Mengapa ATEIS Merupakan Kaum AMBIGU yang Selalu MEMBINGUNGKAN

ARTIKEL HUKUM

Umat Agama Ateis adalah Umat yang Paling TIDAK KONSISTEN, FANATIK, dan PATUT DIRAGUKAN

Ketika untuk pertama-kalinya kalangan saintis mengklaim bahwa partikel terkecil di alam semesta yang tidak lagi dapat diurai komponen penyusunnya ialah dan diberi nama sebagai “atom”, kalangan penganut agama Ateis bersorak, bahwa Tuhan mereka ialah “Agama ATOM”. Ketika sains “meralat diri” dengan merevisi kesimpulannya, dimana “atom” bukan lagi hasil final dari unsur terkecil yang tidak lagi dapat dibelah mengingat telah ditemukannya unsur penyusun “atom” yang terdiri dari “neutron, elektron, dan proton”, para umat agama Ateis berbondong-bondong “pindah agama” menjadi ber-“agama ELEKTRON, PROTON, & NEUTRON”.

Kembali lagi, ketika sains meralat diri untuk kesekian kalinya, seolah belum jera, bahwa masih terdapat unsur yang lebih kecil dari itu, yakni “QUARK”, maka kembali lagi para kaum Ateis “hijrah” dan berbondong-bondong “pindah agama’ menjadi penganut dan penyembah “Agama QUARK”. Entah telah untuk kesekian kalinya, kalangan sains kita berpindah haluan sepanjang hidupnya, dan akan dikodratkan untuk selamanya berpindah-pindah pendirian.

Ketika ilmuan lain kemudian mencetuskan bahwa terdapat partikel semesta yang sifatnya “muncul dan lenyap” dalam kecepatan tinggi (“dark matters”), maka hal demikian menggemparkan dunia sains yang selama ini menganut postulat “hukum kekekalan energi” bahwa energi tidak dapat musnah ataupun diciptakan, ia hanya dapat berubah wujud dan bertransformasi. Sejak ditemukan keberadaan “dark matters” dan dikonfirmasi kebenarannya lewat sejumlah penelitian dengan serangkaian metode ambisius di bawah tanah guna simulasi keadaan alam semesta dan jagat raya, teori-teori mapan dunia ilmu pengetahuan eksakta diguncangkan oleh penemuan tersebut, dan mulai timbul berbagai keraguan yang mempertanyakan kembali kebenaran dan validitasnya.

Kalangan ilmuan pun tidak satu kata, sekalipun objek penelitiannya sama dan serupa, serta sama-sama spesialis dibidangnya. Artinya, selalu terdapat kandungan unsur “subjektivitas” dan keyakinan pengamat / penelitinya itu sendiri dalam memahami dan memaknai disamping menafsirkan berbagai fenomena alam yang mereka observasi dan temukan. Kaum psikolog pun beranggapan bahwa mereka adalah kalangan saintis, karena terdapat subjek, objek, serta metode penelitian untuk mengamati dan menguji. Namun, mengapa terdapat beragam mazhab dalam ilmu psikologi bahkan saling bertentangan dan bertolak-belakang satu sama lainnya, tanpa pernah “akur”? Kebenaran semacam apakah yang mana para penelitinya tidak pernah “satu kata”, sementara kebenaran tidak mungkin bersifat majemuk?

Kalangan saintik, adalah kaum yang lebih patut disebut sebagai kaum yang “ambigu”, sekalipun mereka mengklaim sebagai kaum “eksak” (dari akar kata “eksakta”, seolah-olah terdapat kepastian derajat paling tertinggi yang tidak lagi dapat terbantahkan lewat sains yang sejatinya “penuh keterbatasan” dalam memahami dunia dan alam semesta yang luas tidak “selebar daun kelor” ini). Mengapa sebagian kalangan ilmuan percaya terhadap teori “big bang” sebagai proses pembentukan alam semesta dan teori “penyusutan sebelum kemudian kembali meledakkan ‘big bang’”, sekalipun belum terdapat satu pun instrumen sains yang mampu “back to the future” dan melihat langsung secara empirik?

