Bangsa yang Menganggap Kebal Wabah, Kebal Dosa, Kebal Malu, dan Kebal Takut Berbuat Jahat

ARTIKEL HUKUM

Kebal Hukum dan Kebal Karma, Cerminan Bangsa yang Belum Beradab

Terdapat satu kesamaan dibalik sikap-sikap semacam “kebal (dari serangan) wabah” yang diakibatkan oleh pandemik virus menular mematikan antar manusia, yakni bila kita amati betul tipe-tipe penduduk demikian di Negeri Indonesia, kita akan hampir selalu menemukan adanya kesamaan karakter bersangkutan dengan disaat bersamaan juga menampilkan sikap-sikap semacam “kebal (dari) dosa”, “kebal malu (berbuat jahat)”, serta tidak terkecuali sifat-sifat “kebal takut (berbuat jahat)”.

Genusnya ialah asumsi semu “kelewat irasional” yang beranggapan bahwa diri bersangkutan adalah “kebal” dari segala hal. Karenanya, sifat-sifat yang merasa diri seseorang sebagai “kebal”, adalah sangat berbahaya bagi dirinya sendiri maupun bagi orang-orang di sekitarnya, mengingat orang-orang dengan “sakit kebal” demikian adalah orang-orang yang bahkan tidak takut dan tidak gentar terhadap ancaman semacam “hukum karma” terlebih “hukum negara” sekalipun—alias “kebal hukum” dan “kebal karma”.

Bangsa yang “sehat” dari segi kesadaran karakternya, selalu ialah bangsa yang dicirikan oleh sikap-sikap yang penuh kewaspadaan terhadap ancaman maupun mewaspadai perilakunya sendiri. Sebagai contoh, karena takut akan ancaman dibalik hukum negara yang mengatur perintah serta larangan bersanksi bagi warga yang melanggar “protokol kesehatan (cegah wabah)”, atau takut akan ancaman dibalik Hukum Karma karena menularkan penyakit berbahaya mematikan kepada orang lain yang menjadi celaka akibatnya, atau takut akan ancaman dibalik kerusakan kesehatan diri dan keluarganya akibat tertular wabah, maka seseorang warga bersangkutan akan senantiasa patuh serta taat mengikuti dan menegakkan “protokol kesehatan” dimana pun dan kapan pun berada tanpa perlu diperintah ataupun diawasi dan sekalipun pemerintah hanya sekadar “menghimbau”.

Sebaliknya, lewat sudut pandang sosiologi dan antropologi yang sederhana, tidak menjadi mengherankan bila warga-warga yang abai terhadap keselamatan dan kesehatan diri sendiri (terlebih orang lain), merasa dirinya akan “kebal wabah” karena semata (berasumsi bahwa dirinya adalah) “kebal dosa”, “kebal malu”, “kebal takut”, “kebal hukum”, hingga “kebal karma”. Karenanya pula, sering penulis umpamakan, bahwasannya antara “kebal” dan “bebal” adalah selisih tipis adanya, semata karena yang merasa “kebal” seringkali “bebal” dan orang-orang “bebal” acapkali merasa “kebal”. Fenomena demikian dapat kita jumpai dengan mata-kepala sendiri dalam keseharian, tidak harus dikala wabah melanda, dan fenomena demikian seolah sudah menjadi budaya yang membudaya di republik kita di Nusantara.

Bangsa “agamais” semestinya “takut dosa”. Kita sepakat (dan akan aneh bila dibantah) bahwa tidak patuh terhadap “protokol kesehatan” dikala wabah merebak adalah perbuatan jahat dan tercela, terlebih bila kemudian turut menularkan kepada orang lain, dan orang lain tersebut kemudian tertular dan mengalami kerugian atau bahkan menjadi korban jiwa—itu sama artinya MEMBUNUH! Perbuatan tercela meski tampak “sepele” demikian dampaknya tidak pernah “sepele”, namun serius, merugikan, dan mematikan.

