ARTIKEL HUKUM
Pemerintah yang Benar-Benar Melindungi Keselamatan
Rakyat, Tidak akan Kompromistis terhadap Pelanggar yang Berkelit, Terlebih
Toleran terhadap Pelanggaran yang Terselubung
Apakah satu orang pengusaha, lebih penting dan lebih tinggi derajatnya ketimbang kepentingan seluruh warga yang berkepentingan terhadap lingkungan pemukiman ataupun ekosistem hidup mereka? Pemerintahan yang kompromistis terhadap pelanggar, seperti pelaku pengusaha pencemaran ekosistem lingkungan hidup, sama artinya tidak berpihak dan tidak “pro” terhadap kepentingan rakyat lebih banyak. Menjelma menjadi sebentuk preseden buruk, seolah “peraturan memang dibuat untuk dilanggar”.
Menjelma pula menjadi sebentuk
preseden buruk, terutama bagi kalangan pengusaha ilegal pelanggar peruntukkan
tata ruang wilayah pemukiman maupun pengusaha-pengusaha yang merugikan
kepentingan warga atas lingkungan hidup yang sehat bebas dari polusi air,
polusi udara, polusi tanah, polusi suara, hingga polusi sosial seperti parkir
liar, dsb, bila ancamannya justru sangat “tumpul”, kaya akan kompromistis namun
miskin penindakan tegas—seolah “negara hukum” ini tidak ber-hukum, sekadar
jargon semata menyebut sebagai negara “hukum”, alias negara baik rakyat maupun
pemerintahnya, tiada terkecuali tunduk dan diatur serta wajib patuh disamping
taat terhadap hukum. Hanya ketika rakyat berdemonstrasi menentang pemerintah,
aparatur penegak hukum tampak perkara, “beringas”, bersenjatakan lengkap, tidak
jarang bersikap represif.
Terlebih menjadi preseden
buruk, ketika pihak pelanggar telah melanggar dan melakukan pelanggaran,
alih-alih memperbaiki diri dan menghentikan usaha ilegalnya ketika ditegur
(baru menghentikan usaha ilegal ketika mendapat teguran saja, sudah merupakan
kejahatan dan kesalahan disamping pelanggaran terhadap hukum), justru berkelit
dan berdalih dengan sengitnya mendebat serta “mengelak” seribu-satu-kata, namun
justru disambut pemberian “reward”
berupa “kompromi demi kompromi” oleh aparatur penegak hukum maupun otoritas
negara.
Menjadi salah pada tempatnya,
pelanggar yang berkelit—sudah melanggar juga disertai niat buruk dengan
berkelit—justru disambut dengan pemberian “reward”
alih-alih diberikan “punishment” yang
lebih berat atas pelanggarannya (karena “berbelit-belit”, bahasa hakim yang
lazim terdengar di ruang persidangan perkara pidana), oleh aparatur penegak
hukum kita ataupun oleh pemerintah selaku otoritas negara maupun regulator
penyusun kebijakan.
Pemerintah yang bersikap
“berbaik hati” (kompromistis dan toleran) terhadap pelaku usaha ilegal, sama
artinya disaat bersamaan bersikap “tidak ramah” (unfriendly to civilians, karena tidak memerhatikan kepentingan
warga lainnya yang juga menjadi stakeholder
ekosistem maupun lingkungan tempat bermukimnya) terhadap pihak-pihak yang
semestinya mendapat perlindungan (yakni warga maupun biota dan satwa yang
menghuni ekosistem) disamping memberikan apresiasi terhadap pengusaha yang
selama ini telah patuh dan taat terhadap hukum tanpa perlu ditegur terlebih
diberikan peringatan hingga berkelit sedemikian rupa ketika ditindak.
