Sesukar Itukah, Saling Menghormati Antar Umat Beragama? Toleransi Dimulai dari ETIKA KOMUNIKASI terhadap Lawan Bicara yang Berlainan Keyakinan

ARTIKEL HUKUM

ETIKA KOMUNIKASI YANG TERBURUK, Memperkosa Agama Lawan Bicara, Memakai Istilah-Istilah / Jargon-Jargon Keyakinan yang Dipeluk sang Pembicara Tanpa Mau menghormati Keyakinan Lawan Bicara yang Mungkin Saja Berbeda Agama

Negara Indonesia adalah negara multi-kultural, multi etnik, dan multi agama, bukan negara berdasarkan satu agama tertentu. Namun, pada praktiknya tiada bentuk toleransi ataupun penghormatan antar umat beragama di Indonesia, bahkan dalam tataran paling sederhana, yakni “Etika ber-Komunikasi”. Cobalah perhatikan Umat “I” ketika berhadapan dengan lawan bicara, entah dari latar-belakang keyakinan apapun lawan bicaranya (atau bahkan mengetahui betul lawan bicaranya memeluk keyakinan lain), selalu saja menggunakan istilah-istilah agamanya ketika melontarkan kata-kata / berdialog, sekalipun telah terdapat peristilahan dalam Bahasa Indonesia, seperti “bersyukur”, “semoga”, “selamat pagi”, “permisi”, “semoga tercapai”, dan sebagainya.

Cobalah perhatikan, Umat “K/N” ketika berbincang atau berjumpa dengan lawan bicaranya yang sekalipun telah jelas-jelas beragama lain, tidak pernah menggunakan istilah-istilah yang “netral” sifatnya tanpa atribut jargon-jargon keagamaan diri sang pembicara. Hal atau praktik seperti demikian terus terjadi dan berlangsung, sampai pada akhirnya dan pada satu titik, penulis mem-blokir seluruh komunikasi dari pihak-pihak yang selalu menggunakan peristilahan dalam agama miliknya sendiri SECARA SEPIHAK DAN EGOISTIK (tanpa mau menyadari perasaan lawan bicara yang berlatar-belakang keyakinan berlainan), tanpa mau menghormati apa yang menjadi agama / keyakinan dari penulis yang menjadi lawan bicaranya.

Ketika kita berjumpa dengan seseorang yang belum kita kenal latar-belakang agamanya, apakah beragama sama atau bahkan berbeda dari agama kita (bangsa majemuk sebagai kodrat sejarah kemerdekaan Bangsa Indonesia sesuai sila-sila pada Pancasila, terutama sila “Bhinneka Tunggal Ika” yang digagas para “Founding Fathers” kita, terlebih fakta sejarah Buddhistik telah memakmurkan nenek moyang Bangsa Indonesai sejak abad ke-5 hingga abad ke-15), maka sebagai bentuk penghormatan serta penghargaan dalam ilmu “Etika Komunikasi” yang paling sederhana (seolah tidak pernah diajarkan pada murid-murid kita di bangku Sekolah Dasar, atau memang tidak pernah diajarkan?), pentingnya berbicara dan berdialog ataupun tegur-sapa menggunakan istilah-istilah atau kosakata yang “netral”, alias bebas dari anasir atribut ke-agama-an manapun guna merekatkan kohesi sosial yang majemuk dan beragam.

Mengapa sampai pada akhirnya, penulis melakukan semacam “cluster diri” dari pergaulan dengan “Etika Komunikasi” yang buruk demikian, dengan melakukan berbagai blokir nomor kontak pada perangkat genggam seluler baik dalam bentuk komunikasi teleponi, surat-menyurat elektronik (email), maupun messenger hingga dialog secara tatap-muka? Alasannya sangat sederhana, yang berdasarkan EQ paling dangkal sekalipun sejatinya mampu kita ketahui alasannya (kecuali Bangsa Indonesia kita akui pula sebagai bangsa ber-EQ rendah), semata karena penulis merasa “diperkosa” apa yang selama ini penulis yakini dan peluk sebagai agama atau keyakinan pribadi penulis.

