Akibat Pemerintah dan Warga yang Mencoba Mencurangi Realita Wabah Pandemik Virus Menular Mematikan

ARTIKEL HUKUM

Bermaksud Hendak Untung dengan Mencoba Mencurangi Realita Serangan Wabah, Seolah-Olah “Normal”, Justru Merugi Lebih Besar Akibat Keadaan Serba BERLARUT-LARUT TANPA KETEGASAN PEMERINTAH PLUS SIKAP WARGA YANG PEMBANGKANG

Tentunya kita pernah mengalami keadaan dimana semula kita bermaksud hendak “untung” dengan menghemat lebih banyak pengeluaran biaya, justru pada gilirannya kita merugi berkali-kali lipat. Tidak realistis, dan sikap-sikap yang “tidak mau merugi”, tidak jarang membuat kita “benar-benar merugi”—mungkin itulah yang disebut parakdoksal kehidupan. Sebagai contoh, pastilah kita pernah membeli tas murah dengan maksud untuk berhemat, ternyata “tidak awet” karena cepat rusak dikarenakan kualitas yang tidak bermutu (alias “murahan”). Akibatnya, lebih banyak waktu serta biaya kita yang terbuang percuma.

Sebaliknya, ketika kita bersedia untuk mengeluarkan biaya sedikit lebih banyak, namun karena kualitas produk yang unggul kita dapatkan, pada gilirannya kita menghemat lebih banyak pengeluaran. Sama halnya, ketika masyarakat kita tidak bersedia “puasa” selama satu atau dua bulan lamanya lewat kebijakan “LOCK DOWN MURNI”, pada gilirannya kita merugi jauh lebih banyak. Kalkulasi bisnis, sebenarnya dapat kita terapkan prinsip serupa dalam berbagai bidang aspek kehidupan.

Ketika pemerintah berbangga diri mengklaim angka kesembuhan pasien terjangkit virus menular mematikan di Indonesia sangat tinggi pencapaiannya, dan berbagai instansi maupun perorangan mengklaim telah menemukan “obat” hingga “vaksin” penangkal dan penyembuh virus menular mematikan, maka sebagai konsekuensi logisnya masyarakat akan kian meremehkan ancaman serius wabah yang menjelma pandemik, seolah tidak lebih fatal daripada virus flu biasa, seolah-olah pemerintah kita tidak mengenali tabiat warganya sendiri yang selama ini dikenal “pembangkang”, “sombong” (merasa “kebal” dan “disayangi Tuhan”), tidak perduli pada kondisi orang lain yang bisa jadi akan tertular akibat “ulah”-nya, hingga suka “meremehkan” ancaman sekaliber virus menular mematikan.

Terdapat bahaya laten dibalik komunikasi politik pemerintah kepada publik, semisal mengumumkan dengan demikian penuh kebanggaan, bahwa pemerintah berhasil “menyembuhkan” sebagian besar pasien terjangkit virus menular mematikan, meskipun fakta empiriknya para pasien tersebut tidak benar-benar “sembuh”. Sebagaimana kita ketahui, obat “klorokuin” telah lama dilarang di Eropa, karena menimbulkan efek samping berupa gangguan irama jantung pasien. Namun, demi mengejar angka kesembuhan yang tinggi, dengan “tega”-nya kalangan medik di Indonesia secara “memaksakan diri” masih juga meresepkan “klorokuin” sebagai salah satu bahan racikan ramuan dalam pengobatan bagi pasien terjangkit virus menular mematikan.

Tidak sedikit kita dengar testimoni sejumlah mantan pasien terjangkit, dirinya dinyatakan “sempuh” namun sepulangnya dari perawatan, dirinya justru menderita penyakit baru, yakni penyakit gangguan irama jantung. Istilah “sembuh” pun cukup menyerupai fatamorgana, betapa tidak, pasien harus diisolasi selama setidaknya satu bulan, berakibat pada kehilangan mata pencaharian selama satu bulan bagi diri dan keluarganya, belum lagi “social cost” yang harus dibayarkan. “Sembuh” dan “pulih”, ternyata tidak seiring senada. Ekonomi dan wabah tidak pernah dapat berjalan bersamaan, terlebih “hidup berdampingan”.

