ARTIKEL
HUKUM
Saat ulasan ini penulis susun pada pertengahan Bulan Agustus 2020, hampir genap satu semester lamanya kondisi Negara Indonesia dilanda pandemik yang diakibatkan oleh wabah virus menular mematikan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), dimana berbagai negara di seluruh penjuru belahan dunia melaporkan mengalami kondisi ekonomi yang “terjun bebas” menuju jurang resesi, Pemerintah Indonesia justru tampil bak “gagah perkasa” tatkala menggelar konferensi pers maupun saat menghadap parlemen, dengan menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia dilaporkan stabil, tanpa krisis ekonomi, dan bahkan tercatat surplus terutama dari segi eksportasi.
Pernyataan pemerintah seolah
melawan kenyataan, tendensius, serta “lagi-lagi mencoba mengelabui publik”
setelah sebelumnya narasi yang dibangun pemerintah “gagal total” saat mengumandangkan
keberhasilan penanganan cepat terhadap“angka prevalensi terjangkit COVID-19
yang STABIL” sekalipun laporan resmi Pemerintah Indonesia mencatat angka
sebaliknya, prevalensi yang menukik tinggi tanpa jelas kapan akan tiba grafik
berupa kurva menurun. Jangankan berbicara perihal “second wave” atau gelombang kedua serangan wabah, “first wave” pun pemerintah kita terbukti
gagal alias hanya pandai mengumbar klaim-klaim kosong belaka namun minim
realisasi—dimana rakyatnya terbiasa dibodohi pemerintah yang lebih pandai
membodohi rakyatnya sendiri.
Para ekonom dari Indonesia pun
turut “latah” dengan klaim pemerintah, bergembira atas peningkatan laba dari kegiatan
eksportasi, seolah seluruh pengusaha dan pekerja kita bekerja pada sektor
eksportasi—sehingga tidak mencerminkan perekonomian secara makro karena angka-angka
demikian hanya menjadi indikator keuntungan besar yang dicetak oleh sebatas kalangan
eksportir semata. Indikator-indikator yang digunakan pemerintah untuk mengklaim
ekonomi negeri “stabil” tanpa terkena ancaman “resesi”, adalah bersifat sangat “tidak
logis” dan cenderung “kerdil” seolah rakyat kita memang kerdil karenanya mudah
untuk dibohongi oleh pemerintah mereka yang sedang berkuasa.
Pemerintah dan sebagian ekonom
dari Indonesia menyatakan, Negara Singapura telah secara berbesar-jiwa melaporkan
dan mengakui secara transparan kepada masyarakat global bahwa negaranya sedang dilanda
resesi ekonomi hingga kuartal kedua tahun ini akibat arus lalu-lintas bisnis transaksi
internasional warganya terpukul akibat wabah pandemik COVID-19. Sebaliknya,
secara demikian “kerdil” pemerintah kita mengumandangkan penuh kebanggaan,
bahwa Indonesia “aman” karena ekonominya ditopang sektor “konsumsi”, bahkan
otoritas pemerintah mendorong agar masyarakat menguras sisa tabungan milik
mereka untuk memborong barang-barang konsumsi agar “pertumbuhan ekonomi” FIKTIF
yang semu dapat tercipta dan dipertahankan—itikad buruk pemerintah yang hendak
mencelakai dan menyengsarakan rakyatnya sendiri, sekalipun tiada kepastian
kapan pandemik akan berakhir ditengah-tengah kondisi kebijakan pemerintah yang SANGAT
AMAT LONGGAR & BERLARUT-LARUT (pernahkan Anda menjumpai adanya aparatur
pemerintah satu per satu membuat pengawasan dan penindakan kepada setiap gedung
ataupun jalan pemukiman warga dari masyarakat yang tidak patuh terhadap “protokol
kesehatan”?).
Seolah-olah, Rakyat Singapura tidak
butuh barang “konsumsi” dan tidak membeli barang-barang “konsumtif”? Jika Warga
Singapura untuk makan dan minum dan melangsungkan hidup, tetap akan membeli barang-barang
kebutuhan pokok, maka mengapa memasuki jurang resesi ekonomi? Apakah itu bukan
artinya, Masyarakat Indonesia demikian KONSUMTIF-nya sampai-sampai ekonomi
negara ditopang oleh kegiatan “konsumtif” warganya? Mengapa juga, pemerintah
dan ekonom kita begitu bangga mengklaim diri sebagai bangsa dan negara “konsumtif”?
