Menjadi SUKSES dan KAYA dengan Cara MEMBERI, Paradoks Kehidupan HUKUM TABUR-TUAI

ARTIKEL HUKUM

Memberi akan Membuat Kita Mendapat Lebih Banyak, Merebut dan Merenggut (Memuaskan Keserakahan dengan Cara Jahat) akan Membuat Pelakunya Merugi dan Kehilangan Lebih Banyak

Ingin mengetahui rahasia sukses dalam hidup dan karir? Sejatinya kita tidak pernah memerlukan ataupun memaksakan diri menghadiri acara-acara yang digelar oleh kalangan Motivator yang “tidak membumi”, “artifisial”, “jual slogan”, “lip services”, seolah-olah terdapat rahasia dibalik sukses dan kesuksesan. Jalan menuju kesuksesan, sebenarnya telah lama diungkap oleh “Hukum Tabur-Tuai”, yakni semakin banyak kita MEMBERI (menanam), maka semakin banyak pula kita akan MENERIMA (memetik). Sesederhana itu saja, namun karena demikian sederhananya “rahasia” ini, sehingga masyarakat kita lebih menggandrungi kalangan motivator yang lebih pandai menjual “kata-kata” yang sedap di telinga namun juga terbukti lebih banyak gagal mencetak keberhasilan para lulusannya. Jika menjadi sukses ialah sesederhana apa yang dikatakan oleh para Motivator tersebut, maka mengapa kita justru lebih banyak menjumpai manusia “gagal” di luar sana, yang lebih terampil berbicara dan umbar “slogan” ketimbang langkah nyata?

Cara kerja “Hukum Tabur-Tuai” memang menyerupai paradoks. Betapa tidak, secara logika “koruptif”, semakin banyak seseorang merampas hak orang lain, maka semakin bertambah kaya dirinya lewat akumulasi “kemelekatan diri” yang hanya kenal “mengambil dan merampas”. Namun, “Hukum Tabur-Tuai” justru berkata sebaliknya : Semakin banyak kita memberikan, kita justru akan mendapat lebih banyak lagi. Sebaliknya, semakin kita bersikap penuh keserakahan dengan cara negatif yang merugikan dan mengganggu orang lain, terlebih melukai dan menyakiti orang lain, maka semakin pelakunya terjebak dalam “lingkaran setan” semacam “gali lubang, tutup lubang”.

Tidak jarang, kita mendapati kalangan pengusaha yang pada permukaannya kita “kira” atau “duga” adalah miliarder karena memiliki bisnis ber-omzet besar, namun siapa sangka dirinya terjerat berbagai kemelut keuangan yang membuatnya tidak benar-benar bebas secara finansial. Secara logika sederhana, melihat latar belakang bisnis yang dikerjakan oleh mereka, kita pantas menduga diri mereka “bergelimang” harta-kekayaan. Namun kenyataan berkata lain, dimana tidak jarang orang lain pun berkomentar serupa mengenai mereka, mengherankan dan sukar dipercaya. Ada apa dengan semua ini, atau apa yang menjadi masalahnya? Apapun diskusi dan wacananya, selalu kembali pada satu akar jawaban, yakni “KARMA”—menabur di ladang yang kering-kerontang maka berbuah buah yang kering dan tidak optimal, atau bahkan tiada pernah menabur benih kebaikan apapun.

Sebaliknya, kita dapat melihat contoh langsung yang berkebalikan, berbagai korporasi menjadi besar justru karena gemar “memberi”, bukan karena gemar “mengambil” terlebih “merampas” ataupun “merampok”. Lama sebelum ini, lebih dari 2.500 tahun yang lampau, Sang Buddha telah membabarkan Dhamma yang mengajarkan para siswa Sang Buddha, motivasi yang sesungguhnya, bahwasannya kita tidak mungkin menuai suatu kebaikan tanpa pernah terlebih dahulu menanam kebaikan.

Sehingga, apa yang kini kita tuai, sejatinya adalah hasil buah perbuatan kita sendiri di masa kehidupan sebelumnya dan perpaduannya dengan perbuatan kita di masa kehidupan saat kini. Sehingga, berbicara perihal “Hukum Tabur-Tuai”, tidak lain kita berbicara perihal KONSEKUENSI-KONSEKUENSI dibalik pilihan yang kita buat dalam hidup kita sendiri. Hidup dan kehidupan adalah persoalan KONSEKUENSI, itulah esensi dalam Buddhisme (yang terkadang justru kurang disukai kalangan “corrupt”).

