Contoh Proposal Penelitian Thesis & Disertasi yang Baik dan Benar

LEGAL OPINION

Makna dan Contoh Hipotesis dalam Proposal (Penelitian) Skripsi, Thesis, ataupun Disertasi

Question: Sebenarnya yang namanya proposal skripsi / tesis / disertasi itu apa? Apa boleh sudah membuat kesimpulan dalam proposal skripsi / tesis / disertasi ini? Rasanya jika belum sudah ada praduga awal tentang kesimpulan yang hendak dituju, sukar untuk berangkat memulai proposal ini.

Brief Answer: Proposal Skripsi, Thesis, ataupun Thesis pada Perguruan Tinggi, ialah sebuah rancangan permulaan penelitian oleh seorang mahasiswa, dimana sifatnya baru sebatas pengajuan rencana penelitian, sehingga belum terdapat konklusi apapun yang boleh ditampilkan ke dalam sebuah Proposal (penelitian) Skripsi, Thesis, ataupun Disertasi, karena akan dianggap sebagai kesimpulan yang “prematur” atau menyerupai “penelitian sponsor” dimana hasil akhirnya dipaksakan sedari sejak semula oleh sang peneliti, sehingga “penelitian” hanya dalam rangka menemukan alasan-alasan pembenar sekaligus menutup mata dari fakta-fakta yang bertolak-belakang atau yang menyatakan sebaliknya dari pendapat semula.

Akar katanya “proposal” ini ialah berangkat dari akar kata “to propose” (dari Bahasa Inggris), yang bermakna “mengusulkan”, “mengajukan”, atau “menawarkan”. Sementara itu sebuah Proposal Skripsi, Thesis, ataupun Disertasi bermakna pengajuan usulan dalam rangka “PENELITIAN”, yang belum memiliki sebentuk “final conclusion”. Yang ditawarkan dalam proposal ini bukanlah mencari alasan-alasan pembenar / justifikasi guna mengukuhkan praduga ataupun asumsi awal, namun dalam rangka “menemukan suatu jawaban atas sesuatu yang belum terdapat jawabannya sehingga dibutuhkan sebentuk penelitian”, baik ilmu sosial maupun ilmu eksakta.

Namun, sebuah Proposal (penelitian) Skripsi, Thesis, ataupun Disertasi dibolehkan dan dibenarkan (bahkan memang membutuhkan) untuk mengajukan sebuah Hipotesis ataupun Hipotesis alternatif—dimana “hipotesis” dimaknai sebagai penentuan langkah awal (atau asumsi awal) dalam rangka menemukan sebuah penemuan sebagai kesimpulan terhadap suatu penelitian yang akan dilangsungkan, yang bisa jadi hasil akhirnya disimpulkan bahwa hipotesis menemukan afirmasinya atau sebaliknya ditemukan kesimpulan yang berkebalikan dari hipotesis (negasi), sehingga hipotesis bersifat tentatif alias tidak absolut nilai keberlakuannya.

PEMBAHASAN:

Berikut SHIETRA & PARTNERS sajikan contoh Proposal Thesis / Disertasi untuk jurusan ilmu hukum Fakultas Hukum yang baik dan benar:

JUDUL : MENUJU SISTEM HUKUM COMMON LAW

SUB-JUDUL : PERAN PENTING NORMA HUKUM BENTUKAN PRESEDEN SEBAGAI FAKTOR UTAMA PEMBENTUKAN HUKUM NASIONAL

LATAR BELAKANG:

Pada negara dengan tradisi hukum Common Law seperti Amerika Serikat kita mengenal “Miranda Rule” yang lebih dikenal dengan jargon “You have right to remain silent”, dimana aturan hukum normatif dalam hukum acara piadna tersebut bersifat mengikat (the BINDING FORCE of precedent) sekalipun tidak diatur secara tertulis dalam suatu peraturan perundang-undangan, di Indonesia kita mengenal norma-norma hukum bentukan preseden, hanya saja bersifat “the PERSUASSIVE FORCE of precedent” sehingga peran penting preseden selama ini kurang mendapat perhatian maupun sentuhan dalam tataran pendidikan tinggi hukum maupun dalam praktik.

