Kisah DEVIL ADVOCATE (Bagian Keempat), Tuhan Hendak Menggugat Umat Manusia yang SOK TAHU dan GEMAR MENCATUT

ARTIKEL HUKUM

Kehidupan Tidak Pernah Berjalan secara Ideal, Terlebih Wajah Praktik Hukum. Karenanya, Jangan Mengharap Terlebih Menuntut Terlampau Berlebihan

Pagi ini cuaca kurang bersahabat, hujan mencurahkan derasnya untaian demi untaian butiran air yang menghujam daratan. Suara gemuruh sesekali disesaki oleh ledakan petir membelah udara. Mencekam. Tampaknya langit sedang bersedih dan sesekali melontarkan amarahnya ke bumi. Namun kondisi jalanan tetap seramai biasanya, hiruk-pikuk lalu-lintas manusia dan para komuter tampak tidak ambil hirau terhadap berbagai fenomena alam yang terjadi, menganggapnya sebagai hal biasa, sekadar gangguan terhadap kesibukan mereka belaka. Dan seperti biasa, pejalan kaki diperlakukan seperti kasta rendahan oleh para pengemudi kendaraan roda dua terlebih pengendara roda empat, suatu miniatur cerminan budaya suatu bangsa.

Mendadak hujan berhenti secara seketika, awan hitam saling membelah menjauh ke berbagai arah dan menyingkir dari wajah matahari pagi, membasuh dunia ini dengan kehangatan sinarnya, bagaikan menyambut sesuatu yang agung turun ke dunia. Angin semilir berhembus, membelai dedaunan yang menarikan tarian kehidupan, dengan butiran-butiran air yang terjatuh dari atas helainya jatuh ke dalam permukaan kolam yang tidak mengganggu seekor pun ikan di dalamnya, sementara beberapa ekor katak sibuk berpesta simfoni bersahut-sahutan.

Pusaran angin dengan seberkas cahaya putih muncul dan seketika itu juga lenyap, dengan disertai semerbak keharuman musim semi ditambah taburan kelopak bunga yang seolah jatuh dari angkasa mengirinya kemunculannya. Sepasang sepatu tersemir rapih berhenti tepat di depan sebuah halaman depan sebuah bangunan, membangunkan seekor kucing hitam kalem pemalu yang tidur di dekatnya. Di atas bangunan itu terpampang papan nama sebuah kantor hukum “Advokat Crystal Keblingbling. Harap maklum, di dunia ini tiada yang ideal terlebih yang berjalan lancar. Ini bukan Surga.” Cukup mengherankan, bila kantor hukum yang menuliskan papan nama semacam itu masih eksis tetap berdiri hingga saat kini.

Pria bersetelkan jas dan celana panjang serba putih itu membuka pintu kantor sang pengacara, bel dengan lonceng kecil berbunyi dengan nyaringnya menandakan kedatangan seorang tamu, sesosok advokat yang duduk membelakangi meja kerja membalikkan kursi kerjanya yang dapat diputar, menghadap meja kerja untuk menyambut kedatangan seorang tamu, bersorak dengan nada dingin : “Selamat datang, namun Anda datang terlampau pagi, Bung. Ini jam saya untuk sarapan pagi. Silahkan menunggu hingga saya menyelesaikan sarapan saya yang membosankan ini, lagi-lagi roti tawar panggang dengan selai buah bohongan. Silahkan cari tempat duduk, dan enjoy yourself selama menunggu hingga mood saya siap untuk mulai bekerja hari ini.” Kesan pertama, begitu tidak mengesankan.

Setelah membuat sang tamu menunggu hingga hampir selama setengah jam lamanya, usai tuntas menggosok gigi, sang advokat menghampiri tamunya sembari mengulurkan tangan untuk saling berjabat tangan. “Selamat pagi, Nyonya Advokat Crystal Keblingbling,” tutur sang tamu memulai, suaranya sejernih suara ‘sound system’ namun menyejukkan. “Ini kartu nama saya. Saya datang untuk menjadi klien Anda, ada yang hendak saya gugat.”

