Apakah Salah, Berpikir Negatif (Negative Thinking)?

ARTIKEL HUKUM

POSITIVE THINKING, NEGATIVE THINKING, BERPIKIR RASIONAL

Buruk adalah buruk, baik adalah baik, melihat dan mengakui secara apa adanya, itulah yang disebut sebagai berpikiran rasional. Yang “hitam” tidak dapat kita sebut sebagai “putih”, dengan mengatas-namakan “positive thinking”. Hitam tetaplah hitam, dan yang putih tetaplah putih. Hidup di tengah era masyarakat yang moralitasnya kian “merosot” (rusak), dimana seolah-olah perbuatan jahat bukanlah hal tabu untuk ditakuti, maka kita perlu dan wajib untuk mengambil sikap dengan selalu siap-siaga menjaga diri kita sendiri secara baik, agar tidak menjadi “mangsa empuk”. Sering penulis mengutarakan, pada republik dimana orang-orang baik senantiasa dijadikan sasaran serta “mangsa empuk” ini, kita perlu pandai-pandai membawa dan menjaga diri.

Faktanya, kita dipaksa oleh keadaan yang bukan pilihan kita, namun tetap harus kita lakoni, untuk menjadi pribadi yang ber-“negative thinking” (conditioning, suatu teori sederhana yang penulis pinjam dari konsep ilmu psikologi, sebagai contoh dalam kasus “anjing Pavlov”). Bila kita hidup di alam surga, maka kita cukup menjadi pribadi yang selalu berprasangka baik, karena seluruh penghuni alam surga adalah orang-orang baik yang tidak akan menipu ataupun merugikan dan menyalah-gunakan kebaikan hati kita—serta tidak butuh aturan hukum apapun di surga, mengingat moralitas penghuninya tidak lagi diragukan. Sebaliknya, hidup sebagai manusia di alam manusia, dimana “manusia menjadi serigala bagi sesamanya” (homo homini lupus), agar tidak menjadi korban “konyol” nan “bodoh” semacam modus-modus penipuan, ekploitasi, manipulasi, diperdaya, diberikan iming-iming, dan berbagai modus bujuk-rayu lainnya.

Untuk hidup damai, bebas dari resiko “mati konyol” atau bahkan tanpa sadar telah dimanipulasi serta dieksploitasi, maka kita harus senantiasa “berpikiran negatif” (si vis pacem para bellum)—itulah yang paling rasional untuk dapat kita lakoni hidup di republik dimana moralitas sudah sangat rusak, bahkan mereka yang saling memiliki hubungan darah, tidak jarang saling memeras, saling mengekploitasi, saling memunafik, saling memperdaya, saling berdusta, saling memanipulasi, saling merampas, saling memakan satu sama lain—maka terlebih bila tiada hubungan darah sama sekali, dimana janji tinggal sekadar janji, ucapan menjadi sekadar torehan di atas pasir yang tersapu ombak pantai, dan tanggung-jawab menjadi sebatas “lip service”.

Kini, kita beralih pada topik utama kita, yakni : Siapakah subjek hukum yang menyatakan pada kita untuk “positive thinking”? Bila orang tersebut adalah pihak yang netral seperti agamawan, yang tidak memiliki kepentingan terhadap kita, maka saran ataupun masukannya tersebut patut kita apresiasi, serta dapat kita pahami sebagai semata untuk menghibur kita di tengah-tengah kehidupan yang tidak pernah berjalan secara ideal ini. Itulah sebabnya, seorang motivator disewa dan dibayar mahal semata untuk mengumandangkan “omong kosong” seputar “positive thinking” secara berapi-api penuh semangat, “luar biasa!”. Namun, apa jadinya bilamana yang menyarankan Anda untuk “positive thinking” ialah Konsultan Hukum Anda? Bisa jadi Anda tidak merasa perlu membuat perjanjian secara tertulis “hitam di atas putih”, bisa jadi Anda akan mengalami “menyesal selalu datang terlambat”, serta barulah memahami bahwa “preventif selalu lebih baik daripada kuratif”.

