari dampak akibatnya, bisa jadi berdampak terhadap khalayak hidup orang banyak. Seorang hakim, wajib bersikap imparsial dalam mempertimbangkan dan memutus suatu perkara—jika tidak, maka akan sama “korup” dengan sang “koruptor”.

Bukanlah suatu disparitas antar putusan, antara “Terdakwa yang berbelit-belit” terhadap putusan perkara “Terdakwa lainnya yang tidak berbelit-belit” untuk diperbandingkan kontrasnya satu sama lain, karena keduanya berlainan karakter. Barulah menjadi penuh disparitas yang mencederai keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat (terdakwa, korban, maupun rakyat), ketika terhadap dua atau lebih perkara dengan Terdakwa yang berbelit-belit, sama berbelitnya, sama banyak gelar akademiknya, yang disuap adalah hakim (bukan pejabat negara biasa), hingga “menumbalkan anak buah”, namun dengan vonis yang penuh kesenjangan, maka itulah yang layak disebut sebagai “disparitas hukuman” untuk dikoreksi dalam rangka kepastian hukum.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.