ARTIKEL
HUKUM
Tidak Butuh Izin untuk Melancarkan Aksi Bela Diri,
Bela Diri adalah Hak Asasi Manusia untuk Menjaga Diri
Bila kita menyimak baik-baik
makna tersirat dari tayangan sinema aksi bela-diri seperti film-film Bruce Lee
ataupun IP Man (guru dari Bruce Lee), sebenarnya banyak sekali kajian hukum
yang sangat relevan namun seolah tabu untuk disentuh dan dikaji oleh kalangan
jurist maupun aparatur penegak hukum kita di Tanah Air, terlebih oleh kalangan
akademisi yang hanya sibuk dan pandai berteori namun gagap ketika menyentuh
perihal tataran ilmu terapan.
Berangkat dari pengalaman pribadi
kerap menjadi korban penganiayaan oleh sesama warga di Indonesia, penulis merasa
berada pada posisi yang kurang menguntungkan untuk melakukan aksi “bela diri”,
mengingat teori dan praktik hukum pidana kita masih sangat konversatif, “kolot”,
dangkal, sempit paradigmanya, serta “terbelakang”—dan itulah tepatnya yang akan
kita kritisi bersama lewat kajian falsafah serta “kacamata” orang-orang yang
pernah mengalami langsung aksi penganiayaan (sebagai korban yang tidak
diuntungkan oleh kondisi serta dipersulit oleh regulasi serta teori ilmu hukum
terkait pemidanaan / penitensier yang ada).
Kita mulai dengan pengalaman
penulis ketika “flash back” lama
sebelumnya tatkala masih duduk pada bangku sekolah. Seorang kakak-kelas beserta
anak-buahnya, melakukan berbagai aksi “bullying”
terhadap penulis (“jagoan” mengapa membawa serta anak-buah pengikut?), bahkan
merebut pemukul pingpong milik penulis lalu memukulkan bola pingpong secara demikian
kencang disengajakan ke arah penulis yang berkeberatan atas sikap arogan
demikian, sampai-sampai bola pingpong tersebut secara keras mengenai kacamata
penulis hingga rusak—bila saja saat itu penulis tidak mengenakan kacamata,
alhasil bola mata penulis yang akan terluka dan rusak. Sampai akhirnya, pada
puncak kemarahan, kami sepakat untuk bertarung di halaman belakang gedung
sekolah selepas jam pulang sekolah.
Latar belakang peristiwa
demikian, selalu intimidasi dimulai dari pihak “kakak kelas” tersebut yang mem-bully penulis selaku “adik kelas” yang
bertubuh jauh lebih kecil, dimana yang bersangkutan selalu memakai cara-cara
kekerasan—lengkap dengan ditemani anak buah pengikutnya (khas PENGECUT, itulah
tipikal semua kalangan preman, preman dewasa maupun “preman cilik”, tidak
pernah berani berdiri seorang diri menghadapi lawannya, dan hanya berani
menghadapi yang bertubuh lebih kecil), disamping faktor psikologis penulis yang
hanya seorang diri dan bertubuh lebih kecil serta lebih muda dari segi umur.
Saat waktu pertarungan tiba,
penulis hanya berdiri di tempat penulis berdiri tanpa beranjak maju
(perhatikan konteks ini untuk menarik kesimpulan siapa yang meng-inisiasi
ancaman nyata) pada halaman belakang gedung sekolah, sementara sang “preman
cilik” tersebut berjalan ke arah penulis lalu mencoba menerjang. Namun,
karena faktor tekanan batin yang demikian besar disamping terkejut dan amarah
yang selama ini terakumulasi serta terpendam karena ketidakadilan yang penulis
alami oleh yang bersangkutan, secara refleks penulis melakukan aksi “bela diri”
dengan menghujamkan berbagai pukulan secara bertubi-tubi hingga “preman cilik”
tersebut bermandikan darah yang mencuat dari dalam hidungnya dan membanjiri
seragam sekolah yang penulis kenakan. Sayang, sang “preman cilik” bermain
curang, dirinya menjambak rambut penulis—khas preman, PENGECUT. Hanya seperti
saja ternyata kemampuan sang “preman cilik”, bertarung layaknya “waria”,
sekalipun badannya demikian besar dan berbau busuk.