Beranjak dari prinsip sederhana dari Hukum Karma demikian, tidak menjadi mengherankan bila Dalai Lama selalu berulang-ulang mengumandangkan “perbuatan baik” (doing good things) sebagai kunci kesuksesan. Tiada yang lebih omong-kosong ketimbang kalangan motivator ber-jas dan ber-dasi, yang sekadar mengumbar slogan “semangat sukses”, “pantang menyerah”, “bersikap keras pada diri sendiri agar hidup menjadi lunak pada kita”, “sukses selalu”, ataupun teori-teori spekulatif semacam “the law of attraction” yang hanya disukai oleh kalangan “pemalas” dan “pemimpi”.

Apakah kurang keras, kerja keras para buruh pengangkut batu, mereka mengangkut batu sepanjang hidupnya dari pagi hingga matahari terbenam, namun tidak pernah seiring berjalan secara linear dengan kesuksesan. Sebaliknya, orang sukses tidak pernah berkata “kerja keras”—suatu kebalikan dari apa yang dikatakan oleh para motivator yang hanya pandai menjual “slogan” penuh “omong kosong” tersebut—justru lebih menyarankan “kerja cerdas” alih-alih “membanting tulang” dan “peras keringat”.

Akan tetapi, mereka pun kerap lupa, tiada yang lebih cerdas daripada hidup penuh keberuntungan lewat memiliki “segudang” buah karma baik yang ranum dan siap dipetik. Tiada orang yang lebih terjamin aman-selamat-sentosa ketimbang orang-orang yang “beruntung”. Orang jahat yang hendak menjahati orang-orang beruntung, akan menjadi bumerang bagi pelaku kejahatan itu sendiri. Namun untuk menjadi “beruntung”, kita butuh memahami “sebab”-nya. Terlebih lagi, tambah Sang Buddha, hanya sekadar menjadi manusia yang “beruntung” menyerupai seseorang sedang memakan “nasi basi”, karena sejatinya hanya sedang menikmati buah karma baik yang berbuah, tanpa lagi pernah menanam benih kebaikan yang baru—sumber kesuksesan yang berkesinambungan tanpa terputus.

Cobalah ketika kita berjumpa dengan “musang berbulu domba”, bekerja keras bagi sang “musang berbulu domba” yang manipulatif, hanya akan bermuara pada keringat kita yang dieksploitasi tanpa imbal-balik ataupun kompensasi apapun (lihat kasus eksploitasi tenaga manusia oleh manipulator Eddy Santoso Tjahja dan Liliana Tjia dengan perusahaan yang bergerak dibidang perbudakan tenaga manusia bernama PT. AUDITSI UTAMA). Karenanya, kerja keras tidak selalu menjadi “kata kunci” terlebih “kata sakti” untuk meraih keberhasilan dan kesuksesan dalam hidup seseorang insan manusia. Menjadi mengherankan, ketika para penipu tersebut kemudian merasa keberatan ketika tertipu oleh pihak lain (lihat perkara seteru hukum antara Eddy Santoso Tjahja Vs. PT. JobsDB Indonesia, penipu “dimakan” oleh sesama penipu). Menjadi tidak mengherankan, serta sudah menjadi selayaknya dan semestinya demikian dan akan mengherangkan bila tidak terjadi demikian adanya.

Jika memang kesuksesan ialah semata terkait metode, maka mengapa hasil lulusan sekolah ataupun training / workshop yang yang sama, output hasilnya dapat sangat beragam? Mengapa tidak semua lulusan Harvard ataupun Oxford, berhasil mencetak keberhasilan (mungkin kurang dari satu persen lulusannya yang benar-benar kemudian memiliki nama besar)? Bahkan, ada orang-orang yang tidak mengenyam pendidikan formal maupun nonformil apapun, ternyata dapat meraih kesuksesan gemilang dalam karir dan bisnis mereka? Steve Jobs, bahkan sengaja DROP OUT dari kampus tempat dirinya berkuliah, demi membangun industri komputer dari garasi mobil di rumahnya bersama seorang rekan. Penulis adalah lulusan fakultas hukum salah satu universitas swasta yang buruk kualitas pengajarannya, namun mengapa penulis dapat melesat jauh meninggalkan para alumnus lainnya dari universitas yang sama?

Bila terdapat faktor “luck” (keberuntungan, alias buah karma baik itu sendiri), maka metode gemilang akan muncul dan datang secara sendirinya dalam bentuk wujud motivasi hidup ataupun semacam “passion”, dorongan dari dalam diri semacam inspirasi ataupun bakat untuk menjadi sukses bahkan tanpa didorong oleh siapapun, dan dapat dengan mudah menguasai suatu bidang disiplin ilmu tanpa kendala berarti ketika mencoba berkembang dan melebarkan sayap. Bahasa sederhananya, selalu berjodoh dengan orang yang tepat dan waktu yang tepat.