Terdapat pula bahaya dibalik klaim-klaim perihal telah ditemukannya “obat” penyembuh ataupun harapan yang bertumpu pada “vaksin” yang masih merupakan “calon / bakal vaksin” yang lebih condong berupa spekulasi apakah akan efektif atau tidaknya menangkal ancaman wabah mengingat para mantan pasien terjangkit dapat kembali terjangkit untuk kesekian kalinya (antibodi semu). Komunikasi politik demikian, berakibat pada kian mengendurnya kewaspadaan publik, yang sejak semula sudah “meremehkan”, kini menjelma kian “meremehkan” karena memandang tingkat mortalitas dari wabah ini sangat rendah disamping telah terdapat “obat” atau bahkan penangkalnya berupa “vaksin”.

Bahaya kedua dibalik komunikasi politik pemerintah, yang demikian anti terhadap kebijakan tegas seperti “Lock Down”, seolah kebijakan tegas demikian akan mengancam ekonomi rakyat banyak. Lock Down” tidaklah se-mematikan wabah menular mematikan, karena mata rantai pemutusan wabah yang disebabkan oleh virus menular mematikan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) cukup selama satu hingga dua bulan, dimana tubuh manusia yang mampu bertahan dari infeksi selanjutnya antibodi tubuh akan dapat mematikan seluruh virus COVID-19 dalam tempo 30 hari hingga 38 hari. Bila kita berlarut-larut seperti kebijakan pemerintahan Indonesia sekarang ini, justru konsekuensi ekonominya jauh lebih mematikan, karena semakin lama pandemik bersarang di republik ini, maka semakin tingkat ekonomi makro rakyat kian merosot menuju resesi jurang ekonomi dan semakin sukar bangkit karena akar penyakitnya dibiarkan “bersarang dan berlarut-larut”.

Kekompakan segenap warga dan ketegasan pemerintah, adalah kata kuncinya untuk mengatasi wabah. Penerapan “Lock Down”, ibarat masyarakat bergotong-royong “puasa”. Bukankah masyarakat Indonesia dikenal “hebat” dalam hal “berpuasa”? Setelah “puasa” selama satu hingga dua bulan lamanya, maka ekonomi rakyat dapat kembali menggeliat. Terbukti saat negara-negara lain berjibaku “berdarah-darah” menghadapi pandemik virus menular mematikan yang disebabkan COVID-19 karena menerapkan kebijakan yang tidak tegas (berlarut-larut), negara Tiongkok-China saat ini justru kembali melakukan pembangunan berskala pesat dan tingkat pertumbuhan ekonominya kembali merangkak naik menuju positif sehingga meninggalkan negara-negara lainnya yang kian “sakit” jauh di belakang. Sekalipun mulanya China yang diserang wabah, kini China dalam tempo relatif singkat dalam satu semester berbalik menjadi pemenang “perang dagang” global.

Pada sisi lain, komunikasi kerakyatan kita pun tidak kalah berbahaya yang dapat menjadi resonansi kepada publik luas lainnya, seperti pernyataan bahwa wabah virus menular mematikan hanyalah “hoax”, “skenario konspirasi”, hingga untuk ukuran data statistik warga terjangkit yang terjadi setiap harinya yang dipublikasi pemerintah kepada publik (asas transparansi) dianggap sebagai “menakut-nakuti” rakyat. Sama halnya, apakah ancaman pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana belum cukup menakutkan masyarakat kita, sehingga pelanggaran oleh warga terus saja terjadi?

