Perjanjian Hutang-Piutang TANPA Menyertakan Persetujuan Istri dari Debitor, Menjadi Kerugian Kreditor dan Keuntungan bagi Pihak Debitor?

 LEGAL OPINION

Debitor Nakal Tidak akan Pernah dapat Mengambil Keuntungan dari Hukum, Itulah “Hukum Diatas Segala Hukum” terkait Pinjam-Meminjang Dana

Question: Biasa kita sehari-hari pinjam dan meminjam uang, tidak perlu beritahu istri. Repot bila kemana-mana harus ditemani atau didampingi istri. Sehingga timbul persepsi dalam benak, hukum tiada ada aturan harus menyertakan izin atau persetujuan suami-istri bila hendak meminjam uang ataupun untuk meminjamkan uang. Jadinya, pernah saya buat satu surat perjanjian pinjam-meminjam uang dengan nominal cukup besar, tapi tanpa menyertakan istri si peminjam uang.

Ternyata, dibelakang hari si peminjam uang menunggak dan kini “macet”. Ternyata pula, kini saya baru mengetahui, ada aturan hukum harus menyertakan istri dari si calon debitor untuk ikut tanda-tangan ini surat hutang-piutang (sehingga ada cacat formil dalam proses pembentukan surat perjanjian hutang-piutang). Apa benar, ada orang hukum yang bilang itu surat hutang-piutang saya tidak sah, lalu menakut-nakuti saya seolah saya tidak bisa lagi menagih dan meminta uang saya dikembalikan si peminjam?

Brief Answer: Tidak seperti itu, hukum tidak se-fatal-istis demikian. Terlagi pula Sarjana Hukum mana yang membuat opini hukum “sesat” demikian? Itu sama seperti membuat “blunder”, seolah jika suatu perjanjian mengandung cacat seperti kurangnya salah satu pihak, maka akan menguntungkan salah satu pihak yang berhutang dan merugikan pihak pemilik piutang—tidaklah benar paradigma berpikir demikian. Pada prinsip dan asasnya, hutang harus dibayar lunas, apapun alasannya, inilah yang disebut sebagai prinsip “good faith” atau “itikad baik”. Bila tidak, maka itu artinya norma hukum yang “korup” karena menjadi seolah “pro” terhadap debitor “nakal”.

“Itikad TIDAK baik” juga tampak dari pihak peminjam dana, mengapa dirinya tidak turut menyertakan pasangannya ketika meminjam dana dan turut menanda-tangani Akta Hutang-Piutang dengan Kreditornya? Berarti ada pula kontribusi unsur kesalahan dari pihak Debitor itu sendiri, sehingga tidak dapat menjadi “alasan pembenar” bagi dirinya untuk menunggak dan/atau bahkan “mengemplang” dana pinjaman.

Tidak dapat kita maknai, dengan adanya ketidak-sempurnaan berupa kurang lengkapnya (kekurang-lengkapan) para pihak dalam suatu perjanjian hutang-piutang, dimaknai pihak Debitor berhak untuk merugikan Kreditornya, dan mengambil keuntungan dibalik “kesesatan” semacam itu, seolah-olah debitor yang lebih di-“favoritkan” oleh hukum—yang mana bisa saja dari sejak semula dirancang oleh pihak Debitor itu sendiri (“by design”) dengan memanfaatkan “ketidak-tahuan hukum” pihak Kreditornya dengan hanya tampil seorang diri tanpa mengajak-serta istrinya ketika menanda-tangani Akta Hutang-Piutang.

PEMBAHASAN:

Dasar hukum dari “kesepakatan”, ialah bersumber pada asas klasik dari hukum bisnis bernama “pacta sunt servanda”, yang sifatnya berlaku secara global-universal di seluruh dunia, terutama bermula pada hubungan antar pedagang (“lex mercatoria” alias “the Law of Merchant”) secara lisan sebagai tradisi paling mulanya secara lisan. Asas demikian, kemudian dijewantahkan ke dalam norma tertulis yakni lewat keberlakuan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata):

Semua (isi) perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”

Adapun yang menjadi ketentuan terkait “syarat sah perjanjian” diatur dalam ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:

Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab (causa) yang sahih / tidak melawan hukum.”

Seorang suami yang telah beristri (berumah-tangga tanpa suatu perjanjian pemisahan harta kekayaan, mengakibatkan segala hak dan kewajiban selama perikatan perkawinan berlangsung menjadi bercampur satu sama lain), tidak menyertakan sang istri ketika membuat perikatan yang menimbulkan kewajiban pembayaran hutang, maupun sebaliknya seorang Kreditor menyerahkan hartanya berupa dana “harta bersama” untuk dipinjamkan tanpa menyertakan persetujuan istrinya, maka para pihak menjadi “tidak cakap hukum” untuk melakukan perbuatan hukum pinjam-meminjam.

Ayat ke-1 dan Ayat ke-2 dari “syarat sah perjanjian” Pasal 1320 KUHPerdata di atas, disebut sebagai “unsur subjektif”, dimana bila tidak terpenuhinya “kecakapan hukum” salah satu ataupun kedua belah pihak, akibatnya ialah “dapat dibatalkannya” (voidable) perjanjian oleh salah satu ataupun oleh para pihak. Artinya pula, perjanjian tersebut tetap sah dan berlaku mengikat para pihak, sepanjang belum dibatalkan oleh salah satu atau para pihak lewat perantara putusan pengadilan—inilah yang menjadi asal-muasalnya, mengapa kemudian timbul mis-persepsi ditengah-tengah masyarakat seolah anak dibawah umur sekalipun boleh dan berwenang membeli sesuatu barang di toko kelontong, sebagai contoh.