Meski demikian, yang masyarakat kita jarang sadari, terdapat pihak-pihak yang TIDAK BERHAK dan DILARANG OLEH ETIKA MORALITAS untuk menasehati ataupun menegur diri kita untuk bersikap “positive thinking”, yakni sang PELAKU—terutama bila kita adalah phak korban dari perbuatan sang pelaku. Aneh bin ajaib, negeri bernama Indonesia dan Bangsa Indonesia ini, alih-alih merasa malu telah menyakiti dan merugikan korban yang menderita kerugian dan luka baik secara materiil maupun secara batiniah, masih juga menghakimi korbannya dengan berkata : “Kamu jangan NEGATIVE THINKING!” Sering penulis menyebutkan, bahwa Bangsa Indonesia adalah bangsa yang TIDAK LOGIS, IRASIONAL, dan lebih sibuk PUTAR-BALIK FAKTA (berkelit) ketimbang menyibukkan diri untuk bertanggung-jawab.

Seolah tidak memiliki rasa malu ataupun takut kembali mendiskreditkan korbannya, sang pelaku merasa memiliki hak untuk “menggurui” serta kembali “melecehkan” korbannya untuk “POSITIF THINKING”—dalam rangka agar dapat terus-menerus dapat dijadikan “mangsa empuk” tanpa dapat berontak. Psikologi “manusia serakah” demikian mudah untuk kita pahami secara ilmu psikologi, semudah mengamati fenomena orang-orang yang berniat jahat terhadap kita, namun kita tidak pasrah dan melakukan perlawanan sengit agar tidak menjadi korban atau tidak bersedia dikorbankan, sang pelaku kejahatan justru akan bersikap galak dan marah terhadap kita (putar-balik “logika moril”).

Beberapa kali terjadi, bahkan selalu terjadi konsistensi fenomena real, komplotan pencopet justru memarahi, memaki, dan merasa berhak menghakimi penulis, korban perbuatan jahat mereka, semata karena penulis tidak bersikap pasrah dan melakukan perlawanan. Melawan artinya menzolimi, seolah-olah pelakunya tidak menzolimi korbannya yang melakukan perlawanan. Hak dari mana, bagi mereka untuk merasa berhak merugikan warga lain, serta kewajiban dari mana bagi seseorang warga untuk menjadi tumbal atau korban perbuatan “biadab” warga lainnya?

Seorang penyidik kepolisian yang baik, tidak akan ambil hirau ketika seorang tersangka berkomentar kepada sang penyidik, “Bapak Penyidik, Bapak sudah negative thinking kepada saya!” Anjing menggonggong, khafilah berlalu. Seorang Jaksa Penuntut ataupun Hakim Pemutus yang baik, tidak akan semata meminta keterangan kepada seorang Terdakwa yang pastilah akan berkomentar : “Bapak Hakim dan Bapak Jaksa, janganlah NEGATIVE THINKING kepada saya!”, namun juga akan mendengarkan pendapat, pemikiran, terutama PERASAAN pihak korban pelapor (mengingat bukanlah sang hakim ataupun jaksa yang merasakan serta mengalami langsung sebagai korban), serta membuat pembuktian kebenarannya berdasarkan seluruh kronologi kejadiaan bersamaan dengan telaah empirik berbagai alat bukti yang ada.

Perasaan seorang korban, menjadi sangat penting disini, bila tidak dapat disebut sebagai paling esensial. Bila bagi pelakunya lontaran kata-kata yang bersangkutan dinilai tidak melecehkan (mana ada “maling mengaku maling”, yang selalu ada ialah “maling teriak maling”), namun tidak bagi telinga dan sanubari seorang korban. Pelaku kejahatan, cenderung meremehkan dampak serta akibat dari perbuatannya sendiri (menyepelekan dampaknya bagi korban, alias tiada empati, cerminan EQ yang “tiarap”), dan disaat bersamaan cenderung mencari-cari pembenaran diri untuk kian kembali mendiskreditkan dan “menghakimi” perasaan ataupun luka yang diderita pihak korban.