Faktanya, daya beli masyarakat kita
jauh sebelum pandemik memasuki teritori Indonesia telah menurun imbas dari
lesunya ekonomi China sumber barang-barang impor yang menguasai pasaran
Indonesia, sehingga bagaimana mungkin disaat bersamaan pemerintah dan sebagian kalangan
ekonom kita justru mengklaim sektor konsumtif telah menopang dan menjaga tingkat
ekonomi Indonesia sehingga tidak memasuki jurang resesi? Jika demikian adanya,
itu artinya indikator nyata bahwa selama ini tiada sektor produktif apapun yang
pernah terjadi di Indonesia seperti manufaktur ataupun sektor-sektor produktif
lainnya yang non-konsumtif, namun sektor konsumtif warga penduduknya sebagai satu-satunya
tulang-punggung ekonomi Indonesia?
Pelambatan ekonomi terjadi pada
negara manapun yang bersedia untuk selama beberapa bulan berkorban dengan melakukan
kebijakan “lock down” guna menekan dan
berperang melawan pandemik hingga tuntas, dengan tujuan agar negaranya bebas
dari wabah sehingga ekonomi warga dan negaranya dapat kembali pulih dan aktif normal
bangkit kembali. Sebaliknya, Indonesia tidak bersedia melambatkan ekonominya
dalam rangka dalam beberapa bulan melakukan “lock down” namun secara tidak rasional mengharap dapat menekan
angkat prevalensi penularan wabah yang tidak kunjung usai dan tendensinya
terbukti justru kian meraja-lela tidak terbendung seperti yang terjadi sekarang
ini.
Artinya, negara-negara yang
memilih “lock down” bersedia
berkorban dengan melakukan pelambatan ekonomi (negara mereka memilih bersikap “berdaya”,
penuh daya, karena memilih opsi melambatkan ekonomi guna berperang melawan
pandemik), sebaliknya Indonesia justru akan mengalami pelambatan ekonomi yang
dipaksakan oleh wabah pandemik yang tidak kunjung usai akibat kebijakan
pemerintah yang sama sekali tidak tegas serta berlarut-larut dalam
penanganan pandemik. Uniknya, negara mengklaim sebagai negara masih “berkembang”
sehingga bersikap tidak mampu secara ekonomi untuk menerapkan kebijakan “lock down”, meski dalam percaturan
dagang internasional global Indonesia mengklaim sebagai bangga telah termasuk
sebagai negara dengan ekonomi “maju”. Negara “banci”, ketika menghadapi dunia
internasional mengklaim sebagai tergolong “negara maju”, namun menghadapi warga
dan rakyat sendiri menjadi “mendadak miskin” dengan mengklaim sebagai sebatas “negara
(masih / sedang) berkembang” yang terbatas kekuatan ekonominya dalam memberikan
bantuan kepada rakyat agar dapat menerapkan “lock down”.
Bila negara-negara lain dan
warganya memilih untuk menabung dana yang tersedia (saving), Masyarakat Indonesia justru bersikap sebaliknya,
membelanjakan setiap keping rupiah yang mereka miliki untuk berbelanja (buying consumer goods), itulah sebabnya mengapa
seolah ekonomi Indonesia “perkara” pada semester awal pandemik melanda Indonesia,
yang dapat dipastikan bila dibiarkan berlarut-larut, maka cepat atau lambat
sektor konsumtif tidak akan lagi dapat mampu menopang ataupun mendongkrak
ekonomi Indonesia menuju jurang resesi yang jauh lebih dalam ketimbang negara-negara
lain yang memilih untuk menahan diri dari berbelanja berlebihan, melambatkan ekonomi
diri, dan menabung dana cadangan. Itulah cerminan kedangkalan berpikir para
staf ahli pemerintahan yang memberikan “bisikan penuh ke-bodoh-an” kepada
Kepala Negara yang tampaknya memang mudah di-“bodoh”i.