Sang kepala sekolah membuat
persidangan, alih-alih menjadi hakim yang adil layaknya “Judge Bao”, rupanya
bertendensi memihak sang “preman cilik” (semata karena melihat warna kulit),
memahami betul bahwa penulis masih bocah sehingga mudah di-“kriminalisasi” dan
tidak atau belum memahami teknik “bela diri lewat adu argumentasi”, dengan cara
memanggil murid-murid lain yang saat itu turut menyaksikan, dan menanyakan
kepada mereka satu per satu, siapakah yang telah terlebih dahulu memukul?
Seluruh siswa yang mengaku
menyaksikan perkelahian penuh ajang “ke-PENGECUT-an” tersebut, satu per satu
menunjuk ke arah hidung penulis. Sungguh, perasaan keadilan dan nurani penulis
terkoyak dan tercabik, pada usia yang masih sangat muda. Semestinya, penulis
diacungi jempol oleh mereka yang lebih dewasa dari usia penulis dan telah
dewasa semacam figur Kepala Sekolah, karena penulis berani melawan arogansi “preman
cilik”, seorang diri, berani menghadapi orang-orang yang bertubuh lebih besar
dan lebih tua umurnya daripada penulis.
Itulah, momen pahit ketika
upaya membela-diri dan mempertahankan diri menjadi bumerang bagi kedudukan
penulis. Dimanakah dan kemanakah, selama ini sang Kepala Sekolah, ketika
penulis setiap harinya mengalami “bullying”
oleh sang “preman cilik”? Batang hidungnya baru tampil saat menghakimi penulis,
sangat menyerupai para polisi yang akan baru benar-benar hadir dan tampil
dengan sigap di tengah-tengah masyarakat saat akan menilang pengemudi
kendaraan.
Anak-anak lain, tiada yang akan
seberani penulis melakukan perlawanan terhadap bully oleh “kakak kelas” yang menyerupai “preman cilik” lengkap
dengan didampingi anak buah pengikutnya (gengster rupanya sudah lama merasuk
menjadi budaya di Indonesia, bahkan di sekolah anak-anak cilik sejak penulis
berusia sangat muda). Mengapa lembaga pendidikan dan sekolah kita, menjadikan
para muridnya sebagai murid yang takut-takut dan penakut terhadap pelaku bully, dimana bahkan melawan dan
perlawanan pun akan berbuntut “kriminalisasi”, seolah-olah “bela diri” adalah
hal tabu?
Penulis saat itu berasumsi,
kegilaan dan semua ketidak-adilan yang dituduhkan kepada penulis, hanyalah
faktor “kesialan” penulis belaka semata, tidak akan terjadi lagi pada saat
penulis dewasa nanti, asumsi mana ternyata akan keliru dan selalu keliru
penulis jumpai dari satu momen ke momen lain di republik bernama
Indonesia—republik dan bangsa dimana sifat irasional, sikap-sikap tidak logis,
dan parade “akal sakit milik orang sakit” dipertontonkan secara vulgar,
“seronok”, dan berjemaah, menjadikan orang “waras” yang eling justru menjadi
tampak “aneh sendiri”.
Ketika penulis menjelang
remaja, seseorang pria dewasa pemilik salon alih-alih meminta maaf karena
karyawannya secara kasar telah melukai mata penulis yang merupakan pengguna
jasa dan pembayar jasa gunting rambut (entah mengapa, dari berbagai kejadian
menghadapi kalangan preman, selalu saja bagian mata penulis yang pertama-kalinya
menjadi sasaran), justru pamer arogansi dengan memasang sikap mengancam akan
memukul lewat mimik wajah, suara, serta sikap tubuh dengan tinju siap
dilontarkan ke arah penulis, secara reflek penulis merespon dalam kejadian yang
sangat cepat dan penuh keterkejutan itu, dengan melontarkan pukulan telak ke
arah pria dewasa tersebut—daripada penulis yang dilukai, lebih baik mengambil
dan menggunakan “affirmative action”
yang ternyata telah lama diakui dalam Hukum Internasional (Hukum Humeniter,
Hukum Perang Internasional), yang bermakna “terhadap adanya ANCAMAN yang nyata dan mendesak, dibenarkan praktik bela-diri
berupa terlebih dahulu melancarkan serangan sebelum benar-benar diserang lawan”.