Hanya ada empat agama di Indonesia yang sangat toleran terhadap kemajemukan bangsa dalam konteks antar pemeluk keyakinan yang saling plural dan beragam, yakni “Agama Buddha”, “Agama Konghucu” “Agama Kepercayaan Tradisional”, dan “Agama Ateis” (Ateis juga adalah agama, sama seperti pemilih tipe negara “Non-Blok”, tetap saja memilih dan berpihak pada keberpihakan, yakni berpihak pada Ateis dan “Non-Blok”).

Penulis secara pribadi, selaku Buddhist, tidak pernah menggunakan istilah-istilah ataupun jargon-jargon Buddhistik ketika berkomunikasi dengan lawan bicara, terlebih lawan bicara yang baru dikenal yang belum kita ketahui latar-belakang keyakinannya apakah sama atau tidak dengan penulis, kecuali terhadap sesama Buddhist. Sama sekali bukan karena faktor “minder”, namun karena Buddhisme sejak semula sudah merupakan agama paling “SUPERIOR” ketimbang keyakinan mana pun di jagat raya ini, dimana Sang Buddha menjadi Guru Agung para dewa dan para manusia, dimana bahkan makhluk di Alam Brahma yang mengklaim dirinya sebagai Tuhan pun ternyata tunduk pada Sang Buddha. Buddhisme, disamping itu, dikenal sebagai pelopor paling utama dalam ajaran “ahimsa”—tanpa kekerasan, dikenal lembut dalam tutur-kata dalam artian penghormatan terhadap kemajemukan keagamaan. Kita tidak akan pernah dapat menemukan satupun ajaran kekerasan dalam Tripitaka maupun teladan hidup Sang Buddha.

Apa yang penulis utarakan di atas bukanlah sebuah fatamorgana ataupun kredibilitas yang berlebih-lebihan mengenai Buddhisme. Hingga kini, tiada seorang pun dari latar-belakang manapun dari kalangan non-Buddhis yang mampu menemukan satupun cacat-cela dari teladan hidup Sang Buddha. Tiada satupun umat non-Buddhist yang mampu menemukan cacat-moril dalam ajaran Sang Buddha (Dhamma) dalam Tripitaka yang menjadi sumber rujukan utama paling otentik dari Buddhisme. Karenanya, sering penulis istilahkan, “menantang seorang Buddhist untuk berdebat persoalan agama, sama artinya ‘cari penyakit’ dan ‘cari mati’ sendiri.” “Kalah berdebat maka golok pun bermain”, merupakan cerminan upaya pembungkaman terhadap fakta bahwa tiada yang lebih superior ketimbang Buddhisme.

Para penantang Buddhist untuk berdebat perihal agama, dapat dipastikan para penantangnya tersebut akan keluar dalam keadaan malu atas keyaninannya sendiri setelah “ditelanjangi” dan setelah tidak mampu sepatah kata pun menemukan cacat-cela dalam teladan kehidupan maupun ajaran Sang Buddha. Karenanya pula, tiada keyakinan mana pun yang lebih SUPERIOR ketimbang Buddhisme, namun justru sifat rendah hati dan penuh toleransi dan penghargaan disamping penghormatan, ternyata Buddhisme juga paling terunggul dari kesemua keyakinan lainnya—dimulai dari hal yang paling sederhana, yakni dari cara seorang Buddhist menghormati agama lawan bicara dengan tidak membawa-bawa jargon Buddhistik.