Di Indonesia, kita mengenal berbagai norma bentuk preseden yang tidak diatur norma hukumnya secara tertulis dalam peraturan perundang-undangan, antara lain “larangan milik beding” yang hanya terdapat normanya dalam sebuah yurisprudensi puluhan tahun lampau yang kemudian menjelma preseden dengan diikuti oleh berbagai putusan berikutnya hingga saat kini. Terkait gugatan “perbuatan melawan hukum” yang salah satu unsurnya ialah adanya faktor “kerugian”, ternyata telah terdapat “yurisprudensi pohon mangga” yang menerobos kekakuan teori sehingga saat kini gugatan “perbuatan melawan hukum” dapat diajukan dalam rangka mencegah kerugian alias agar kerugian tidak sampai terjadi.

Begitupula terhadap pertanyaan yang kerap kita jumpai dalam praktik, seperti apakah seorang mantan direksi suatu badan hukum Perseroan Terbatas dapat memenangkan gugatan perdata menuntut pesangon karena di-pecat oleh Rapat Umum Pemegang Saham? Peraturan perundang-undangan tidak mengatur sampai sejauh itu, namun berbagai preseden telah menjawab isu hukum demikian dalam rangka “ilmu hukum sebagai ilmu tentang PREDIKSI”—sebagaimana menjadi falsafah paling utama dari para kalangan Sarjana Hukum pada negara dengan tradisi hukum Common Law.

Kelebihan utama sistem hukum Common Law, indikator kinerja seorang hakim pemutus dapat dibuat paramaternya, yakni apakah seorang hakim dalam memutus mengindahkan preseden yang telah ada atau justru menabrak koridor norma hukum bentukan preseden yang telah ada? Hal tersbut sangat relevan ketika kita kembali melakukan refleksi dalam perkara uji materiil Undang-Undang terkait importasi hewan dan ternak dari negara yang memiliki penyakit hewan menular yang dapat berpotensi menular kepada hewan dan ternak lokal di Indonesia, semula Mahkamah Konstitusi RI memutuskan bahwa mencegah penyakit menular ialah “Maximum Security”, namun beberapa waktu kemudian Undang-Undang yang sama kembali diuji materiil, akan tetapi Mahkamah Konstitusi RI justru menyimpangi putusannya sendiri sebelumnya, dengan memutuskan bahwa mencegah penyakit menular ialah “Relative Security”—dan itulah perkara yang menjerat Hakim Konstitusi Patrialis Akbar yang menjual-belikan dua versi amar putusan.

Sebagaimana kita ketahui, sistem hukum di Indonesia bukanlah suatu “pilihan”, namun suatu penundukan diri kepada sistem hukum Kolonial Belanda berasarkan “asas konkordansi”, sehingga hingga saat kini Indonesia masih memandang dirinya sebagai negara dalam tradisi hukum Civil Law, dan terus-menerus direplikasi dalam berbagai “text book” ilmu hukum di Indonesia, seolah “Civil Law adalah harga mati yang melebihi konstitusi”. Kita pun masih menjadikan sebagian buku-buku teks maupun yurisprudensi Sarjana Hukum Belanda sebagai kiblat berhukum Indonesia, sebut saja landmark decision seperti “Cohen Vs. Lindenbaum 1919”, arres “Cerobong Asap”, arres “pipa air”, dan sebagainya.

Akan tetapi, bila Belanda yang menjadi arah kiblat sistem budaya hukum Indonesia, ternyata saat kini Hoge Raad telah resmi beralih dari tradisi hukum Civil Law menjelma Common Law, menjadi pertanyaan penting untuk diteliti dan ditemukan jawabannya, mengapa Indonesia masih bersikukuh mengadopsi sistem hukum Civil Law, dan apa yang melatar-belakangi Mahkamah Agung Belanda (Hoge Raad) untuk berpindah haluan menjelma tipe negara Common Law?

Dahulu sekali, hukum masih bersifat tidak tertulis, disepakati oleh para pihak, menjelma kebiasaan. Salah satunya ialah “lex mercatoria [mercatoris]” alias “Law of Merchant”—yakni suatu aturan hukum yang dibentuk dan disepakati sendiri oleh para pedagang komersial terkait transaksi yang mereka adakan satu sama lain, sehingga membentuk suatu asas terbakukan bernama “pacta sunt servanda” yang menjadi asas hukum yang berlaku secara global.

