ARTIKEL HUKUM
Kejahatan, Sekali Saja Tidak Boleh, Apalagi Berulang-Kali. Bangga Melakukan Perbuatan Jahat, Cerminan Moralitas yang SAKIT dan Kesenangan yang TIDAK SEHAT.
Antara “sense of justice” dan “sense of crisis” senyatanya hanya selisih tipis, namun serupa dalam hal daya peka / kepekaan insan masing-masing individu yang saling beragam—penulis menyebutnya sebagai tingkat / level “kecerdasan ber-keadilan” maupun “kecerdasan dalam melihat adanya bahaya dibalik sesuatu konsekuensi”. Sebagai contoh, orang-orang dengan “sense of justice” yang tajam, seketika itu juga akan menolak dan menentang senjata pemusnah massal seperti bom atom ataupun nuklir, sekalipun ia belum menemukan alasan / argumentasi logis dibalik penolakannya tersebut.
Sebaliknya, orang-orang dengan “sense of justice” yang tumpul, akan berdalih, bahwa jika senjata api dan rudal balistik tidak dilarang, mengapa juga roket berhulu ledak nuklir dilarang penggunaannya untuk keperluan “perang dingin” maupun militer suatu negara agar disegani kancah perpolitikan internasional? Bukankah kesemuanya adalah sama-sama alat untuk membunuh dan sama-sama mematikannya? Itulah paradigma sempit yang dipakai oleh pemimpin Korea Utara, seolah dengan bermain dan bermain-main dengan “mainan” berbahaya semacam nuklir, dapat membuat negaranya yang dicengkeram kemiskinan akut dapat memiliki daya tawar terhadap negara-negara tetangganya di regional Asia.
Baik nuklir maupun senjata biologis dan senjata kimiawi, ditentang keras oleh Hukum Perang Internasional (Hukum Humaniter) karena ia dapat membunuh dan membuat derita targetnya dalam radius yang luas dan “indiscriminate”—dalam artian baik “combatan” maupun “civilian” kesemuanya dapat turut menjadi korban yang tidak dapat dibenarkan oleh alasan apapun sekalipun dalam keadaan darurat militer atau suatu deklarasi peperangan. Berbeda dengan senjata-senjata konvensional seperti senjata api, sifatnya ditargetkan sebatas menghadapi sesama tentara ataupun “combatan”, dan dilarang penggunaannya untuk menyerang terlebih melukai seorang sipil tidak bersenjata ataupun bangunan-bangunan milik sipil yang tidak terkait aktivitas militeristik.
Mari kita aplikasikan teori konseptual mengenai “sense of justice” ini di tengah-tengah masyarakat Indonesia, yang memperlihatkan betapa masyarakat Indonesia yang mengaku-ngaku “agamais” ternyata “tidak takut berbuat jahat” dan “tidak malu menyakiti / merugikan orang lain”. Baru-baru ini, pada suatu malam di lingkungan pemukiman kediaman penulis, seorang tetangga membakar sate / barbeque atau sejenisnya menggunakan arang yang menimbulkan “polusi udara” disamping “polusi suara” kegaduhan anak-anak muda yang sedang berkumpul-ria, tanpa memperdulikan bahwa para warga setempat butuh ketenangan dan istirahat bebas dari segala gangguan sebagaimana fungsi dan tujuan pemukiman.
Penulis turut merasa terganggu oleh aktivitas anak-anak muda “salah arahan” dan “salah asuh” demikian, karena berbagai polusi yang mereka timbulkan mengganggu ketenangan hidup orang lain—alias kesenangan yang “tidak sehat” dan “jahat”, “enak di mereka namun tidak enak bagi warga lainnya”, alias cerminan watak “egoistik” yang serba “mau menang sendiri”. Mereka tidak mencari tempat lain untuk berkumpul-kumpul dan berpesta masakan yang dibakar dengan arang atau kayu demikian pada tempat yang lebih terbuka dan jauh dari pemukiman, namun dilakukan justru di tengah-tengah pemukiman padat penduduk—penulis menyebut mereka bermental “terbelakang” (udik), karena masih mengadopsi pola berpikir masyarakat “nomaden” bukan masyarakat bermental modern yang hidup menetap saling berbagi ruang nafas dan ruang gerak yang menjadi esensial kehidupan urban perkotaan. Itulah juga sebabnya penulis menolak keras praktik urbanisasi, mengingat gegar budaya tidak akan terelakkan.
