ARTIKEL
HUKUM
Korban Kejahatan Kekerasan, Ibarat Sudah Jatuh, Ditimpa Tangga Pula oleh Penyidik Kepolisian dengan Harus Merogoh Kocek Biaya Tidak Murah “Visum Et Repertum”
Berikut ini adalah potret yang terjadi pada ruang pelaporan tindak pidana di Tanah Air, menggambarkan betapa sukarnya keadilan pidana untuk dapat diakses dan dijamah oleh warga masyarakat, terutama seorang korban pelapor. Pernahkah kita selaku masyarakat sipil yang selalu memiliki hak untuk mengakses keadilan ranah pemidanaan, terutama selaku korban, mempertanyakan, mengapa juga untuk bisa memperoleh surat keterangan pemeriksaan kondisi medik semacam “Visum Et Repertum”, harus membutuhkan pendahuluan formalitas bernama “Surat Pengantar Penyidik Kepolisian”?
Kebiasaan sejak lama yang tidak
pernah kembali dievaluasi dan dipertanyakan, sama artinya kebodohan yang
“dilestarikan” dalam praktik hukum. Artinya, praktis selama ini hak warga untuk
mengakses keadilan pidana wajib / diwajibkan oleh kalangan Kepolisian, bukan dimulai
dari perolehan dokumen medik hasil pemeriksaan bernama “Visum Et Repertum”, akan tetapi wajib didahului terbitnya “Surat
Pengantar Penyidik Kepolisian” sebagai mata rantai panjang yang harus ditempuh
oleh seorang korban pelapor.
Sebenarnya bukanlah formalitas
demikian yang menjadi keberatan utama masyarakat sipil pencari keadilan, namun
substansi “Surat Pengantar Penyidik Kepolisian” yang sifatnya memonopoli rumah
sakit atau kalangan medik tertentu yang dapat dirujuk dalam “Surat Pengantar”
dari pihak Penyidik Kepolisian dimaksud. Bila memang disebut sebagai “Surat
Pengantar” atau “Surat Rujukan”, mengapa sifatnya tidak murni bersifat “Surat
Rujukan” yang dapat dibawa oleh korban pelapor guna merujuk diri kepada tenaga
medik yang berdasarkan sumpah jabatan serta kompetensinya memiliki kemampuan
untuk melakukan “visum”?
Alih-alih bersifat murni
sebagai “Surat Pengantar” ataupun “Surat Rujukan”, praktik selama ini pada
kantor-kantor kepolisian, pihak korban pelapor tindak pidana seperti kekerasan
dalam rumah tangga, penganiayaan, ataupun tindak pidana asusila, diberikan
“Surat Pengantar” yang lebih menyerupai “Surat Menebus Obat” yang telah
ditentukan pada apotek tertentu, tidak bisa pada apotek lainnya, dengan harga
yang tentunya demikian tinggi, karena monopolistik, menjadi dapat dipermainkan
oleh pihak penyedia jasa “Visum” yang bisa jadi dan ditengarai kuat melakukan
praktik “kongkalikong” bersama dengan pihak Penyidik Kepolisian penerbit “Surat
Rujukan” dimaksud.
Bahkan, “surat resep obat” dari
dokter pun, dapat kita tebus dan beli pada apotek apapun, namun praktik
monopoli “usaha” tampak demikian kental pada lembaga / instansi yang semestinya
menegakkan hukum dan keadilan disamping melindungi dan mengayomi masyarakat.
Bahkan, untuk sekelas salah satu Kantor Kepolisian setingkat Polisi Resort
(Polres) di Jakarta, hanya disediakan opsi dua rumah sakit rujukan yang dapat
ditujuk dalam “Surat Pengantar Penyidik Kepolisian” guna keperluan “Visum”,
dimana biayanya mencapai nilai hampir setara 1/6 Upah Minimum Regional (UMR)
Kota Jakarta—hanya demi dokumen “setipis” Visum Et Repertum.