Orang lain yang tertular akibat sikap lalai dan abai kita, mengakibatkan dirinya harus mengisolasi diri di rumah, yang artinya membawa potensi penularan terhadap anggota keluarganya dan disaat bersamaan tingkat ekonominya terancam runtuh selama masa isolasi diri. Terlebih, bila yang tertular akibat sikap abai dan lalai kita, kemudian tewas dan turut mengakibatkan keruntuhan ekonomi bagi seluruh anggota keluarganya bila yang bersangkutan ialah kepala keluarga yang selama ini menjadi topangan tulang-punggung ekonomi keluarga (sumber pencari nafkah).

Menjadi pertanyaan, seperti apakah dan sejauh apakah tanggung-jawab kita terhadap ekonomi orang-orang yang tertular akibat perbuatan abai dan lalai kita selama mereka kemudian menjalani masa isolasi diri, bahkan jika mereka tewas akibat tertular yang mengakibatkan adanya korban jiwa dan disaat bersamaan ekonomi keluarga mereka terancam runtuh? Hal demikian sangat menyerupai praktik “tabrak lari”, setelah menularkan virus menular mematikan kemudian lepas tanggung-jawab seolah “tanpa beban” dan “tanpa rasa bersalah” (cerminan bangsa yang “sakit mental” jika tidak dapat disebut sebagai “sakit jiwa” alias “psikopat” pembunuh berdarah-dingin). Bukankah sikap demikian, adalah DOSA BERAT?

Menularkan virus menular mematikan yang sekalipun telah diberitahukan oleh pemerintah dan kalangan medik tentang keadaan wabah, dengan publikasi yang gencar pada berbagai media massa, namun sengaja ataupun lalai dan abai menjalankan “protokol kesehatan”, sehingga mengakibatkan orang lain menderita kerugian atau bahkan menjadi korban jiwa, sejatinya sama jahatnya dengan merugikan ekonomi sang korban, bahkan tergolong “percobaan pembunuhan” dan adalah “pembunuhan” jika orang lain tersebut tertular kemudian benar-benar meninggal dunia. Disebut menyerupai “tabrak lari”, karena pelakunya yang menularkan sama sekali tidak bertanggung jawab, dan bukankah itu artinya DOSA BERAT?

Karenanya, sikap-sikap “kebal wabah”, “kebal hukum”, “kebal karma”, “kebal malu”, “kebal takut”, akar penyebabnya ialah sifat-sifat yang mencerminkan karakter “KEBAL DOSA”. Karenanya pula, bila seseorang warga dihinggapi penyakit mental “KEBAL DOSA”, maka gejalanya terjangkitnya ialah berupa sikap-sikap “kebal” seperti “kebal wabah”, kebal hukum”, “kebal karma”, “kebal malu”, “kebal takut”, dan sikap-sikap “kebal” lainnya yang singkat katanya ialah perangai “BEBAL”.

Manusia Indonesia hidup puluhan tahun sejak zaman kemerdekaan tanpa pernah sempat “mencicipi” wabah seperti di Negara-Negara Spanyol dengan “flu spanyo;” ataupun SARS di China, namun baru kali ini pada awal tahun 2020 terkena wabah Corona Virus Tipe-2 (Corona Virus Disease 2019, COVID-19), akan tetapi sudah “protes kesana dan kemari”—cerminan bangsa dan pemerintahan yang “tidak profesional”. Semestinya selama puluhan tahun bebas wabah itulah, bangsa kita dibudayakan menabung untuk “prepare for the worst case” semisal harus menghadapi wabah dan “lock down”. Bukankah Indonesia juga memiliki wabah endemik yang tidak pernah selesai diberantas, seperti Malaria dan Demam Berdarah yang tidak kalah mematikan? Mengapa kita tidak mau belajar, bahwa tiada vaksin yang efektif dalam mengatasi virus penyebab Demam Berdarah.

Tampaknya Bangsa Indonesia hanya cukup sebatas berbangga diri mencetak sejarah sebagai bangsa “konsumtif”, dimana pertumbuhan ekonomi Indonesia ternyata pula ditopang oleh faktor “konsumsi”—sekalipun negara-negara lain yang bangsanya juga butuh barang konsumsi, mengalami resesi ekonomi hebat saat wabah melanda, yang artinya menggambarkan sekaligus mencerminkan betapa KONSUMTIF-nya Bangsa Indonesia. Alih-alih “malu”, para “pakar” dan ekonom kita di Indonesia juga merasa bangga, bangga yang tidak sehat dan tidak cerdas.

