Mengapa Ketidak-Patuhan adalah Kejahatan Itu Sendiri? Karena Orang Patuh akan menjadi Korban dari Orang yang Tidak Patuh

ARTIKEL HUKUM
Bila Hukum Negara dan Ancaman Pidana Penjara Belum Cukup Membuat Takut Orang Indonesia, Bagaimana dengan Konsep Abstrak seperti Neraka yang Tidak Kasat-Mata?
Saat ulasan singkat namun “renyah” ini disusun, penulis dalam beberapa hari belakangan menceburkan diri ke dalam sebuah kisah pada buku berjudul “Berjalan-Jalan ke Alam Neraka, Kisah dari Kesaksian Pengunjung Alam Neraka”, dimana penyusun buku tersebut atau pengarang / penulisnya mengklaim memiliki kemampuan batin untuk berkunjung ke alam negara, lalu mengisahkan pengalamannya dengan harapan dapat menjadi pembelajaran bagi para manusia yang membaca buku yang disusunnya tersebut, betapa mengerikannya kondisi penghuni alam neraka, penuh penderitaan, sehingga dapat membuat takut manusia pembacanya yang masih hidup agar bertekad untuk tidak sampai terjerumus ke dalam alam penuh penderitaan demikian.
Alam-alam seperti neraka, hewan, setan kelaparan, dan jin raksasa, disebut sebagai alam “apaya”, yang berarti “alam tanpa kebahagiaan”, merupakan “akibat” dari “sebab” berupa perbuatan-perbuatan jahat yang jauh dari sikap seorang petapa (praktik pertapaan yang benar berarti latihan untuk mengendalikan nafsu keinginan serta melatih daya tahan untuk menahan derita). Diceritakan secara mendetail betapa mengerikannya tingkatan-tingkatan dalam alam neraka, memiliki siksaan serta penghukuman tersendiri sesuai jenis-jenis kejahatan dan disesuaikan dengan level kejahatan penjahat yang semasa hidupnya di alam manusia berbuat banyak kejahatan serta berbagai jenis kejahannya menentukan ke tingkatan negara manakah mereka pada akhirnya akan terdampar.
Banyak penghuni neraka, yang semula saat masih di dunia, menikmati banyak hasil dari perbuatan jahat mereka, hidup nyaman dan meewah. Namun, ternyata harus mereka bayar mahal di alam neraka, yang penuh rintihan kesakitan, isakan tangis, air mata, dan raungan penuh derita. Bak pepatah : Berenang-renang ke tepian, berakit-rakit ke hulu. Bersenang-senang dahulu, bersedih-sedih kemudian. Memang tiada yang dapat kita curangi dalam hidup ini. Hukum Karma adalah bagian dari Hukum Alam Semesta, sama halnya dengan Hukum Alam berupa Hukum Gravitasi, nyata adanya dan tidak terbantahkan adanya—sekalipun tidak kasat-mata, namun kita rasakan lewat kepekaan dan sensitivitas diri kita masing-masing.
Ternyata, para sipir di neraka maupun sang “Raja Neraka”, tidak menaruh belas-kasihan kepada para “mantan manusia” yang kini menjadi penghuni neraka. Ketika ditanyakan oleh sang pengarang buku, mengapa demikian, tidak menaruh simpatik ataupun belas-kasihan terhadap para tahanan neraka yang disiksa dalam alam neraka, dimana ternyata siksaan dalam alam neraka tidak hanya berupa api yang membara, namun juga bisa berupa kolam es beku, kolam berisi air seni dan tinja, dan sebagainya, maka inilah jawaban para sipir dan “Raja Neraka” : “They Asked for It!”—mereka sendiri yang memintanya, dengan cara berbuat jahat semasa hidup sebagai manusia. Pintu neraka sejatinya tidak membuka diri kepada siapa pun, namun manusia sendiri yang memasuki ke dalamnya. Perbuatan mereka semasa hidup, buahnya yang saat kini berbuah dan menyiksa diri mereka sendiri. Mereka tidak ditangkap saat menjelang ajal lalu dijebloskan ke neraka, mereka sendiri yang terlahir kembali di neraka. Perbuatan jahat mereka sendiri yang mengantarkan mereka alam penuh kesengsaraan ini. Neraka, sejatinya diciptakan oleh manusia sendiri, oleh perilaku dan perbuatan manusia sendiri dikala masih hidup di dunia manusia.
