ARTIKEL HUKUM
Falsafah Hukum Dibalik Pembentukan HUKUM KEBIASAAN
PRAKTIK PERADILAN, Norma (Bentukan) Preseden, Cikal Bakal Common Law
Dalam bahasa Inggris, frasa “common” dapat kita artikan secara harafiah sebagai bersifat “umum”, “biasa”, ataupun “sama”. Disebut sebagai “Common Law”, asal-muasalnya ialah norma / kaedah hukum yang dikristalisasi dari kebiasaan pada praktik peradilan yang kemudian menjelma menjadi praktik yang lazim terjadi, terus berulang-ulang sehingga menjelma ter-baku-kan (common). Sifatnya “induktif”, yakni dari kasus konkret, dibentuk kaedah hukumnya untuk diberlakukan secara umum untuk kasus serupa dikemudian hari bagi hakim generasi penerus (pembentukan hukum nasional lewat metoda Induktif ini dikembangkan dari pola “khusus” ke “umum”)—berkebalikan dari kaedah hukum yang bersumber / bertopang dari norma bentukan peraturan perundang-undangan, dimana sifatnya “deduktif” yakni norma peraturan perundang-undangan diterapkan pada suatu peristiwa hukum yang konkret (polanya ialah “umum” diimplementasikan ke peristiwa “khusus”).
Untuk menjelaskan apa itu “Common Law”, sebenarnya cuplikan
keterangan berikut sudah sangat menjelaskan : “Lex non scripta. The
unwritten law. This phrase refers to what is known as common law, the body
of law derived in the English tradition from precedent without the formality of
statutes and regulations, but nevertheless binding. [Contrary : Lex scripta,
refers to the body of written, or statutory, law.]”
Terjemahan bebas : “Asas ‘lex non scripta, sebagai landasan
sumber hukum ‘tidak tertulis’. Frasa ini merujuk pada sesuatu yang dikenal
sebagai ‘common law’, suatu batang tubuh hukum yang diturunkan / berasal dari
tradisi Negara Anglo Saxon, yakni dari ‘preseden’ tanpa
didahului oleh adanya formalitas peraturan perundang-undangan tertulis,
namun tidak kalah mengikatnya. Sebaliknya, asas ‘lex scripta’, merujuk pada
tubuh dari suatu norma hukum yang tertulis sifatnya.”
Namun, bukan berarti suatu
norma hukum yang bersumber dari pengaturan lewat peraturan perundang-undangan (“law in abstracto”), tidak dapat
bermanifestasi atau mewujud menjadi sebentuk praktik kebiasaan peradilan dalam
adaptasinya terhadap perkembangan / perubahan zaman maupun rasionalisasi praktiknya
ketika terbentur pada “law in concreto”,
dimana bisa jadi kebiasaan praktik peradilan telah secara konsisten menyimpangi
suatu norma peraturan perundang-undangan (contra legem), dengan tidak memberlakukannya atau bahkan
memberlakukan yang sebaliknya.
Sebagai contoh, baik delik
pidana “penipuan” maupun “penggelapan”, masing-masing diatur dalam pasal yang
berbeda dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dimana masing-masing delik
baik “penipuan” maupun “penggelapan” diancam dengan maksimum pidana penjara
selama empat tahun lamanya. Namun, praktik kebiasaan di peradilan telah
memperlihatkan, Terpidana kasus “penggelapan” rata-rata divonis pidana penjara
(sebatas) tiga bulan lama masa hukumannya, sementara Terpidana kasus “penipuan”
rata-rata divonis pidana penjara selama tiga tahun lamanya.
Rentang ancaman pidana maksimum
dan ancaman pidana minimum, melahirkan potensi ‘disparitas” antar
putusan—dimana “disparitas” bermakna adanya suatu “legal gap sentencing” atau kesenjangan antar putusan, baik oleh
hakim yang berbeda dalam perkara serupa ataupun oleh hakim yang nama dalam
nomor register perkara yang berbeda sekalipun karakteristik kasusnya serupa dan
menggunakan dasar hukum berupa pasal pemidanaan yang sama. Harga yang harus
dibayar mahal oleh masyarakat selaku stakeholder
praktik hukum di ruang peradilan akibat praktik yang “konsisten (dalam hal) ‘tidak
konsisten’” demikian (vonis yang saling berdisparitas), ialah “moral hazard”
tiada praktik hukum dapat demikian “liar”.
