Indonesia GAME OVER Dibawah Leadership yang Buruk dari Presiden yang SERAKAH (Sana-Sini Mau), Banyak Maunya : Ekonomi, Kesehatan, Pilkada, Disayangi Tuhan, dan Masuk Surga

ARTIKEL HUKUM

Negeri dengan Banyak Alasan, NEGARA PENUH ALASAN, dengan Serakah Mengharap Sehat, Makmur Ekonomi, dan Pesta Demokrasi Dikala Pandemik Akibat Serangan Wabah

Negara yang Berhasil Menangani Wabah, Tidak Mencari-Cari Alasan, Namun Berani dan Tegas serta Konsisten Berfokus Memilih Prioritas, Ekonomi akan Recovery secara Sendirinya Ketika Masyarakat Sehat Terbebas dari Ancaman Wabah yang TERPUTUS MATA RANTAI PENULARANNYA

Bukan karena faktor ketidak-mampuan, namun lebih kepada ketidak-mauan yang menjadi ganjalan serta yang selalu menjadi batu sandungan setiap fenomena sosial maupun fenomena alam yang terjadi di Indonesia, dengan nasib segenap rakyat yang menjadi ajang taruhannya—yang kita kira terlalu mahal harga taruhannya, dan mengapa juga seorang Kepala Negara merasa berhak menjadikan nasib hidup segenap rakyatnya sebagai ajang permainan dan pertaruhan untuk di-“coba-coba” seolah “kelinci percobaan”?

Jika Negara Malaysia seketika itu juga siap dan sigap melakukan “Lock Down” tatkala jejak wabah pertama kali terdeteksi mulai merebak di negaranya, tanpa banyak beralasan terlebih berwacana panjang-lebar, dan alhasil saat kini tingkat ekonomi Malaysia jauh di atas Indonesia karena kesehatan penduduknya terjamin dan pandemik terkendalikan secara optimal (per tanggal 10 September 2020 saat ulasan ini disusun, per hari warga di Indonesia terjangkit Corona Virus Tipe-2 hampir mencapai angka 4.000 jiwa, sementara di Malaysia hanya tercatat sebatas belasan kasus).

Jika seorang Presiden Indonesia selaku Kepala Pemerintahan justru mengeluh dan berkeluh-kesah kepada publik Indonesia yang menjadi masyarakatnya, maka rakyat dapat mengadu dan berkeluh-kesah kemana dan kepada siapakah? Presiden yang semestinya melayani masyarakat, ataukah sebaliknya rakyat yang harus melayani dan meladeni “kecengengan” serta “ketidak-becusan” seorang Kepala Negara yang terbukti “tidak teruji” ini? Mengapa juga Kepala Negara yang tidak memiliki ketegasan ataupun “leadership” untuk memimpin bangsa dan negara semacam ini, masih kita pertahankan eksistensinya tanpa digantikan sosok yang lebih tegas dan berwibawa? Penulis “Golput” (“golongan putih”) saat pemilihan umum Presiden RI, karena pilihan calonnya hanya terdapat dua tanpa alternatif lain, yakni : “kecebong” dan “kampret”—inilah hasilnya, negeri yang dipimpin oleh nakhoda seorang “kecebong”, dengan ratusan juta penumpang kapal yang dibawa terombang-ambing tanpa arah yang jelas.

Tidak selamanya kita mampu menjaga daya tahan dan imunitas tubuh, karena ada kalanya antibodi kita menyerupai kurva grafik naik dan turun, tidak pernah stabil pada posisi terpuncak. Karenanya, kita tidak dapat diminta untuk meniru ataupun mencontoh orang-orang yang “kebal” dari virus menular mematikan, karena TIDAK ADA SATU PUN ORANG YANG KEBAL TERHADAP VIRUS. Sama seperti, tiada satu pun dari kita yang belum pernah terkena flu ataupun terserang demam akibat infeksi kuman dan virus, karena memang tiada satu pun diantara kita yang kebal. Mereka bukanlah “kebal” atau “imun”, namun “belum saja gilirannya terkena dan terinfeksi”. Seringkali, antara “kebal” dan “bebal” selisih tipis, bahkan tidak jarang menjelma “arogansi” berupa “kesombongan atas kesehatan” yang kebetulan masih sehat, sehingga berspekulasi bahwa dirinya “kebal” dan “disayangi Tuhan”.