Penulis menengarai, sifat-sifat dan kebiasaan perilaku berbicara dengan memakai istilah atau kosakata yang “sarat agama” tertentu, alih-alih memilih istilah-istilah yang “netral” dan universal sifatnya untuk semua umat beragama, adalah bentuk-bentuk refleksi-psikologis INFERIORITAS diri sang umat bergama yang menjadi pelaku “perkosaan” terhadap agama lawan bicara. Menyerupai ibarat seorang gadis yang memiliki “natural beauty”, dirinya bahkan tidak perlu memoles wajahnya dengan riasan apapun, karena sudah menarik secara alamiah dan dasariahnya, apa adanya.

Buddhisme adalah permata, diakui ataupun tidak diakui, karenanya tidak perlu memperkosa keyakinan lawan bicara, disamping istilah-istilah dalam Buddhisme bukanlah menyerupai “sampah” yang lebih banyak dilontarkan, “masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri” sebelum masuk ke “tong sampah”. Begitu pula ayat-ayat suci dalam Tripitaka, tidak bisa sembarangan di-“umbar” menyerupai “polusi suara”, yang dipastikan praktik “umbar” demikian hanya akan lebih banyak menjadi ayat-ayat sampah yang masuk ke “tong sampah”. Salah satu ciri khas seorang Arahat (tingkat tertinggi dalam pencapaian Buddhisme) ialah, tidak bersedia satu patah kata pun membabarkan Dhamma bila pendengarnya tidak menaruh hormat kepada sang pembabar Dhamma—ciri khas mana tidak akan kita jumpai pada keyakinan lainnya.

Sebaliknya, dalam kasus “perkosaan” terhadap agama penulis, pelakunya terus saja melontarkan kata demi kata yang merupakan peristilahan agama yang dianut olehnya namun bukan yang dipeluk oleh penulis, sampai pada akhirnya penulis menilai yang bersangkutan sebagai “manusia sampah” dengan “sampah-sampah keluar dari mulut yang bersangkutan”—yang artinya pula istilah-istilah agamanya justru menjadi “sampah” yang lebih banyak masuk ke “tong sampah”. Penulis sama sekali tidak menaruh “respect” terhadap pelaku “pemerkosa” terhadap keyakinan orang lain yang menjadi lawan bicara, bahkan penulis mulai menaruh perasaan “tidak hormat” terhadap agama yang bersangkutan sebagai “intoleran”, stigma yang dibangun oleh umat agama yang bersangkutan itu sendiri.

Terkadang, berbincang dengan seorang Ateis lebih dapat saling menghormati keyakinan satu sama lain, karena tiada satu patah kata pun yang mengandung anasir keagamaan, saling menghormati dan menghargai satu sama lain dalam perihal keyakinan—kecuali dirinya mencoba mendebat Buddhisme, dan biasanya pelakunya bermuara pada “malu sendiri” (karena Buddhisme sangatlah saintifik, dengan hukum utamanya ialah “Hukum Sebab-Akibat”, tiada sebab maka tiada akibat, dan ada akibat maka ada sebab yang mendahuluinya, sehingga akan tampak “konyol” bila masih hendak diperdebatkan atau memperdebatkan yang sudah demikian saintifik, bahkan perihal “past life” telah dapat dibuktikan secara ilmiah lewat ilmu psikologi terapan yang bernama “past life regression”).

Seorang yang mengaku-ngaku sebagai Atheis seringkali juga mengaku-ngaku sebagai saintis dengan penuh “keangkuhan” (namun seringkali ringkih dalam hal menjelaskan bagaimana mungkin sesuatu dianggap “tidak ada” selama belum ditemukan “ada”, seolah-olah ilmuan semacam Steve Jobs pendiri perusahaan “Apple” yang merupakan seorang Buddhist menjadi tidak dapat lagi disebut sebagai seorang saintis karena beragama), yang mana ketika mencoba untuk membantah Dhamma, justru tampak bertolak-belakang dengan klaimnya sendiri yang mengaku-ngaku sebagai seorang saintis, seolah-olah dirinya saintis namun disaat bersamaan menolak “Hukum Sebab-Akibat” yang merupakan pilar atau tulang-punggung dunia sains modern teoretis maupun terapan.