Sejatinya, seluruh rumah sakit
yang terbesar di Indonesia, kecuali klinik, memiliki tenaga medis yang sangat
lengkap dan kompeten dalam menerbitkan surat keterangan semacam “Visum Et Repertum”. Tidak butuh dokter
spesialis “Visum” untuk dapat melakuksn “Visum”, karena sebagaimana kita
ketahui, seluruh rumah sakit besar di Indonesia memiliki tenaga dokter
spesialis setidaknya spesialis penyakit dalam (terlebih bila luka hanya berupa
luka luar yang tampak di permukaan yang dapat kita saksikan dengan “mata
telanjang” tanpa alat canggih apapun semacam kaca pembesar atau MRI).
Sekalipun sejatinya tenaga
medik pada rumah sakit sekelas Rumah Sakit Umum Daerah, memiliki tidak sedikit
dokter yang mampu melakukan “Visum”, namun selalu terkendala formalitas terkait
keberadaan “Surat Pengantar Penyidik Kepolisian” sebagai syarat formalitasnya.
Tidak menjadi masalah, di mata penulis, perihal formalitas yang menurut hemat
penulis tidak memiliki alasan logis untuk keberlakuannya, mengingat sejatinya
keterangan dalam dokumen “Visum Et
Repertum” hampir menyerupai rekam medik yang telah biasa berlangsung dalam
praktik kedokteran selama ini, sehingga semestinya dan seyogianya korban tindak
pidana dapat langsung seketika itu juga merekam kondisi tubuhnya lewat “Visum”
tanpa harus diperumit birokrasi memakan waktu seperti didahului perolehan
“Surat Pengantar Penyidik Kepolisian”—perhatikan kondisi korban tindak pidana
asusila seperti perkosaan, alat bukti dapat menjadi rusak bila tetap diwajibkan
terlebih dahulu perolehan “Surat Pengantar” demikian, disamping
ketidak-nyamanan kondisi fisik dan psikis dari korban pelapor.
Disaat bersamaan, menunggu “moral hazard” lainnya ialah korban yang
harus menanggung biaya “Visum” akibat kejahatan / luka yang diderita olehnya
akibat perbuatan pelaku kejahatan, dimana negara lewat rumah sakit yang
dikelola pemerintah maupun pemerintah daerah tidak bersedia menanggung biaya
korban pelapor (warga yang semestinya dilindungi oleh negara), namun ironisnya negara
bersedia menanggung seluruh biaya hidup pelaku kejahatan ketika ditahan dalam
Rumah Tahanan Negara maupun dipenjara pada Lembaga Pemasyarakatan—menjadi solah
negara “pro” terhadap pelaku kejahatan dan disaat bersamaan “membiarkan korban
kian merugi” dan harus menanggung kerugiannya seorang diri.
Rumah sakit pemerintah sekelas
Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat) Tingkat Kecamatan sekalipun, paling
tidak terdapat satu orang dokter jaga yang memiliki kewenangan serta kompetensi
menerbitkan dokumen laporan hasil “Visum” berwujud “Visum Et Repertum”. Namun, sekalipun korban pelapor melaporkan
ketersediaan tenaga medik pada Puskesmas Kecamatan tempatnya berdomisili
demikian kepada pihak Penyidik Kepolisian, ternyata pihak Penyidik Kepolisian
menolak untuk memberikan “Surat Pengantar Penyidik Kepolisian” bila rujukannya
bukan kepada rumah sakit “rekanan” sang Penyidik Kepolisian, seolah memonopoli
dan memang bukan lagi sekadar terkesan menghalangi akses terhadap keadilan bagi
korban pelapor, namun juga memperjual-belikan “Surat Pengantar” itu
sendiri—karena bila tidak, mengapa menolak ketika korban pelapor meminta agar
“Surat Pengantar” cukup merujuk pada Puskesmas Kecamatan yang lebih dekat pada
domisili sang korban pelapor dan ternyata pula tersedia tenaga medik yang
berpengalaman dalam melakukan “Visum” serta dapat menerbitkan “Visum Et Repertum”, atau setidaknya
tidak perlu menyebutkan nama rumah sakit manapun dalam “Surat Pengantar”?