Panggil saya Nenek Crystal,” sambut sang pengacara, yang, sukar mengenali wajah sang tamu. Entah bagaimana, dan mengapa, wajah dan sosok sang tamu sukar untuk digambarkan di sini, entah wanita atau pria, ataukah wanita-pria, entahlah, yang penting bisnis pagi ini siap dijalankan. Sang pengacara tampak masih berusia cukup muda, penampilannya modis dan pakaiannya berkelas, namun meminta disebut namanya sebagai “nenek”?

Anda pasti tidak akan menyangka bila saya sudah berumur 60 tahun,” tambah Sang pengacara yang menampilkan seulas senyum penuh kepercayaan diri sembari mengambil kartu nama yang disodorkan oleh sang tamu, dengan garis-garis wajah yang memang menandakan dirinya telah banyak melewati masa-masa keras dan penuh pengalaman sukar selama karirnya sejak usia muda.

Tuan ...,” Nenek Crystal melihat kartu nama yang diberikan oleh sang tamu, tercantum nama ‘TUHAN’. “Mr. Tuhan. Mari silahkan duduk di meja kerja saya untuk berdiskusi masalah hukum apa yang hendak Anda perkarakan. Semakin berdarah-darah semakin saya suka, karena ‘bad news artinya good news’. Ceritakanlah secara mendramatisir agar tidak membosankan saya yang bisa tertidur pulas bila merasa bosan.”

Setelah keduanya duduk saling berhadapan, tanpa berbasi-basi lagi sang klien menuturkan maksud dan tujuannya. “Saya ingin menggugat umat manusia, karena mereka sok tahu dan suka mencatut nama saya seolah mereka mengerti isi pikiran saya dan membuat pernyataan dengan mengatas-namakan nama saya.”

Saya menyimak,” sahut Nenek Crystal sembari melepas rambut palsunya, hingga tampak rambut asli telah memutih di atas kepalanya, dan setelah puas menggaruk-garuk kepala ia memasang kembali rambut palsunya ke tempat semula sembari merapihkannya, “Lanjutkan ceritanya, Mr. Tuhan, tidak perlu sungkan melihat kelakuan saya, anggap saja saya seorang nenek-nenek yang tembus pandang.”

Apakah Anda tahu, Nyonya Crystal Keblingbling,” lanjut sang tamu. Namun sebelum ia melanjutkan penuturan kisahnya, sang pengacara menyela, “Panggil saya Nenek Crystal, itu terdengar lebih terhormat dan lebih akrab bagi saya daripada saya meminta Anda agar menyebut nama saya sebagai Nona Crystal, meski sejujurnya saya tidak menolak jika dipanggil demikian. Saya jadi teringat pada masa-masa muda yang romantis dan penuh kehangatan, betapa indahnya nostalgia. Oh, di mana aku menyimpan foto-foto kenangan itu, sepertinya kuingat di laci ini, kemana album foto itu sekarang?

Seolah tanpa terganggu oleh keanehan pengacara tua “eksentrik yang didatanginya itu, sang tamu kembali melanjutkan uraiannya, mampu memaklumi bahwa terkadang orang-orang jenius memang kerap berperilaku tampak aneh dan lain daripada yang lain. Mengapa juga orang-orang jenius selalu eksentrik? “Saat virus menular mematikan merebak, para manusia memfitnah saya, seolah itu kiriman dari saya, perbuatan saya, sehingga saya yang paling patut dimintakan pertanggung-jawaban. Padahal, sejak bumi ini saya ciptakan, ini makhluk bernama bakteri, ganggang, spora, makhluk bersel satu, dan virus, sudah ada jauh sebelum manusia saya ciptakan kemudian. Artinya, virus dan manusia adalah sudah saling bertetangga sejak dahulu kala.

