Orang Baik Tidak Perlu Beriklan Diri, Agar Tidak Menjadi MANGSA EMPUK Bangsa Indonesia

ARTIKEL HUKUM

Orang Baik Wajib Sembunyi, Agar Tidak Menjadi MANGSA EMPUK Manusia Predator, Telaah Budaya Masyarakat Indonesia

Baik terhadap Manusia Predator = Tidak Baik Bagi Diri Kita Sendiri (KEBAIKAN YANG TIDAK SEHAT)

Prinsip hidup dan bersosialisasi yang menghimbau agar kita saling berbagi dan saling memberikan kebaikan, memang tampak ideal—akan tetapi jangan pernah mencoba menerapkannya secara harafiah di Indonesia, negeri dimana bangsanya dikenal dan mengaku sebagai “agamais” namun praktik yang selama ini terjadi ialah menyerupai “manusia serigala bagi sesama manusia” (homo homini lupus). Itikad baik mensyaratkan prinsip timbal-balik / keseimbangan dan kesetimpalan, dalam artian menerapkan asas resiprositas antara kedua belah pihak, tidak bisa timpang satu pihak semata.

Khusus dalam konteks republik bernama Bangsa Indonesia, jangankan menjadi orang baik, buah ataupun bunga liar yang tumbuh di pinggir jalan sekalipun seolah adalah “dosa” bila dibiarkan tumbuh tampa dipetik dan dicuri oleh tangan-tangan “usil” sang bangsa “agamais”, seolah-olah bukan hal yang tabu untuk dilakukan, justru adalah “dosa” bila tidak dipetik dan dirusak atau setidaknya diganggu. Sebagian masyarakat internal Indonesia menyebutkan, “Orang baik banyak yang benci!”—tampaknya penulis sependapat seutuhnya dengan pendapat demikian. Menjadi orang baik banyak yang dibenci orang-orang kita, dan orang-orang kita membenci orang-orang baik.

Untuk memudahkan pemahaman, ilustrasi yang penulis angkat dari pengalaman sederhana pribadi tampaknya akan lebih mudah untuk dipahami para pembaca, yang kemungkinan besar juga pastilah pernah dialami secara langsung oleh para pembaca bila selama ini hidup dan menetap di Indonesia. Penulis memiliki seorang rekan seprofesi yang selalu penulis bantu dalam menjalankan karirnya sebagai Sarjana Hukum. Hal tersebut terus berlangsung selama bertahun-tahun lamanya. Ketika kemudian penulis mulai merintis karir sendiri dengan mencari nafkah sebagai seorang penyedia jasa konsultasi seputar hukum, dirinya alih-alih menghormati dan menghargai profesi penulis saat kini, justru kembali mencoba mengeksploitasi pengetahuan hukum penulis demi kepentingan karir pribadinya sendiri.

Sekalipun telah penulis nyatakan pada dirinya, bahwa kini penulis mengandalkan sumber nafkah untuk hidup dari menjual jasa tanya-jawab seputar hukum, namun dirinya tetap seperti sebelumnya, baru memberi kabar ketika “ada maunya” alias “hendak mengambil dan meminta ilmu”, semata menghubungi penulis hanya untuk “mengambil, mengambil, dan mengambil” (mental pengemis), tanpa bersedia memberikan SEPERAK PUN kompensasi atau kontribusi bagi kelangsungan pekerjaan penulis sekalipun penulis menawarkan diskon separuh harga tarif normal khusus bagi dirinya pada saat itu, namun seketika “kabur begitu saja” ketika penulis menyampaikan bahwa penulis berhak atas tarif profesi yang menjadi sumber nafkah penulis (betapa melecehkan, kabur begitu saja sehabis “memperkosa”).

Sejak saat itulah, penulis baru mulai memahami, dirinya bukanlah seorang “sahabat”, namun seorang “BENALU”—diberi kebaikan menjelma “BESAR KEPALA”. Sungguh bodoh selama ini penulis membuang banyak waktu dan kebaikan hati untuk seorang “BENALU” belaka. Menyebut dan mengklaim dirinya sebagai seorang “teman”, dan disaat bersamaan tanpa rasa malu setitik pun memperkosa profesi “teman” sembari menyuruh penulis untuk mati “makan BATU”, masih pula dengan tamak mengharap dilayani? Serusak itukah otak terutama moralitas bangsa ini?