Dengan demikian, indikasi nyata
tak terbantahkan yang dapat kita tarik sebagai kesimpulan ialah : ADA APA
DENGAN PENYIDIK KEPOLISIAN KITA? Apakah ada “kongkalikong” terselebung, antara
pihak Rumah Sakit “rekanan” yang memonopoli “Surat Rujukan” sang Penyidik
Kepolisian, seperti sistem “bagi hasil” biaya “Visum”? Katakan dalam sehari
terdapat setidaknya sepuluh korban pelapor, maka dalam setahun artinya terdapat
3.650 biaya “Visum” yang dapat “dibagi hasil” antara pihak Rumah Sakit “rujukan
monopolistik” dan pihak Penyidik Kepolisian penerbit “Surat Pengantar”, yang
tentunya tidak sedikit nilai nominalnya.
Sudah letih dan menderita
kerugian akibat mengalami tindak kejahatan, masih juga pihak warga korban
pelapor harus menghadapi berbagai “ulah” kalangan aparatur penegak hukum yang
ternyata “memperdagangkan” hukum dan menjadikan korban pelapor sebagai “sapi
perahan”. Menjadikan pihak pelaku kejahatan sebagai “sapi perahan” sang
aparatur penegak hukum, tidak menjadi persoalan sepanjang akses terhadap
keadilan pidana dan pemulihannya bagi korban pelapor tidak ditutupi serta
diberikan hak-hak seorang korban atas perlindungan serta tindak-lanjut atas
laporan sebagaimana mestinya.
Bahkan, untuk ukuran korban
pelapor yang datang menghadap dan melapor telah dalam kondisi penuh luka memar
lebab, bahkan sayatan, menjadi mengherankan ketika penyidik kepolisian masih
juga merasa perlu mewajibkan korban pelapor untuk memperoleh “Visum Et Repertum” alih-alih
beristirahat di rumah. Sekalipun zaman telah demikian canggih, cukup berbekal
kamera dari smartphone dari sang penyidik yang resolusinya kian hari kian
tinggi, maka semua kondisi tubuh dapat direkam oleh seorang penyidik
kepolisian, disertai “time stamp”
untuk disimpan pada kapasitas harddisk yang kian hari kian besar, maka sudah
merupakan suatu bukti nyata tak berbantahkan adanya luka-luka pada sekujur
tubuh korban pelapor.
Bila kita maknai, tanpa adanya
dokumen “Visum Et Repertum”, maka
Majelis Hakim menolak untuk memutus bersalah Terdakwa kejahatan, maka itu sama
artinya keadilan bagi korban dapat ditutup aksesnya semata karena terganjal
“biaya Visum” ataupun kerepotan harus membuang waktu mengurus “Visum” pada
rumah sakit “monopolistik” tertentu yang bisa jadi berjarak jauh dari kediaman
sang korban pelapor. Menjadi pertanyaan terbesar bagi kita bersama, apakah baik
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maupun Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
mewajibkan dokumen “Visum Et Repertum”
sebagai alat bukti mutlak agar dapat diputus bersalahnya Terdakwa atas tindak
pidana yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum?
Status “Visum Et Repertum” ialah salah satu alat bukti berupa “alat bukti
surat” itu sendiri, yang derajatnya tidak lebih tinggi dengan alat bukti
lainnya seperti rekaman dokumentasi luka pada tubuh korban (UU ITE), ataupun
bukti-bukti lainnya yang dapat menerangkan detail kejadian penganiayaan, saksi
mata, dsb. Itulah ketika, kewajiban mengantungi dokumen “Visum Et Repertum”—lebih tepatnya kewajiban “Surat Pengantar
Penyidik Kepolisian” sebagai prasyarat mutlak—bagi warga selaku korban untuk
memperoleh keadilan yang memang menjadi haknya, itu sama artinya telah menutup
fakta bahwa ADALAH KEWAJIBAN APARATUR PENEGAK HUKUM, TERUTAMA JAJARAN
APARATUR KEPOLISIAN, UNTUK MENINDAK PELAKU KEJAHATAN, sehingga daya
tekannya disini ialah : pihak kepolisian yang seharusnya lebih proaktif
menegakkan hukum dan melindungi masyarakat tidak terkecuali menegakkan hak
akses atas keadilan bagi korban kejahatan, bukan justru sebaliknya korban
pelapor yang harus lebih sibuk dan lebih proaktif mengakses pintu masuk
keadilan ranah pidana sementara dirinya tidak memiliki kewenangan serupa
layaknya seorang anggota Kepolisian untuk memulai langkah proses penindakan
pidana.