Pepatah mengatakan, tiada orang yang tidak dapat terkalahkan selain orang-orang yang beruntung, karena orang yang beruntung akan selalu mendapatkan kemenangan, siapa pun lawannya. Karenanya, jangan pernah menantang orang-orang yang “beruntung”. Lawannya, “benar” sekalipun, akan menjadi “seolah-olah salah” ketika berhadapan dengan orang yang sedang “beruntung”. Karena, oleh akibat “keberuntungan”, salah pun dapat menjelma menjadi benar. Hidup adalah permainan buah Karma.

Ternyata, Robert T. Kiyosakhi, sang raja bisnis properti dan Real Estate di Amerika Serikat, juga membuka rahasia suksesnya, dengan berkata : “Saya menjadi sukses karena saya MEMBERI.” Memberi, “giving”, bukan mengambil (“taking”). Secara akal logika kalkulasi ekonomi yang “dangkal”, tentunya apa yang dikatakan Robert T. Kiyosakhi menjadi membingungkan “algoritma” prinsip hukum ekonomi : memberi tidak akan pernah dapat menjadi metode untuk mengumpulkan dan menghimpun, justru akan dinilai sebagai “cost” alias faktor pengeluaran serta defisit. “Memberi adalah passiva”, tidak pernah dapat menjadi aktiva secara neraca keuangan atau setidaknya berdasarkan standar akutansi yang selama ini kita kenal. Namun logika “Hukum Ekonomi” tidak dapat mendikte cara kerja “Hukum Karma”, dengan hukum dan logika serta aturan main-nya sendiri.

Mengapa Google dapat menjadi raksasa? Karena Google MEMBERI, karenanya Google MENERIMA (sebagai akibat / konsekuensi-nya). Memberi lebih banyak, membuat Google menerima lebih banyak. Dapat dipastikan, setiap orang dari kita, setidaknya dalam satu hari menggunakan lebih dari dua layanan yang disediakan oleh Google secara mudah tanpa mengeluarkan biaya apapun untuk dapat mengakses berbagai layanan yang disediakan oleh Google, dimulai dari aplikasi induk pada gadget seperti Handphone Android, browser Chrome untuk aktivitas berselancar pada dunia maya, mesin pencarian “Google Search” yang informatif dan fenomenal akan kecerdasannya (“Mbah Google”), teleconference lewat Google Meet, surat-menyurat secara digital lewat Google Mail alias Gmail yang tersohor, peta navigasi lewat Google Maps yang menghidupi jutaan driver dan kurir, aplikasi untuk membantu pekerjaan kantoran seperti Google Office, penyimpanan “cloud” bernama Google Drive, aktivitas tulis-menulis seperti Blogger, pusat hiburan dan kreativitas seperti Youtube, aplikasi seluler yang sangat membantu lewat Google Play, sarana kampanye pariwara / iklan maupun monetisasi seperti Google Ads dan Adsense, alat bantu penerjemah Google Translate serta “Text to Speech”, chatting dengan Google Hangout, platform bisnis seperti “Google My Business”, dan berbagai macam layanan digital untuk keseharian warga maupun pekerja, mulai dari A hingga Z, disediakan oleh Google cukup dengan memiliki satu buah akun yang dapat dibuat tidak lebih dari lima menit, yang dapat diakses secara mudah dan terbuka oleh siapapun, kapanpun, dan dimanapun.

Dari sekian banyak layanan yang diberikan oleh Google dan kita nikmati setiap harinya, sedikit banyak harus kita akui bahwa visi dan misi Google banyak mengandung unsur “sosial” yang nyata. Berbeda dengan praktik CSR (Corporate Sosial Responsibility) banyak pelaku usaha lainnya yang membuat pencitraan ke mata publik seolah-olah memiliki kemuliaan hati serta gemar melakukan kegiatan sosial, ternyata sumber dananya dihimpun dari publik seperti uang kembalian konsumen gerai minimarket yang dikumpulkan dari jutaan konsumennya dengan mengatas-namakan “sumbangan untuk kegiatan sosial”, untuk kemudian menjadi dana segar “promosi” merek dengan kemasan “CSR” yang sejatinya sebagai sarana atau strategi marketing dalam rangka branding tanpa perlu menggunakan dana pribadi.