Pernah pula terjadi, dengan serta atas dasar kebaikan hati, penulis membantu masalah hukum seseorang secara tulus. Giliran beberapa waktu kemudian saat penulis memasuki kondisi kritis dan “sekarat secara ekonomi” karena baru memulai merintis karir perdana pribadi sebagai Konsultan Hukum, dirinya alih-alih “membalas budi baik yang pernah diterimanya dengan kebaikan serupa”, justru kemudian “menusuk penulis dari belakang”, sembari dirinya berkomentar dengan nada arogan sebagai berikut yang sangat melukai perasaan dan nurani penulis : “Saat itu kamu menolong saya secara senang hati dan sukarela, saya tidak pernah memaksa kamu untuk menolong dan membantu saya saat itu.”—meski pada mulanya dirinya yang mendatangi penulis untuk meminta bantuan hukum.

Bukan bermaksud menuntut balik budi kebaikan penulis, namun membalas “air susu dengan air tuba” bahkan tidak memiliki dorongan tanggung-jawab moril untuk saling balas menolong, seolah dirinya adalah “raja” yang hanya berhak dilayani tanpa kewajiban moril untuk balik membalas kebaikan, maka ingin sekali rasanya penulis membalas perkataannya, bahwa penulis membatalkan seluruh kebaikan yang pernah penulis berikan dan jika sejak semula penulis tahu seperti itulah mentalitas diri bersangkutan maka tidak akan pernah penulis berikan bantuan ataupun kebaikan hati apapun.

Saat penulis mulai merintis karir pribadi sebagai seorang Konsultan Hukum, penulis berpikir dan berasumsi bahwa sesekali membantu orang-orang tidak dikenal yang menghubungi nomor kontak kerja profesi penulis, maka dirinya kelak akan membalas budi baik penulis dengan berkontribusi nyata berupa membayar tarif layanan jasa. Apa yang kemudian terjadi, sangat mengejutkan nurani penulis, kian hari mereka kian “BESAR KEPALA” dan kian “TANPA MALU” kembali dan kembali “merajalela” meminta dilayani tanpa bersedia membayar SEPERAK PUN kompensasi jasa profesi penulis (baca : memperbudak dan menjajah profesi orang lain, perbudakan keringat manusia, “kerja rodi”. Gilanya, mereka merasa seolah penulis akan senang dieksploitasi dan disuruh “makan BATU”?).

Sampai pada muaranya, hati serasa tersayat-sayat, kemarahan memuncak, dan penulis mulai menutup diri dari orang-orang Indonesia “TIDAK PUNYA MALU BERMANTAL SERAKAH” semacam itu—punya masalah tanah, ketenagakerjaan, kredit, dan masalah hukum lainnya, namun bersikap menyerupai seorang pengemis yang “mendadak miskin”, lebih hina daripada seorang pengemis, dimana pengemis sekalipun tidak mencari makan dengan cara merampok nasi dari piring orang lain.

Ketika penulis dengan begitu banyak hingga tidak terhitung lagi besar dan banyaknya pengorbanan dari segi waktu, tenaga, biaya, hingga kesehatan dalam membangun dan menghadirkan website publikasi ilmu hukum ini, alih-alih berterimakasih dan mengucapkan terimakasih kepada penulis, ribuan pihak (orang-orang Indonesia) dengan lancang dan berani bahkan secara gagah-perkasa menyalah-gunakan nomor kontak kerja ataupun email profesi penulis semata untuk MEMPERKOSA profesi penulis, sekalipun berbagai peringatan dalam website ini telah demikian besar-besar dicantumkan pada sekujur tubuh website—meminta dilayani tanpa bersedia membayar tarif layanan jasa SEPERAK PUN, seolah-olah dirinya selama ini hidup dan mengumpulkan harta kekayaan dengan cara-cara demikian, bahkan merasa bangga “tanpa malu”, dimana tidak jarang seorang “pemerkosa” profesi penulis setelah sembari “memperkosa” menyebutkan kata-kata “alhamdullilah”. Merampok nasi dari piring orang lain dan memperkosa, disebut “rezeki yang halal”? (setidaknya TIDAK dalam Buddhisme)

Bahkan, tidak jarang mereka memaksa penulis melayani mereka, sembari berkata bahwa penulis “mata duitan” semata karena diri yang bersangkutan tidak bersedia membayar tarif jasa SEPERAK PUN, bahkan pernah juga terjadi, yang bersangkutan tanpa memperkenalkan diri ketika meminta dan menuntut dilayani (betapa sopannya, itulah ternyata etika sopan-santun yang dibangga-banggakan Bangsa Indonesia) mengancam akan membawa keluarganya untuk mencari penulis guna menganiaya penulis semata karena penulis menolak melayani para pemerkosa profesi tersebut—membalas air susu dengan “PERKOSAAN”, entah setan apa yang selama ini merasuki orang-orang Indonesia yang mengaku ber-Tuhan dan memakai atribut-atribut keagamaan khas “agamais”.