Buku yang cukup tebal ini mengisahkan berbagai variasi siksaan dalam neraka, diceritakan secara mendetail, dan memang sangat mengerikan bagi yang membacanya—tepatnya, bagi orang-orang / manusia-manusia jahat yang selama hidupnya tidak segan-segan berbuat kejahatan atau yang tidak takut berbuat jahat. Siksaannya tidak ada kata “manusiawi”, semuanya kejam dan keji, terlebih mengharap adanya sosok-sosok seperti aktivis pro hak asasi manusia yang menentang perlakuan sipir kepada para penghuni neraka tersebut. Semuanya dihukum secara setimpal dengan keburukan perilaku para penghuninya semasa hidup di alam manusia. Bisa dikatakan, para sipir dan sang “Raja Negara” ialah para aktivis pro KEWAJIBAN Asasi Manusia.
Namun, penulis justru tersenyum-senyum ketika membacanya, bahkan sesekali “terkekeh” ketika mengetahui seperti itulah kondisi alam neraka, dan cukup menikmati bacaan ini, mengetahui bahwa itulah nantinya yang menjadi nasib / kodrat orang-orang jahat yang pernah melukai, merugikan, ataupun menyakiti penulis maupun keluarga penulis. Orang baik-baik justru menikmati buku pengisahan kondisi alam neraka demikian. Sehingga mohon jangan menganggap bahwa penulis telah “gila” atau “tidak waras”, penulis “eling” sepenuhnya, dan memang menikmati bacaan kisah di dalam buku tersebut. Ada yang berminat meminjam dan turut membacanya? Bila ada di antara para pembaca yang merasa alergi dengan tema buku ini, maka sudah saatnya Anda bercermin diri dan melakukan introspeksi diri, sebelum “menyesal selalu datang terlambat” (karena ternyata rata-rata penghuni neraka selalu berkomentar demikian ketika diwawancara sang penulis buku).
Alasan kedua penulis tersenyum dan sesekali “terkekeh” ketika membacanya, ialah ketika membayangkan betapa fenomena sosial di Indonesia sungguh tidak masuk di-akal, tidak logis, dan tidak rasional. Betapa tidak, hukum negara lewat pengaturan pasal-pasal pemidanaan, begitu pula bangunan pengadilan dan sosok-sosok seperti hakim pidana ataupun jaksa dan penyidik yang eksis kantor maupun aparatur lengkap dengan seragamnya, hingga bangunan dan gedung-gedung Lembaga Pemasyarakatan (penjara) yang berdiri lengkap dengan kawat berdurinya, ternyata belum cukup membuat takut dan jera sebagai ancaman NYATA bagi niat-niat untuk berbuat jahat para warga di Indonesia yang merasa “kebal” dalam segala hal, mulai dari “kebal hukum”, “kebal virus”, hingga “kebal dosa”.
Kondisi penjara kita di Tanah Air, dibanding kondisi mengerikan di nereka, maka sel-sel penjara di balik jeruji gedung penjara negara kita ternyata masih benar-benar menyerupai “hotel” (meski bergelar “hotel prodeo”), ketimbang tiada kemewahan apapun pada kondisi menyedihkan para penghuni neraka yang teriksa sesiksa-siksanya di neraka. Mungkin, kondisi yang terlampau “humanis” pada berbagai Lembaga Pemasyarakatan kita, menjadi akar penyebab masifnya peminat yang hendak “menginap” dan menghuni bilik-bilik dibalik “hotel prodeo”.