Tanpa ambil hirau ataupun terganggu oleh kelakuan sang pengacara tua yang kini sibuk mengeluarkan gigi palsunya dari dalam mulut sembari kini menyikat untuk membersihkannya seolah-olah di depan dirinya tiada seorang pun klien yang duduk dan menyaksikan ulahnya, sang klien melanjutkan kronologi permasalahannya. “Sama seperti bencana alam gunung meletus, gempa bumi, banjir, tsunami, semua itu bencana alam yang sama purbakalanya dengan umur atau usia Planet Bumi ini. Bagaimana mungkin saya yang dituding paling bertanggung-jawab atas semua musibah yang alamiah saja sifat dan kejadiannya itu? Semua itu tunduk pada cara kerja hukum alam, tanpa intervensi saya sekalipun bumi ini akan tetap mengalami gempa bumi, gunung meletus, angin topan badai, banjir bandang, tsunami, dan virus yang bermutasi sekalipun. Sama alamiahnya dengan siklus musim panas, musim gugur, musim dingin, dan musim semi. Bumi serta tata surya maupun galaksi ini bergerak pada hukum rotasi dan revolusinya, tanpa perlu saya gerakkan satu per satu, semua sudah berada pada jalurnya masing-masing.

Kini sang pengacara menampilkan ketertarikannya pada masalah sang klien, mendelik dengan sorot mata setajam elang yang seolah telah menemukan mangsa buruan, hendak mencabik mangsa sasarannya tanpa lagi dapat berkutik. “Anda ingin menggugat ketololan umat manusia?

Tepat sekali, Nyonya Crystal Keblingbling.

Panggil saya Nenek Crystal, terkecuali Anda mau memanggil nama saya sebagai ‘Nona Crystal’.

Sama konyolnya dengan ketika wabah melanda, tidak mau pakai masker penutup mulut dan hidung namun berharap tidak tertular, lantas bila tertular dikatakan itu adalah karena saya? Itu namanya pembunuhan karakter dan fitnah terhadap saya! Mereka selalu mengklaim dan mencatut nama saya, bahwa wabah adalah azab dari saya. Sejak kapan, mereka saya tunjuk sebagai nabi, seolah-olah nabi baru yang mampu mengetahui maksud dan isi pikiran saya? Mana surat kuasa dari saya untuk mereka sehingga mereka berani dengan lancang mengatas-namakan nama saya untuk membuat pernyataan di hadapan publik? Mereka menjadikan spekulasi pikiran mereka sendiri sebagai sebuah perkataan Tuhan.

Tidak masalah, kita gugat manusia-manusia konyol tersebut. Mr. Tuhan cukup menanda-tangani surat kuasa yang saya buatkan, dan akan saya tendang bokong manusia-manusia konyol tersebut,” tutur sang pengacara tua secara antusias yang ternyata sangat gesit mempersiapkan surat kuasa untuk segera ditanda-tangani oleh tang tamu.

Untuk apa surat kuasa ini?” tanya sang tamu. “Saya tidak lagi berminat mengutus satu orang pun nabi ke dunia ini, karena saya sudah pernah mengutus banyak nabi, namun hingga saat kini tidak ada satu pun maksiat paling primitif yang berhasil dimusnahkan dari muka bumi ini.

Bukankah semuanya terjadi atas rencana, kehendak, dan seizin Anda?

Kalian pikir saya ini kurang kerjaan, sampai-sampai ayam dan bebek bertelur berapa butir hari ini, esok, atau kemarin pun, harus saya atur-atur? Jika begitu untuk apa saya menciptakan hukum alam dan hukum karma yang mengatur seluruh alam semesta beserta isinya ini? Bukankah itu konyol, seolah-olah Tuhan yang harus direpotkan dan diperbudak oleh kehidupan umat manusia. Bagaimana mungkin, manusia mengatakan ‘Tuhan tidak pernah tidur’. Mengapa juga saya tidak boleh dan dilarang untuk tidur oleh manusia-manusia konyol itu? Jika begitu, mengapa tidak manusia-manusia itu saja yang saya tidurkan selamanya agar saya bisa berlibur selamanya dan pensiun oleh ulah-ulah manusia konyol kekanakan itu?