Sehingga, patut pula untuk kita
turut pertanyakan, sebenarnya siapakah yang lebih berwajib untuk menindak
pelaku kejahatan, Kepolisian ataukah pihak Korban itu sendiri? Korban sudah
melapor (dan semestinya cukup sebatas itu saja), sudah menunaikan kewajibannya
untuk melaporkan kejahatan yang dialami olehnya. Selebihnya, maka, menjadi
tanggung jawab moril maupun tanggung jawab profesi dan jabatan, tugas disamping
kewenangannya yang memonopolistik kewenangan untuk menangkap, menyidik,
menahan, menginterogasi, menggeledah, menyita, meringkus, menggunakan senjata
api dan borgol, maupun kewenangan lebih monopolistik seperti untuk melimpahkan
berkas perkara kepada Kejaksaan untuk memulai proses pentuntutan pidana ke
hadapan persidangan.
Bila tidak, maka mengapa segala
kewenangan monopolistik Kepolisian tersebut, tidak dilimpahkan kembali saja
kepada seluruh warga masyarakat, agar warga masyarakat dapat mengandalkan
dirinya sendiri sepenuhnya serta seutuhnya untuk “main hakim sendiri”?
Sudah melapor dan sudah pula mengantungi “Visum Et Repertum” sekalipun, bukan menjadi jaminan bahwa pihak
Penyidik Kepolisian untuk beritikad baik dengan menindak-lanjuti laporan korban
pelapor. Karena tidak jarang justru sebagian besar laporan yang masuk dari para
korban, berakhir pada kondisi “dipeti es-kan” alias diabaikan dan ditelantarkan
(tidak bertanggung-jawab, memonopoli kewenangan, namun tidak bersedia
memberikan jaminan akan menindak-lanjuti laporan warga yang menjadi korban
pelapor)—pada gilirannya, warga korban pelapor merugi berkali-kali lipat, yakni
rugi luka fisik, luka batin, luka waktu, luka biaya, serta luka perasaan serta
PHP (pemberi harapan palsu) bernama secarik “laporan polisi”.
Praktik-praktik persekusi yang
berkembang dan kian dijadikan andalan oleh sebagaian warga di tengah masyarakat
kita dewasa ini di Indonesia, penulis tengarai semata sebagai imbas / reaksi,
kekecewaan komunal yang diakibatkan oleh ketidak-seriusan pihak Kepolisian
dalam menangani dan menindak-lanjuti aduan para warga korban pelapor. Ibarat
berbagai medium pelaporan aksi “pungutan liar”, bila ternyata tiada tindak-lanjut
terhadap pelaporan yang masuk, maka warga masyarakat menjadi “malas” dan
“apatis” untuk melapor (karena tiada jaminan akan ditindak-lanjuti, yang
artinya berpotensi “merugi dua kali”), dimana disaat bersamaan muncul klaim
dari pemerintah, bahwa jumlah aduan dan pelaporan menurun setiap tahunnya
seolah-olah kinerja pemerintah telah mengalami perbaikan berarti tercermin dari
turunnya angka pengaduan / laporan yang masuk.
Bila pihak Penyidik pada
Kepolisian tidak percaya pada instansi medik milik pemerintah sendiri seperti
Puskesmas maupun Rumah Sakit Umum Daerah, mengingat pula karena sifatnya rutin
dimana akan selalu kontinue datang warga yang menjadi korban pelapor untuk
melaporkan ke Kantor Kepolisian, maka sudah seidealnya sejak dahulu kala
berbagai Kantor Kepolisian kita menyediakan layanan terpadu satu atap bernama pemeriksaan
“visum” disamping penerimaan aduan / laporan dari korban pelapor. Terbukti,
hingga kini tidak pernah kita dengar adanya Kantor Polisi sekelas Polres
ataupun Polda yang menyediakan layanan terpadu demikian, karena memang
disitulah letak “ladang bisnis” para aparatur penegak hukum kita. Jika tidak,
bisakah dimaknai sebaliknya?