Jika kita tidak memilih, itu namanya serakah (terlebih dikala wabah yang darurat), sementara tangan kita terbatas hanya ada dua, mulut dan perut hanya ada satu dan terbatas kapasitas muatannya. Ekonomi ataukah kesehatan, pilih salah satu, namun saking serakahnya pemerintah dan rakyat kita di Indonesia, kini mau “pesta demokrasi” pula. Kita tidak dapat memegang erat penuh kemelekatan terhadap banyak hal dikala wabah melanda, sama seperti kita harus menurunkan segala tuntutan hidup kita dikala keadaan darurat sipil seperti kerusuhan massa maupun dikala keadaan darurat militer seperti invansi pasukan penjajah, dengan falsafah “masih hidup dan selamat saja sudah beruntung”. Namun dasar negeri dengan bangsa yang “serakah”, dikala wabah pun seolah merasa berhak untuk tawar-menawar dengan sang virus “super cerdik” penyebab pandemik, seolah ingin tetap menjalankan kegiatan ekonomi secara penuh kelonggaran namun disaat bersamaan juga mengharap bahkan menuntut tetap sehat seolah “kebal” terhadap wabah yang diakibatkan virus menular mematikan.

Pemerintah kita bagai memberikan “permen” dan “gula-gula” yang manis kepada rakyatnya yang dipandang sebagai kanak-kanak di Taman Kanak-Kanak, bernama iming-iming “vaksin” yang belum dapat disebut sebagai vaksin, namun baru sebatas “calon / bakal vaksin”, itu pun secara irasional, karena secara prematur menyebutnya sebagai “vaksin” sehingga akibat konsekuensinya terbukti sangat fatal : kewaspadaan masyarakat menurun, dan sebaliknya terjadi peningkatan “peremehan” oleh warga masyarakat seolah telah ditemukan ramuan obat “mujarab” penyembuh dan vaksinnya.

Masyarakat kita beralasan, tidak mengenakan masker kain sekalipun karena tidak mampu membeli, meski harganya tidak lebih mahal daripada satu kantung snack dan dapat dicuci untuk dipakai ber-ulang-kali, namun disaat bersamaan masyarakat kita dikenal sebagai bangsa dengan konsumsi produk bakaran tembakau (baca : bakar-bakar uang) tertinggi setelah China, dimana sekalipun telah diberikan masker oleh pemerintah, tetap juga tidak dikenakan secara benar menutup hidung dan mulut, dengan lagi-lagi beralasan : “Sesak bernafas jika pakai masker.” Masih juga tawar-menawar dengan kesehatan dan wabah. Sang wabah akan menjawab : “Kamu pikir dirimu itu siapa, mau tawar-menawar dengan kami, virus menular mematikan? Kebal hukum dan kebal virus?

Masyarakat kita tidak takut terjatuh dari kendaraan bermotor dan terluka atau bahkan tewas karena tidak memakai helm saat berkendara kendaraan bermotor doa dua. Seperti pertama kali penerapan kebijakan tegas sanksi denda bagi pengendara yang tidak mengenakan helm, masyarakat menentang keras. Namun karena pemerintah berani bersikap tegas menilang dan memberi “punishment” tanpa kompromi, masyarakat pun merasa terdesak untuk patuh dan taat mengenakan helm saat berkendara. Mengapa pendekatan serupa menghadapi Bangsa Indonesia yang dikenal “pembangkang” dan “ngeyel”, pemerintah kita tidak meniru cara penindakan sosiologi masyarakat Indonesia yang irasional seperti saat menindak masyarakat yang tidak mengenakan helm, yang terbukti efektif karena faktor ketegasan aparaturnya?

Apakah memakai masker dikala wabah, masih lebih tidak nyaman ketimbang mengenakan helm? Pemerintah menindak masyarakat yang tidak mengenakan masker dikala wabah, jelas-jelas demi kebaikan masyarakat itu sendiri, namun masih juga ditentang oleh masyarakat kita yang dikenal berpendidikan tinggi, “agamais”, mengaku ber-Tuhan, namun ternyata sangat abai terhadap kesalahan dirinya sendiri maupun terhadap keselamatan orang lain. Penulis menyebutnya sebagai, “culture” atau budaya mental masyarakat Indonesia itu sendiri. Apakah bukan kelewat “serakah”, tidak bersedia berkorban “Lock Down” (puasa ekonomi dan puasa makan) seperti warga di negara lain, namun mengharap wabah menjadi “nihil”?

Negara banyak alasan, pemerintahnya memakai seribu satu alasan, dan masyarakatnya pun tidak kalah pandai meniru pemerintahnya untuk berkelit dan menentang dengan seribu satu alasan (“yang penting menentang, apapun kebijakan pemerintah, sekalipun kebijakan sekadar mengenakan masker dikala wabah”), sekalipun jelas-jelas negara lain tetangga kita di Asean dan Asia saja bisa mampu dan hidup dengan memilih kebijakan tegas semacam “lock down”, apapun alasannya, tiada kompromi, dan tiada toleransi.