Albert Einstein menemukan Teori Relativitas berangkat dari alam pikir yang “abstrak” alih-alih mengkultuskan diri semata pada dunia “empirik”, dimana Einstein dikenal karena perkataannya : “Ber-imajinasi-lah!” Telah ternyata pula, seorang Einstein yang tidak diragukan lagi ke-pakar-annya dibidang sains, tidak anti terhadap sebuah “imajinasi”. Sebagian kalangan lainnya alih-alih menjadi “penemu (apa yang telah ada)”, terdapat juga ilmuan “pencipta (apa yang belum ada)” dimana mereka tidak berpijak pada dunia empirik, namun pada dunia abstrak, sebagai contoh pencipta “dunia maya digital” yang serba “semu” adanya. Karenanya, para ilmuan bukan hanya tidak pernah “satu kata”, namun juga tidak pernah “satu jalan”.

Kaum agama Ateis selama ini mengaku-ngaku sebagai kalangan saintik tulen yang semata hanya berpijak dan berdiri pada zona “empirik”—sekalipun faktanya, Albert Einstein menciptakan Teori Relativitas justru beranjak dari konsep “abstrak” yang kemudian direalisasi menjadi “real / kenyataan”, alias dari yang sebelumnya belum ada atau belum dikenal menjadi sesuatu yang nyata dan dapat disentuh serta dilihat.

Hal itu terjadi karena Einstein menyadari, dirinya bukanlah “menciptakan” sebuah teori ini, namun sekedar menemukan fenomena “abstrak” yang dinamakan olehnya sebagai Teori Relativitas, dan berbagai kebenaran lainnya yang siap untuk dijelajahi, diobservasi, dieksplorasi, dan ditemukan pada akhirnya untuk kemudian disimbolisasikan lewat sebuah rumusan algoritma fisika dan matematika. Ketika Albert Einstein menciptakan “Bom Atom” berdasarkan teori yang ditemukan olehnya tersebut, itulah yang kemudian disebut proses menciptakan apa yang sebelumnya belum eksis, yakni “bom nuklir” yang kemudian meluluh-lantakkan Hiroshima dan Nagasaki pada Perang Dunia Kedua.

Ketika perangkat genggam semacam handphone dikenal, atau bahkan pesawat telepon itu sendiri, umat manusia hanya mengenal surat lewat pos. Serangkaian proses panjang penelitian terhadap berbagai fenomena empirik, bahwa kabel tembaga dapat menghantarkan sinyal gelombang suara, menimbulkan proses imajinasi dan merangsang proses penciptaan apa yang sebelumnya belum pernah dikenal dan belum pernah ada menjadi sesuatu yang nyata dan eksis. Sama halnya, jika seorang ilmuan seketika itu juga menyimpulkan bahwa “apa yang tidak terlihat artinya tidak eksis”, maka sampai sekarang kita tidak akan pernah menemukan gadget canggih bernama Handphone dimana pemakainya dapat bertelepon dan ber-internet-ria tanpa kabel dimana gelombang yang merayap lewat udara sebagai mediumnya sekalipun prosesnya tidak kasat-mata.

Artinya, segala sesuatu yang belum ada atau belum “kasat-mata”, bukan berarti tidak ada. Sama seperti konsep-konsep seperti “surga”, “neraka”, “alam setan gentayangan”, ataupun konsep seperti “Hukum Karma” yang kesemuanya masuk dalam tataran “metafisika”, ia mungkin tidak bisa dibuktikan secara saintik SAAT KINI (belum dapat, karena ilmu pengetahuan masih terus berkembang dan penuh keterbatasan dari segi ketajaman pengamatnya maupun instrumen pengamatan yang ada), namun demikian sekalipun tidak dapat dilihat akan tetapi bisa jadi dapat disentuh seperti contohnya udara yang tidak kasat-mata namun dapat kita sentuh secara langsung sebagai pembuktiannya.