Justru inilah momen paling tepat, seperti untuk pertama-kalinya Negara Tiongkok dilanda SARS beberapa dekade lampau, cukup satu semester wabah merontokkan kehidupan warga dan ekonomi di China, dimana pemerintah China berhasil mengatasinya hingga tuntas tanpa bekas. Kembali lagi sejarah terulang, COVID-19 hanya merontokkan ekonomi dan kesehatan warga China hanya dalam hitungan sebatas satu semester saja. Kini, kepercayaan diri pemerintah dan warga di China begitu tinggi, merasa begitu bangga dengan negara dan negerinya yang telah berulang-kali sanggup menaklukkan wabah alih-alih ditaklukkan.

Kita di Indonesia, perlu mencetak sejarah keberhasilan serupa, agar anak-cucu kita siap jika ancaman wabah kembali menyerang, tidak terkungkung oleh kutukan warisan kegagalan pendahulu mereka—sekalipun kita mengetahui, bukan untuk pertama-kalinya bangsa ini dijajah oleh penjajah, bahkan kita telah selama lima abad dijajah dan terjajah penjajah “kasat mata”, sehingga tidak semestinya kita “canggung” menghadapi penjajah yang sekadar “tidak kasat mata”. Inilah akibat, “mental terjajah”, yang membuat bangsa kita mudah mengeluh ketika kembali terjajah baik oleh penjajah kasat-mata maupun penjajah tidak kasat-mata.

Tidak terbayangkan jika Negara Indonesia beserta para warganya dijajah oleh penjajah yang “kasat mata” semacam Kolonial-Belanda, jika untuk menghadapi penjajah “tidak kasat mata” semacam wabah yang diakibatkan virus menular mematikan, masyarakat Indonesia justru lebih bersikukuh untuk menolak berperang (dengan menolak kebijakan “lock down”), secara berlarut-larut mencoba tawar-menawar dengan sang virus penyebab wabah, bahkan untuk hal sederhana seperti 3M (menjaga jarak, memakai masker, dan mencuci tangan) pun masyarakat kita “mengeluh” dan “berkeberatan”, masih juga mencurangi wabah dengan “berpura-pura tiada wabah dengan tetap menjunjung supremasi stabilitas ekonomi”, maka bagaimana bila teritori Indonesia benar-benar kembali dijajah oleh penjajah “kasat mata”?

Bila negara lain sibuk untuk membangun pesawat luar angkasa, pemerintah untuk urusan masalah kepatuhan warga dalam memakai masker sekalipun ternyata selama satu semester wabah melanda, gagal meminta ataupun membuat warganya untuk patuh sekalipun hal demikian esensial bagi keselamatan dirinya sendiri maupun bagi kepentingan banyak warga lainnya dari ancaman tertular. Kapan Negara Indonesia diharapkan dapat menjadi bangsa yang besar dan berkompetisi negara negeri sebesar China, bila untuk urusan memakai masker dikala wabah pun, pemerintah kita seolah “tidak berdaya”, “menyerah dan angkat tangan dengan mengandalkan sepenuhnya kepada vaksin yang belum tentu efektif”, “mendadak humanis sekalipun biasanya represif terhadap mahasiswa yang berdemonstrasi”—itulah harga yang harus dibayar mahal oleh pemerintah Indonesia akibat berulang-kali memaksakan diri menerbitkan berbagai Undang-Undang yang tidak “pro” terhadap rakyat banyak sekalipun mendapat banyak penolakan dan keberatan dari publik, membawa imbas respons “pembangkangan publik” sebagai “kick back”-nya tatkala wabah melanda. Seolah belum cukup, kita pemerintah hendak menggelar hajatan massal “pesta demokrasi’ meski disaat bersamaan hajatan warga seperti resepsi pernikahan dilarang karena tidak diberikan izin keramaian.