Sebaliknya, Google benar-benar “berdana” kepada publik, tanpa kenal ras, gender, agama, suku, negara, warna kulit, konsumen ataupun bukan konsumen, semua dapat membuat akun Google tanpa syarat berupa biaya apapun, dan mengakses seluruh jenis layanan Google dalam kehidupan digital kita mulai dari A hingga Z. Google tidak pernah menyebutnya sebagai “CSR”, namun semua layanan yang disediakan oleh Google bagi kita, benar-benar telah sangat banyak membantu kehidupan kita selaku penggunanya, setidaknya bagi keseharian serta pekerjaan penulis secara pribadi yang setiap harinya menggunakan setidaknya tiga buah layanan yang diselenggarakan Google untuk keperluan pekerjaan ataupun kepentingan pribadi personal penulis.

Tampaknya, pendiri dan pengelola Google memahami betul prinsip serta cara kerja “Hukum Tabur-Tuai”, yakni kita perlu terlebih dahulu menanam sebelum bisa memanen hasilnya. Google tidak pernah memaksa kita untuk menjadi pemakai rutin yang kini tampaknya kian “bergantung” pada layanan Google dalam keseharian maupun untuk urusan pekerjaan kita. Kepopuleran Google terbangun berkat berbagai “pemberian” lewat berbagai layanan yang disediakan Google kepada publik.

Karenanya, adalah wajar dan menjadi dapat kita setujui serta maklumi, bila Google memang sudah semestinya menjadi makmur dan maju dari segi keberhasilan bisnis dan ekonominya, dan kita akan bersedih serta turut prihatin bila Google mengalami kemunduran dalam hal keuangan korporasinya, dan kita pun akan secara sukarela memberi kontribusi seperti membeli / membayar layanan berbayar khusus yang disediakan Google.

Sebagai contoh nyata, penulis hanyalah seorang Sarjana Hukum, sementara puluhan ribu kompetitor profesi penulis di luar sana, bergelar Magister hingga Doktor ilmu Hukum. Apakah artinya karir dan profesi penulis selaku Konsultan Hukum akan tergerus dan kalah bersaing terhadap puluhan ribu kompetitor penulis tersebut? Fakta empirik telah membuktikan, penulis dan profesi penulis mampu eksis dan bahkan terus bertumbuh dan berkembang alih-alih kian merosotnya daya tawar akibat kian derasnya persaingan dan kompetisi bidang jasa layanan hukum di Indonesia.

Secara logika kalkulasi bisnis, adalah mustahil bagi penulis untuk bersaing menghadapi puluhan ribu Magister Hukum maupun Doktor Hukum di Indonesia. Lantas, apa yang membedakan antara kesuksesan penulis dibanding tingkat kesuksesan kompetitor penulis? Yang membedakan ialah, penulis tidak pernah tertarik untuk berinvestasi dengan mengeluarkan biaya untuk meraih gelar akademik semacam Doktoral maupun Magister Ilmu Hukum, namun lebih kepada kegiatan filantropis seperti berdana hingga satu per sepuluh dari penghasilan brutto bulanan penulis. Penulis pun tidak bersedia untuk meng-investasikan waktu dengan “membuang-buang waktu” membaca teori-teori pada ruang perkuliahan yang penuh “omong kosong” (jika tidak dapat kita sebut sebagai “sampah”), namun pada tataran praktik langsung serta memulai membangun berbagai publikasi ilmu hukum yang dapat diakses oleh puluhan ribu pembaca dari Sabang hingga Merauke setiap harinya pada website ini yang penulis bangun dan asuh dengan tidak terhitung lagi pengobanan dari segi waktu, biaya, tenaga, perhatian, pikiran, hingga kesehatan pribadi penulis—sehingga menjadi “kelewat biadab” bila masih ada juga “manusia-manusia hewan” yang “membalas air susu dengan perkosaan” terhadap profesi penulis. Apakah ada, diantara kompetitor profesi penulis, yang bersedia bekerja 7 hari dalam seminggu, dan mendalami ribuan preseden dimana rata-rata Sarjana Hukum di Indonesia hanya sebatas sekadar menguasai “bunyi undang-undang”.

Mungkin yang paling memprihatinkan ialah kalangan pekerja dan buruh, bekerja sekeras apapun, oleh pihak pengusaha / pemberi kerja akan dianggap sebagai “sudah semestinya” (sekalipun dengan upah sekadarnya), bahkan secara politis menekan pekerjanya untuk “lembur” menyelesaikan pekerjaan yang menumpuk tanpa dibayarkan “upah lembur”, atau bahkan dipekerjakan untuk kepentingan puluhan badan hukum Perseroan Terbatas namun diberi upah oleh satu buah Perseroan Terbatas (lihat kasus eksploitasi tenaga manusia oleh Panca Budi Group, dimana di dalamnya berdiri puluhan Perseroan Terbatas namun dikerjakan oleh pekerja yang sama).