Kata kuncinya disini ialah, adanya “ANCAMAN” serangan yang nyata, sudah menjadi
legitimasi bagi calon korban untuk melakukan serangan nyata terlebih dahulu
sebelum menderita kerugian akibat diserang.
Alih-alih menyudahi, sang pria
dewasa tersebut kembali memasang sikap tubuh hendak menyerang meski penulis
telah menarik diri dan bersikap pasif kembali. Alhasil, akibat ancaman nyata
yang penulis hadapi untuk kedua kalinya, sang pria dewasa tersebut kembali
terkena pukulan penulis—semata karena pukulan penulis jauh lebih cepat daripada
kemampuan berkelahi pria dewasa tersebut, sekalipun sejatinya penulis hanya
melakukan apa yang disebut sebagai “bela diri” karena respon penulis untuk
memukul terjadi secara reflek sebagai akibat dari TERLEBIH DAHULUNYA pihak
lawan melakukan aksi ANCAMAN akan memukul—sebenarnya teknik membaca sikap tubuh
dan prediksi terhadap gerakan lawan, sudah lama juga dikenal dalam dunia
olah-raga pertinjuan, dimana diangkatnya bahu lawan dan siku yang ditarik ke
belakang hendak dilontarkan ke depan, sudah merupakan indikasi NYATA atau
adanya ANCAMAN YANG NYATA akan terjadi pukulan dari pihak lawan.
Singkat kata, penulis tidak
akan menyerang jika pihak lawan tidak terlebih dahulu membuat sikap tubuh
MENGANCAM demikian. Hanya saja, ternyata pukulan penulis yang semata adalah
respon-refleks (ada reaksi berupa respons karena didahului
adanya aksi berupa ancaman), jauh lebih cepat ketimbang
lawan penulis, sehingga lawan penulis yang terlebih dahulu terkena pukulan.
Disini, kita dapat memberlakukan teori “conditio sine quanon” dimana
tanpa adanya sikap MENGANCAM demikian maka tidak akan terjadi pemukulan sebagai
buah dari “bela diri”, ataupun teori “causa prima” dimana terjadinya pukulan adalah akibat dari
apa dan dari siapa?
Sehingga, tidak penting
siapa yang terkena pukulan terlebih dahulu, namun siapa yang terlebih dahulu
MENGINTIMIDASI serta melancarkan ANCAMAN. Hukum Perang Internasional,
tidak pernah menjadikan aksi “bela diri” sebagai penjahat perang, sekalipun
para lawannya yang porak-poranda hancur-lebur. Secara Hukum Karma maupun secara
“Hukum Moril”, penulis hanya melakukan apa yang disebut sebagai “bela diri”,
dimana itu penulis yakini sebagai hak asasi manusia, tanpa butuh IZIN dari
pihak mana pun untuk “bela diri”.
Idealisme penulis yang kala itu
masih remaja, kemudian membuat penulis membuang waktu, ongkos, serta biaya
untuk mendatangi Kantor Polisi guna melaporkan ANCAMAN demikian. Namun,
alih-alih mendapat keadilan, sang polisi justru mendiskreditkan pihak penulis,
dengan menyatakan : “Mengancam akan
memukul itu tidak ada sanksi pidana, justru kamu yang salah karena ‘bela diri’!”—suatu
respons yang sangat tidak simpatik dan jauh dari kata “humanis”, karena sama
artinya kita selaku warga dapat saja menjebak warga lainnya, semudah skenario
sebagai berikut : Gunakan sikap tubuh hendak melancarkan pukulan ke arah
seseorang yang hendak kita kriminalisasi, dengan tujuan agar lawan kita
tergerak tubuhnya oleh keterkejutan berupa gerak refleks seperti reaksi “bela
diri” sebagai akibat dari ANCAMAN berupa sikap tubuh hendak memukul, alhasil
kita yang akan dipukul dan terkena pukulan terlebih dahulu—sekalipun dari sejak
semula pihak “korban kriminalisasi” hanya berdiri pada satu titik berpijak
tanpa pernah beranjak dan kita yang sejak semula bergerak maju mendekat dengan
cara menerjang.
Apakah kita yang harus terlebih
dahulu terkena pukulan, barulah kita “dianugerahkan” hak untuk “membela diri”?