Perhatikan keganjilan dalam
Portal Berita Resmi Pemerintah Provinsi Jawa Tengah berikut, “Cek Pencemaran
Limbah Pabrik, Gubernur Sidak ke Sungai Bengawan Solo”, 07 Agustus 2020, https://
jatengprov .go.id/publik/cek-pencemaran-limbah-pabrik-gubernur-sidak-ke-sungai-bengawan-solo/,
diakses pada tanggal 10 Agustus 2020, dengan cuplikan sebagai berikut:
Gubernur Jawa Tengah, Ganjar
Pranowo melakukan sidak ke Sungai Bengawan Solo di Kabupaten Karanganyar, Kamis
(6/8/2020). Sidak dilakukan untuk memastikan tidak ada pencemaran yang
dilakukan perusahaan-perusahaan di bantaran sungai dengan cara membuang limbah
ke sungai.
Dari pantauannya di Sungai
Sroyo, Ganjar menemukan adanya pipa siluman dari perusahaan yang langsung
membuang limbah ke sungai. Bau yang ditimbulkan di sungai itu tercium
cukup pekat dan busuk. Sementara di Bengawan Solo, Ganjar menemukan adanya
bangkai ternak yang mengambang di sungai dengan warna hitam itu.
Beberapa perusahaan besar
maupun ternak ternak yang ada di bantaran sungai langsung didatangi Ganjar.
Kepada manajemen perusahaan maupun peternak, Ganjar meminta mereka
menghentikan pembuangan limbah secara langsung ke sungai dan segera memperbaiki
pengelolaan limbahnya. [NOTE Penulis : Penerapan Norma Hukum semestinya bersifat
imperatif-preskriptif “ought to”, “top to down”, tiada “tawar-menawar”
terlebih intervensi politis-ekonomi, bukan justru “meminta warga untuk patuh
dan taat”, akan tetapi “warga WAJIB patuh dan taat, jika tidak maka DITINDAK
TEGAS”.]
“Tadi ada satu yang belum
memperbaiki, terus saya minta ke perusahaan, ya jangan pakai pipa siluman.
Dia mengelak, tapi saya sudah melihat secara langsung di lapangan.
Mereka berjanji akan memperbaiki besok, dan saya minta laporannya setiap hari,”
kata Ganjar.
Sidak itu lanjut Ganjar
dilakukan untuk menagih komitmen para perusahaan besar maupun peternak ternak
yang ada di bantaran sungai Bengawan Solo untuk tidak membuang limbah ke
sungai. Komitmen itu ditandatangani secara bersama pada Desember 2019 lalu dan
batas waktunya sampai Desember akhir tahun ini.
“Sebelum sampai Desember, ini
sudah saya tagih dan lihat progresnya. Tadi ketemu sama perusahaan alkohol, dia
berjanji akan menghentikan produksi sebentar untuk perbaikan pengelolaan IPAL
dan kita hormati,” terangnya.
Memang permasalahan terjadi
pada peternak ternak. Menurut Ganjar, banyak peternak yang tidak memiliki IPAL
sehingga membuang kotoran hingga bangkai ternak ke sungai.
“Tadi saya lihat Genjiknya
(bangkai anak ternak) mengambang di sungai. Itu jangan, maka peternak ini perlu
pembinaan agar bisnisnya tetap jalan, tapi pencemarannya tidak
dilakukan,” ucapnya. [NOTE Penulis : Mengapa seolah menjadi kesalahan pihak pemerintah,
seolah karena “tidak / belum membina” para pelanggar tersebut? Justru adalah
beban kewajiban setiap pelaku usaha, sebelum memulai usaha perlu memerhatikan
konsekuensi negatif usahanya serta memitigasinya. Berani berusaha, maka harus
berani bertanggung-jawab.]
Ganjar menegaskan, pihaknya belum
akan melakukan penegakan hukum pada perusahaan-perusahaan yang melakukan
pelanggaran itu. Namun, ia mengingatkan agar segera memperbaiki dan
mematuhi komitmen untuk perbaikan IPAL yang sudah ditandatangani bersama.
“Tapi kalau seandainya tidak
memperbaiki, ya mohon maaf, terpaksa nanti kita ambil tindakan hukum pada
mereka,” tegasnya.
Salah satu petinggi perusahaan
yang masih membuang limbah ke sungai, Edy mengatakan, pihaknya akan segera
memperbaiki proses pembuangan limbah di perusahannya.
“Besok akan langsung kami
perbaiki pak, laporannya nanti akan kami serahkan,” katanya kepada Ganjar.