Sebuah adagium Latin, berbunyi,
“mali exempli”, mengandung makna
sebagai : “Of bad example; of bad
precedent” (contoh yang buruk, atau preseden yang buruk). Semisal : “Smoking while standing under a ‘NO SMOKING’
sign, is a mali exempli behavior.” (Menghisap bakaran tembakau ketika
berada pada suatu ruangan yang bertuliskan “DILARANG MENGHISAP TEMBAKAU”,
merupakan perilaku yang “mali exempli”.)
Mengingat sumber dari praktik
hukum ala “Common Law”, ialah berasal
dari suatu atau sebentuk kebiasaan praktik yang ter-baku-kan, maka sifat
keberlakuan dari “hukum tidak tertulis” ini tunduk pada “hukum kebiasaan”
(konvensi)—yang karenanya, menjadi tidak mengherankan bila tradisi keluarga
hukum “Common Law” pada negara-negara
Anglo Saxon, bertopang pada “konstitusi tidak tertulis” bernama asas “the Binding Force of Precedent”
disamping “konstitusi tertulis” pada negara-negara yang bersangkutan.
Terciptanya perlindungan terhadap hak asasi warga dari negara bersangkutan,
ialah lewat adanya sebentuk KEPASTIAN dalam praktik hukum, yakni dapat
diminimalisir atau bahkan ditiadakannya sama sekali potensi disparitas antar
putusan—dengan mempersempit “ruang bermain” hakim pemutus perkara.
Hakim menjadi “corong” dari
preseden, itulah semangat dibalik tradisi hukum “common law”. Bandingkan dengan praktik hukum di Indonesia yang
masih memberlakukan budaya hukum “civil
law” secara orthodoks yang kaku dan “kolot”, bahwa hakin sekadar “corong”
dari undang-undang—bahaya dibalik paradigma “civil law”, karena titik-topangnya bukanlah “praktik kebiasaan”
hakim di peradilan, maka hakim-hakim pada negara dengan budaya hukum “civil law” tidak akan malu-malu untuk
membuat amar putusan yang saling berdisparitas terhadap vonis hakim lain pada
nomor register perkara lainnya ataupun vonis putusan hakim yang sama pada
register nomor perkara yang berbeda, semata karena tiada konsistensi antar
putusan yang membentuk semacam “praktik kebiasaan” pada lembaga peradilan. Itulah
sebabnya dan mengapa, “norma kebiasaan” lebih tinggi derajatnya (secara
sosiologis) daripada norma Undang-Undang.
Adalah melanggar suatu tertib
hukum negara beradab, dimana seorang Terdakwa dihukum “bersalah” sementara
disaat bersamaan terdapat Terdakwa lainnya dengan kasus / corak-ragam yang
serupa dan kongruen, namun diputuskan sebagai “tidak bersalah”—atau, semisal
ketika seorang Terpidana dihukum “dua tahun penjara” sementara Terpidana
lainnya dihukum dengan vonis “sepuluh tahun penjara” sekalipun atas karakter
kasus yang identik, sehingga timbul suatu ketida-adilan terhadap “sense of justice” bagi para pencari
keadilan maupun bagi warganegara.
Independensi hakim, hanya boleh tampil dikala
tidak membawa potensi kerugian bagi warganegara maupun bagi para pencari
keadilan—semisal
ketika dihadapkan kepada suatu “kekosongan hukum” (rechts vacuum) sehingga sang hakim pemeriksa perkara merasa adanya
keterdesakan serta kebutuhan untuk melakukan “penemuan hukum” (rechts vinding). Itulah sebabnya, para
Sarjana Hukum maupun kalangan Jurist pada negara-negara Anglo Saxon, secara
kompak menyatakan : “Ilmu hukum adalah
ilmu tentang PREDIKSI, dimana berlaku
derajat paling maksimum prediktabilitasnya dalam hukum.” Artinya, hakim
tidak lagi dapat bersikap “korup” dalam memeriksa dan memutus suatu perkara
yang dihadapkan kepadanya, karena putusannya terikat oleh suatu format /
blangko “baku” bernama “preseden” itu sendiri—dimana bila sang hakim mencoba
menyimpangi preseden yang ada, maka itu sudah menjadi indikator nyata adanya
“kolusi” yang dilakukan oleh sang hakim.