Kebijakan holistik berupa “lock down”, jelas adalah kebijakan para
negara yang otoritasnya bersedia untuk mengorbankan faktor ekonomi rakyat dan
negaranya maupun mobilitas warga dan pemerintahnya sehingga terjadi pelambatan
ekonomi selama beberapa bulan penerapan “lock
down” memang menjadi pilihan mereka—bukan sebagai dipaksakan oleh
keadaan, namun pilihan mereka pribadi sendiri. Demi masa depan yang dapat
bergerak bebas kembali secara ekonomi, berkorban beberapa bulan berupa “lock
down” dan pilihan untuk pelambatan ekonomi, ibarat pasien yang harus “full rest” atau ber-hibernasi demi
tujuan dapat pulih lebih cepat dan dapat kembali menekan pedal akselerasi
ekonomi sedalam-dalamnya ketika wabah telah berhasil dikendalikan berkat
pemutusan rantai penularan sebagai buah pengorbanan negara dan rakyatnya ketika
menerapkan “lock down”.
Sebaliknya, ketika suatu negara
dan rakyatnya yang memilih untuk tidak bersedia berkorban faktor ekonomi untuk beberapa
bulan lamanya, memang pada mulanya pertumbuhan ekonomi negara bersangkutan akan
tampak berjalan normal saja adanya tanpa guncangan berarti—namun sudah akan
dapat kita prediksi, bahwa akan tiba suatu titik waktu dimana pandemik yang terus
meraja-lela pada gilirannya akan memaksa dan menekan pelambatan Negara Indonesia
sekalipun bukan merupakan “pilihan” sebagai konsekusensi logisnya akibat
pandemik yang kian TIDAK TERKENDALI disamping kondisi wabah yang BERLARUT-LARUT.
Bila kita memakai logika dan
cara berpikir kalkulatif kalangan pebisnis, jelas lebih baik berkorban beberapa
bulan menjadi in-aktif dalam kondisi hibernasi, namun dengan harapan dapat
mengambil ancang-ancang untuk dapat bergerak dan melesat lebih cepat di masa
mendatang, ibarat seorang atlet pelompat jauh terkadang perlu mundur beberapa
langkah untuk dapat melompat lebih jauh ke depan, atau kendaraan yang perlu “full overhaul”.
Ekonom yang benar-benar mampu
berpikir secara visioner serta kalkulatif, akan mengikuti pendekatan Vietnam
dan China, yakni : atasi wabah dengan berkorban ekonomi selama beberapa bulan, dengan
tujuan agar dapat kembali cepat pulih dan bangkit kembali melakukan pembangunan
yang sebelumnya tertunda tatkala negara lain sibuk berjibaku digempur wabah
yang meraja-lela. Tatkala Amerika Serikat menuju arah “porak-poranda”
akibat wabah yang sama, saat kini China sedang melakukan pengerjaan kembali proyek-proyek
pembangunan ambisius yang membuat China sesaat tak lama lagi akan menjadi
raksasa dunia “menyalip” Amerika Serikat—sekalipun pada mulanya wabah COVID-19
menghancurkan ekonomi China pada tiga bulan pertama wabah pertama kali
mengjangkit di Wuhan-China.
Itulah cara Negara Tiongkok, untuk “mencuri start” tatkala negara lain stagnan atau
bahkan tenggelam ekonomi dan perbangunan negaranya akibat penanganan wabah yang
BERLARUT-LARUT tanpa ketegasan otoritas negaranya—dengan cara inilah, China
memenangkan “perang dagang” melawan Amerika Serikat yang kini berbalik menjadi
tertinggal kian jauh dari kebangkitan ekonomi China yang hanya terpukul tidak
lebih dari sebatas tiga bulan sejak wabah COVID-19 pertama kali merebak di
Wuhan—China. “Lock Down” dikala wabah,
di mata otoritas China, adalah INVESTASI MASA DEPAN yang jauh lebih berharga
ketimbang tiga bulan ekonomi negara berjalan tanpa dikorbankan.