Sering penulis alami, ketika berjalan kaki di jalanan umum, pengendara kendaraan roda dua ataupun roda empat mengklakson penulis dari arah belakang seolah jalanan umum tersebut adalah miliknya, seolah pejalan kaki tidak berhak berjalan di jalanan umum, dan seolah diri mereka super sibuk melampaui kesibukan seorang kepala negara. Namun, ketika mereka tiba di tempat tujuan, ternyata tujuan kesibukan mereka hanyalah kumpul-kumpul dan bicara “ngolor-ngidul” berupa “omong kosong” tiada faedah dan tiada manfaat.
Banyak kasus dan banyak kejadian penulis alami, watak Bangsa Indonesia demikian “sok sibuk”, lantas meminta agar didahulukan, jika perlu merampas hak orang lain, akan tetapi ternyata hanya mengisi kesibukan mereka untuk hal-hal yang patut kita sebut sebagai “aktivitas SAMPAH”—sama sibuknya dengan seorang “spammer” yang sibuk mengotori alamat surat elektronik banyak orang dengan pesan-pesan sampah yang mengganggu seolah korban-korban yang mereka ganggu tidak memiliki kesibukan lain yang lebih penting ketimbang diganggu oleh sampah-sampah semacam “manusia sampah” demikian. Orang-orang yang benar-benar sibuk, tidak pernah “sok sibuk”. Orang-orang yang rupawan, tidak pernah “sok cantik”. Orang-orang yang benar-benar baik dengan tulus, tidak pernah “sok dermawan”. Orang-orang yang benar cerdas adanya, tidak akan pernah meminta diakui sebagai orang cerdas terlebih “sok pandai”.
Kembali pada kisah anak-anak muda yang berkumpul dengan hanya mampu memberi kontribusi kepada masyarakat berupa berbagai “polusi sosial” demikian (“sampah masyarakat”), terus terjadi hingga tengah malam, meski jarum jam telah menunjukkan pukul tepat dua belas malam menjelang dini hari, suara-suara gaduh celotehan dan sorak tawa “konyol” khas orang-orang bodoh “tong kosong nyaring bunyinya” ditambah udara yang penuh sesak oleh partikel-partikel mikro asap yang beterbangan ke udara dan memenuhi seluruh isi ruangan rumah-rumah tetangga, merusak kesehatan jangka pendek maupun jangka panjang para warga terutama bagi mereka yang lansia ataupun yang mengidab hidung sensitif dan penderita asma pada kanak-kanak (cerminan tumpulnya kepekaan sosial, empati, moralitas, disamping pamer “EQ yang tiarap” tanpa rasa malu), tampak seolah menunggu untuk ditegur agar tidak semakin “besar kepala” (salah satu tipikal lainnya masyarakat Indonesia, tanpa melihat warna kulit).
Meski demikian, penulis tidak berani menegur kelakuan para berandal muda tersebut, karena hasilnya sudah jelas “LEBIH GALAK YANG DITEGUR”, terlebih penulis tergolong kaum minoritas pada wilayah tersebut dengan warna kulit yang berbeda sendiri. Indonesia ialah republik dimana korban dituntut hanya boleh “diam dan pasrah” menyerupai seonggok “mayat” yang bisu oleh para pelakunya. Pada akhirnya, warga lain yang berbatasan rumah yang mengabil inisiatif menegur anak-anak muda berandal “kurang kerjaan” dan “tidak produktif” (selain bangga mencetak polusi) tersebut, karena turut merasa terganggu dari malam hingga dini hari, tidak dapat beristirahat meski telah letih bekerja seharian.