Banyak hal yang sebelumnya dianggap mitos oleh dunia sains, kini sudah dapat dibuktikan kebenarannya secara sains lengkap dengan metodologi ilmu pengetahuan yang diverifikasi dan terkonfirmasi kebenarannya—sebagai contoh perihal adanya “tumimbal lahir” atau yang dikenal juga dengan istilah “kelahiran kembali” (reborn, born again, rebirth), lewat metode ilmu pengetahuan psikologi terapan bernama “past life regression” yang ditemukan oleh seorang ilmuan berlatar-belakang Agama Kristen, yang mana biasanya umat Agama Kristiani menolak konsepsi perihal “past life”. Kini “past life regression” telah menjadi salah satu kurikulum ilmiah pada disiplin ilmu psikologi terapan klinis di seluruh belahan dunia dan tidak lagi diragukan kebenarannya karena dapat dikonfirmasi keakuratannya lewat verifikasi data lapangan dan apa yang terungkap pada masa regresi sang pasien.

Ilmu pengetahuan masih jauh dari kata sempurna, sifatnya “TENTATIF” semata dan belaka, karenanya menjadikan sains sebagai “agama”, sama artinya “masih jauh dari kebenaran” dan “penuh keterbatasan”. Ilmu pengetahuan hanyalah pendekatan dalam mencoba atau upaya untuk memahami kebenaran, namun BUKANLAH KEBENARAN ITU SENDIRI. Sains hanyalah alat bantu semacam kacamata dalam mengamati realita, bukan kebenaran itu sendiri. Karenanya, kebenaran dibalik sebuah klaim-klaim saintik, sifatnya ialah “kebenaran nisbi”, bukan “kebenaran mutlak”.

Manakah yang lebih canggih, sebuah komputer ataukah otak manusia? Secanggih apapun alat canggih secanggih komputer atau super komputer, tetap saja tidak mampu menandingi otak manusia yang mampu berpikir (berimajinasi dan berkreasi) dari Bumi dan seketika itu juga melompat ke Bulan dan kembali lagi ke Bumi dalam tempo kurang dari tiga detik. Anda butuh dan bergantun sinyal teleponi untuk bertelepon, namun mereka dengan kemampuan telepati dapat mendengar dan berkomunikasi jarak jauh tanpa sekat ruang, bahkan dapat melihat menembus dunia lewat “mata dewa”. Para meditator Meditasi Samantha dikenal sebagai kaum manusia yang memiliki keterampilan diluar kewajaran yang tidak akan mampu dipahami oleh sains. Bahkan, kaum saintik masih kalah menghadapi kaum perdukunan yang sangat “kuno”, dengan menyebutnya sebagai “tidak terjelaskan”.

Karenanya pula, kaum Ateis yang menjadikan sains sebagai “agama” untuk disembah diatas segalanya, sama artinya menjadikan “nisbi” sebagai Tuhan dan sebagai objek sembah-sujud dan menghamba kepada ke-nisbi-an sesuatu yang tentatif saja sifatnya, ibarat mencoba menggenggam erat air atau pasir di genggaman tangan. Keterbaasan paling utama dari metode saintik, ialah bertopang pada landasan rapuh bernama “asumsi”. Asumsinya, suatu teori adalah “benar” adanya bila atau sepanjang validitasnya belum diruntuhkan oleh teori baru—artinya, ia bukanlah tidak dapat dibantah dan dipatahkan, karena “belum” bukan bermakna “tidak akan dapat”.

“Agama Ateis” bila kita terjemahkan atau berikan definisi, ialah agama “yang penting bukan agama A, B, C, maupun D”. Maka, apapun kebenaran yang terkandung dalam agama-agama tersebut, secara kurang rasional ditentang kaum pemeluk “Agama Ateis” yang selama ini mengaku-ngaku sebagai seorang pengusung empirik dan saintik—itulah sebabnya, kalangan saintik yang mengusung konsep “abstrak” tidak pernah terjebak dan terkungkung dalam pola berpikir layaknya kaum pemeluk “Agama Ateis”.