Kalau begitu mengapa dahulu kala saat menciptakan bumi dan manusia, maksiat itu diciptakan pula? Anda pikir dunia ini kurang cukup banyak dengan ‘ranjau darat’?” sergah sang pengacara. “Ini surat kuasa agar Anda menjadi klien saya, dan saya bisa mewakili Anda menggugat manusia-manusia konyol itu di persidangan Mahkamah Semesta PGG (Perserikatan Galaksi-Galaksi). Mengapa juga Anda tidak menyewa atau menciptakan stasiun radio milik Anda sendiri untuk broadcast perintah dan larangan Anda? Jangan bilang Anda kalah canggih dengan handphone milik saya ini yang bisa broadcast kemana-mana cukup dengan satu sentuhan jari dan bebas roaming.

Betul juga, padahal saya yang menciptakan gelombang radio dan gelombang seluler. Terimakasih atas masukan Anda, Nenek Crystal.

Kupikir-pikir mungkin akan lebih akrab bila Anda memanggil saya dengan sebutan ‘Nona’,” sambung sang pengacara yang dengan sigap memasukkan surat kuasa yang telah ditanda-tangan oleh sang tamu ke dalam laci meja kerjanya yang dipenuhi “buku-buku pajangan” (tumpukan buku sekadar sebagai pajangan agar tampak “intelek”). “Sekarang, mari kita bahas fee lawyering. Untuk upaya hukum gugatan ini, saya meminta ‘lawyering fee’ seratus juta rupiah, ‘success fee’ cukup sepuluh juta rupiah, dan ‘failure fee’ alias ‘fee kegagalan’ senilai sepuluh triliun rupiah.

Sang tamu tampak terkejut heran. “Loh, mengapa antara ‘success fee’ dan ‘fee kegagalan’, jauh sekali perbedaannya, lebih mahal ‘fee kegagalan’?

Coba Anda pikirkan baik-baik, Mr. Tuhan, siapa yang lebih galak, manusia Indonesia yang ditegur ataukah orang yang menegur mereka? Apakah di Kitab Suci yang Anda turunkan, pernah ada perintah mengenakan masker dan jaga jarak alias larangan berdekat-dekatan secara fisik? Siapa juga yang menciptakan hakim-hakim korup tersebut, jika bukan Anda sendiri? Saya sedang berbisnis, mana mau saya merugi dan membuang-buang waktu untuk apa yang sudah jelas diprediksi akan kalah. Karena itulah, saya meminta juga ‘fee kegagalan’.

Sang tamu tampak menggangguk-anggukkan kepala tanda mulai mengerti kebenaran yang dikatakan oleh pengacaranya ini, sembari berkata lirih, “Begitu rupanya. Jadi ini mission impossible ya? Saya kini menjadi paham. Rupa-rupanya manusia yang selama ini mencoba mencoba-cobai Tuhan, bukan sebaliknya Tuhan yang mencobai manusia. Saya ucapkan terimakasih atas pencerahannya, Nyonya Crystal Keblingbling yang saya hormati dan kagumi. Manusia yang baik kelakuannya, dengan sendirinya telah memuliakan nama Tuhan. Manusia yang buruk, dengan sendirinya mencoreng wajah Tuhan.” Secara mendadak muncul seberkas cahaya terang yang menerangi seluruh ruangan itu.

WOAH!” betapa terkejutnya sang pengacara, mendapati sang tamu telah lenyap begitu saja bagai ditelan oleh udara. “... Sialan, dia belum bayar fee ‘buka pintu’.