Namun bukanlah itu yang akan kita bahas bersama, akan tetapi telah berbagai tegas dan eksis peraturan perundang-undangan dibidang pidana lengkap dengan ancaman sanksinya, berupa pidana denda, pidana penjara, hingga pidana mati, lengkap dengan aparatur penegak hukumnya dan gedung penjara yang dapat kita lihat dan sentuh sendiri sebagai ajang pembuktian eksistensinya, tetap tidak dapat membuat takut ataupun diharapkan untuk dapat menyurutkan niat jahat para kriminil, maka bagaimana dengan konsep yang jauh lebih abstrak seperti Hukum Karma, Neraka, ataupun alam setelah kematian?
“Undang-Undang Kebiri” bagi pelaku tindak pidana asusila, sekalipun telah dibentuk dan disahkan serta dapat diberlakukan bagi pelakunya, ternyata tetap saja tidak pernah berhasil menyurutkan niat pelaku untuk melakukan dan melanggar larangan dalam undang-undang dimaksud. Bila ancaman akan “di-kebiri” saja ternyata tidak membuat niat jahat pelakunya untuk surut, maka bagaimana dengan ancaman yang tidak dapat disentuh dan tidak ilmiah seperti “surga dan neraka”? Terlebih ekstrim ialah ancaman hukuman mati bagi pelaku korupsi, ternyata tidak juga membuat niat berbuat korupsi di negeri ini oleh para warga kita menjadi surut ataupun untuk mengurungkan niatnya.
Jangankan kita berbicara perihal Alam Neraka ataupun “Past Life” dan “After Life”, Virus Corona yang telah demikian banyak merenggut korban jiwa, dianggap sebagai “fiktif” belaka oleh sebagian besar masyarakat kita di Indonesia—yang anehnya, dan patut kita ragukan, masyarakat Indonesia yang “agamais” mengaku-ngaku percaya akan adanya Tuhan (lengkap dengan segala perangkat “perintah” dan “larangan”-Nya) serta takut masuk neraka (yang artinya mengindikasikan dirinya percaya eksistensi alam neraka)—yang anehnya, tidak takut berbuat dosa.
Kondisi memprihatinkan di alam manusia ini diperkeruh oleh kebijakan pemerintah yang menerapkan “reward and punishment” tidak secara proporsional dan “tidak pada tempatnya”. Betapa tidak, ketika prevalensi warga terjangkit pandemik wabah virus menular mematikan bernama Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) atau Sars-Cov Tipe 2, terus meningkat secara drastis dan kian mencemaskan dari hari ke hari, alih-alih memberikan “punishment” yang lebih tegas dan pengetatan berupa “LOCK DOWN”, pemerintah selaku otoritas justru menerapkan kebijakan “longgar” yang kini hendak lebih dilonggarkan. Bila yang sudah longgar saja seperti “Pembatasan Sosial Berskala Besar” terbukti hanya sekadar slogan “kosong makna” yang sangat-amat longgar, maka bagaimana bila yang “sudah longgar kembali lebih dilonggarkan”? Bukankah dampak akibat konsekuensi dibaliknya, sudah akan dapat kita perkirakan sebagai “bayaran”-nya? Konsekuensi logisnya telah dapat kita prediksi, dan kini telah dapat kita lihat sendiri “hasil”-nya.
Lantas, mengapa Negara Indonesia gagal untuk membendung laju pertumbuhan angka terjangkit pandemik yang diakibatkan virus menular mematikan ini? Jawabannya sangat sederhana, yang mana penulis jumpai fakta realitanya dalam keseharian kita, sebagai contoh pedagang pasar sekalipun telah dibagikan oleh pemerintah daerah setempat berupa perangkat alat pelindung diri berupa masker dan “face shield”, tetap memilih untuk tidak memakai alat pelindung diri apapun, dimana sang pedagang pasar tradisional tersebut ketika ditegur pengunjung, “Mengapa tidak memakai masker, bagaimana jika nanti menulari pembeli atau sebaliknya?” Sang pedagang menjawab : “Engap, jika pakai masker, susah bernafas. Tidak nyaman.” JIka sudah terkena infeksi virus dan mengalami gejala seperti sesak nafas seperti pneumonia ala orang “tenggelam” kehabisan nafas, barulah mereka mengetahui mana yang lebih menyesakkan nafas. Tidak terinfeksi virus menular mematikan, bukankah sudah merupakan hiburan terbesar meski hanya dapat tamasya di dalam rumah sendiri, mengapa justru mencari resiko yang tidak perlu dengan mencari hiburan ke luar rumah?