Sebagai contoh, falsafah utama dalam Buddhisme ialah “hukum sebab-akibat” dimana prinsip yang berlaku ialah bila terdapat “sebab” maka akan terdapat “akibat”, dan dimana ada “akibat” maka ia didahului oleh suatu “sebab”. Sekalipun Buddhistik telah demikian ilmiah dan saintik, tetap saja kalangan Ateis menentang dan menolak hingga “titik darah penghabisan”—yang disaat bersamaan artinya dirinya juga membantah “sumpah jabatan”-nya selaku seorang saintis untuk berpijak pada kebenaran “hukum sebab dan akibat” yang menjadi tulang-punggung ilmu pengetahuan modern Kebaratan. Bila seorang Ateis masih juga menentang falsafah “hukum sebab dan akibat” demikian, maka ideologi atau falsafah apakah yang selama ini dianut oleh kalangan pemeluk “Agama Ateis” bila bukan KETIDAK-KONSISTENAN disamping AMBIGUITAS itu sendiri untuk disembah, dianut, dan dipeluk oleh umatnya?

Kaum-kaum yang menganggap dirinya paling saintis adalah kaum-kaum yang justru paling tidak saintis—itulah fenomena yang penulis tangkap ketika menghdapi seseorang yang mengaku-ngaku sebagai “Ateis” dan menentang apapun yang menjadi doktrin keagamaan. Hal demikian ibarat seorang “skeptis”, ketika para warga setempat telah menunjukkan dimana arah Utara, dimana dirinya hendak menuju ke arah Utara, semata karena “skeptik”, dirinya justru kemudian mengambil arah sebaliknya, ke Selatan, dan menjadikan “skeptis yang penting menentang” sebagai kompas penunjuk arahnya.

“Agama TENTATIF”, dimana Nahkoda-nya ialah seorang “skeptik”, dengan para penumpangnya yakni para pemeluk “Ateis”, hilir-mudik (terombang-ambing) dari satu “daratan kesimpulan” ke “daratan kesimpulan” barunya tanpa pernah benar-benar menemukan kebenaran selain “kebenaran NISBI” belaka. Tiada yang lebih fanatik terhadap “keyakinan”, ketimbang kaum pemeluk “Ateis”, karena dirinya meyakini apa yang belum tentu benar sebagai suatu kebenaran semata karena belum dibantah oleh penemuan lainnya, meyakini apa yang “tentatif” dengan keyakinan bahwa keyakinan selain atau diluar sains adalah keliru.

Sempat pula dikabarkan, bahwasannya Albert Einstein sempat meragukan kepada siapa atau kepada ilmuan manakah ia akan menceritakan teori yang baru ditemukan dan dicetuskan olehnya, ragu apakah para ilmuan tersebut pada zamannya dapat memahami teori barunya dengan kapasitas para ilmuan lainnya tersebut yang “serba TERBATAS”. Bagaimana mungkin, hendak memahami segenap alam semesta ini baik yang tampak maupun yang tidak kasat-mata, dengan kapasitas otak para ilmuan itu yang “serba TERBATAS” atau “apa adanya”?

Karenanya, yang menjadi masalah bukanlah sains ataupun objek penelitian sang peneliti, namun keterbatasan sang saintis itu sendiri yang menjadi batasan utamanya dalam rangka menemukan kebenaran. Dengan kata lain, bukanlah sains, objek, ataupun dotrin keagamaan yang menjadi masalah, namun adalah KETERBATASAN SANG ILMUAN / SAINTIS ITU SENDIRI YANG SELALU MENJADI MASALAH DAN KENDALA UTAMANYA. Disamping itu, memusuhi dan menempatkan diri berseberangan dengan agama, semata karena keterbatasan nalar, kapasitas otak, kompetensi pengetahuan, ataupun indera dan instrumen penelitian sang peneliti, adalah juga cerminan fanatisme yang ekstrim sebagai seorang penganut “Agama ATEIS”.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.