Menjelang siang, hari cerah sedikit berawan, dan cukup terik sekalipun udara lembab menyisakan berbagai ruas jalanan berlubang yang dipenuhi genangan air. Burung-burung kecil yang berkicauan tampak datang dan pergi, hinggap dan bertengger di pagar, genting, atau dahan dan ranting pepohonan untuk sejenak, saling berceloteh sesama kawan burungnya, sebelum kembali mengepakkan sayap dan berlalu. Semilir angin menggugurkan kelopak bunga yang tumbuh subur dan terawat pada kebun kantor sang pengacara tua, yang tampaknya kini sedang beristirahat tidur siang, dan baru terbangun ketika lonceng yang menandakan kedatangan tamu berdenting dengan ramainya.

Permisi dan selamat siang, Ibu Pengacara Crystal Keblingbling,” sapa sang tamu yang tampak bersahabat, seorang ibu-ibu muda yang secara sekilas berpenampilan luar cukup sederhana namun segar-berseri dan sedap dipandang disamping suaranya yang cukup merdu.

Panggil saya Nenek Crystal,” sambut sang pengacara yang sangat sigap sekalipun sudah berusia lanjut ini. “Silahkan duduk, namun jangan anggap ini seperti rumah Anda sendiri.

Tanpa lagi berbasa-basi, sang tamu mengisahkan, “Nama saya Ibu Airmata Menetesnetes, saya memiliki seorang anak gadis yang merupakan seorang suster di sebuah rumah sakit. Namun anak saya kemudian meninggal saat bertugas sebagai perawat, akibat tertular virus menular mematikan dari pasien yang selama ini meremehkan ancaman wabah pandemik sampai akhirnya tertular sebelum kemudian menjadi pasien dan menularkan pula ke anak saya yang merawatnya. Hink hink... manusia-manusia Indonesia mengatakan bahwa virus penyebab wabah ini tidak berbahaya, karenanya meremehkan, sampai akhirnya dirinya benar-benar tertular dan menularkan kepada anak saya dan tewas karenanya. Manusia-manusia Indonesia adalah PEMBUNUH PUTERI SATU-SATUNYA MILIK KELUARGA SAYA!

Ini saya pinjamkan tissue untuk menyeka wajah Anda,” sang pengacara menyodorkan sekotak tissue ketika mendapati sepasang mata mungil milik sang tamu mulai berkaca-kaca hendak menangis prihatin, “Jangan lupa dicuci setelah Anda pakai dan kembalikan kepada saya.

Sang tamu mulai terhisak-isak, tangisnya mungkin akan pecah tak lama lagi bila sang pengacara masih saja mengajak bercanda. “Boleh saya lanjutkan ceritanya?

Silahkan, namun yakin tidak ingin tissue ini? Heran, mengapa hingga bertahun-tahun tissue ini menganggur di meja ini, tiada satu pun klien yang ingin mengambilnya ketika saya tawarkan untuk dipinjam?

Hati saya terluka saat orang-orang Indonesia seolah tidak memiliki hati nurani, mengatakan dengan mudahnya bahwa obat penangkal untuk bisa kebal dari wabah ialah ‘vaksin iman’. Itu kan, sama artinya mereka ingin bilang anak saya yang perawat dan pejuang kesehatan itu seolah-olah TIDAK PUNYA IMAN sehingga tertular dan meninggal. Sementara kita tahu, orang yang telah meninggal akibat wabah, tidak bisa lagi memberikan testimoni kepada masyarakat betapa berbahayanya wabah ini. Saya ingin mewakili anak saya untuk menggugat orang-orang yang tidak patuh terhadap ‘protokol kesehatan’.