Namun, tidak selamanya hukum tidak tertulis merupakan hukum yang “terbelakang”, mengingat kecenderungan negara-negara hukum modern justru mulai beralih menuju tipe negara “hukum tidak tertulis” yang saat kini kita juluki sebagai “Common Law”, yang mengusung tema:

Lex non scripta. The unwritten law. This phrase refers to what is known as common law, the body of law derived in the English tradition from precedent without the formality of statutes and regulations, but nevertheless binding. Lex scripta, refers to the body of written, or statutory, law.” (dikutip dari https:// wordinfo .info/unit/3473/page:2 , diakses pada tanggal 06 September 2020)

Kebiasaan, adalah hukum itu sendiri, “hukum kebiasaan”. Terkadang, “hukum kebiasaan” masih lebih mengikat dalam praktiknya daripada sebuah norma tertulis peraturan perundang-undangan. Preseden itu sendiri lebih menyerupai sebuah praktik kebiasaan di ruang peradilan, yang kemudian terbakukan dan terlembagakan, sekalipun terus berlangsung dan dipraktikkan tanpa dituangkan ke atas peraturan perundang-undangan secara tertulis. Kita dapat menyebut norma bentukan preseden sebagai sebuah konvensi, bukan konvensi ketatanegaraan, namun dalam hal ini konvensi yang hidup dalam praktik di ruang peradilan.

Menjadi pertanyaan yang sangat penting untuk diajukan, guna ditemukan jawabannya dalam penelitian Thesis ini, ialah sebuah pertanyaan filosofis : Apakah mungkin dapat tercipta keadilan, bilamana tidak ada derajat paling minimum kepastian hukum bagi masyarakat pencari keadilan? Dalam tipe negara hukum Common Law, tampak secara kentara, “asas kepastian hukum” menjadi pilar penopang paling utama dari “asas keadilan” yang dapat ditawarkan kepada masyarakat, karena dibalik itu terdapat sebuah tawaran yang sangat menarik : konsistensi antar putusan, tertutupnya peluang disparitas antar putusan, hingga tiada lagi ruang transaksional amar putusan karena hakim pemeriksa dan pemutus perkara “tidak benar-benar bebas dalam memutus” (karena terikat oleh preseden yang bersifat “BINDING FORCE”).

Apakah yang melatar-belakangi Hoge Raad, Mahkamah Agung Belanda, kemudian melirik dan memutuskan untuk secara resmi dan seutuhnya berpindah haluan dari sistem keluarga hukum “Civil Law” menuju “Common Law”? Contoh nyata Hoge Raad demikian, telah membuktikan bahwa mengubah sistem hukum bukanlah hal tabu, dan adalah suatu keniscayaan. Mengapa juga, Indonesia masih bersikukuh menerapkan sistem budaya hukum Civil Law, sekalipun praktik kolusi di ruang peradilan telah demikian massif-mengkhawatirkan karena membuka ruang transaksional?

Apakah juga yang membuat, para Sarjana Hukum di negara-negara Common Law kemudian secara “kompak” menyatakan bahwa “Ilmu Hukum adalah ilmu tentang prediksi, dalam derajat paling maksimum”? Terdapat dua elemen penting dari paradigma berpikir kalangan Sarjana Hukum pada negara-negara Common Law, yakni “ilmu tentang prediksi”, serta ditambah penekanan “dalam derajat paling maksimum”. Itulah ciri khas Common Law yang jarang diketahui para Sarjana Hukum di Indonesia, namun lazim kita jumpai pada “mind set” kalangan Sarjana Hukum di negara-negara dengan tradisi Common Law.

Hasil kajian dalam penelitian Thesis / Disertasi ini menjadi sangat krusial, berfaedah, serta berpotensi menghadirkan wajah baru praktik hukum di Indonesia, setidaknya dimulai pada metode perkuliahan pada berbagai perguruan tinggi hukum di Indonesia, untuk mulai mengadopsi metode pembelajaran pada negara-negara Common Law, mengingat sumber daya manusia muda terutama para lulusan Sarjana Hukum yang kemudian berpraktik sebagai hakim, jaksa, polisi, hingga pengacara, akan memiliki paradigma layaknya seorang Sarjana Hukum Common Law yang menyerupai seorang “sniper” alias “penembak jitu”—dapat memastikan akan menang ataukah akan menemui kegagalan bahkan sebelum gugatan dimajukan ke hadapan persidangan, mengingat hukum dalam sistem hukum Common Law sifatnya demikian “predictable” alias prediktabilitasnya yang demikian sangat tinggi, berhubung hakim terikat oleh preseden secara “BINDING FORCE”. Preseden, menjadi sama sakralnya dengan sebuah konstitusi, tiada ruang kompromi bagi hakim untuk menyimpanginya. Mengapa kalangan hakim di negara-negara Common Law, tidak mengeluhkan praktik demikian sebagai “memasung kebebasan hakim dalam memutus”?