Negative thingking” bukanlah hal yang tabu, bahkan menjadi hak bagi setiap individu dalam rangka “hak untuk membela diri”—penulis menyebutnya sebagai salah satu bagian dari hak asasi manusia. Contoh, lembaga semacam Lembaga Pemasyarakatan yang lebih populer kita kenal dengan sebutan sebagai “penjara”, adalah simbolisasi betapa “berpikir negatif”-nya pemerintah dalam hal ini otoritas penegak hukum negara terhadap warganegara yang dihukum dan dijebloskan ke dalam penjara.

Aturan-aturan hukum yang memberi koridor kebolehan, kewajiban, serta larangan, lengkap dengan segala atribut ancaman sanksi bagi pelaku pelanggarnya, adalah simbolisasi pemerintah yang “negative thinking” seolah rakyatnya tidak bisa diatur lewat sekadar himbauan, sukar diajak untuk berdisiplin diri, pembangkang, gemar berkelit, banyak alasan, suka mencari-cari alasan, tidak bertanggung-jawab, bangga bila dapat melanggar dan berkelit, tidak malu merugikan warganegara lainnya, dan tidak takut berbuat kejahatan.

Otoritas bandara, melarang mendarat ataupun lepas landas pesawat yang berada di bandara, bila petugas pada menara pemantau cuaca melihat gelagat buruk pada fenomena alam seperti topan badai, yang mana sifatnya baru prediksi belaka. Penumpang yang baik tidak dapat berkata pada seorang pilot pengemudi pesawat : “Bapak Pilot, Bapak Pilot janganlah ‘negative thinking’, cepat terbang, jangan buang-buang waktu lagi, percaya saja pada saya, semua akan baik-baik saja, Tuhan menyayangi umat manusia yang berpikiran positif.” Bapak Pilot yang baik akan menjawab dengan tanggapan sebagai berikut, “Bapak penumpang yang ‘positive thinking’, silahkan Bapak Penumpang turun dari pesawat saya dan terbang dengan pesawat milik sendiri. Anda ingin bilang saya buta dan tuli?

Sama halnya, terhadap warga yang “membandel” dan “badung” luar biasa tidak mengindahkan perintah pemerintah untuk menerapkan “protokol kesehatan (cegah virus menular mematikan)” seperti untuk mengenakan masker serta “physical distancing”, tidak dapat pemerintah turut berspekulasi seperti “permainan spekulasi” yang dimainkan oleh warga-nya yang membangkang dengan berkata : “Bapak pemerintah jangan ‘negative thinking’, semua ini kehendak dan rencana Tuhan. Bila Tuhan tidak berkehendak terjadi, maka tidak memakai masker saat wabah pun tidak akan tertular. Jika Tuhan berkehendak, maka memakai masker pun tetap akan tewas dan terjadi.

Terhadap gembong bandar obat terlarang, memang patut dihukum mati, karena kita selaku rakyat wajib “negative thinking” dipenjaranya sang bandar selama sekian tahun dapat membuat sang bandar menjadi jera dan bertobat—karenanya hukuman mati adalah “harga mati” bagi pengedar obat terlarang maupun koruptor. Fakta realitanya, tidak sedikit para pengedar dan bandar tersebut yang bermain dari balik jerujinya di Lembaga Pemasyarakatan atau bahkan menjadi residivis sekeluarnya dari masa penghukuman di penjara. Politikus berkata, masyarakat pemilih kita telah cerdas, meski senyatanya mantan koruptor dapat kembali menjabat sebagai Kepala Daerah, dan untuk kedua kalinya pula terjaring Operasi Tangkap Tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