Data adalah “objektif” sifatnya, namun ketika sampai pada telinga “audiens”, menjelma subjektif (faktor penafsiran dalam proses olah informasi di dalam benak pemirsanya), tidak lagi bebas nilai—dan itulah yang perlu diwaspadai oleh pemerintah maupun insan pers. Akan tetapi, data disaat bersamaan juga dapat menjadi “komoditas” politik, dengan mengemasnya bersama dengan penafsiran “versi pemerintah” terhadap data yang tersaji sebelum kemudian “dijejali” kepada telinga dan mata publik, dengan maksud untuk membangun “narasi” kepada publik (narasi “ambigu”, kebijakan serba “separuh hati”, teknik komunikasi yang sangat buruk seolah pemerintah kekurangan staf ahli dibidangnya). Sebaliknya, publik pun dapat membangun “kontra narasi” terhadap “narasi” yang dikandangkan oleh pemerintah.

Gambaran empirik yang penulis hadapi dan alami secara langsung sebagai contoh empirik, mungkin dapat memberikan gambaran kalkulasi bisnis “untung dan ruginya”. Jika saja Indonesia menerapkan kebijakan “LOCK DOWN Murni” selama dua bulan lamanya, maka penulis akan kehilangan dua bulan pendapatan dari profesi penulis. Namun, karena pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan “serba KOMPROMI” yang tidak memiliki ketegasan, “separuh hati”, serta demikian “LONGGAR”, terkesan “tidak konsisten” sehingga menimbulkan resistensi publik yang kian meremehkan penegakan disiplin “protokol kesehatan” yang “konon” digalakkan oleh pemerintah, akibatnya pendapatan penulis menjadi tidak optimal selama lebih dari dua bulan dan tanpa kepastian sampai kapan akan terus berlangsung. Mau dibawa ke mana, hubungan kita...? Jangan di-“gantung”.

Pengorbanan penulis dan warga lainnya yang hidup dalam “ketidak-pastian” karena tanpa adanya “ketegasan” sikap pemerintah selama ini yang serba “ambigu” dan “mencari aman sendiri” dengan membiarkan warga masyarakat “berperang sendiri” melawan wabah, berakibat pada kerugian laten yang lebih besar lagi berupa “potential loss” selama masa pandemik yang berlarut-larut dan dibiarkan tidak terkendali ini, seolah negara tidak pernah benar-benar hadir di tengah-tengah masyarakat yang dibiarkan berperang sendiri menghadapi “penjajah yang tidak kasat mata”—alias, dibiarkan rakyatnya “terjajah”. Selama masa pandemik yang berlarut-larut ini, penulis selalu menolak calon klien pengguna jasa konseling seputar hukum yang hanya menghendaki sesi konsultasi “tatap-muka”, sementara penulis hanya bersedia menyediakan jasa konsultasi via “online”.

Bila saja pemerintah bersikap tegas, dengan benar-benar menegakkan hukum berupa norma perintah serta norma larangan, bukan sekadar “himbauan” garing kering makna, perintah untuk memakai masker serta “physical distancing” disamping larangan untuk keluar rumah, selama setidaknya satu atau dua bulan lamanya “LOCK DOWN”, sehingga mata rantai penularan terputus seutuhnya dan negeri ini bebas dari wabah virus menular COVID-19 ini, maka penulis hanya cukup “berpuasa” selama satu sampai dua bulan lamanya. Entah mengapa, bangsa ini menolak “berpuasa” sekalipun mengaku sebagai bangsa “agamais” yang (“konon”) terbiasa “puasa”, serta pemerintah pun seolah tidak berani memerintah agar rakyatnya “berpuasa” selama satu hingga dua bulan lamanya. Menjadi kita ragukan, apakah betul Bangsa Indonesia ini “jagoan” untuk urusan “berpuasa ria”.

Contoh sederhana, bila sebelumnya kita makan tiga kali sehari, namun karena kemudian “LOCK DOWN” sehingga tiada aktivitas di luar rumah, maka kita cukup makan satu atau satu setengah kali dalam sehari, otomatis pengeluaran bulanan terpangkas hingga separuhnya karena juga tiada faktor pengeluaran untuk transportasi ataupun hiburan, berhibernasi layaknya “beruang kutub”, sehingga pengeluaran bulanan pun dapat ditekan hingga hanya separuhnya atau bahkan kurang dari itu, dimana “LOCK DOWN” selama satu hingga dua bulan bukanlah sebuah “kiamat” dan tidak akan mematikan rakyat.