Tanpa disangka-sangka, sang pengacara tua yang sedari awal selalu tampak acuh tidak acuh dan dingin itu, ternyata kemudian mengambil tissue untuk mengusap setitik air mata yang tidak kuasa menetes dari matanya sendiri dan setelahnya berkata dengan nada datar akan tetapi getir penuh keseriusan kepada sang tamu, “Anda tahu, Ibu Airmata Menetesnetes, niat Anda sama artinya ingin menggugat hampir seluruh populasi penduduk di Indonesia? Bila si Mr. Tuhan saja diabaikan oleh masyarakat kita di Indonesia, maka bagaimana dengan nasib teguran hingga himbauan dari pemerintah, bagaimana juga dengan putusan hakim pengadilan, atau seruan dan permohonan kalangan medik yang kini hampir punah, akankah dipatuhi masyarakat Indonesia yang suka melanggar, membangkang, dan membantah?

Kini keduanya, sang pengacara tua dan sang tamu, saling berangkul-rakulan satu sama lain dalam pelukan erat, saling menangis sejadi-jadinya bersama-sama. Entah sudah berapa banyak lembar tissue yang kini mereka habiskan. Setidaknya, sang pengacara tua berpikir, sekalipun dirinya tidak mungkin bisa mewakili sang tamu untuk menggugat “kemustahilan” (sifat arogansi masyarakat Indonesia), namun setidaknya wujud simpatik dan empati sebagai sesama manusia, dapat cukup menghibur sang tamu yang sedang terluka hatinya dan menyedihkan kondisinya, puteri kandungnya meninggal dunia akibat manusia-manusia “serampangan” yang membawa ancaman penularan wabah dari satu manusia ke manusia lainnya akibat meremehkan pandemik, “pelaku pembunuhan” yang tidak tersentuh oleh hukum dan seolah dibiarkan oleh negara yang lebih patut turut dimintakan pertanggung-jawaban atas pandemik yang dibiarkan tidak terkendali dan terus memakan korban jiwa.

Kini kita mulai paham, mengapa pada papan nama kantor hukum Cystal Keblingbling, sang pengacara tua eksentrik tersebut, membuat tulisan-tulisan demikian, karena dunia ini memang tidak pernah berjalan secara ideal, dimana berbagai manusia-manusia tidak logis yang irasional menjadi mayoritas penghuninya, dimana yang benar menjadi keliru dan yang keliru menjadi tampak seolah-olah sebagai paling benar. Menjadi logis dan rasional, sama artinya menjadi melawan arus dan “lain daripada yang lain”, menjadi tampak “aneh sendiri”.

Banyak pekerjaan rumah yang perlu kita selesaikan, karena banyak masalah yang belum dapat ditangani ataupun diselesaikan secara hukum, terlebih hukum yang masih menggunakan pendekatan dan materi hukum yang primitif. Aturan-aturan normatif hukum tidak akan pernah dapat menertibkan ataupun mendisiplinkan kebodohan-kebodohan yang bersarang dalam otak di kepala banyak manusia. Instrumen hukum bukanlah sarana yang tepat untuk “perang terhadap kebodohan”.

Memberantas kebodohan-kebodohan adalah tugas pemuka agama dan tenaga pendidik untuk mengentaskannya, bukan semata memberantas buta aksara, namun juga buta nurani untuk diberantas dan dimusnahkan dari muka bumi untuk dapat membuat kita mengklaim diri sebagai bangsa beradab. Aturan-aturan normatif hukum negara bisa saja mengekang fisik, namun tidak akan pernah dapat mengontrol terlebih memaksa tataran alam pikiran warganya.

Terdapat banyak hal, dimana hukum tidak bisa melangkah terlampau jauh, dan harus berhenti pada titik batas tersebut, untuk tidak menyentuh lebih jauh pada apa yang menjadi tanggung-jawab agamawan dan para guru—semata agar, bila terjadi kemerosotan pada moralitas manusia, maka hukum tidak dapat dijadikan “kambing hitam” oleh para agamawan maupun tenaga pendidik yang selama ini telah terbukti gagal memainkan perannya dalam mendidik anak bangsa dan generasi penerus.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.