Sejak kapankah, kamus kosakata bahasa kita, mengartikan “bela diri” sebagai
MENUNGGU UNTUK BENAR-BENAR mendapat luka dan terugikan terlebih dahulu untuk
dapat melakukan reaksi atau respon berupa perlawanan? Silahkan buka kamus
Thesaurus Bahasa Indonesia, cari lema kata “bela diri”, untuk membuktikan
argumentasi yang penulis kemukakan di atas.
Nama-nya juga “bela diri”, mengapa
harus diartikan menunggu terluka dan terugikan terlebih dahulu baru dibolehkan
melawan? Jika menunggu terluka dan terugikan terlebih dahulu, untuk apa lagi
melakukan “bela diri”? Menunggu terluka dan terugikan terlebih dahulu, telah
bertolak-belakang dari makna “bela diri” itu sendiri, dimana semuanya sudah
terlambat, menjadi “KORBAN”—justru bertolak-belakang dari makna serta
esensi dari kata “bela diri”, ialah kita “TIDAK BERSEDIA DAN MENOLAK MENJADI KORBAN”.
Dalam terminologi atau konsep konteks “bela diri”, tidak ada istilah “KORBAN”,
yang ada ialah pelaku PENGANCAM dan pelaku “BELA DIRI”.
Lantas, bagaimana bila ketika
kita melakukan aksi “bela diri”, lawan kita yang pada akhirnya “babak belur”? Nama-nya
juga “bela diri”, lawan kita bukan akan dibelai atau dipijat, pilihannya
hanya ada dua : kita yang pada akhirnya “babak belur”, atau lawan kita yang
kita buat “babak belur”. Semua tergantung pada pihak lawan itu sendiri,
bila dirinya menyudahi segala intimidasi dan ketidakadilan perbuatannya, tidak
lagi membuat ANCAMAN fisik baru, maka kerusakan yang terjadi tidak akan
menjurus sampai pada fase “babak belur”.
Sejatinya, pelaku aksi “bela
diri” hanya merespon, pasif sejak semula, namun baru akan bereaksi bila terdapat
ANCAMAN nyata. Hanya “jagoan” pengecut yang mengharap lawannya melakukan “bela diri”
dengan belaian dan pijatan. Jika siap MENGACAM dan memulai perkelahian, maka artinya
harus pula siap untuk “babak belur”—jangan “manja”, jangan “cengeng”, serta
jangan “mengadu”; itulah prinsip-prinsip dasar jiwa ksatria dan pria yang masih
mengaku “jantan”. Berkelahi dan ada yang atau saling terluka, itu wajar—baru
menjadi tidak wajar, bila pihak-pihak yang menantang berkelahi kemudian kalah,
terlebih dahulu MENGANCAM, namun menjadi yang terluka, lalu “mengadu”. Penulis
menyebutnya sebagai “preman cengeng ingusan”. Itulah sebab, dalam aturan main
olah-raga tinju di atas ring tinju, hanya petinju bodoh yang akan menerima
pukulan terlebih dahulu.
Penulis bahkan pernah memukul
satu lawan hingga lebih dari lima kali, karena lawan penulis yang terlebih
dahulu MENGANCAM, lalu mendapat reaksi berupa pukulan dari penulis, kembali
lagi MENGANCAM lalu mendapat reasksi pukulan kedua, kembali lagi MENGANCAM dan
seperti itu seterusnya sekalin sang “pelaku PENGANCAM” telah menyadari
kemampuan bertarung penulis lebih unggul dalam hal kecepatan—terjadi semata
karena reaksi dan refleks ditambah kecepatan pukulan penulis yang lebih cepat
daripada lawan penulis. Beruntunglah dirinya “sadar diri”, meski menderita
“babak belur” oleh penulis, namun dirinya menyadari semua itu “akibat” dari
sikap tubuhnya sendiri yang MENGANCAM alih-alih menyudahi ketika mendapat satu
kali respons berupa pukulan. Dalam bahasa penulis : “You asked for it!”
Ketika penulis tumbuh dewasa,
penulis kerap dihadapkan pada aksi premanisme kalangan preman yang didampingi
kawanan premannya (ciri khas preman dan premanisme, yakni : PENGECUT, hanya
berani bila didampingi oleh pengikut atau kawan-kawan premannya). Cendawan di
Indonesia hanya kalah dari preman, “hak preman tumbuh dimusim penghujan”.