Bila dari segi tutur-kata saja tidak dapat saling toleran dan saling menghormati antar umat beragama yang saling berbeda keyakinan saat berdialog ataupun berbincang, maka bagaimana dengan hal-hal lain, pastilah akan terjadi praktik “pelecehan”, pemaksaan, tidak menghargai, gagal untuk menghormati, penindasan, tumpulnya kepekaan dan empati (cerminan EQ yang buruk), hingga “perkosaan” itu sendiri dengan “lagi-lagi” mengatas-namakan agama sang pelakunya itu sendiri.

Seseorang yang sudah SUPERIOR, tidak pernah merasa perlu bersikap dibuat-buat agar tampak kaya raya, agar tampak cerdas, agar tampak dermawan, agar tampak jujur, agar tampak tampak / cantik, agar tampak mulia, agar tampak negarawan, agar tampak tulus, agar tampak bonafid, agar tampak berbobot, agar tampak berkompeten, namun seringkali justru tampak “low profile”. Itulah paradoks, yang menjadi tidak mengherankan bila seorang “penggila” kosmetik ialah kalangan orang-orang yang tidak memiliki “natural beauty” ataupun “inner beauty”.

Lawan bicara yang tidak menaruh hormat pada agama penulis, secara sepihak melontarkan istilah-istilah atau jargon-jargon agamanya secara “arogan” (yang jelas akan penulis “tolak” untuk mendengarnya), istilah-istilah agamanya tersebut jujur penulis akui tidak sedap didengar di telinga penulis yang lebih memilih untuk mendengar dengung suara nyamuk pengganggu ketimbang membiarkan agama penulis “diperkosa”—karena jelas-jelas penulis tidak bersedia diperdengarkan jargon-jargon agama diluar keyakinan yang penulis anut, namun masih juga dipaksakan, yang pada gilirannya menjadi “sampah” yang menghuni “tong sampah”. Penulis kira, tiada yang lebih mencoreng, melecehkan, serta menghina agamanya sendiri ketimbang umat agama itu sendiri yang kerap mengumbar jargon-jargon keagamaannya tanpa “pandang bulu”.

BIla hari ini dirinya selalu membawa-bawa istlah agamanya meski terdapat Bahasa Indonesia, maka kita dapat berkata sebagai berikut secara tegas tanpa lagi berbasa-basi (jadilah lawyer bagi diri kita masing-masing_ : “Ini Indonesia, pakailah Bahasa indonesia yang baik dan benar, bukan Arab Saudi. Silahkan Anda hijrah ke Arab untuk ‘ber-Arab-ria’”. Sesusah itukah, hidup di Indonesia dengan memakai Bahasa Indonesia yang baik dan benar, alih-alih “keinggris-inggrisan” ataupun “kearab-araban”?

Maka, menjadi pertanyaan besar bagi penulis, bagaimana bila esok hari, bisa-bisa dibawa-bawa pula istilah agamanya semacam “kafir” untuk kemudian “mengkafir-kafirkan”, suatu istilah / jargon keagamaan yang sangat intoleran dan mendiskreditkan agama lawan bicara, bila tidak dapat kita sebut sebagai pelanggaran terhadap Konstitusi NKRI serta menjadi pintu masuk paham radikalisme, sebagaimana pernah diutarakan oleh Ansyaad Mbai, mantan kepala BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) : “Mengkafir-kafirkan adalah ciri kalangan teroris”.

Yang perlu kita ingat, “kafir” bukanlah jargon yang dibentuk oleh kalangan internal paham terorisme, namun jargon dalam keagamaan itu sendiri yang merujuk pada kaum yang berlainan keyakinan—karenanya, hanya pantas bila jargon-jargon keagamaan dipakai sebatas kalangan internal umat agama bersangkutan, bukan untuk diperdengarkan terlebih dikumandangkan kepada pihak eksternal, karena hanya akan mencoreng nama agamanya sendiri. Fanatisme yang irasional dan radikalisme, ternyata hanya “selisih tipis”.