Masalahnya, mengikatkan diri tanpa persetujuan suami-istri, termasuk juga dikategorikan sebagai “causa yang tidak sahih” karena melanggar ketentuan imperatif perihal “kewenangan atas harta bersama” harus berdasarkan persetujuan kedua belah pihak pasangan suami-istri, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perkawinan, yakni Ayat ke-4, yang bersama-sama serta dengan Ayat ke-3 Pasal 1320 KUHPerdata di atas dikategorikan sebagai “unsur objektif”, bila tidak terpenuhi mengakibatkan “konsekuensi yuridis” berupa perjanjian “batal demi hukum” (null and void)—sekalipun tetap membutuhkan perantara putusan pengadilan untuk “kebatalannya” guna memulihkan kerugian satu atau para pihak.

Bagaimanakah implementasi serta tindak-lanjut dari ketentuan batalnya suatu perjanjian, yaitu bermuara pada medium sebagaimana diatur lewat ketentuan normatif Pasal 1266 KUHPerdata:

Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.

“Dalam hal yang demikian persetujuan tidak dapat batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim.

Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan didalam perjanjian.

“Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, hakim adalah leluasa untuk menurut keadaan, atas permintaan si tergugat, memberikan suatu jangka waktu untuk masih juga memenuhi kewajibannya. Jangka waktu mana namun itu tidak boleh lebih dari satu bulan.”

Yang untuk itu “kebatalan” mempunyai konsekuensi logis serta konsekuensi yuridis sebagaimana tertuang pengaturannya lewat Pasal 1265 KUHPerdata:

“Suatu syarat batal adalah syarat yang apabila dipenuhi (atau terjadi),  menghentikan perikatan, dan membawa segala sesuatu kembali, pada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu perikatan. Syarat ini tidak menangguhkan pemenuhan perikatan; hanyalah ia mewajibkan si berpiutang mengembalikan apa yang telah diterimanya, apabila peristiwa yang dimaksudkan terjadi.”

Perihal “kebatalan” serta akibat “kebatalan”, juga relevan terkait norma Pasal 1267 KUHPerdata:

“Pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih apakah ia, jika hal itu masih dapat dilakukan akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi perjanjian, ataukah ia akan menuntut pembatalan perjanjian, disertai penggantian biaya kerugian dan bunga.”

Makna dari ketentuan Pasal 1265 KUHPerdata perihal “pembatalan” atau “kebatalan” di atas, ialah terutama terletak pada frasa “membawa segala sesuatu kembali, pada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu perikatan” (reset dari titik nol) sebagai konsekuensi logis maupun sebagai konsekuensi yuridisnya. Artinya, bukan dana milik Kreditor menjadi tidak wajib dikembalikan oleh pihak Debitor, justru menjadi KEWAJIBAN hukum “kebatalan” bagi / terhadap pihak Debitor untuk mengembalikan seluruh dana-dana pinjaman yang selama ini telah dan pernah diterimanya dari pihak dan Kreditor—dan sebaliknya, segala cicilan yang pernah dilakukan oleh pihak Debitor, wajib dikembalikan oleh pihak Kreditor ketika terjadi “kebatalan”.

Konsekuensi yuridis kedua dari kejadian “kebatalan” / “pembatalan” suatu perjanjian ialah, tidak dapatnya pihak Kreditor menuntut diberikannya “bunga” atas hutang-piutang sebagaimana diatur dalam Perjanjian Hutang-Piutang yang dinyatakan “batal” tersebut karena tidak terpenuhinya “unsur subjektif syarat sah perjanjian” sehingga dapat diajukan “pembatalan” (voidable) ataupun bila kita maknai sebagai tidak terpenuhinya “unsur objektif syarat sah perjanjian” sehingga “batal demi hukum”—ujung muara konsekuensinya tetaplah sama : SEMUA WAJIB SALING MENGEMBALIKAN, DIPULIHKAN SEPERTI SEDIA KALA, KEMBALI KE TITIK / KEADAAN / KONDISI SEMULA (annulment).

Konsekuensi yuridis ketiga dari kejadian “kebatalan” / “pembatalan” suatu perjanjian ialah, jika terdapat “perjanjian accessoir” atau “perjanjian turunan” dari “perjanjian pokok (hutang-piutang)”, seperti perjanjian pengikatan agunan dengan ikatan Hak Tanggungan, Fidusia, Personal Guarantee, Corporate Guarantee, Gadai, Hipotik, dan lain sebagainya, maka segala agunan atau jaminan demikian turut menjadi gugur dan tidak berlaku serta tidak memiliki daya ikat hukum serta wajib di-“ROYA”—pada gilirannya membuat posisi Kreditor itu sendiri menjadi riskan dan paling dirugikan karena pelunasan piutangnya tidak lagi terjamin oleh agunan / jaminan apapun bila Debitor ingkar-janji untuk melunasi segala pinjamannya. Pada satu sudut pandang inilah, tidak terpenuhinya syarat formil benar-benar membawa resiko bagi pihak Kreditor atas jaminan pelunasan hutang Debitor.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.