Apa yang menjadi jawaban dari anak-anak muda berandal tersebut, sungguh mencerminkan watak tipikal Bangsa Indonesia : “Ya elah, sesekali hidup senang, masak tidak boleh?” Suatu akrobatik logika moril (masih muda sudah sepicik itu, apalagi dirinya telah dewasa dan memegang kekuasaan?). Dirinya ditegur karena telah mengganggu dan merugikan warga, justru mengajak berdebat pihak penegur tanpa sedikit pun memperlihatkan rasa empati terlebih rasa malu, bagaimana jika yang menegur ialah penulis yang merupakan seorang Tionghua bermata “sipit” dan berkulit putih lengkap dengan status agama minoritas yang selalu dilekatkan kepada “mata sipit kulit putih”? Ingin sekali penulis keluar pagar rumah dan melontarkan kalimat berikut: (yang ternyata hanya terlontar keluar berupa bersungut-sungut dalam hati)
“Sesekali kamu lompat ke jurang saja sekalian. Kamu bukannya merasa malu karena mengganggu warga dengan polusi suara dan polusi udara yang kamu buat tengah-tengah malam di pemukiman, dimana warga berhak istirahat bebas dari segala jenis gangguan, alih-alih minta maaf dan koreksi diri, justru berdebat kepada warga yang sudah menjadi KORBAN kalian. Tidak ada yang melarang kamu hidup senang dan enak, namun mengapa memakai cara-cara yang tidak sehat dan negatif, seolah bersenang-senang dengan cara membuat orang lain hidup menderita adalah bukan hal tabu yang di-haram-kan, justru kamu senang melihat orang lain susah dan susah melihat orang lain senang. Tidak malu ya, sesekali menyakiti dan merugikan orang lain? Sekalian saja, tidak malu dan tidak takut sesekali merampok dan sesekali mencuri. Bukankah kalian bangga dan tidak malu serta tidak takut berbuat jahat kepada orang lain?”
Dalam Buddhisme, tidak banyak aturan-aturan seperti dalam keyakinan lain, namun hanya terdapat dua rambu paling utama bagi umat awam (barulah terdapat banyak aturan Kebhikkuan dalam Vinaya Pitaka), yakni “malu berbuat jahat” dan “takut berbuat jahat”. Sungguh kasihan bangsa yang penduduknya memiliki segudang peraturan untuk mengatur dan mendisiplinkan warganya, karena itu artinya penduduk suatu bangsa tersebut memang tidak teratur sehingga perlu banyak diatur. Sebaliknya, makhluk-makhluk dewata tidak memiliki beragam aturan seperti manusia di bumi yang bila tidak dilarang dan tidak diatur oleh banyak peraturan, maka akan menjelma menyerupai “manusia sebagai serigala bagi sesamanya”, saling memakan satu sama lain. Namun demikian, dalam latihan moralitas Buddhisme, tumpuan utamanya hanyalah dua garis besar itu saja, yakni “malu” (hiri) dan “takut” (otapa) untuk berbuat jahat.
Ketika mendengar sang anak-anak muda berandal tersebut menjawab dengan tanpa rasa bersalah ataupun rasa malu terlebih rasa takut : “Ya elah, masak sesekali hidup senang saja tidak boleh?”, dalam hati kecil penulis sedikit tersenyum getir, itulah hasil didikan para guru kita di Indonesia maupun para pemuka agama kita di Indonesia. Sesekali buat jahat dan menyakiti ataupun merugikan orang lain, tidak merasa malu, tidak juga merasa takut, justru bangga dan dibenarkan dengan istilah “sesekali”? Sekalian saja, sesekali merampok dan sesekali melakukan tindak pidana asusila ketika menjumpai anak gadis di tengah jalan atau di tengah malam. “Hanya sesekali hidup enak, masak tidak boleh?” mungkin itulah yang kelak akan dikatakan oleh sang anak-anak muda berandal di kantor polisi atau di hadapan hakim, dan tidak akan heran bila itu sampai benar-benar terjadi di kemudian hari sebagaimana maraknya fenomena serupa lewat pemberitaan dan realita fakta overload-nya berbagai penjara kita di Tanah Air, penghuni barunya selalu membludak sehingga otoritas merasa perlu kebijakan “obral remisi” karena tidak lagi sanggup menampung, yang anehnya juga “penjahat justru dipelihara oleh negara, sementara fakir miskin tidak diberi makan dan tempat bernaung oleh negara”.