Mereka selama ini menikmati publikasi ilmu hukum yang penulis susun dengan begitu banyak pengorbanan dalam website ini, namun orang-orang Indonesia ternyata gemar “membalas budi guru dengan memperkosa profesi guru dan merampok nasi dari piring guru”. Bangsa Indonesia sungguh menyerupai “bangsa setan” yang “kesetanan”—perilaku demikian hina dan tercela, ternyata masih juga dilakukan tidak ubahnya bangsa yang belum beradab, sekalipun UUD RI 1945 menyatakan bahwa hak untuk mendapat kompensasi (nafkah) adalah hak asasi manusia.

Pernah juga terjadi, kebaikan hati penulis disalah-gunakan dan kemudian menjadi bumerang bagi kepentingan diri penulis, dimana klien yang penulis bantu secara tulus tanpa penulis bebankan tagihan tarif jasa tambahan, justru kemudian menjadi “besar kepala”, “ke-enak-an”, “ke-terus-an”, dan menjelma “predator” dengan terus-menerus meminta dilayani tanpa rasa “tahu diri” dan “tahu malu” untuk menghargai dan menghormati profesi penulis, menghambur-hamburkan dan memboroskan kebaikan hati penulis, sampai akhirnya penulis teringat kembali pesan yang pernah disampaikan oleh Sang Buddha : “Perbuatan baik artinya, tidak merugikan orang lain dan juga disaat bersamaan tidak merugikan ataupun menyakiti diri sendiri.

Seketika itu pula penulis membuat keputusan untuk mengundurkan diri sebagai konsultan hukum yang bersangkutan, karena penulis mulai menyadari hubungan profesional tidak sehat demikian secara timpang sebelah menguntungkan dirinya namun disaat bersamaan kian merugikan kepentingan penulis yang sedang berbisnis dan mencari nafkah. Penulis tidak sedang membuka Panti Sosial, sehingga adalah salah alamat pihak-pihak yang hendak “lebih hina daripada pengemis” yang “mendadak miskin”. Bukanlah dosa terlebih tabu untuk membuka usaha komersial berorientasi profit yang legal—semata agar tidak menjadi “tumbal” para “manusia predator”, dimana bahkan seekor singa sekalipun tidak akan kembali memangsa bila perutnya telah penuh, namun “manusia-manusia predator made in Indonesia” terlampau serakah, memiliki harta kekayaan berupa tanah bernilai miliaran rupiah, memiliki gaji dan pesangon sumber sengketa perburuhan, namun menuntut dilayani tanpa bersedia membayar tarif layanan jasa SEPERAK PUN alias memperkosa profesi orang lain.

Indonesia dan Bangsa Indonesia ialah negeri serta bangsa dimana orang-orang baik senantiasa menjadi “mangsa empuk”. Selama kita masih hidup di Indonesia, sekalipun Anda adalah orang baik, jangan pernah menampilkan citra diri sebagai orang baik, semata agar Anda mampu menjaga diri dengan baik tidak menjadi “mangsa empuk” orang-orang Indonesia. Cukup kita sendiri yang mengetahui bahwa diri kita adalah orang baik, dan berdana kepada lembaga nirlaba secara anonim.

Orang-orang jahat, entah itu perampok, pencuri, pemerkosa, penipu, premanisme, pembohong, eksploitator, manipulator, penganiaya, mereka selalu adalah orang-orang pengecut. Mereka hanya menjadikan orang-orang lemah, orang-orang baik, orang-orang penyabar, orang-orang pemaaf, maupun orang-orang “ahimsa”, sebagai “mangsa empuk” atau target sasaran utama mereka yang paling “seksi”.

Kini, mulai dapat penulis pahami maksud dibalik pepatah yang mengingatkan kita agar selektif dalam memberikan kebaikan hati, agar kita menimbang-nimbang betul “bibit, bebet, dan bobot” calon orang yang akan kita berikan kebaikan hati. Banyak orang Indonesia yang “tidak tahu diri”, terlebih diharapkan untuk “tahu malu”, “tahu balas budi”, “tahu terima kasih”, “tahu batas”, ataupun “tahu saling menghormati dan menghargai”. Jika kita hidup di negeri-negeri yang budaya atau “culture” bangsanya mengedepankan asas resiprositas atau prinsip resiprokal (prinsip bertimbal-balik), maka kebaikan hati menjadi kehidupan sehari-hari sesama warganya, menjadi harmoni yang indah dan menyejukkan, dan boleh secara bebas kita lakoni tanpa perlu menutup-nutupi diri untuk tampil sebagai “orang baik”.