Ketika penulis berdiri seorang diri sibuk berduel dengan sang “bos preman” yang
bertubuh jauh lebih besar dari tubuh fisik penulis, mendadak sang anak buah
dari preman tersebut yang semula penulis kira hanya menjadi penonton belaka,
mendadak dari arah belakang dan dari arah samping turut “mengeroyoki” penulis.
Atau ketika anak buahnya mendekati penulis, dimana penulis mengiranya hendak
meleraikan perkelahian, ternyata kemudian menyerang penulis tanpa terlebih
dahulu mengumandangkan akan turut berperang agar penulis siap untuk menjaga
diri darinya dengan membuat pertahanan diri (diwajibkan oleh Hukum Perang
Internasional), maka timbul pertanyaan besar di kepala penulis : Mengapa tidak
dari sejak semula saja, penulis “hajari” dan buat “babak belur” para preman
tersebut satu per satu, tanpa membiarkan penulis terlebih dahulu jatuh dalam
keadaan “babak belur” dianiaya secara berkeroyokan dan demikian curangnya oleh
para preman tersebut, dimana bila penulis telah “babak belur” terlebih dahulu
terkena pukul satu demi satu dari para berandal dan pengikutnya tersebut, sama
artinya percuma istilah “bela diri” (karena artinya sudah “GAME OVER”)?
Kini kita sedikit berwacana,
pada adegan dimana Bruce Lee disergap dan dikelilingi oleh sepasukan preman,
maka Bruce Lee tidak menunggu agar dirinya terlebih dahulu “dikeroyoki” secara “berkeroyok”
hingga “babak belur”—sekali lagi, itu namanya “GAME OVER”. Terhadap siapa pun yang mencoba mendekati Bruce
Lee, langsung dipukul atau ditendang “bokong”-nya olehn Bruce Lee, hingga
terpelanting. Bruce Lee tidak membiarkan siapa pun menyentuhnya—dan itulah
makna sejati “bela diri”—tidak salah secara Hukum Karma dan tidak juga tercela
secara Moril.
Kita lihat adegan Ip Man ketika
bertarung, pernahkah dirinya menunggu terlebih dahulu dipukul, terkena pukul,
dan terluka, baru kemudian melancarkan aksi perlawanan, balasan, dan “bela
diri”? Satu atau puluhan lawan dari Ip Man, tiada satu pun dari mereka yang
dibiarkan menyentuh sehelai pun rambut dari Ip Man, dimana seluruh lawannya itu
yang tidak jarang terlebih dahulu menyerang, namun karena Ip Man jika bukan
karena berhasil berkelit, “menangkis sekaligus menyerang” (attact and defense at the same time, Wing Chun Philosophy) ataupun karena
gerakan tangan dan kaki Ip Man jauh lebih cepat daripada ANCAMAN gerakan fisik
nyata lawannya yang hendak menyerang terlebih dahulu. Ataupun, terhadap para
berandal yang mencoba mendekatinya, seketika itu juga dilumpuhkan oleh Ip Man agar
tidak lagi menjadi ANCAMAN.
Digambarkan pula, Ip Man tidak
menderita selecet pun luka pada tubuhnya, namun sekawanan lawannya “babak
belur”. Justru, itulah yang baru dapat benar-benar disebut sebagai “BELA DIRI”
yang sejati dan sebenarnya. “Bela diri”, tidak akan mendorong ataupun
membuat kita terlebih dahulu “babak belur”—itu bukan “bela diri” namanya, namun
“MATI KONYOL”. Yang paling bahaya sebenarnya ialah kalangan polisi maupun
hakim yang tidak pernah berkelahi ala Ip Man ataupun Bruce Lee, tidak punya
pengalaman berkelahi karena merupakan “anak manis” selama di sekolah atau anak
yang selalu “menikmati” bullying
semasa sekolahnya (atau mungkin menjadi pelakunya), sehingga pemikiran dan
pandangannya sempit, dimana “siapa yang terlebih dahulu MELUKAI lawan”
yang seketika itu juga (secara pandangan sempit) disebut serta divonis sebagai pelaku
penganiayaan.