Sementara itu, salah satu
peternak ternak, Haryanto mengakui kesalahannya kepada Ganjar. Ia
mengatakan masih membuang limbah ternaknya langsung ke sungai.
“Mohon maaf pak, saya
mengaku salah. Solanya saya belum punya IPAL,” terangnya. [NOTE Penulis : Adagium hukum
berbunyi, “Semua orang dianggap tahu hukum”—tiada kompromi, dan tiada
pengecualian. Siap atau belumnya berusaha secara bertanggung-jawab, bukanlah “alasan
pembenar” terlebih sebagai “alasan pemaaf” untuk melanggar dan untuk merugikan
kepentingan warga lainnya yang menjadi stakeholder
ekosistem lingkungan hidup ataupun kepentingan atas lingkungan pemukimannya.]
Tak hanya pelanggaran, dalam sidak tersebut, Ganjar juga menemukan ada satu perusahaan tekstil
besar yang sudah memenuhi komitmen untuk pengelolaan IPAL. Perusahaan tekstil
tersebut sudah membeli alat dan memasangnya, sehingga limbah yang dibuang sudah
memenuhi standar batas baku mutu air. [NOTE Penulis :
Lantas, apa yang menjadi “reward”
bagi pelaku usaha yang patuh dan taat terhadap hukum? Bukankah adalah artinya
suatu “kerugian”, berusaha secara legal dan patuh terhadap ketenttuan hukum,
bila pelanggar justru mendapat “reward”?]
“Yang komitmen-komitmen ini
kami acungi jempol, dan akan kami jadikan contoh. Ini lho ada perusahaan yang
komitmen soal limbah dan bisa berhasil, maka semoga yang lain terinspirasi,”
pungkas Ganjar. (Humas Jateng) [NOTE Penulis : Rupanya, bagi pelaku usaha yang
patuh hukum dan tidak merugikan warga lainnya, hanya mendapat “reward” berupa “diacungi
jempol”. Pengusaha lain manakah yang akan terinspirasi, bila “reward” yang ditawarkan pemerintah hanya
berupa “jempol”? Jelas jauh lebih menguntungkan berusaha tanpa bertanggung-jawab,
dimana ancaman “punishment”-nya
demikian penuh toleransi serta kompromistis.]
Yang lain akan ter-inspirasi
dan tergerak hatinya? Tentu, betapa tidak, merusak lingkungan, merugikan warga
yang berkepentingan atas sungai yang sehat dan bersih serta kepentingan para
habitat ekosistem sungai, masih berkelit dan “mengelak” pula, hanya diganjar
berupa “reward” (salah alamat dan
salah kaprah) berupa sikap “toleran” dan “kompromisis” oleh sang Kepala Daerah.
Menjadi “terputar-balik”,
Kepada Daerah yang semestinya tegas dan tidak kompromistis terhadap pengusaha
ilegal pelanggar yang merugikan warga, justru bersikap “humanis” terhadap
pelanggar. Sebaliknya, Pemuka Agama yang semestinya toleran dan kompromistis
terhadap kemajemukan beragama, justru berwajah “intoleran” serta “tidak
kompromistis”. Entah mengapa, di negeri bernama Indonesia yang serba “agamais”,
mulai dari busana agamais, hingga persoalan makanan “halal lifestyle”, segalanya justru “terputar-balik” alias tidak proporsional
pada tempatnya.
Yang semestinya mendapat “reward” yakni warga yang taat hukum yang
berkepentingan atas lingkungan dan ekosistem yang lestari serta sehat bebas
dari segala jenis polusi maupun gangguan, justru dibiarkan dirampas hak-haknya
dan dibiarkan seorang diri menghadapi pengusaha-pengusaha ilegal yang hanya
dapat merenggut hak-hak warga atas ekosistem maupun lingkungan pemukiman yang
bersih—seolah-olah menjadi “punishment”
itu sendiri bagi pihak warga umum. “Reward”
bagi pelanggar, sama artinya disaat bersamaan menjadi “punishment” bagi rakyat yang patuh dan taat terhadap hukum.
