Sarjana Hukum Common Law Ibarat Sniper, Penembak Jitu Pasti Kena. Sarjana Hukum Indonesia Ibarat Machine Gun, “Siapa Tahu Kena!”

ARTIKEL HUKUM

Falsafah Hukum Dibalik Pembentukan HUKUM KEBIASAAN PRAKTIK PERADILAN, Norma (Bentukan) Preseden, Cikal Bakal Common Law

Dalam bahasa Inggris, frasa “common” dapat kita artikan secara harafiah sebagai bersifat “umum”, “biasa”, ataupun “sama”. Disebut sebagai “Common Law”, asal-muasalnya ialah norma / kaedah hukum yang dikristalisasi dari kebiasaan pada praktik peradilan yang kemudian menjelma menjadi praktik yang lazim terjadi, terus berulang-ulang sehingga menjelma ter-baku-kan (common). Sifatnya “induktif”, yakni dari kasus konkret, dibentuk kaedah hukumnya untuk diberlakukan secara umum untuk kasus serupa dikemudian hari bagi hakim generasi penerus (pembentukan hukum nasional lewat metoda Induktif ini dikembangkan dari pola “khusus” ke “umum”)—berkebalikan dari kaedah hukum yang bersumber / bertopang dari norma bentukan peraturan perundang-undangan, dimana sifatnya “deduktif” yakni norma peraturan perundang-undangan diterapkan pada suatu peristiwa hukum yang konkret (polanya ialah “umum” diimplementasikan ke peristiwa “khusus”).

Untuk menjelaskan apa itu “Common Law”, sebenarnya cuplikan keterangan berikut sudah sangat menjelaskan : “Lex non scripta. The unwritten law. This phrase refers to what is known as common law, the body of law derived in the English tradition from precedent without the formality of statutes and regulations, but nevertheless binding. [Contrary : Lex scripta, refers to the body of written, or statutory, law.]

Terjemahan bebas : “Asas ‘lex non scripta, sebagai landasan sumber hukum ‘tidak tertulis’. Frasa ini merujuk pada sesuatu yang dikenal sebagai ‘common law’, suatu batang tubuh hukum yang diturunkan / berasal dari tradisi Negara Anglo Saxon, yakni dari ‘preseden’ tanpa didahului oleh adanya formalitas peraturan perundang-undangan tertulis, namun tidak kalah mengikatnya. Sebaliknya, asas ‘lex scripta’, merujuk pada tubuh dari suatu norma hukum yang tertulis sifatnya.”

Namun, bukan berarti suatu norma hukum yang bersumber dari pengaturan lewat peraturan perundang-undangan (“law in abstracto”), tidak dapat bermanifestasi atau mewujud menjadi sebentuk praktik kebiasaan peradilan dalam adaptasinya terhadap perkembangan / perubahan zaman maupun rasionalisasi praktiknya ketika terbentur pada “law in concreto”, dimana bisa jadi kebiasaan praktik peradilan telah secara konsisten menyimpangi suatu norma peraturan perundang-undangan (contra legem), dengan tidak memberlakukannya atau bahkan memberlakukan yang sebaliknya.

Sebagai contoh, baik delik pidana “penipuan” maupun “penggelapan”, masing-masing diatur dalam pasal yang berbeda dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dimana masing-masing delik baik “penipuan” maupun “penggelapan” diancam dengan maksimum pidana penjara selama empat tahun lamanya. Namun, praktik kebiasaan di peradilan telah memperlihatkan, Terpidana kasus “penggelapan” rata-rata divonis pidana penjara (sebatas) tiga bulan lama masa hukumannya, sementara Terpidana kasus “penipuan” rata-rata divonis pidana penjara selama tiga tahun lamanya.

Rentang ancaman pidana maksimum dan ancaman pidana minimum, melahirkan potensi ‘disparitas” antar putusan—dimana “disparitas” bermakna adanya suatu “legal gap sentencing” atau kesenjangan antar putusan, baik oleh hakim yang berbeda dalam perkara serupa ataupun oleh hakim yang nama dalam nomor register perkara yang berbeda sekalipun karakteristik kasusnya serupa dan menggunakan dasar hukum berupa pasal pemidanaan yang sama. Harga yang harus dibayar mahal oleh masyarakat selaku stakeholder praktik hukum di ruang peradilan akibat praktik yang “konsisten (dalam hal) ‘tidak konsisten’” demikian (vonis yang saling berdisparitas), ialah “moral hazard” tiada praktik hukum dapat demikian “liar”.