Orang-orang sukses menjadi sukses karena diri mereka selama ini “dikejar-kejar oleh ketakutan”, seperti seorang siswa yang karena tidak ingin gagal dalam ujian sekolah, maka dirinya akan memacu diri untuk lebih giat dan lebih tekun belajar. Tidak pernah belajar, lantas berharap dapat bertumpu pada sekadar “positive thinking” bahwa dirinya tidak bernasib sial dan akan selalu mujur? Masyarakat cerdas menabung dalam rangka antisipasi kemungkinan terburuk (the worst case scenario) dimasa mendatang yang tidak pasti seperti datangnya wabah pandemik virus menular mematikan yang melumpuhkan ekonomi dan kesehatan rakyat suatu negara—alih-alih ber-“positive thinking” bahwa negeri kita ialah negeri “anak emas-kesayangan Tuhan”. Kita tidak dapat semata mengandalkan “positive thinking” seolah “everythings would be alright”—itulah tidaklah bijaksana, sama seperti tidak bijaksananya “overdosis positive thinking” dengan mewacanakan “vaksin iman” untuk menangkal pandemik.

Orang-orang dengan EQ yang tinggi, akan mampu memprediksi emosi orang lain, semata dalam rangka diri yang bersangkutan tidak membiarkan dirinya terjebak dalam “positive thinking”, semisal “memperkosa” profesi orang lain akan membuat senang orang tersebut dan kita akan diganjar “reward” berupa dilayani—fakta realitanya, telah ribuan masyarakat Indonesia memperkosa profesi penulis dengan menyalah-gunakan nomor kontak kerja atau email profesi penulis, bahkan lewat modus hingga pemaksaan, semata untuk melecehkan dan memperbudak profesi penulis tanpa bersedia membayar tarif layanan jasa SEPERAK PUN. Apa yang membuat diri mereka berpikir, seolah penulis akan senang hati dan bangga “diperkosa”? Itu sama jahatnya dengan kejahatan terhadap hak asasi manusia lainnya, kejahatan terhadap kemanusiaan yang tidak berperi-kemanusiaan seperti perbudakan dan penjajahan. Telah ternyata, EQ (terlebih SQ) masyarakat Indonesia sangat-amat “tiarap” (bila tidak boleh penulis menggunakan istilah “EQ dan SQ jongkok”).

Sebagai penutup, singkat katanya sebagai kesimpulan, tiada seorang pun yang berhak untuk melarang kita ber-“negative thinking”. Berpikir negatif adalah hak asasi manusia, dalam rangka “hak untuk membela dan menjaga diri sendiri” agar tidak menjadi tumbal atau “mangsa empuk” para “manusia predator” lainnya. Ketika kita resmi menjadi penghuni alam surgawi, barulah kita dapat melepas “tameng pelindung diri” bernama “negative thinking”, alam dimana pengacara “tidak laku”—karenanya pula menjadi “kasihan negeri yang membutuhkan banyak pengacara” karena artinya “penuh sengketa”. Menyakiti, merugikan, ataupun melukai seorang korban, adalah perbuatan yang tercela dan buruk, namun akan lebih buruk lagi ketika ditambah sebentuk penghakiman oleh sang pelaku kepada sang korban, dengan menyatakan agar sang korbannya tersebut “jangan ‘negative thinking’!” Penulis menyebutnya sebagai “pemberatan kejahatan”.

Salah satu senjata andalan nenek-moyang kita untuk mampu survive bertahan hidup sejak zaman Jurrasic yang penuh satwa raksasa dinosaurus karnivora yang ganas dan selalu mencari mangsa buruan untuk diterkam, ialah suatu mekanisme yang disebut antisipasi dan waspada (full alert). Kewaspadaan, adalah cikal-bakal “negative thinking” yang kini kita wariskan dari nenek-moyang kita dalam proses evolusi manusia. Tanpa “negative thinking”, umat manusia telah lama musnah dan punah bersama dinosaurus yang kini hanya menyisakan fosil. Menyadari betapa besarnya kontribusi insting bawaan / warisan dari nenek moyang ini, menjadi berbahaya bila kita dilarang untuk ber-“negative thinking” yang merupakan gerbang benteng pertahanan mental paling terakhir kita, bila tidak dapat kita sebut sebagai benteng gerbang pertahanan paling terdepan (“negative thinking” sebagai garda terdepan).