Hal ini ibarat seorang gadis cantik, harus menutupi sekujur tubuhnya agar tidak diganggu oleh tangan-tangan “usil” pria jahat yang tidak pernah kurang-kurangnya di Indonesia ini. Akan tetapi, pada negeri dengan peradaban masyarakatnya yang lebih beradab, sang gadis dapat hidup tenang dan aman meski tampil “cantik” di luar rumah. Di Indonesia, menjadi gadis cantik akan berpotensi menjadi “mangsa empuk”, bukan hanya orang-orang baik. Sama halnya, menjadi seorang “Sinterklas” di tengah-tengah Bangsa Indonesia, sama artinya artinya menyerahkan diri untuk “mati konyol” dimangsa oleh “manusia hewan” yang menyerupai “predator buas beringas bagi sesamanya”.

Inilah yang menjadi teori sederhana untuk menjelaskan, mengapa banyak penipu yang membuat iklan atau meng-iklan-kan diri di luar sana, seolah-olah dirinya atau jasa yang ditawarkan olehnya dapat membantu banyak orang, menjadi solusi cerdas dari jeratan kemiskinan, seolah-olah dapat menjadi solusi praktis keluar dari masalah ekonomi, seolah-olah menawarkan tawaran yang sangat menarik “too good to be true”, namun ternyata semua itu hanyalah iming-iming alias janji-janji semu yang menjebak dan menjerat (PHP, pemberi harapan palus). Karena, bila seorang “Sinterklas” mengiklankan dirinya di media massa, dipastikan tidak akan pernah kekurangan orang-orang “predator” yang siap dengan buas dan kelaparan (akibat “keserakahan”) seketika itu juga melahap dan memangsa hidup-hidup sang “Sinterklas”, bahkan tidak menyisakan tulang-belulang sang “Sinterklas”. Orang baik tidak perlu beriklan, karena orang-orang jahat sudah menyerupai “nyamuk pengganggu” yang dapat mendeteksi keberadaan orang-orang baik yang akan dijadikan sasaran target “mangsa empuk”.

Orang-orang baik tidak perlu mengiklankan diri, karena hanya orang-orang penipu yang perlu mengiklankan diri, dan karena juga predator pemangsa orang-orang baik telah begitu banyak berkeliaran di Republik Indonesia ini. Orang-orang baik justru harus bersembunyi dan menutupi keberadaan dirinya sebaik mungkin di tengah-tengah masyarakat Indonesia, sama seperti gadis cantik perlu menyembukan kecantikan paras wajah dan tubuhnya—dan itulah juga sebabnya penulis pada akhirnya memutuskan untuk “menyembunyikan” nomor kontak kerja profesi penulis agar tidak kembali dimangsa oleh ribuan orang-orang Indonesia yang ternyata “sudah putus urat malu”-nya.

Oleh karena itu jugalah, kita perlu mulai untuk belajar bersikap baik hati terhadap orang-orang yang sama bermurah hatinya dengan kita (saling bermurah hati), bersikap lunak terhadap orang-orang yang sama bersikap lunaknya dengan kita (saling bersikap lunak), bersikap keras terhadap orang-orang yang sama bersikap kerasnya dengan kita (saling bersikap keras), bersikap egoistik terhadap orang-orang yang sama bersikap egoistisnya dengan kita (saling egois satu sama lain). Kita hanya menjadi “cermin” yang refleksikan perbuatan orang lain terhadap kita, patut atau tidaknya ditentukan oleh sikap mereka terhadap kita yang hanya memberi reaksi sebagaimana perbuatan mereka sendiri. Bila kita menjumpai seseorang di jalan, dan memberinya tegur-sapa namun yang bersangkutan bersikap “angkuh”, untuk apa juga kita mempertahankan sikap sopan-santun yang “bertepuk satu tangan” demikian? Akan lebih elok bila kita memberi hormat kepada diri kita sendiri dan kepada mereka yang sama bersahabatnya terhadap diri kita.

Kini dapat menjadi mulai kita pahami, itulah sebabnya mengapa Sang Buddha dalam Kitab Jataka memberitahukan kepada kita para siswa-Nya, bahwa seorang suciwan sekalipun terkadang sesekali perlu mempertunjukkan gigi taringnya yang setajam taring ular berbisa—semata untuk menghindari aksi “bullying” (sosok / keberadaan orang baik seolah menggoda tangan-tangan “usil” milik orang-orang “nakal” untuk menjadi “mangsa empuk” praktik perundungan ataupun modus-modus penipuan).

Menjadi sesuci “kelinci” di tengah-tengah bangsa “serigala”, sama artinya menjadi “mangsa empuk”. Itulah sebabnya, sang “kelinci” harus “berbulu serigala” agar tampak menyerupai seperti sesama serigala. Ironis, bila ingin dapat bertahan hidup di Negeri Indonesia untuk menjadi manusia baik pun harus hidup secara bersembunyi-sembunyi dan secara sembunyi-sembunyi berbuat kebaikan.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.