Sebuah adagium Latin, berbunyi, “mali exempli”, mengandung makna sebagai : “Of bad example; of bad precedent” (contoh yang buruk, atau preseden yang buruk). Semisal : “Smoking while standing under a ‘NO SMOKING’ sign, is a mali exempli behavior.” (Menghisap bakaran tembakau ketika berada pada suatu ruangan yang bertuliskan “DILARANG MENGHISAP TEMBAKAU”, merupakan perilaku yang “mali exempli”.)

Mengingat sumber dari praktik hukum ala “Common Law”, ialah berasal dari suatu atau sebentuk kebiasaan praktik yang ter-baku-kan, maka sifat keberlakuan dari “hukum tidak tertulis” ini tunduk pada “hukum kebiasaan” (konvensi)—yang karenanya, menjadi tidak mengherankan bila tradisi keluarga hukum “Common Law” pada negara-negara Anglo Saxon, bertopang pada “konstitusi tidak tertulis” bernama asas “the Binding Force of Precedent” disamping “konstitusi tertulis” pada negara-negara yang bersangkutan. Terciptanya perlindungan terhadap hak asasi warga dari negara bersangkutan, ialah lewat adanya sebentuk KEPASTIAN dalam praktik hukum, yakni dapat diminimalisir atau bahkan ditiadakannya sama sekali potensi disparitas antar putusan—dengan mempersempit “ruang bermain” hakim pemutus perkara.

Hakim menjadi “corong” dari preseden, itulah semangat dibalik tradisi hukum “common law”. Bandingkan dengan praktik hukum di Indonesia yang masih memberlakukan budaya hukum “civil law” secara orthodoks yang kaku dan “kolot”, bahwa hakin sekadar “corong” dari undang-undang—bahaya dibalik paradigma “civil law”, karena titik-topangnya bukanlah “praktik kebiasaan” hakim di peradilan, maka hakim-hakim pada negara dengan budaya hukum “civil law” tidak akan malu-malu untuk membuat amar putusan yang saling berdisparitas terhadap vonis hakim lain pada nomor register perkara lainnya ataupun vonis putusan hakim yang sama pada register nomor perkara yang berbeda, semata karena tiada konsistensi antar putusan yang membentuk semacam “praktik kebiasaan” pada lembaga peradilan. Itulah sebabnya dan mengapa, “norma kebiasaan” lebih tinggi derajatnya (secara sosiologis) daripada norma Undang-Undang.

Adalah melanggar suatu tertib hukum negara beradab, dimana seorang Terdakwa dihukum “bersalah” sementara disaat bersamaan terdapat Terdakwa lainnya dengan kasus / corak-ragam yang serupa dan kongruen, namun diputuskan sebagai “tidak bersalah”—atau, semisal ketika seorang Terpidana dihukum “dua tahun penjara” sementara Terpidana lainnya dihukum dengan vonis “sepuluh tahun penjara” sekalipun atas karakter kasus yang identik, sehingga timbul suatu ketida-adilan terhadap “sense of justice” bagi para pencari keadilan maupun bagi warganegara.

Independensi hakim, hanya boleh tampil dikala tidak membawa potensi kerugian bagi warganegara maupun bagi para pencari keadilan—semisal ketika dihadapkan kepada suatu “kekosongan hukum” (rechts vacuum) sehingga sang hakim pemeriksa perkara merasa adanya keterdesakan serta kebutuhan untuk melakukan “penemuan hukum” (rechts vinding). Itulah sebabnya, para Sarjana Hukum maupun kalangan Jurist pada negara-negara Anglo Saxon, secara kompak menyatakan : “Ilmu hukum adalah ilmu tentang PREDIKSI, dimana berlaku derajat paling maksimum prediktabilitasnya dalam hukum.” Artinya, hakim tidak lagi dapat bersikap “korup” dalam memeriksa dan memutus suatu perkara yang dihadapkan kepadanya, karena putusannya terikat oleh suatu format / blangko “baku” bernama “preseden” itu sendiri—dimana bila sang hakim mencoba menyimpangi preseden yang ada, maka itu sudah menjadi indikator nyata adanya “kolusi” yang dilakukan oleh sang hakim.