Pernah juga terjadi dan tidak juga kalah seringnya terjadi, seorang pengemudi kendaraan roda empat mengendarai mobilnya di jalanan perumahan yang sempit lebar jalannya, dengan sengaja melajukan mobilnya secara lamban di tengah-tengah jalan, seolah penulis yang mengendarai motor roda dua tepat di belakang sang pengendara mobil, sama sekali tidak punya hak untuk lewat mendahului karena seluruh badan jalan dikuasai olehnya tanpa mau memberi lewat dengan berjalan di sisi kiri sebagaimana aturan mengemudi yang baik dan benar sehingga pengemudi lain dapat mendahului dari sisi sebelah kanan.
Sekalipun telah penulis berikan klakson, namun sang pengemudi tetap sengaja berjalan sama lambannya dengan “siput”—tanpa berlebih-lebihan. Sampai pada satu tempat, sang pengemudi mobil memberhentikan kendaraannya di tengah-tengah jalan dan asyik “sibuk” mengobrol dengan beberapa warga setempat yang memakai baju “agamais” sehingga membuat penulis harus ikut berhenti di belakang dan waktu terbuang sangat lama seolah dirinya “penguasa jalanan”.
Ketika akhirnya penulis terpaksa membunyikan klakson, karena tidak dapat lagi memberi toleransi, warga setempat yang diajak bicara sang pengemudi mobil (memakai baju “agamais” tersebut) justru memaki penulis : “Orang sedang mengobrol kok di-klakson, dasar tidak sopan!” Siapa yang melarang orang mengobrol, namun mengapa mengobrol di tengah-tengah jalan, merugikan pengguna jalan lain, dan mengobrol dengan “cara tidak sehat” tanpa rasa malu? Makian tersebut oleh pelaku yang memakai busana “agamais”, maka menjadi pertanyaan di benak penulis pada saat itu : bagaimana perilakunya sehari-hari jika dirinya tidak sedang mengenakan atribut busana “agamais”?
Ketika akhirnya penulis berhasil melaju mendahului, terbersit niat untuk membalas perbuatannya dengan berjalan perlahan di depan mobil pengendara tersebut, namun penulis sadar betul bahwa Bangsa Indonesia tergolong egois dan “mau menang sendiri”—dalam artian mereka merasa berhak dan mau merugikan orang lain namun disaat bersamaan mereka akan keberatan dan marah ketika diperlakukan perbuatan serupa oleh orang lain—seperti gemar menipu namun keberatan dan murka ketika tertipu atau ketika dibalas dengan ditipu (saling menipu), sehingga jika penulis balas perbuatannya sama artinya membakar “ego mau menang sendiri” sang pengemudi mobil yang dapat penulis pastikan marah atau bahkan menabrak motor yang penulis lajukan dari arah belakang atau bahkan meminta warga setempat untuk mengeroyoki penulis—bukanlah suatu kekhawatiran yang berlebihan, faktanya hal demikian kerap terjadi baik penulis alami langsung sebagai korban maupun sebagai saksi mata kejadian-kejadian serupa, sungguh menyerupai “negara preman” yang belum beradab.
Teringat kembali ingatan penulis atas suatu kejadian lainnya sebelumnya pada daerah pemukiman yang sama, antara pengemudi motor dan pengemudi mobil saling berselisih pada satu jalan persimpangan, dimana yang bersalah sebetulnya ialah pihak pengemudi mobil, namun sekonyong-konyong pengemudi mobil merasa berhak memukul dan menganiaya pengemudi motor dimana para warga setempat turut mengeroyoki pengemudi motor sembari berkata bahwa yang mengemudikan mobil ialah warga setempat (seolah menjadi warga setempat artinya “selalu benar”, “raja kecil”, dan boleh menganiaya warga lain)— terjadi di “siang bolong”, di tengah-tengah jalan umum, disaksikan pula oleh penulis yang merupakan pejalan kaki yang kebetulan hendak melintas.
Apakah pelakunya kemudian ditindak oleh aparatur penegak hukum? Sama sekali tidak. Aparatur penegak hukum lebih kerap abai dan menelantarkan korban, ketimbang menindak pelanggar dan kriminal. Itulah sebabnya, negara seolah memelihara preman, dimana preman bebas berkeliaran tanpa khawatir terhadap ancaman hukum yang “tumpul”, karena negara tidak benar-benar hadir di tengah-tengah masyarakat dan hanya sigap hadir batang-hidungnya saat hendak menilang atau tatkala hendak memungut “pungutan liar”.