Jika kita memang begitu adanya,
ketika kita memakai paradigma berpikir kalangan polisi dan hakim kita di
Indonesia, negeri serba terbelakang ini—terbelakang dari segi watak, moral,
otak, etika, serta perilaku warganya, terlebih tumpul dari segi “sense of justice”—maka Ip Man dan Bruce
Lee-lah yang menjadi Terdakwa sekaligus Terpidana kasus pidana “penganiayaan”,
sekalipun kasusnya ialah “satu lawan sepuluh”, seolah terjadi akrobatik logika
moril disini, pelaku pengeroyokan berbalik didudukkan sebagai “para korban”
oleh Ip Man maupun Bruce Lee yang seorang diri. Perhatikan dengan saksama
dialog berikut : “Siapa yang ter-aniaya?
Yaitu para ‘pengeroyok’ tersebut. Pelakunya
siapa? Yaitu orang yang ‘di-keroyoki’ itu.” Bukankah kalimat satir demikian terdengar sangat janggal
sekaligus ironis? Para pelaku pengeroyokan, kemudian melapor sebagai korban
teraniaya, semata karena pukulannya kalah cepat dari Bruce Lee dan Ip Man?
Menjadi sehebat Bruce Lee, apakah merupakan dosa dan salah? Bukankah memalukan,
kalah bertarung lalu “mengadu” bagai “anak besar yang cengeng”?
Kini, bila ada di antara
pembaca yang pernah atau sedang ataupun akan menghadapi dilema peliknya hukum
pidana dan otak “kerdil” penuh kedangkalan kalangan polisi maupun hakim kita
yang “tumpul moralitas” serta serba terbelakang sekaligus “naif” ini, ketika
Anda selaku korban justru hendak “dikriminalisasi”, terjadi putar-balik keadaan
dari “korban menjadi pelaku kejahatan”, ataupun dari “benar menjadi salah”,
ingat baik-baik argumentasi berikut yang penulis paparkan sebagai “kontra
narasi” atau “kontra argumentasinya”—karena akan sangat membantu Anda untuk
mempertahankan hak-hak sipil Anda untuk membela-diri.
Pertama-tama, ajukan atau
tanyakan hal berikut kepada sang penyidik. “Pak
Polisi, menurut Bapak, seperti apa yang disebut sebagai ‘bela diri’? Apakah hak
untuk ‘bela diri’, baru terbit ketika saya benar-benar terkena pukul, dimana
segala sesuatunya sudah benar-benar terlambat karena terkena pulul dan terluka?
TERKENA PUKULAN DISEBUT ‘BELA DIRI’? ‘BELA DIRI’ ALIRAN MANAKAH, YANG JURUSNYA
SENGAJA DAN PASRAH MENERIMA SERANGAN? ITU JURUS BATU, NAMANYA. JURUS JADI
PATUNG, ATAU JURUS JADI KODOK. Pak Polisi pandai bercanda, rupanya.
Jangan-jangan mantan Komedian lalu banting-setir jadi polisi?”
Jika sang Pak Polisi masih juga
“bersikukuh”, utarakanlah argumentasi berikutnya (jangan mau kalah dengan
polisi yang otak dan moralitasnya “terbelakang” : “Pak Polisi, apakah saya harus minta izin terlebih daulu, dari orang
yang MENGANCAM saya, bahwa saya minta izin Anda untuk ‘bela diri’? Mengapa saya
harus minta izin dari Anda atau siapa pun, terlebih dari pelaku yang telah
MENGANCAM saya, ‘bela diri’ itu hak saya, hak asasi manusia. Hukum
Humaniter dan Hukum Perang Internasional saja melegalkan dan membenarkan
‘affirmative action’ sebagai ‘alasan pembenar’, mengapa saya justru
dilarang melakukan ‘affirmative action’? Berarti Pak Polisi sudah ketinggalan
zaman. Menurut Pak Polisi, siapa dan apa yang menjadi ‘conditio sine quanon’,
jika bukan ANCAMAN dari si pelaku PENGANCAM itu sendiri?”
Bila sang Pak Polisi masih juga
“ngeyel”, utarakanlah kembali argumentasi berikut : “Pak Polisi, saya mau tanyakan dahulu ini kepada Pak Polisi untuk
menyamakan persepsi. Salah siapa, jika refleks saya lebih cepat gerakan memukul
saya daripada orang yang terlebih dahulu MENGANCAM dengan mencoba memukul saya,
sehingga si PENGANCAM yang terlebih dahulu terkena pukulan? Cengeng sekali,
kalah berkelahi sebagai sesama pria, lalu mengadu. Itu, yang disebut ‘pria
jantan’?”