Sebaliknya, kontras dengan itu,
pengusaha ilegal yang merusak ekosistem justru diberi “reward” berupa sikap yang penuh toleransi serta kompromistis,
dimana disaat bersamaan menjadi sebentuk “punishment”
bagi rakyat umum ialah “mencuri ayam” dipidana penjara sementara “mencuri
hak atas lingkungan hidup maupun lingkungan pemukiman yang sehat bebas dari
segala jenis polusi maupun gangguan” justru diganjar “toleransi” serta sikap
serba “kompromistis”.
Tiada efek jera bagi pelaku
pelanggar maupun terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh sang pelanggar,
justru membuat jera warga-warga yang selama ini patuh dan taat kepada hukum, serta membuat jera para rakyat
yang “masih punya otak” untuk hidup di negeri dimana segala sesuatu
“terputar-balik”, dimana “benar menjadi salah, dan salah menjadi benar”, “hitam
menjadi putih, dan putih menjadi hitam”, “boleh menjadi tidak boleh, dan tidak
boleh menjadi boleh”, “dilarang menjadi permisif, dan permisif menjadi
dilarang”, serta aksi-aksi akrobatik lainnya yang dipertunjukkan secara vulgar
bahkan di “tengah siang bolong” dan di depan umum, tanpa rasa malu sekalipun
busananya menutupi sekujur tubuh pelakunya—cerminan “urat malu” yang telah
putus.
Para republik dimana
segala-sesuatunya serba “kompromistis”, terlebih akan lebih “kompromistis”
ketika para pelanggar memakai kekuatan berupa “kekuatan uang” untuk membeli
perizinan, untuk mengamputasi hingga “mengangkangi” hukum, untuk “membeli harga
diri” para pejabat negara, untuk menindas dan merugikan hak-hak penduduk
lainnya, untuk melanggar tanpa dapat disentuh oleh penindakan hukum apapun,
untuk diberi keistimewaan dan kemudahan yang tersendiri, untuk mendapat
priviledge-priviledge yang tidak dimiliki rakyat jelata, untuk memelintir
“fakta” dan memesan “keadilan” versi “sponsor”, untuk merekayasa “kebenaran”
dan “realita”, untuk membungkam warga yang dikorbankan, untuk diberi izin “menumbalkan”
warga atas ekonsistem dan pemukimannya, untuk menjungkir-balik dunia moralitas,
jika perlu. “A license to kill”,
bahkan untuk “membunuh” pun dapat dibeli izinnya di republik ini lewat
keberadaan para kalangan pelaku premanisme yang seolah dipelihara dan
dilestarikan di republik ini.
Kepala Daerah yang serba
“kompromistis” terhadap pelanggar dan pelanggaran, sejatinya menjadi teladan
buruk bagi bangsa paternalistik ini, dalam dua sudut keberlakuan, yakni menjadi
teladan buruk bagi rakyat yang taat hukum maupun bagi warga yang berkepentingan
atas lingkungan hidup / bermukimnya, serta menjadi teladan buruk bagi para
aparatur dan jajaran aparatur daerah dibawahnya. Bahkan aparatur penegak hukum
pun akan berpikir, jika yang paling berkepentingan atas ancaman sanksi dalam
Peraturan Daerah, dalam hal ini Kepala Daerah, tidak merasa perlu menindak
tegas para pelanggar Peraturan Daerah ini, maka untuk apa juga aparatur penengak
hukum yang menjadi “repot sendiri” dan “merepotkan diri sendiri” dengan
menindak para pelanggar tersebut?
Ganti istilah Negara “Hukum” menjadi
sebagai Negara (penuh) “Himbauan”. Ganti istilah “Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana” menjadi “Kitab Himbauan”. Ganti istilah Aparatur Penegak “Hukum”
menjadi Aparatur Penegak “Himbauan”. Jika sudah demikian, maka apa yang menjadi
paling utama antara “Norma Hukum” Vs. “Norma Sosial”? Menghimbau, adalah tugas
pemuka agama dan tokoh adat atau tetua setempat, bukan tugas aparatur negara.
Kemana semua-kah, para pemuka agama dan para tetua adat kita yang dituakan di
negeri serba “agamais” ini, seolah masih kekurangan pasokan “pemuka agama”?