Terbukti, rakyat kita itu sendiri yang memang “nakal”, “badung”, “norak”, pembangkang, suka menentang, arogan, “bebal”, “keras kepala”, menolak kebaikan, sok kuat (hendak menantang dan melawan virus menular mematikan), dimana bahkan para tetangga di lingkungan pemukiman penulis hanya kurang dari dua puluh persennya yang mengenakan masker saat keluar rumah dan berkerumun tanpa menjaga jarak, perkantoran yang masih tetap memakai Air Conditioner tanpa sirkulasi udara dengan benar-benar menjadi ruangan tertutup, sehingga memang rakyat kita sendiri yang “suka aneh-aneh”, bukan menolak “protocol kesehatan (cegah COVID-19)” ataupun menolak “LOCK DOWN” karena pertimbangan ekonomi, namun memang masyarakat dan Rakyat Indonesia itu sendiri yang “aneh-nyeleneh” alias “aneh-aneh saja” sikapnya—cerminan kualitas “dangkal” watak bangsa suatu negara. Jika hanya diam di rumah maka tidak bisa cari uang untuk makan, itu semua hanya “alasan” atau “dalih” belaka, terbukti para kalangan yang mampu secara ekonomi dan tinggi pendidikannya, di lingkungan pemukiman penulis, justru sebagian besar dari mereka yang menjadi aktor pelanggar “protokol kesehatan (cegah COVID-19).

Sehingga, pemerintah kita perlu mulai menyadari, musuh terbesar kita sebenarnya ialah sikap pembangkang dan “suka mencari-cari alasan ‘tidak kerja keluar rumah maka tidak makan’” dari masyarakat kita sendiri, bukan sang virus penyebab wabah itu sendiri. Menyadari bahwa rakyat kita sejatinya tidak akan mati dan tidak akan kiamat bila penerapan “LOCK DOWN” secara murni diterapkan, justru dunia usaha dan perekonomian makro maupun mikro akan benar-benar kolaps bila keadaan wabah dibiarkan berlarut-larut tanpa ketegasan, dimana pengusaha kecil dan menengah pun terancam “gulung tikar” diakibatkan daya beli masyarakat yang merosot, maka tidak ada lagi alasan negara tidak hadir dan tampil untuk mengambil kebijakan tegas berupa “LOCK DOWN” tanpa kompromi dan tidak membiarkan Negeri Tirai-Bambu China melesat maju ekonomi dan pembangunannya meninggalkan kita karena pemerintah RRC bersikap tegas kepada rakyatnya lewat kebijakan “LOCK DOWN murni”.

Pemerintah mengklaim ke hadapan publik, bahwa angka pasien terjangkit yang “sembuh” lebih tinggi daripada pasien baru yang terjangkit. Sekalipun, sudah menjadi rahasia umum, yang tidak terdeteksi jauh lebih banyak mengingat resistensi warga masyarakat kita yang merasa “kebal” berkat “vaksin iman”, merasa rajin ibadah sehingga disayangi Tuhan (alias sedang “mencobai” Tuhan, dimana manusia yang justru “mencoba-coba Tuhan”), budaya “meremehkan”, arogansi bak “premanisme” seolah “musuh tidak terlihat” ini dapat dilawan dengan kekerasan fisik dan penganiayaan (cara-cara khas “bangsa premanis”), minimnya “rapid test”, hingga strain virus itu sendiri yang tampaknya telah bermutasi menjadi “tanpa gejala pada tubuh orang terjangkit”, hingga sikap-sikap “suka menantang maut” seperti mengambil-alih dengan paksa jenasah pasien terjangkit tanpa alat pelindung diri, tidak menjaga jarak saat berkerumun, tidak mengenakan masker atau alat pelindung diri apapun, dan tidak bersedia “puasa” barang satu atau dua bulan “LOCK DOWN”.