Orang-orang “Made in Indonesia” tampaknya tidak punya kecerdasan untuk memprediksi kemungkinan serta konsekunsi. Misal, sebagai contoh, orangtua “merengek-rengek” agar anaknya masuk sekolah kembali untuk belajar secara tatap-muka, semata karena merasa direpotkan oleh sang anak yang belajar di rumah. Namun, ketika nantinya sang anak tewas tertular virus, kembali lagi sang orantua merengek-rengek. Sama halnya saat negara dalam kondisi “darurat militer”, harus ada yang diprioritaskan, tidak dapat kita berkegiatan ekonomi seperti seolah tiada penjajah dengan bayonet terhunus menyandera warga. Sikap “sense of crisis” itulah yang juga perlu kita terapkan ketika negara memasuki kondisi “darurat wabah”.

Kebijakan pemerintah yang berlarut-larut, patut kita pertanyakan, apakah kebijakan “ulur-ulur waktu” demikian adalah dalam rangka melindungi ekonomi rakyat atau sebaliknya mengorbankan ekonomi rakyat? Ulur-ulur waktu untuk apakah, bila negara-negara lain berhasil menangani dan mengatasi wabah lewat kebijakan tegas yang tidak “serba longgar” seperti yang diberlakukan di Indonesia?

China tidak membutuhkan vaksin COVID-19, namun kemudian mengekspornya untuk dibeli oleh pemerintah dan Bangsa Indonesia? Bila China tidak butuh vaksin, mengapa Indonesia butuh vaksin? Banyak negara di ASEAN telah membuktikan, wabah COVID-19 bukanlah tidak dapat ditangani, namun niscaya ditangani dan diatasi sehingga terkendali. Syaratnya ialah, sikap tegas itu sendiri, baik pemerintah maupun rakyatnya, TANPA KOMPROMI. Tidak bersedia berkorban seperti negara lain di Malaysia, China, Vietnam, Thailand, namun mengharap bebas dari wabah? Suatu tuntutan dan harapan yang berlebihan, sekalipun tidak realistis.

Kebijakan Bangsa Indonesia ibarat kita hendak bermaksud menghemat dengan membelanjakan dana kita untuk membeli tas murah, ternyata tidak awet dan cepat rusak, sehingga harus kembali membeli yang baru dan pada akhirnya lebih “boros anggaran” memakai cara ini. Dengan membeli tas yang bagus, sekalipun mahal harganya, kita justru jauh lebih hemat karena awet—suatu investasi yang lebih layak untuk dipilih. Sama halnya, “lock down” tampak berat, pengorbanan yang butuh keberanian, namun demi masa depan yang lebih baik, mengapa tidak?

Dibutuhkan “kecerdasan kalkulatif” di sini, sehingga dapat pula kita simpulkan, negara-negara dengan pemerintah serta rakyatnya yang berani mengambil kebijakan tegas tanpa kompromi seperti “lock down”, adalah bangsa yang memiliki “kecerdasan kalkulatif” yang belum dimiliki budaya maupun mental masyarakatnya di Indonesia. Seorang negarawan semestinya tidak tersandera oleh “deal-deal politik”. Anggaran pemerintah pusat untuk menangani wabah yang mencapai lebih dari separuh Billiun Rupiah (lebih dari lima ratus triliun rupiah), apakah belum cukup untuk anggaran “lock down”, namun masih juga mengklaim “negara miskin”?

Pendekatan humanis terhadap warga pelanggar “protocol kesehatan”? Demikian klaim pemerintah. COVID-19 tidak pernah humanis kepada korbannya, dimana anak-anak maupun lansia turut diserang dengan tingkat yang lebih mematikan, sehingga ketika sang virus menular penyebab wabah menjangkiti seorang warga, dan kemudian warga tersebut tidak mengindahkan “protocol kesehatan”, maka artinya sang warga tersebut sama tidak humanisnya dengan virus menular yang berada dalam tubuhnya yang sewaktu-waktu dapat menular kepada orang lain.

Dalam menghadapi wabah, pendekatannya harus efektif, dalam arti pendekatan tegas tanpa kompromi dan tanpa toleransi. Ancaman oleh virus menular mematikan mediumnya ialah manusia, menular dari manusia ke manusia, karenanya ancamannya bukan lagi virus itu sendiri, akan tetapi ialah manusia atau warga yang “sombong terhadap kesehatannya” (semata karena belum tertular) sehingga “badung” dan “nakal” dengan tidak patuh serta tidak taat pada “protokol kesehatan” bahkan terkesan sengaja “menantang”.