Hukum adalah hukum, hukum memang dibentuk dan
dirancang secara tajam dan tegas—disimbolikkan oleh istilah “OUGHT TO” (keharusan, kewajiban, bukan fakultatif ataupun tentatif
sifat keberlakuannya), demikianlah falsafah pembentukan hukum pertama kalinya mengemuka
di dunia ini. Tidak dapat dibenarkan terjadi wajah praktik berhukum di negeri
berhukum manapun, dimana “tajam ke bawah dan tumpul ke atas”, “tumpul karena
penegakannya yang kompromistis”, “diamputasi oleh segala bentuk alasan berkedok
toleransi” (toleransi terhadap pelanggar dan pelanggaran, seolah seluruh rakyat
kita mencari nafkah dengan cara melanggar sehingga pelanggaran sudah lama menjelma
menjadi sebentuk kelaziman?), “bermain ‘mata’ maka yang tajam menjelma menjadi
lunak dan setumpul kain beludru yang halus dan lembut untuk dibelai dan
dikenakan”, maupun “ketajaman yang ‘impoten’ akibat pengusung orasi perihal hak
asasi manusia seolah tiada kita kenal apa yang disebut sebagai KEWAJIBAN asasi
manusia”.
Itulah mengapa, haluan ideologi
berhukum penulis yang sangat idealis dan tegas, memisahkan mana yang hukum dan
mana yang bukan norma hukum, memurnikannya (“norma hukum” harus tegas dan
tajam, anti toleransi serta menutup diri dari sikap-sikap kompromistis, dimana
sebaliknya hanya “norma sosial” yang dapat saja bersikap kompromistis, dimana
bahkan penulis memiliki tetangga dalam pemukiman tempat penulis
bertempat-tinggal yang mana sang tetangga merupakan seorang koruptor dimana
ternyata warga setempat sangat kompromistis terhadap sang koruptor, sehingga hanya
penulis seorang diri yang sangat tidak toleran terhadapnya), menjadi tampak
“lain sendiri” (seolah bergerak melawan arus mainstream) sehingga bermuara pada selalu tampak “aneh sendiri” di
republik dimana segala sesuatunya serba terputar-balik.
Mengikuti arus mainstream penuh kebodohan, adalah sama
artinya dengan turu menjadi bodoh dan sama bodohnya dengan masyarakat kita yang
dikuasai oleh cara-cara berpikir yang irasional, tidak logis, serta memelihara
paradigma “akal sakit milik orang sakit”. Kabar buruknya, menjadi tampak “aneh
sendiri” (karena lain daripada yang lain), selalu dipercaya oleh masyarakat
kita sebagai warga yang “nyeleneh”, “tidak normal”, serta “tidak waras”. Itulah
nasib, menjadi “eling” di tengah-tengah bangsa yang “sakit akalnya”—seorang
tokoh menyebutnya sebagai “zaman edan”. Mungkin sudah memang kodratnya, penulis
lahir pada tempat (negeri) yang salah, dan salah pula pada waktunya dimana para
“sakit akalnya” berkuasa dan menjadi hegemoni negeri dengan bangsa yang “sakit”.
Sarjana Hukum yang baik, selalu
akan dapat melihat bahaya dibalik segala bentuk sikap-sikap penuh kompromistis,
yang mana harus dibayar mahal dengan merosotnya wibawa hukum di mata
masyarakat—terutama di mata kalangan para pelanggar, yang mana niscaya akan
kembali melanggar di masa mendatang, berkat “hadiah” berupa sikap-sikap
kompromistis pejabat dan aparatur penegak hukum kita itu sendiri. Jangankan
persoalan lingkungan hidup, terkait ancaman virus menular mematikan semacam
pandemik Virus Corona, pemerintah kita sejak satu semester Indonesia terjangkit
Corona Virus Disease 2019, tidak pernah membentuk peraturan yang efektif dapat
memberi sanksi bagi warga yang “membandel” terhadap “protokol kesehatan”,
sekadar “genit” menghimbau, memasang wajah “humanis” seolah pemerintah negara kita
selama ini “innocent” tidak pernah “main
represif” terhadap rakyatnya sendiri, dan gamang ketika harus membuat warganya
sendiri menjadi taat dan patuh terhadap “himbauan”. Itulah, budaya masyarakat yang
terbentuk berkat kebijakan penuh “kompromistis”—sekalipun sang sumber ancaman,
yakni wabah pandemik, tidak pernah mengenal kompromi kepada siapapun, tidak
juga toleran kepada anak-anak dan para lanjut-usia.