Bisa dikatakan, keadaan Indonesia yang kian “berdarah-darah” seperti sekarang ini, merupakan “you asked for it”. Justru menjadi “aneh bin ajaib” bila sikap pemerintah dan rakyatnya masih seperti sekarang ini, mengharap angka penyebaran wabah “terkendali” dan menurun. Jika angka prevalensi warga terjangkit pandemik yang terus menukik tinggi hari demi hari, mengingat fakta realita wajah bangsa kita yang “buruk perangainya” (suka melanggar hukum), maka sudah dapat diprediksi dan tidak lagi menjadi mengherankan terjadi “apa adanya” seperti sekarang ini.

Ketika warga terjaring berkeliaran di luar rumah tanpa mengenakan masker, lalu diberi sanksi “kerja sosial” menyapu jalanan dengan mengenakan rombi yang diberikan kepada pelanggar “protokol kesehatan”, alih-alih merasa malu, sang warga justru “berfoto-selfie” dan menyebarkan berita bahwa dirinya terjaring operasi “razia warga tanpa masker” dan diberi hukuman “kerja sosial”. Aneh bin ajaib, melanggar hukum dan membahayakan keselamatan orang lain maupun dirinya sendiri, justru bangga dan tidak malu. Sungguh-sungguh bangsa “agamais” yang tidak memiliki budaya “malu” ataupun “takut” untuk berbuat jahat, sekalipun dikenal taat dan disiplin dalam “halal lifestyle”.

Uniknya, pemerintah tidak berani benar-benar menerapkan sanksi berupa denda, dimana bahkan warga yang mayoritas “melanggar”, siap untuk berperang terhadap aparatur yang mencoba menertibkan mereka terlebih mencoba memungut sanksi berupa denda. Bila penulis “pikir-pikir”, semakin lama dipikirkan dan direnungkan, ternyata memang sudah sepatutnya negeri ini “porak-poranda” oleh wabah COVID-19. Justru barulah menjadi aneh, bila warganya tidak disiplin justru menjadi negara yang bebas dari pandemik—suatu preseden buruk, seolah-olah menjadi tidak disiplin adalah obatnya untuk melawan wabah.

Sebagai penutup, penulis memiliki keyakinan yang cukup berseberangan terhadap pemerintah yang mengklaim bahwa wabah seperti COVID-19 merupakan “bencana non-alam”. Pandemik seperti COVID-19, di mata penulis ialah “bencana kemanusiaan” hanya saja tunduk pada “hukum alam”. COVID-19 bukanlah wabah yang tidak dapat diatasi dan dituntaskan, terbukti dari keadaan Negeri Tiongkok, Thailand, serta Vietnam yang telah bebas dari wabah, dan kini ekonominya menggeliat bangkit kembali positif pertumbuhannya dengan pembangunan yang pesat meninggalkan negara-negara lain yang masih berjibaku dengan wabah secara BERLARUT-LARUT. Negara yang konyol, dimana rakyatnya justur gemar “mencari-cari penyakit” sendiri, menyerupai “pria hidung belang” yang justru mendatangi “pelesiran”, siap-siap harus mengidap penyakit kelamin menular.

Penulis sudah cukup letih mengingatkan dan menegur masyarakat kita yang dikenal selalu lebih galak daripada yang menegur, dan penulis selalu menjadi tampak “aneh sendiri” karena secara ketat menerapkan “protokol kesehatan (cegah COVID-19)”. Itulah wajah realita “negeri edan” bernama Indonesia—bukan lagi “zaman edan”, namun “negeri edan”, dimana hukum yang berlaku ialah “akal sakit milik orang-orang sakit”.

Mengaku-ngaku “agamais”, namun “puasa” barang sebulan atau dua bulan, MENOLAK HABIS-HABISAN. Bukan berperang hingga titik darah penghabisan melawan wabah, justru menolak hingga titik darah penghabisan menolak “lock down”. IRONIS. Bila ada di antara pembaca yang memiliki pemikiran serupa dengan penulis, maka kita adalah kaum minoritas yang lahir pada negara dan waktu yang keliru, negeri dimana menjadi waras adalah suatu kekeliruan.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.