Mengapa Anda berinvestasi pada instrumen yang aman seperti deposito, alih-alih bermain pada pasar saham? Karena Anda “negative thinking” terhadap spekulasi di bursa efek. Mengapa Anda memproteksi diri dengan cara membeli polis asuransi jiwa maupun asuransi kesehatan? Karena Anda “negative thinking” terhadap rencana Tuhan. Mengapa Anda meminta agunan ataupun jaminan pelunasan hutang atas pinjaman yang Anda berikan kepada seorang debitor? Karena Anda “negative thinking” terhadap janji-janji sang debitor. Mengapa Anda tidak berani “membeli kucing dalam karung”? Karena Anda “negative thinking” terhadap calon pasangan hidup yang belum Anda kenali “luar dan dalam”.

Mengapa Anda mengunci pintu rumah ataupun kendaraan Anda? Karena Anda “negative thinking” terhadap sesama warga tetangga Anda—Sebaliknya, bila Anda tidak mengunci pintu rumah ataupun kendaraan Anda, sama artinya Anda sendiri yang sedang mengundang tangan-tangan “jahil” untuk bersikap “usil” terhadap properti milik Anda. Kejahatan bukan hanya terjadi karena adanya niat, namun juga karena adanya KESEMPATAN, demikian pepatah sejak lama menyebutkan dan mengingatkan kita untuk senantiasa waspada.

Kontras dengan kesemua itu, berpikir secara rasional tidak membuat kita terjebak pada salah satu kutub ekstrim “positif” ataupun “negatif” dalam berpikir. Lewat berpikir secara rasional, kita perlu bersikap “positive thinking” dalam situasi-situasi tertentu seperti ketika mulai merintis karir yang mulanya berjalan tidak mulus dan mengalami kerugian, dan kita pun perlu secara dinamis beralih menjadi penuh kesiagaan (full alert) dengan menjadi seorang “negative thinking” dalam situasi-situasi yang mensyaratkan kewaspadaan dan antisipasi tertinggi.

Ber-“positive thinking” ketika berhadapan dengan seseorang yang telah dikenal atas sepak-terjangnya sebagai seorang penjahat ataupun penipu, sama artinya Anda sendiri yang “cari penyakit” dan “cari mati” sendiri. Jika sudah seperti itu, siapa yang paling patut disalahkan selain menyesali dan menyalahkan diri sendiri? Tahukah Anda, apa yang membuat seekor keledai tidak akan terjatuh dalam lubang yang sama untuk kedua kalinya? Ternyata, seekor keledai sekalipun memiliki insting bernama “negative thinking”.

Orang-orang yang bertipe “over positive thinking”, punya kecenderungan untuk selalu mengulangi kesalahan serupa dikemudian hari tanpa jera dan menyerupai sifat “dungu” yang sukar diperbaiki karena ketidak-mauan untuk belajar dari pengalaman buruk ataupun kesalahan sebelumnya. Jangan meminta seekor kera untuk menjadi pandai dalam hal berenang, sama halnya jangan meminta seekor ayam untuk terbang. Bersikap rasional terhadap talenta dan keterbatasan diri kita, terkadang lebih baik sekalipun pahit, ketimbang memaksakan diri untuk “positive thinking”, sekalipun tidak jarang “kelemahan dapat menjadi kekuatan”.

Tiada hal yang disebut positif, bilamana tiada hal yang disebut sebagai negatif. Karena ada orang jahat, maka ada orang-orang baik—namun kita tidak pernah perlu berterima-kasih terhadap keberadaan orang-orang jahat, karena orang-orang jahat akan selalu ada sekalipun tidak pernah kita minta, bahkan terlampau banyak sama banyaknya dengan daun yang jatuh berguguran di atas tanah. Kita tidak akan pernah menjadi orang yang positif (“ber-positive thinking”), bilamana kita merasa anti terhadap “negative thinking”. Sebaliknya, kita tidak jarang merasa “sedang beruntung”, ternyata dibelakang hari kita barulah menyadari dan mengetahui bahwa semua itu adalah “jebakan”.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.