Kepatuhan dan penindakan tegas menjadi prasyarat mutlak yang “tidak dapat ditawar-tawar” dikala keadaan darurat seperti serangan wabah. Bagaimana mungkin masyarakat diharapkan dapat patuh, jika pemerintah kita itu sendiri kerap bertentangan dan berdiri secara “angkuh” berseberangan dengan kehendak rakyat, seperti memaksakan diri menerbitkan undang-undang yang kontroversial, korupsi yang masif, tidak pernah hadir di tengah-tengah masyarakat disaat masyarakat membutuhkan, dan aparatur penegak hukum yang justru menjadi agen kejahatan itu sendiri yang menjadikan rakyat sipil sebagai “sapi perahan”, pengabaian terhadap laporan dan aduan rakyat, hingga segala bentuk penelantaran dan pemerasan dengan mengatas-namakan retribusi dan iuran ataupun pungutan lainnya.

Ekonomi pasti akan “revovery” secara sendirinya dikala wabah berhasil ditangani dan diatasi secara tegas (dibuktikan saat kini China dan Thailand ekonominya telah bangkit dan mencetak angka “pertumbuhan ekonomi yang positif” jauh meninggalkan Indonesia), karena negara mereka menyadari betul bahwa harga sebuah nyawa lebih mahal daripada memaksakan diri menerapkan kebijakan “pura-pura tiada wabah” dan seolah mampu “mencurangi (realita) wabah”.

Disini, pemerintah bersama-sama rakyatnya bahu-membahu mengatasi prioritas, yakni memutus mata rantai penularan wabah sehingga negeri mereka steril. Malaysia, menerapkan kebijakan “lock down” sedini mungkin, kini berhasil menekan laju pertumbuhan pandemik dan mengisolasi diri dari Warga Negara Indonesia agar ekonomi kerakyatan lokal masyarakat Malaysia dapat kembali pulih dan bangkit mengejar telah pulihnya tingkat ekonomi China dan Thailand.

Pertimbangannya sangat sederhana, satu orang Kepala keluarga terkena wabah, maka ekonomi satu keluarga menjadi korban dan taruhannya. Karenanya, tiada pilihan lain selain memilih prioritas tunggal dikala wabah, yakni menangani dan mengatasi wabah hingga tuntas, sebelum sang wabah pada akhirnya memaksa kita untuk “lock down” dikala semuanya telah terlambat (keuangan negara telah habis terserap untuk upaya kuratif, ekonomi mikro dan makro rakyat suatu negara yang tenggelam dalam resesi, sementara angka prevalensi terjangkit wabah kian tidak tertanggulangi dan kian tidak terkontrol, perhatian yang terpecah pada berbagai pasien terjangkit yang tidak tertangani karena faktor “overload” pasien terjangkit). Jika suatu negara seketika itu juga melakukan kebijakan tegas seperti “lock down MURNI”, maka dampak kerugiannya tidak akan demikian parah bagi rakyat, cukup satu hingga dua bulan “lock down MURNI”, mengapa penentangan dan penolakannya justru lebih diarahkan oleh masyarakat kita kepada opsi kebijakan “lock down” ketimbang menolak kehadiran wabah itu sendiri? (baca : “Yang penting bukan ‘lock down’.”)

Sementara bila suatu negara mengambil kebijakan “berlarut-larut” penuh kompromi bernama “yang sudah longgar masih ingin dilonggarkan”, maka ketika sang wabah memaksa dan memukul mundur pemerintah dan rakyat suatu negara untuk terpaksa menerapkan “lock down”, maka angka fatalitasnya jauh akan lebih menyakitkan, karena seluruh sumber daya dan ketahanan bangsanya telah habis terkuras untuk upaya kuratif akibat kebijakan “berlarut-larut” lewat “berpura-pura tiada wabah” sehingga “lock down” yang terlambat akan menyerupai “kiamat” karena “sudah jatuh tertimpa tangga serta terlindas pula”. Semakin pemerintah dan rakyat suatu negara “berlarut-larut” mencoba tawar-menawar dengan sang virus penyebab pandemik, maka semakin tidak memungkinkan lagi dilakukan “lock down” pada akhirnya, sebagaimana telah penulis uraikan di atas.