Kelebihan paling utama dari budaya hukum “Common Law” itulah, yakni kepastian hukum dengan menutup segala celah disparitas antar putusan, yang pada gilirannya membuat berbagai negara hukum modern di dunia berduyun-duyun “banting setir” dan pindah haluan dari negara “Civil Law” yang semula beritik-topang semata kepada norma peraturan perundang-undangan, beralih menjadi negara dengan budaya hukum “Common Law”—salah satunya ialah Negara Belanda, yang merupakan negara sumber kiblat asas konkordansi hukum Negara Indonesia yang masih mewarisi produk hukum Kolonial Belanda. Praktis, pesona dari tradisi hukum “Civil Law” telah kian meredup, tertinggal, dan kian terbelakang dari praktik hukum negara-negara modern yang beradab.

Mungkin, di dunia hukum modern sekarang ini, hanyalah Indonesia satu-satunya negara yang masih bersifat orthodoks dan konservantif, dalam artian belum berani secara tegas menyerukan “the Binding Force of Precedent” sebagai panglima tertinggi dalam hukum—namun hanya sekadar “the Persuassive Force of Precedent” yang “malu-malu”, ambigu, tidak tegas, rancu, dan penuh kepentingan disamping membuka lebar ruang transaksional dalam praktik hukum di ruang-ruang peradilan di Tanah Air.

Menjadi tidak mengherankan, para Sarjana Hukum pada negara dengan tradisi hukum Common Law seperti Amerika Serikat maupun Inggris dan Negara-Negara Persemakmuran lainnya, bahkan dapat dan berhak untuk menyatakan apakah suatu perkara akan “menang” ataukah akan menemui “kekalahan” jauh sebelum perkara benar-benar dimajukan ke hadapan persidangan, karena “ilmu hukum adalah ilmu tentang PREDIKSI”—sebaliknya, kontras dengan itu, yang menjadi praktik di Indonesia ialah masifnya gugatan perdata maupun tuntutan pidana, upaya hukum Kasasi hingga Peninjauan Kembali, semata dengan memakai perspektif spekulasi “siapa tahu menang”. Di mata kalangan pengacara / advokat di Indonesia, sang klien semata hanyalah “kelinci percobaan”, yang mana menang ataupun kalah tetap akan dapat “lawyering fee”.

Dengan keberlakuan asas “the Binding Force of Precedent”, terdapat dua potensi disparitas putusan hakim di pengadilan yang dapat diantisipasi maupun dimitigasi, yakni “bersalah atau tidaknya” (kualitas), dan “vonis berat atau ringannya penjatuhan hukuman” (kuantitas). Dari segi kualitas, suatu perbuatan hukum yang berdasarkan praktik kebiasaan di peradilan tidak dapat dikriminalisasi, maka itulah “hukumnya” yang berlaku dan mengikat masyarakat, tidak terkecuali hakim di peradilan dalam memeriksa dan memutus perkara tersebut.

Dari segi kuantitas, ketika seorang Terdakwa dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan telah “bersalah” sehingga layak dijatuhi vonis penghukuman, maka tertutup sudah pula ruang bagi hakim pemutus perkara untuk “menjual-belikan putusan” dengan merendahkan vonis hukuman pidana penjara / kurungan / denda bagi sang Terpidana. Karenanya, sebuah “preseden” selalu mengandung dua aspek norma, yakni “norma hukum bersegi kualitas” serta “norma hukum bersegi kuantitas”, dimana keduanya sama-sama mengikat bagi hakim generasi penerusnya yang selanjutnya memeriksa dan memutus perkara serupa dikemudian hari. Jika sudah demikian, adalah percuma mencoba “bermain mata” dengan sang hakim, karena sang hakim terikat (binding) oleh “norma (bentukan) preseden” itu sendiri.

Sebaliknya, tiada yang lebih membahagiakan bagi kalangan hakim yang berpraktik di Indonesia, dimana hakim pemutus perkara demikian tidak terbatas, bebas sebebas-bebasnya, “super independen” (bahkan dari sentuhan hukum itu sendiri), dan bak “pedagang”. Mengapa Negara Indonesia, sekalipun telah mandiri dari segi praktik hukum sejak satu abad yang lampau, masih juga mempertahankan praktik hukum yang demikian orthodoks (“civil law”), sekalipun Negara Belanda sendiri telah secara resmi berpindah haluan, tanya kenapa? “Banting-setir” dari “civil law” menjadi “common law”, dirasakan akan “mengancam” kepentingan kalangan profesi hakim kita di Indonesia, dimana kekuasaan absolut mereka akan teramputasi dan menjadi “penuh keterbatasan”. Sanggupkah? Bersediakah?

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.