Bila juga masih ... “Apa juga yang menurut Pak Polisi disebut
sebagai ‘MENGANCAM tidak diancam sanksi pidana’? Apa yang disebut ‘ANCAMAN’
atau ‘MENGANCAM’ disini? Jika pelaku yang terlebih dahulu memukul namun
saya berhasil mengelak dan menghindar, itu masih disebut sebagai sekadar
‘MENGANCAM’ dimana belum timbul hak bagi saya untuk ‘bela diri’? JIka
begitu, bukanlah penganiayaan jika ternyata korbannya hebat sukar dilukai,
bahkan justru pelakunya yang mengaku-ngaku ‘dizolimi’ karena korbannya
‘menggigit balik’? Jika pelaku PENGANCAM memukul, namun saya menangkis, dimana
tidak timbul luka ataupun memar pada tangan yang saya gunakan untuk menangkit,
itu pun belum dapat disebut sebagai PENGANIAYAAN yang memberikan hak kepada
saya selaku korban untuk melawan-balik, fight back, dan ‘bela diri’?”
Bila juga masih ... “Pak Polisi, kalau Bruce Lee ataupun Ip Man
yang legendaris itu biarkan dirinya dipukul terlebih dahulu dan ‘babak belur’
dikeroyoki, baru diberi hak untuk ‘bela diri’, itu sudah ‘GAME OVER’.
Bapak Polisi ingin bilang bahwa Bruce Lee dan Ip Man adalah pelaku
penganiayaan, sementara sekawanan preman-preman jahat itu adalah korban
penganiayaan? Lalu, mohon Pak Polisi sebutkan dahulu makna definisi ‘bela
diri’.”
Bila masih juga ... “Jadi, menurut Pak Polisi, ‘bela diri’ itu
apa? Kapan baru boleh ‘bela diri’, jika begitu? Lantas, untuk apa Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana mengatur pasal perihal ‘over macht’,
tekanan batin hebat yang memaksa untuk seketika itu juga melancarkan
‘affirmative action’? Jadi, menurut Pak Polisi, orang harus menunggu ‘babak
belur’ terlebih dahulu, baru boleh ‘bela diri’? Jadi, menurut Pak Polisi, ‘bela
diri’ itu wujudnya belaian dan pijatan, sehingga lawannya tidak akan
mungkin terluka? Pak Polisi luar biasa pintarnya, lulusan dari universitas
hukum manakah, Bapak Polisi dahulu berkuliah?”
Jika sang Pak Polisi masih juga
“ngotot” untuk mengkriminalisasi korban, dari benar menjadi pihak yang salah,
dari korban menjadi pelaku penganiayaan semata karena lebih hebat dari segi
keterampilan bela-diri, dan semata karena “membela diri”, maka serahkan
semuanya kepada Hukum Karma—percayalah, hukum Karma yang akan membuat pelaku
PENGANCAM, beserta dengan Pak Polisi “tumpul hati nurani” demikian, yang akan mendapat
balasan serupa dikemudian hari. Sebagai penutup, apakah Anda akan menjadi
penggemar berat yang mengidolakan Bruce Lee ataupun Ip Man, bila mereka
membiarkan lawan-lawannya terlebih dahulu membuat sang legendaris ‘babak
belur’? Legendaris “babak belur” akan terlebih dahulu “GAME OVER” sebelum sempat menjadi legendaris.
Yang terpenting, satu tambahan
terakhir dari penulis, ingat selalu untuk tegas serta konsisten sedari
sejak awal hingga akhir, jawab / katakan : “Saya tidak pernah menyerang dirinya atau siapa pun, saya hanya ‘BELA DIRI’. Apakah salah, ‘bela diri’?” Masalahnya,
“self-defence” ternyata belum masuk
ataupun diakui sebagai salah satu kategori hak asasi manusia dalam konstitusi
negara terbelakang kita bernama Indonesia ini, terlebih mengakuinya sebagai “hak
asasi korban”—namun jangan pula mengklaim adanya “hak asasi pelaku kejahatan”
karena MENGANCAM bukanlah hak, justru BEBAS DARI ANCAMAN adalah hak asasi
manusia.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.