Masih banyak kejadian-kejadian serupa yang tidak akan habis-habisnya penulis ceritakan pada artikel singkat yang tidak akan cukup untuk menampung berbagai kejadian traumatik yang penulis alami selama lahir dan tumbuh dewasa di Indonesia. Kesimpulannya hanya ada satu yang kian hari kian kuat afirmasinya, yakni : di Indonesia, yang harus takut itu korban, TAKUT MENJADI KORBAN KEJAHATAN ORANG-ORANG JAHAT (oleh sesama anak bangsa sendiri, bukan oleh Bangsa Yahudi yang demikian dibenci-benci oleh suatu kaum golongan tertentu). Masih di Indonesia, bukanlah orang jahat yang berbuat jahat yang harus takut, namun korban yang harus takut menjadi korban jahat kejahatan penjahat-penjahat yang “tidak malu dan tidak takut berbuat jahat”.
Lihat, Undang-Undang kita telah begitu lengkap mengatur ancaman sanksi bagi kriminal seperti penganiayaan, perusakan, penipuan, pencurian, namun faktanya lebih banyak kejahatan dan penjahat yang dibiarkan tidak tersentuh di tengah-tengah masyarakat ketimbang yang berujung pada penangkapan, penahanan, dan penjeblosan ke penjara. Karenanya, sebanyak apapun aturan ataupun hukum dibuat, tidak mampu sebanding dengan dua prinsip rambu hidup sebagai manusia dalam Buddhisme yang bernama “hiri” (malu berbuat jahat) dan “otapa” (takut berbuat jahat)—seperti kata pepatah, “simple is beautiful” ketimbang “segudang namun minim implementasi”. Dalam konsep Buddhisme, kita sendirilah hakimnya, kita sendiri pulalah polisinya, serta kita sendiri pulalah jaksanya, sebagaimana disampaikan oleh Sang Buddha:
“Kita terlahir dari perbuatan kita sendiri, berkerabat dengan perbuatan kita sendiri, berhubungan dengan perbuatan kita sendiri, perbuatan apapun, baik besar maupun kecil, perbuatan itulah yang akan kita warisi.”
Karenanya, dalam Buddhisme, tidak ada yang lebih bodoh daripada menjadi orang-orang yang “tidak malu berbuat jahat” dan “tidak takut berbuat jahat”, seolah-olah tidak dapat disentuh oleh hukum negara atau bahkan “kebal hukum”, sekalipun berbuat jahat dan merugikan atau bahkan melukai orang lain, adalah suatu keberuntungan dan prestasi yang patut dibanggakan—orang-orang yang paling patut “merugi” bukanlah korban, namun para pelaku kejahatan itu sendiri. Sang Buddha menyebutnya sebagai, “orang-orang dungu”. Tiada akan pernah ada kejahatan pada suatu republik, ketika seluruh rakyat dan pemangku kekuasaannya menerapkan betul-betul disiplin dua prinsip paling utama rambu kehidupan sebagai manusia sebagaimana menjadi falsafah paling utama dalam moralitas Buddhistik.
Orang Indonesia patut diwaspadai, karena jika kita “bodoh”, maka kita akan di-dikte sebelum kemudian digiring untuk “dibodohi”, “diperalat”, dan “dieksploitasi” menyerupai keledai bodoh yang mudah untuk digiring dan diperintah. Mengikuti “aturan main” orang-orang demikian, sama artinya membuka diri menuju korban eksploitasi. Orang Indonesia tidak boleh melihat ada “bunga” ataupun “buah” tumbuh liar di tengah-tengah jalan, karena seolah “dosa” bila tidak dipetik dan di-“curi”. Di Negeri ini, hanya seekor kucing yang bebas berkeliaran aman dari tangan-tangan jahil dan usil penduduknya.