Ternyata, akar masalahnya ialah “keserakahan” (baca : “banyak maunya”) Bangsa Indonesia, tidak bersedia berkorban seperti warga di negara lain yang menerapkan kebijakan tegas tanpa kompromi seperti “LOCK DOWN”, pemutusan total kegiatan ekonomi, penerapan sanksi berupa denda yang besar bagi pelanggar kebijakan “protokol kesehatan (cegah COVID-19)”, tidak bersedia “puasa makan” dengan selalu memakai alasan perut perlu diisi sehingga terpaksa pergi keluar rumah, tidak bersedia “puasa hiburan” dengan tetap keluar rumah untuk berwisata atau mencari hiburan di mall, tidak bersedia “puasa ekonomi”, namun kesemuanya ingin tetap tampak normal seperti sama sekali sedang tiada wabah, dimana semuanya bebas dilakukan tanpa restriksi apapun, namun disaat bersamaan mengharap hidup secara aman dari ancaman resiko terjangkit wabah menular—dimana pada akhirnya yang paling dirugikan ialah warga yang benar-benar melakukan isolasi diri secara mandiri sekalipun ia bukan “orang tanpa gejala” guna / dalam rangka mengharap dapat terputusnya mata rantai penularan. Tidak bersedia LOCK DOWN, tidak bersedia berkorban isolasi diri di rumah, tidak pula bersedia puasa ekonomi, namun masih mengharap dapat menghirup udara tanpa masker dikala wabah merebah, bukankah itu cerminan watak bangsa yang SERAKAH?
Mengapa tidak patuh adalah kejahatan itu sendiri? Karena orang-orang yang patuh yang pada gilirannya akan menjadi “korban” dari orang-orang yang tidak patuh, dimana ketidak-patuhan adalah ragam atau wajah lain dari sikap arogansi atau watak yang “tidak menghargai orang lain”. Seorang tokoh pernah menyebutkan, kewajiban memakai helm saat berkendara telah diatur dan terdapat pengaturannya yang demikian tegas dalam Undang-Undang, pula disertai sanksi bagi pelanggarnya, masih juga dilanggar oleh warga kita dengan tidak patuh bila tiada pihak otoritas yang mengawasi—sekalipun, kewajiban mengenakan helm ialah untuk melindungi keselamatan dan kepentingan diri sang pengendara itu sendiri, dimana mereka dan kita semua telah memahami itu dengan baik, bukan karena tidak tahu.
Sang tokoh kembali menguraikan, bahwasannya warga kita yang tidak mengenakan masker dikala wabah virus menular mematikan, sejatinya lebih jahat daripada pengendara yang tidak memakai helm, karena bisa mencelakai orang lain lewat penularan virus dari orang ke orang, dari diri bersangkutan kepada orang lain atau dari orang lain ke diri bersangkutan. Itulah, perbedaan paling utama antara kewajiban penggunaan helm dan kewajiban penggunaan masker dikala wabah merebah, dimana penggunaan helm semata untuk kebaikan dan kepentingan diri sang pengendara itu sendiri, sementara kewajiban pengenaan masker saat pandemik merebak justru semestinya pemerintah perlu lebih tegas dalam menegakkannya karena hal tersebut terkait keselamatan orang lain selain diri orang yang bersangkutan itu sendiri—itulah, orang yang terlihat “sopan” (namun pembangkang) justru lebih jahat ketimbang orang yang ‘keras dan tegas”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.