Tidak kurang-kurangnya regulasi
di republik ini, mulai dari Undang-Undang, Peraturan Menteri, terutama berbagai
Peraturan Daerah di seluruh provinsi hingga kabupaten dan kota, namun selalu
bernasib sama, yakni minim dalam hal KESERIUSAN implementasi serta
penegakannya. Lantas, untuk apakah semua peraturan itu dibentuk, bila
semata untuk dilecehkan yang mana pelaku pelecehannya ialah sikap-sikap “tebang
pilih” dan sikap-sikap penuh “kompromi” para penegak hukumnya itu sendiri?
Jangankan berharap warga dan segenap rakyat akan patuh, bila aparatur penegak
hukumnya sendiri yang selama ini menjadi “oknum-oknum” yang melecehkan reputasi
dan wibawa hukum. Wibawa hukum, merosot dan menukik hingga ke titik nadir.
Kembali kepada contoh ilustrasi
yang sempat penulis kutipkan di atas, menurut para pembaca, siapakah yang
sejatinya telah membuat merosot wibawa dan praktik penegakan hukum di Tanah
Air, sehingga hukum benar-benar “tumpul”, “lentur”, “lembut”, dan “melengkung”,
dalam arti yang sesungguhnya? Hukum, lebih tepatnya “norma imperatif
hukum”, ibarat pisau pemotong, yang selalu harus dipakai dan diasah bila ingin
tetap tajam dan tidak KARATAN—besi yang karatan, hanya akan bernasib sebagai
besi tua yang kemudian menjelma barang “rongsok”, tidak terkecuali “hukum yang
karatan” dan “hukum yang berkarat”. Hukum yang “tajam”, sangat efektif, ibarat
pisau yang tajam, sayatan perlahan sudah menimbulkan dampak signifikan. Memiliki
pisau yang “tumpul”, hanya akan membuat pemakainya frustasi. Memiliki seribu
satu “pisau tumpul”, tidak akan pernah lebih efektif daripada satu buah “pisau (yang)
tajam”.
Wajah praktik hukum di
Indonesia lebih menyerupai “dagelan” ketimbang penuh “sakralitas” yang wajib
dihormati (“Kitab Undang-Undang Hukum LELUCON”)—pelanggaran terjadi
dimana-mana, ditengah-tengah jalan umum, di depan mata para aparatur
penegaknya, ditengah-tengah “siang bolong”, bahkan tidak jarang aparaturnya itu
sendiri yang turut “bermain” dan “memancing di air keruh”. Hukum yang
betul-betul dilecehkan dan “diinjak-injak”, karena negara tidak benar-benar
hadir di tengah-tengah masyarakat, atau bahkan TIDAK JARANG hadir dalam bentuk
“mem-bekingi” warga pelaku pelanggaran itu sendiri menghadapi sesama warga
sipil lainnya.
Itulah, pesan nonverbal yang
dikomunikasikan sebagai komunikasi publik pemerintah kita yang selama ini
berkuasa—dimana Kepala Negaranya terus silih-berganti, namun tiada perubahan
berarti yang signifikan, sehingga memang itulah tepatnya, budaya Bangsa Indonesia
: “rongsok”—terutama dari segi moralitas, terlebih perhihal praktik
hukumnya, penyimpangan demi penyimpangan terjadi secara vulgar demikian
masif-nya tanpa penindakan berarti (kecuali mendapat banyak sorotan dan
perhatian dari publik). Singkat kata, tiada yang dapat dibanggakan dari hukum
serta reputasi terlebih “wajah” praktik hukum kita di Tanah Air, “rongsok”,
dimana “dijual murah” dan bila “laku” sekalipun, sudah sangat bagus.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.