Apanya yang “sembuh”, sebagaimana klaim pemerintah, pasien Virus Corona Tipe-2 diberikan obat bernama “klorokuin” sekalipun telah dilarang pada sejumlah negara di Eropa, sehingga mereka pulang dalam kondisi terkena gangguan irama jantung sekalipun sebelumnya normal. Sehingga, bukanlah “sembuh”, akan tetapi tapi terkena penyakit baru. “Sembuh dari apa dulu?”, itu pertanyaannya. Jangan sampai demi sekadar mencetak prestasi angka statistik “kesembuhan” yang tinggi sehingga dapat berbangga diri di kancah global, ibarat membuat rakyatnya sendiri keluar dari mulut buaya masuk ke mulut harimau. Karenanya, ancaman wabah ini tidak untuk diremehkan, dampak imbas efek-sampingnya, yang seolah ditutup-tutupi oleh pihak pemerintah perihal ancaman “efek samping” dibalik pengobatan medik yang diberikan pemerintah.

Kemampuan Negara Malaysia dalam mengelola dan mengendalikan wabah COVID-19, yakni 14 kasus baru (kontras dengan Indonesia yang mencatat 3000 kasus baru pada hari yang sama per 03 Septermber 2020), dapat terancam tumbang akibat negara tetangganya ini yang tidak pandai mengelola wabah, kini Malaysia menutup diri dari warga Indonesia maupun Filipina. Di Thailand, telah selama dua bulan belakangan ini tidak ditemukan satu pun kasus baru COVID-19, sekalipun Indonesia adalah negara tropis dengan paparan tingkat sinar UV tertinggi di dunia, dan memiliki “lock down” alami berupa negara kepulauan. Kini, Indonesia dikucilkan dari pergaulan dunia dan dianggap sebagia negara paling berbahaya dalam konteks penularan wabah.

Ekonomi mau bagus, tapi mau juga sehat, itu namanya serakah. Tangan kita hanya ada dua, harus memilih, Bukan dibenturkan, akan tetapi untuk dipilih mana yang menjadi prioritas. Tampaknya, Negara Indonesia perlu kembali belajar ilmu paling mendasar dari ilmu manajemen klasik, yakni kemampuan dalam mengelola “skala prioritas”. Itulah akibat, bila negara dipimpin oleh pemimpin yang populis dalam demokrasi yang “penuh keterbaasan” (hanya dua calon untuk dapat dipilih rakyat dalam “pesta demokrasi”), bukan dipimpin oleh seseorang yang memang ahli dibidang manajerial organisasi sebesar negara dengan masyarakatnya yang kompleks dan beragam karakter serta latar-belakang.

Indonesia, untuk urusan memakai masker dikala wabah saja, patut ditertawakan kegagalannya. Semestinya kita malu mengaku sebagai Bangsa Indonesia, yang kini benar-benar ditertawakan oleh warga Malaysia, sebagai “orang Indon” yang tidak mampu disiplin namun penuh keserakahan (hendak menggelar hajatan “pesta demokrasi” pula meski pemerintah dan masyarakatnya belum layak untuk mendapat “reward” semacam “pesta massal” berkamuflase merek “demokrasi” ditengah-tengah kian merebaknya wabah yang bukan mustahil untuk diatasi).

Bahkan, setelah menjadi agen penular dan menularkan wabah kepada warga lainnya dengan tidak mengindahkan “protokol kesehatan”, masih pula mengharap “disayangi Tuhan” dan menuntut agar “masuk surga” dengan penuh percaya diri seolah telah terjamin dengan tiket di tangan (bukankah itu artinya KEBAL MALU dan KEBAL DOSA?). Menurut para pembaca, apakah para korban jiwa akibat tertular wabah oleh sesama anak bangsa, tidak akan mengajukan keberatan dan gugatan ke hadapan Mahkamah Semesta, jika warga yang menularkan wabah tersebut diberi hak istimewa masuk ke “surga”? Tuhan yang adil berpihak kepada korban, bukan kepada pelaku kejahatan, setidaknya itulah versi Tuhan yang penulis yakini.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.