Penulis bahkan tidak lagi berani mencantumkan nomor kontak kerja maupun email profesi penulis pada website profesi milik penulis sendiri, karena terbukti ribuan warga Indonesia dengan bangga (tanpa rasa malu) telah “memperkosa” dan memperbudak profesi penulis—meminta hingga menuntut dan memaksa dilayani, namun tanpa bersedia membayar tarif jasa sebagai kompensasinya SEPERAK PUN, seolah-olah adalah “dosa” membiarkan penulis mencari nafkah tanpa diganggu dan tanpa “diperkosa”.
Pernah suatu hari, lama sebelum ini, pada lingkungan kediaman penulis di tengah perkotaan, sepasang tupai melompat dari satu pohon ke pohon lainnya, bahkan mendekat dalam jarak cukup dekat sekitar satu meter dari tempat penulis berdiri. Betapa lucunya melihat langsung dengan mata kepala sendiri sepasang tupai yang bulu ekornya menyerupai ijuk. Beberapa minggu kemudian, tupai tersebut sudah dalam keadaan “terpenjara” (tersangkar) dalam kandang burung milik seorang warga, sangat memprihatinkan bahkan bagi penulis yang hanya dapat memandanginya. Hingga saat kini, penulis tidak pernah lagi melihat tupai berkeliaran di perkotaan. Masih teringat jelas oleh memori penulis, mata besar hitam sang tupai, yang tampak lugu namun bernasib malang berjumpa manusia—makhluk yang paling berbahaya di muka bumi.
“Sesekali hidup enak (menyiksa orang lain, senang melihat orang lain susah olehnya), masak mau dilarang juga?” Sesekali saya ingin menimpuk muka biadab Anda dengan alat pemanggang itu, kok dilarang? Mengapa tidak sekalian saja, Anda merampok, menipu, mencuri, toh hanya sesekali, mengapa dilarang? Itulah juga bukti berbagai kebenaran dari pernyataan penulis, orang-orang jahat ketika niat jahatnya dihalangi atau dibuat gagal tidak berhasil meneruskan kejahatannya, justru sang pelaku kejahatan akan marah kepada calon korbannya dan lebih galak daripada korbannya yang melakukan perlawanan. Seolah-olah, di republik ini belum cukup banyak agamawan, belum cukup banyak ayat-ayat dikumandangkan, belum cukup banyak tempat-tempat ibadah, belum cukup banyak ritual-ritual keagamaan, belum cukup banyak guru-guru direkrut bahkan guru-guru honorer, belum cukup banyak orangtua-orangtua—atau mungkin orangtua-orangtua yang “sok sibuk”, bahkan terhadap anaknya sendiri sehingga “kurang dididik”?
Penjahat macam apapun itu, baik pencopet, penipu, pencuri, perampok, pemerkosa, hingga anak-anak berandal yang “sesekali hidup enak dengan membuat pernafasan warga setempat sakit dan sesak tidak bisa tidur, kok dilarang”, selalu menampilkan wajah serupa dan senada—lebih galak pelaku daripada korbannya, akibat moralitas yang tumpul, EQ dan SQ yang “tiarap”, “sudah putuh urat malunya”, serta akibat tiadanya pemahaman “malu dan takut berbuat jahat”.
Bangsa ini terlampau sibuk mencari-cari alasan dan pembenaran diri, minim introspeksi dan bercermin diri, yang jelas-jelas sudah salah pun masih juga hendak berdebat seolah dengan debat dapat membuat yang salah menjadi benar. Hal paling terutama yang paling tidak dapat penulis benarkan dari praktik bangsa ini, ialah korban diwajibkan untuk “diam” bagaikan batu, jika tidak maka sebentuk perlawanan atau penolakan akan dimaki sebagai “TIDAK SOPAN”—seolah pelaku perbuatan tercela tersebut “sudah sopan” dengan menjadikan orang lain sebagai korban.
Tiada yang bisa kita bohongi dalam hal ini, karena sudah menjadi “rahasia umum”—sehingga menjadi terlihat aneh bila masih hendak dibantah ataupun diperdebatkan. Bagi yang masih berniat mendebat, atau seperti tanggapan kurang simpatik “itu hanya salah paham”, inilah tanggapan penulis : “Anda ingin bilang saya buta dan tuli atas pengalaman hidup yang saya alami sendiri?” Tiada kejahatan yang disengaja yang merupakan salah paham, kesemua itu berangkat dari niat dan kesengajaan dari pelakunya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.