Contohnya, sebagaimana dapat
kita saksikan sendiri buktinya bahwa Dokter pada Puskesmas (sudah sejak lama)
dibenarkan untuk dapat dan berwenang menerbitkan “Visum Et Repertum”, sebagaimana dalam Putusan Pengadilan Tinggi PONTIANAK
Nomor 18/PID.SUS/2013/PT.PTK, yang menerangkan keberadaan Visum et Repertum Nomor
070/VH/PUSK/IX/12 tanggal 15 Agustus 2011 yang dibuat dan ditanda-tangani
berdasarkan sumpah jabatan oleh dr. Mariana pada Puskesmas Pahauman
Kabupaten Landak—sehingga sudah sepatutnya Penyidik Kepolisian TIDAK
BOLEH MENOLAK permohonan korban pelapor yang hanya menghendaki “Visum” pada
Puskesmas, atau setidaknya “Surat Pengantar Penyidik Kepolisian” TIDAK
MENCANTUMKAN NAMA SALAH SATU RUMAH SAKIT RUJUKAN, namun dapat dipakai dan
dibawa korban dalam menuju Puskemas pilihan terdekat dari kediamannya.
Mengapa hingga saat kini, pada praktiknya
“Surat Pengantar Penyidik Kepolisian” demikian, masih juga menyebutkan secara
monopolistik “rujukan” kepada nama sebuah Rumah Sakit tertentu, alih-alih
memberi ruang kebebasan korban pelapor untuk memilih dan membawa “Surat
Pengatar” demikian menuju Puskesmas terdekat dari kediamannya? APA ADA DENGAN
KEPOLISIAN KITA DI INDONESIA?
Mengapa juga, terkesan kalangan
aparatur Penyidik Kepolisian kita menutup-nutupi fakta empirik kepada kalangan warga
korban pelapor, bahwasannya TIDAK HARUS RUMAH SAKIT BESAR yang dapat melakukan
“Visum” dan menerbitkan dokumen “Visum Et
Repertum”, bahkan hanya bersedia “merujuk” rumah sakit besar “rekanan”
Penyidik Kepolisian dalam “Surat Pengantar”? Faktanya, telah menjadi kelaziman
dalam sejumlah praktik Kantor Kepolsiian yang masih berhati-nurani di
Indonesia, bahwa perolehan “Visum Et
Repertum” dibebaskan kepada pihak korban pelapor untuk menghadap Puskesmas
guna memperoleh dokumen “Visum Et
Repertum”, sebagaimana terbukti dapat kita jumpai sendiri dalam putusan
pengadilan perkara-perkara dengan nomor register sebagai berikut:
- 73/Pid.B/2017/PN.Trt.;
- 124/Pid.B/2011/PN.PANGKAJENE.;
- 50/Pid.B/2020/PN.Wkb.;
- 24/Pid.Sus/2019/PN.Krg.;
- 115/Pid.B/2017/PN.Cjr.;
- 74/Pid.Sus/2017/PN.KLT.;
- 109/Pid.B/2016/PN.Atb., dan
masih banyak lagi preseden serupa.
Penyidik Kepolisian yang “korup”
dan “kotor” (tidak jujur, tidak transparan serta tidak akuntabel), tidak akan
dapat diharapkan untuk menegakkan keadilan bagi pihak warga korban pelapor, dimana
bahkan bila “belum apa-apa sudah memanipulasi dan mengeksploitasi korban
pelapor”. Ada kalanya, aparatur penegak hukum menjadi bagian dari aktor
kejahatan itu sendiri yang perlu kita waspadai. Tidak sedikit, niat warga selaku
korban ketika hendak melapor, menyurutkan niatnya ketika mengetahui tinggi dan beragamnya
biaya “visum” sebagaimana tarif rumah sakit “rujukan” dalam “Surat Pengantar
Penyidik Kepolisian”, dimana kesemua biaya itu masuk ke kantong “pribadi”,
bukan masuk ke kas negara.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.