Paham takfiri atau mengkafirkan orang, disebutkan oleh Ansyaad Mbai, “Menurut ulama di Arab, substansinya paham takfiri, paham mengkafir-kafirkan orang. Paham ini jadi menu utama orasi-orasi garis keras di jalan-jalan. Intinya adalah proses radikalisasi yaitu penyebaran paham atau mengkafir-kafirkan orang yang merupakan ciri utama radikal terorisme, menanamkan kebencian yang disebut kafir. Hizbut Tahrir Indonesia atau HTI sama dengan organisasi teroris karena menganut paham takfiri yaitu mengkafir orang lain. Ada kesamaan antara pelaku teror, yaitu mereka yang menganut paham takfiri. Paham takfiri adalah paham yang mengkafir-kafirkan orang lain. Paham tersebut menjadi dasar dari aksi terror yang terjadi. Gerakan radikalisme dan terorisme itu selalu dimulai dengan aksi mengkafirkan orang lain yang tidak sepemahaman dengan dirinya.” Singkatnya, jika ingin menggunakan jargon-jargon keagamaan termasuk mengumandangkan jargon “kafir” di jalan umum, silahkan hidup dan menetap di Arab Saudi.

Dalam pandangan pribadi penulis, istilah “kafir” demikian silahkan menjadi keyakinan atau dipeluk oleh umat beragama bersangkutan, sepanjang jargon-jargon keagamaan yang bersangkutan tidak dibawa-bawa keluar terhadap lawan bicara ataupun terhadap kehidupan umat beragama lain yang berbeda keyakinan dari sang pemeluk jargon-jargon keagamaan. Memandang umat lain agama sebagai “kafir”, silahkan, asalkan tidak menyebut-nyebut kata “kafir” di hadapan orang yang berlainan keyakinan. Menjadi tampak diskriminatif, ketika jargon-jargon keagamaan lain selain “kafir” diperbolehkan dilontarkan kepada lawan bicara, namun disaat bersamaan istilah “kafir” dilarang.

Faktanya, bahkan dalam lingkungan komunitas penulis tinggal dan menetap, masyarakat sekitar tidak jarang “mengkafir-kafirkan” warga yang berbeda keyakinan terutama semata karena penulis berbeda warna kulit dan minoritas, sekalipun agama yang penulis anut ialah agama yang telah selama seribu tahun lamanya memakmurkan dan menyuburkan kehidupan nenek-moyang Bangsa Indonesia, sungguh membuat ironis dan prihatin sanubari terdalam penulis, yang tentunya juga akan membuat sedih para leluhur Bumi Pertiwi ini jika melihat generasi penerus mereka seolah memungkiri fakta sejarah Nusantara.

Mungkin, karena Buddhisme terlampau toleran dan terlampau “ahimsa”, sehingga pada akhirnya kondisi Nusantara menjadi berbalik, umat Buddhist dianggap sebagai “kafir” sekalipun merupakan tanah nenek-moyang para Buddhist itu sendiri. “Mengkafir-kafirkan” merupakan ekses dari upaya hendak tampil atau tampak superior, yang mana realitanya ketika penulis mengirimkan tantangan untuk berdebat dalam tataran keagamaan, tiada satu pun dari mereka yang berkutik, satu per satu surut, semata karena penulis mampu mengutip ayat-ayat keagamaan mereka, dan tiada satupun ayat-ayat keagamaan yang penulis anut dapat mereka temukan cacat-cela di dalamnya. Rasa superioritas semu menjelma arogansi yang intoleran, pada gilirannya akan tampil kaum superior yang sesungguhnya, sampai akhirnya membangunkan “macan tidur” yang bernama Buddhisme dan umat Buddhist yang selama ini “sunyi senyap” (low profile).