Menjadi juga pertanyaan penting, apakah untuk berpindah haluan, dari Civil Law menuju Common Law, NKRI harus merubah konstitusi? Tiada satupun peraturan perundang-undangan kita di Indonesia, maupun pada UUD RI 1945, yang menyatakan budaya hukum Indonesia ialah Civil Law—semua itu hanyalah DOKTRIN para Sarjana Hukum senior Indonesia yang menjadi para pendahulu kita. Karenanya, tanpa perubahan peraturan perundang-undangan apapun, Indonesia tampaknya asas konkordansi (sebagai hipotesis dimana penelitian Thesis / Disertasi ini akan berangkat) dapat mengikuti jejak Belanda yang “banting setir” dan “pindah haluan” menuju sistem hukum Common Law, hanya saja butuh “keberanian”, yang akan dicari kebenarannya dalam penelitian Thesis ini.

Apakah perubahan paradigma ini, dimulai dari praktik pada ruang-ruang peradilan ataukah pada ruang-ruang perkuliahan, menjadi pertanyaan menarik yang perlu dikaji secara mendalam dan secara holistik, yang tampaknya di Belanda baik hakim maupun para akademisi telah lebih mendalam dalam kajian riset dan telaah preseden (cases law), jauh meninggalkan praktik hukum maupun pendidikan tinggi hukum yang baru sebatas “membaca undang-undang” belaka. Sistem hukum kita bertumpu pada produktivitas mencetak peraturan perundang-undangan, namun dalam praktiknya selalu “tertinggal dari kenyataan”, penuh multitafsir, disamping fenomena-dilematis “pasal-pasal macan ompong” karena dalam praktiknya tidak pernah diimplementasikan oleh aparatur penegak hukumnya.

Berdasarkan pengamatan, Sarjana Hukum Indonesia hanya mengantungi “jam terbang” kurang dari lima putusan yang pernah dieksaminasi olehnya. Bandingkan dengan prasyarat kelulusan pada perguruan tinggi hukum di negara-negara Common Law, “jam terbang” ribuan putusan telah ditelaah, bukanlah lagi hal yang langka, namun suatu kewajiban dan lumrah. Peraturan perundang-undangan merupakan “TEKS” (tekstual), sehingga membuka ruang perdebatan dan multitafsir. Sebaliknya, “KONTEKS” (kontekstual), sangat kaya akan kajian sesuai karakter kasuistik suatu perkara yang sifatnya tidak general sebagaimana bunyi undang-undang.

Sebagai contoh, Undang-Undang-nya dapat saja satu dan sama, namun dapat berujung pada output yang berbeda dan berdisparitas antar putusan yang menimbulkan rasa ketidakadilan bagi masyarakat pencari keadilan. Sebagai contoh, Otto Cornelis Kaligis dipidana penjara selama sepuluh tahun oleh Mahkamah Agung RI tingkat kasasi (salah satu Hakim Agung pemutus ialah Artidjo Alkostar). Dalam tingkat Peninjauan Kembali, OC Kaligis menjadikan preseden sebagai dalilnya untuk menuntut pengurangan hukum, dimana preseden yang ada menyatakan bahwa atas perbuatan pidana demikian hanya dihukum selama tujuh tahun penjara, alhasil Hakim Agung tingkat Peninjauan Kembali mengoreksi putusan kasasi dan menurunkan hukuman dari sepuluh tahun menjadi tujuh tahun lamanya.