Kelebihan paling utama dari
budaya hukum “Common Law” itulah,
yakni kepastian hukum dengan menutup segala celah disparitas antar putusan, yang
pada gilirannya membuat berbagai negara hukum modern di dunia berduyun-duyun “banting
setir” dan pindah haluan dari negara “Civil
Law” yang semula beritik-topang semata kepada norma peraturan
perundang-undangan, beralih menjadi negara dengan budaya hukum “Common Law”—salah satunya ialah Negara Belanda,
yang merupakan negara sumber kiblat asas konkordansi hukum Negara Indonesia
yang masih mewarisi produk hukum Kolonial Belanda. Praktis, pesona dari tradisi
hukum “Civil Law” telah kian meredup,
tertinggal, dan kian terbelakang dari praktik hukum negara-negara modern yang
beradab.
Mungkin, di dunia hukum modern
sekarang ini, hanyalah Indonesia satu-satunya negara yang masih bersifat orthodoks
dan konservantif, dalam artian belum berani secara tegas menyerukan “the Binding Force of Precedent” sebagai
panglima tertinggi dalam hukum—namun hanya sekadar “the Persuassive Force of Precedent” yang “malu-malu”, ambigu, tidak
tegas, rancu, dan penuh kepentingan disamping membuka lebar ruang transaksional
dalam praktik hukum di ruang-ruang peradilan di Tanah Air.
Menjadi tidak mengherankan,
para Sarjana Hukum pada negara dengan tradisi hukum Common Law seperti Amerika Serikat maupun Inggris dan Negara-Negara
Persemakmuran lainnya, bahkan dapat dan berhak untuk menyatakan apakah suatu perkara
akan “menang” ataukah akan menemui “kekalahan” jauh sebelum perkara benar-benar
dimajukan ke hadapan persidangan, karena “ilmu hukum adalah ilmu tentang PREDIKSI”—sebaliknya,
kontras dengan itu, yang menjadi praktik di Indonesia ialah masifnya gugatan perdata
maupun tuntutan pidana, upaya hukum Kasasi hingga Peninjauan Kembali, semata
dengan memakai perspektif spekulasi “siapa tahu menang”. Di mata
kalangan pengacara / advokat di Indonesia, sang klien semata hanyalah “kelinci
percobaan”, yang mana menang ataupun kalah tetap akan dapat “lawyering fee”.
Dengan keberlakuan asas “the
Binding Force of Precedent”, terdapat dua potensi disparitas putusan hakim di
pengadilan yang dapat diantisipasi maupun dimitigasi, yakni “bersalah atau
tidaknya” (kualitas), dan “vonis berat atau ringannya penjatuhan hukuman”
(kuantitas). Dari segi kualitas, suatu perbuatan hukum yang berdasarkan praktik
kebiasaan di peradilan tidak dapat dikriminalisasi, maka itulah “hukumnya” yang
berlaku dan mengikat masyarakat, tidak terkecuali hakim di peradilan dalam
memeriksa dan memutus perkara tersebut.
Dari segi kuantitas, ketika
seorang Terdakwa dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan telah “bersalah”
sehingga layak dijatuhi vonis penghukuman, maka tertutup sudah pula ruang bagi
hakim pemutus perkara untuk “menjual-belikan putusan” dengan merendahkan vonis
hukuman pidana penjara / kurungan / denda bagi sang Terpidana. Karenanya,
sebuah “preseden” selalu mengandung dua aspek norma, yakni “norma hukum bersegi
kualitas” serta “norma hukum bersegi kuantitas”, dimana keduanya sama-sama mengikat
bagi hakim generasi penerusnya yang selanjutnya memeriksa dan memutus perkara
serupa dikemudian hari. Jika sudah demikian, adalah percuma mencoba “bermain
mata” dengan sang hakim, karena sang hakim terikat (binding) oleh “norma (bentukan) preseden” itu sendiri.
Sebaliknya, tiada yang lebih
membahagiakan bagi kalangan hakim yang berpraktik di Indonesia, dimana hakim pemutus
perkara demikian tidak terbatas, bebas sebebas-bebasnya, “super independen”
(bahkan dari sentuhan hukum itu sendiri), dan bak “pedagang”. Mengapa Negara Indonesia,
sekalipun telah mandiri dari segi praktik hukum sejak satu abad yang lampau,
masih juga mempertahankan praktik hukum yang demikian orthodoks (“civil law”), sekalipun Negara Belanda sendiri
telah secara resmi berpindah haluan, tanya kenapa? “Banting-setir” dari “civil law” menjadi “common law”, dirasakan akan “mengancam” kepentingan kalangan
profesi hakim kita di Indonesia, dimana kekuasaan absolut mereka akan
teramputasi dan menjadi “penuh keterbatasan”. Sanggupkah? Bersediakah?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.