Karenanya, pemerintah suatu negara yang baik akan menyadari bahwa menghadapi wabah sama artinya “berkejaran dengan waktu”, semakin “tarik-ulur” terjadi, maka kian tidak memungkinkan lagi “lock down” diberlakukan dan tidak akan lagi bisa menjadi opsi untuk dipilih—semata karena segala sumber daya keuangan maupun emosi-mental sudah habis terkuras untuk kegiatan “kuratif” selama menerapkan kebijakan “berlarut-larut”.

Jika kalangan medik telah menyatakan, bahwa dalam tempo satu bulan, mata rantai penularan terputus karena Virus Corona Tipe-2 penyebab Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) akan steril seutuhnya dari tubuh orang terjangkit bila sang pasien mampu bertahan hingga 28 hari hingga 38 hari (lain hanya dengan virus Herpes, akan tetap bersarang pada tubuh pasien untuk seumur hidupnya meski tiada lagi tampak gejala), sehingga mata rantai penularan akan terputus seutuhnya, mengapa tidak berani mengambil kebijakan tegas seperti “lock down” yang tegas dan murni? Mengapa pemerintah kita justru berspekulasi dengan bersikap seolah-olah “pura-pura tiada wabah maka wabah akan berlalu seiring waktu”? Jika sudah ada yang pasti, mengapa memiliki ber-spekulasi dengan seluruh nyawa rakyat sebagai taruhannya? Penulis mensinyalir, terdapat faktor politis bernama “ada udang dibalik batu” kebijakan berlarut-larut yang diambil pemerintah, dan disaat bersamaan ada kebohongan publik masyarakat kita di Indonesia yang selama ini mengaku-ngaku sebagai bangsa yang “jago ber-PUASA MAKAN”.

Entah apa maunya republik bernama Indonesia ini, masyarakat tidak patuh terhadap “protokol kesehatan (cegah wabah)” dan pemerintah pun tidak memiliki ketegasan dan lebih cenderung absen, namun alih-alih diberi ganjaran berupa “punishment” terhadap angka peningkatan warga terjangkit wabah, kini pemerintah justru memberikan “reward” kepada masyarakat berupa “pesta demokrasi”.

Tidak bersedia “lock down”, apapun alasannya dan ada saja alasannya, dengan selalu membenturkannya terhadap alasan faktor ekonomi—seolah-olah “lock down” akan terjadi seumur hidup. Namun, demiikian sekalipun faktor ekonomi telah terbukti gagal dipertahankan dan jatuh dalam jurang resesi ekonomi, kesehatan kian memburuk akibat angka warga terjangkit kian menukik tinggi, hutang pemerintah kian menumpuk, sekarang dalam waktu dekat hendak mengadakan Pilkada (pemilihan umum Kepala Daerah) pula, apa lagi alasannya jika bukan “alasan yang dipaksakan”, seolah pemerintah dan warga masyarakat kita hendak dan mampu tawar-menawar dengan sang virus penyebab wabah : “Wahai virus menular mematikan, kita ‘break” dulu ya sebentar, ini lagi mau Pilkada.” Jawab sang virus wabah : “Kamu pikir siapa dirimu, tawar-menawar dengan kami para virus? Kami tidak mempan oleh uang ‘serangan fajar’.”

Yang paling patut dimintakan pertanggung-jawaban terhadap kasus-kasus meningkatnya fenomena perceraian pasangan suami-istri pada berbagai daerah di Indonesia, yang sebagian diantaranya ialah akibat latar-belakang ekonomi rumah-tangga, sang suami terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) karena wabah dibiarkan berlarut-larut tanpa kejelasan dan tanpa kepastian oleh pemerintah, tidak lain sengketa rumah-tangga berujung sengketa gugat-menggugat perceraian demikian ialah akibat kebijakan bertele-tele ala “PLIN-PLAN” sang Kepala Negara.

Jika saja Kepala Pemerintah kita serius memperhatikan nasib rakyat, maka berlakukan “lock down” tanpa lagi banyak beralasan, cukup dirumahkan satu hingga dua bulan dan bisa kembali bekerja paska dibukanya kembali keadaan normal pasca “lock down”, perusahaan pemberi kerja pun tidak akan terancam gulung-tikar sehingga sang kepala rumah-tangga dapat kembali bekerja dan kembali mendapatkan nafkah sehingga kelangsungan rumah-tangga tidak terancam putus akibat perceraian dilatar-belakangi faktor PHK akibat kebijakan “longgar yang berlarut-larut”.