Daripada “berdana” untuk pengusaha “serakah” yang bahkan masih merampok hak-hak buruh yang lebih miskin daripada sang pengusaha, akan lebih bijak bila seorang angkatan kerja menjadikan lowongan pekerjaan semata sebagai sarana menimba ilmu dan pengalaman, sebelum kemudian memulai karir sendiri, sekalipun berupa “solo karir” atau “self entrepreneur” bila belum memiliki kesempatan untuk berkolaborasi dengan sebuah tim kerja. Selalu dibutuhkan langkah awal, untuk segala sesuatunya.

Ditengah-tengah persaingan serta kompetisi bidang usaha serta bidang jasa yang kian “sarat modal”, bukanlah artinya seorang “solo karir” yang baru memulai karir pribadinya seorang diri akan selalu tersisihkan dan termajinalisasi dari “pasar”. “Hukum Tabur-Tuai” selalu berlaku, setidaknya bagi pengalaman empirik karir serta profesi penulis secara pribadi, mampu eksis serta bertahan dalam industri jasa hukum di Indonesia yang sekalipun telah “jenuh” dengan berbagai Sarjana Hukum “pengangguran” disamping berbagai Kantor Hukum yang telah beberapa dekade berdiri bak “dinasti” yang seolah tidak akan tergoyahkan oleh persaingan antar penyedia jasa hukum maupun oleh pemain baru, ternyata penulis dapat tetap eksis dan bahkan tidak banyak mengalami pukulan berarti bahkan disaat wabah melanda seperti pandemik Corona Viruse Disease 2019 (COVID-19) yang dikabarkan tidak terkecuali mengguncang berbagai Kantor Hukum ternama sekalipun. Logika sederhananya, bila sepanjang masa wabah penulis tidak lagi menyediakan jasa konsultasi hukum secara tatap-muka yang selama ini menjadi topangan utama pendapatan penulis, semestinya pada masa pandemik melanda seperti saat ulasan ini disusun pendapatan penulis mengalami kemerosotan drastis, faktanya justru berkata lain.

Hal demikian dapat terjadi, karena penulis selama ini telah banyak “MEMBERI” (namun jangan dimaknai, yang “DIBERI” dapat bersikap “besar kepala” dengan “membalas air susu dengan perkosaan terhadap profesi penulis”), lewat dibangun serta diasuhnya website hukum ini dengan pengorbanan waktu, tenaga, biaya, pikiran, serta kesehatan yang telah tidak terhitung lagi jumlahnya, dimana setiap harinya puluhan ribu pengunjung / pembaca website ini yang menikmati berbagai publikasi ilmu hukum yang penulis susun, dengan berbagai latar-belakang pengunjung / pembaca, tanpa memandang gender, usia, warna kulit, ras, maupun agama.

Banyak kekeliruan paradigma di tengah masyarakat kita, seolah kita baru sanggup “menanam kebaikan” tatkala telah sukses dan berhasil dalam segi karir / profesi dan keuangan. Justru, kita perlu terlebih dahulu “menanam kebaikan” sebelum mengharapkan kesuksesan dan keberhasilan. Karena, baik kesuksesan maupun keberhasilan, tidaklah jatuh dari langit. Keberuntungan harus kita ciptakan sendiri, oleh diri kita sendiri dan tangan kita sendiri. Kesuksesan dan keberhasilan adalah “buah”, alias sebuah “akibat”, sementara yang menjadi “sebab”-nya selalu adalah “bibit kebaikan” yang sebelumnya telah kita tanamkan.

Ketika pertama kali memulai karir pribadi sebagai seorang Konsultan Hukum, tahun-tahun pertama menjadi masa yang paling berat yang harus penulis alami dan lewati. Namun, tahun-tahun penuh tantangan itulah tepatnya, momentum paling tepat untuk sebanyak mungkin “menanam”. Masa-masa “paceklik” adalah masa-masa untuk menanam sebanyak yang kita mampu. Ketika masa “paceklik” berlalu, maka tiba-lah masa “panen”. Itulah mengapa, tiada motivator yang lebih benar serta lebih unggul daripada Sang Buddha yang membabarkan “Hukum Sebab-Akibat” serta Dalai Lama yang dalam kesempatan apapun selalu menekankan pentingnya perbuatan bajik, tanpa kenal bosan menekankan hal yang sama dimanapun dan kapanpun serta kepada siapapun. Percaya atau tidak percaya, itulah paradoks kehidupan yang dapat para pembaca terapkan dan buktikan sendiri.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.