Praktik demikian merupakan salah satu bukti, manfaat dibalik penguasaan pengetahuan tentang norma hukum bentukan preseden yang perlu dibekali kepada para Sarjana Hukum di Indonesia agar menjadi terampil serta “siap pakai” dalam dunia kerja sebagaimana para Sarjana Hukum Common Law. Tampaknya, sedikit atau banyak, praktik hukum kita di Mahkamah Agung RI paska mengadopsi “sistem kamar” bagi para Hakim Agung, hendak mereformasi dan merevolusi praktik berhukum dengan menjadikan konsistensi antar putusan menjadi pilar utama (asas kepastian hukum), yakni kecenderungan menuju Common Law sekalipun masih secara “malu-malu”. Namun dapat kita lihat anasirnya dimulai dari upload jutaan putusan pengadilan yang dapat diakses oleh hakim, akademisi, mahasiswa, hingga publik secara bebas dan mudah untuk ditelaah dan dieksaminasi.

Peraturan perundang-undangan, merupakan “law in abstracto” yang perlu di-konkretkan sesuai karakteristik permasalahan hukum oleh hakim pemeriksa dan pemutus perkara. Sebagai contoh, terhadap putusan Mahkamah Konstitusi RI terkait “upah proses” buruh yang diputuskan oleh MK RI hingga sengketa antara buruh dan pengusaha hingga putusan berkekuatan hukum tetap, oleh Mahkamah Agung RI dalam kasus konkretnya hanya dikabulkan sebatas maksimum 6 (enam) bulan Upah, tidak sampai berkekuatan hukum tetap yang mencapai bertahun-tahun lamanya. Dalam putusannya, Mahkamah Agung RI menyatakan lewat pertimbangan hukum sebagai berikut : “Putusan Mahkamah Konstitusi RI ialah ‘law in abstracto’, sementara putusan judex facti maupun judes juris ialah ‘law in concreto’.”

Metode penelitian dalam Thesis ini menggunakan pendekatan telaah teoretis-terapan, dalam artian mengkaji tataran konseptual yang dapat diaplikasikan dalam praktik nyata di lapangan, yang sedikit atau banyaknya akan bersentuhan pula terhadap “perbandingan sistem hukum” antara “Common Law Vs. Civil Law”. Kajian teoretik-terapan dalam penelitian Thesis ini bukan dimaksudkan untuk menjadi sekadar wacana, namun aplikatif bagi para praktisi hingga membuka pendekatan baru bagi para akademisi maupun civitas-akademik, serta mampu mendobrak “kebekuan” yang seolah-olah selama ini sistem hukum suatu negara adalah “tabu” untuk diubah ataupun ber-evolusi. Bila Belanda mampu berubah menjadi memeluk budaya hukum Common Law, mengapa Indonesia tidak? Langkah apa yang perlu dimulai, dan bagaimana proses perubahan sistem hukum ini perlu dijalankan?

Adapun tujuan yang hendak dicapai lewat penelitian Thesis ini, diharapkan mampu menjadi percepatan peralihan sistem hukum nasional dari Civil Law menuju Common Law, mengingat berbagai anasir telah menunjukkan kecenderungan praktik berhukum di Mahkamah Agung RI kian condong menuju penyeragaman amar putusan dengan mulai menekankan aspek penting konsistensi serta menutup “jurang disparitas” antar putusan.

RUMUSAN MASALAH:

1. Apakah yang menjadi insentif maupun disinsentif dari sistem tradisi hukum Civil Law maupun Common Law, sehingga Mahkamah Agung Belanda (Hoge Raad) telah beberapa waktu lampau menyatakan resmi berpindah haluan dari budaya hukum Civil Law menjadi salah satu negara Common Law Legal System?

2. Bagaimana peran preseden dapat menjadi faktor utama terpenting dalam pembentukan hukum nasional di Indonesia?

3. Apakah Indonesia menerapkan asas konkordansi, hanya sebatas peraturan perundang-undangan peninggalan Hindia Belanda, ataukah juga beserta sistem hukum Civil Law?

4. Apakah dapat dibenarkan, bila kiblat sistem atau tradisi hukum di Indonesia yang menjadikan Belanda sebagai rujukan budaya hukum di Indonesia paska kemerdekaan NKRI, masih tetap memberlakukan tradisi hukum Civil Law sekalipun Belanda telah resmi berpindah haluan tradisi hukum kepada Common Law?

5. Kerugian apakah serta resiko atau bahaya dibaliknya, bila Indonesia masih tetap secara kaku-orthodoks mempertahankan budaya hukum Civil Law yang pada saat kini mulai ditinggalkan oleh berbagai negara hukum modern di dunia?

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.