Memang sudah selayaknya negara dan Warga Negara Indonesia (WNI) dikucilkan oleh pergaulan dunia internasional, baik warganegara tetangga menolak masuk teritori Indonesia dan WNI dilarang memasuki negara-negara mereka. Kebijakan menghadapi wabah tidak bisa “separuh-separuh” terlebih “separuh hati”, namun harus total dan tuntas berfokus, dalam artian harus siap “LOCK DOWN MURNI” yang menihilkan sama sekali kegiatan ekonomi selama “Lock Down” diberlakukan—bukan kebijakan “serba longgar” tiada penindakan dan tiada pengawasan”. “Lock Down” yang murni artinya, seluruh wilayah teritori NKRI (setidaknya “karantina wilayah”, “lock down” parsial pada pusat episentrum wabah), tiada kompromi dan tiada toleransi bagi pelanggar (warga sendiri) dan tiada kompromi serta menutup ruang negosiasi dengan sang virus penyebab wabah.

Buruk wajah jangan cermin dibelah, apalagi “borok” wajah bangsa yang ditutup-tutupi, tetapi rakyat sendiri dibiarkan menderita akibat “kebijakan yang seolah sedang eksperimen dan seolah hendak berkompromi dengan sang virus penyebab wabah”, itu menjadi menyerupai Korea Utara namanya, tidak transparan terhadap dunia global. Negara lain berhak tahu pemerintah dan Bangsa Indonesia ternyata buruk soal disiplin maupun gagal untuk mengatasi masalah wabah domestik di negerinya sendiri, agar negara tetangga tidak terancam bahaya oleh orang-orang Indonesia yang tidak disiplin, “ngeyel”, “lebih galak daripada yang menegur”, “sok kebal virus maupun kebal hukum”, merasa dibentengi oleh “vaksin iman”, hingga arogansi berupa “kesombongan atas kesehatan”. Bayangkan saja bila Amerika Serikat tidak jujur dan terbuka perihal kondisi negerinya yang “luluh lantak” akibat wabah, mungkin sampai sekarang Warga Negara Amerika Serikat akan datang berwisata atau berbisnis ke Indonesia tanpa kita waspadai.

Dengan dikucilkannya Negara Indonesia dan WNI dari dunia global, maka itu hal positif dalam rangka meng-karantina Negara Indonesia maupun WNI agar tidak menjadi sumber penularan dan penyebaran wabah baru karena tiada keseriusan dan tidak kemauan Indonesia maupun warganya untuk memutus mata rantai penularan. Obat sekalipun pahit (tegas murni “LOCK DOWN”), jangan selalu langsung disingkirkan jauh-jauh. Yang manis (kebijakan “serba LONGGAR”), jangan langsung ditelan.

Ketahanan ekonomi dan pangan, justru dimiliki para warga masyarakat yang tinggal dan hidup menetap di daerah pedusunan, memiliki rumah sederhana semi permanen, ternak, dan ladang untuk bercocok tanam, swasembada dan mandiri secara pangan dan ekonomi mikro kerakyatan. Yang paling merasa terancam oleh kebijakan “LOCK DOWN MURNI”, ialah para pengusaha besar, karena harus memberi gaji ribuan karyawan dan buruhnya selama dirumahkan pada masa “Lock Down”, yang artinya kerugian besar bagi pengusaha bersangkutan.

Sang Bapak Presiden komplain dan “curhat” kepada publik yang sudah dipusingkan oleh pemerintah yang memusingkan, bahwa bawahan sang Bapak Presiden tidak “becus” bekerja, anggaran tidak terserap dan tidak tersalurkan dengan optimal, itu namanya mengaku ke masyarakat bahwa diri sang Bapak Presiden tidak punya “leadership” sekalipun telah dua periode menjabat sebagai Kepala Negara sekalipun Pemerintahan. Jika saja tidak pernah terjadi wabah seperti pandemik yang diakibatkan Corona Virus Tipe-2 COVID-19, kita tidak akan pernah melihat sebenarnya sepak terjang sang Bapak Presiden “PLIN PLAN”.

Sudah sepatutnya sang Kepala Negara Indonesia, di-impeach / di-makzulkan oleh segenap Rakyat Indonesia, karena terbukti GAGAL TOTAL dalam menangani wabah, sekalipun negara-negara tetangga di ASEAN seperti Thailand dan Malaysia berhasil mengatasi wabah, melindungi dan sekaligus memakmurkan kesejahteraan kesehatan ekonomi rakyatnya, yakni dengan memastikan kesehatan warganya dengan berhasil terputusnya mata rantai penularan (sumber ancaman), karena kesehatan adalah modal sekaligus kekayaan yang paling berharga. Kita tidak dapat membeli nyawa dengan uang, namun dengan kondisi sehat dan kesehatan maka kita bisa membeli dan memproduksi apapun di masa “recovery”.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.