Alih-alih meniru negara yang
telah berhasil menangani wabah dan kembali bangkit ekonominya seperti Tiongkok,
Vietnam, Thailand, dan negara-negara penuh ke-“tegas”-an lainnya, pemangku
kebijakan di Indonesia justru memilih untuk meniru pendekatan Amerika Serikat
yang memilih untuk tetap bertahan melanjutkan kegiatan ekonomi tanpa “lock down”. Sesukar itukah, “puasa
ekonomi”, “puasa hiburan”, “puasa bicara”, “puasa berdagang”, “puasa belanja”, “puasa
wisata”, selama dua atau tiga bulan, alih-alih BERLARUT-LARUT SEPERTI
SEKARANG INI? Bukankah Bangsa Indonesia adalah bangsa yang “agamais”
dan terbiasa “puasa makan”?
Yang kini tidak kalah melukai
perasaan kalangan pekerja dan pengusaha yang terdampak langsung oleh keganasan
dan kekuatan sang virus penyebab wabah yang mengakibatkan mereka harus terkena pemutusan
hubungan kerja atau bahkan harus menelan kenyataan pahit “gulung tikar” atau
bahkan jatuh bangkrut dan terjerat hutang, ialah tatkala sang Bapak Presiden
selaku Kepala Negara mengumandangkan kepada publik, betapa Negara Indonesia masih
jauh dari jurang resesi ekonomi, bahkan tercatat pertumbuhan ekonomi masih
SURPLUS (fiktif belaka, karena semua angka tersebut justru disumbangkan oleh
berbagai subsidi, bantuan, atau stimulus ekonomi yang digelontorkan pemerintah
pusat dan daerah, sehingga angka statistik ekonomi yang semu belaka).
Bila yang mendengarnya ialah
kalangan pengusaha dan pekerja ekspor, tentu akan bergembira hati mendengar
pidato sang Bapak Presiden yang patut kita beri gelar sebagai “Presiden PLIN
PLAN yang begitu percaya dirinya menjadi SEORANG PLIN PLAN”, namun ketika
didengar oleh telinga para pekerja maupun pengusaha yang jatuh terkurap atau
bahkan telah tiarap akibat terpukul kegiatan ekonominya berkat kebijakan
pemerintah yang tidak tegas, berlarut-larut, serta tiada ketegasan selain “jargon
/ slogan Pembatasan Sosial Berskala Besar minim penindakan yang bebas dilanggar”,
bahkan hanya sekadar “menghimbau” sekalipun lawan yang harus kita perangi
bersama ialah sama mematikannya dengan invasi gempuran tentara militer koloninal-penjajah,
bahkan ekonomi Indonesia tidak dalam kondisi resesi dan bahkan masih tercatat
bertumbuh secara surplus sementara negara-negara lain di dunia melaporkan diri tercatat
minus dan negatif pertumbuhannya, maka inilah yang akan timbul dalam benak para
pekerja dan pengusaha kita yang terpukul (terdampak langsung yang kini turut diguncang
jiwanya oleh lontaran pernyataan sang Kepala Pemerintahan):
- Apa yang salah dengan saya
dan perusahaan saya, mengapa perusahaan saya kolaps, bangkrut, “gulung-tikar”
dan terjerat setumpuk hutang bahkan terancam digugat pailit, sementara disaat
bersamaan sang Mr. Presiden PLIN PLAN mengklaim tiada yang bermasalah dan tiada
yang salah dengan tingkat pertumbuhan ekonomi di Indonesia?
- Apa yang salah dengan saya
dan pekerjaan saya, mengapa perusahaan tempat saya bekerja justru me-mutus
hubungan kerja (PHK) saya, sementara disaat bersamaan sang Mr. Presiden PLIN
PLAN mengklaim tiada yang bermasalah dan tiada yang salah dengan tingkat
pertumbuhan ekonomi di Indonesia?
Berikut inilah prediksi pribadi
penulis atas kondisi ekonomi di Indonesia, bila penanganan dan pendekatan perang
menghadapi wabah masih dibiarkan berjalan BERLARUT-LARUT TANPA KETEGASAN “separuh
hati” seperti yang berjalan selama ini, dimana alih-alih diperketat sebagai “punishment” bagi rakyat yang “membangkang”
atas himbauan (himbauan memang dapat dilanggar, karena norma himbauan bukanlah
norma hukum), pemerintah justru memberikan “reward”
berupa “the New Normal” dan seruan
ajakan bagi rakyatnya untuk “hidup berdampingan dengan pandemik virus menular
mematikan”, yang mana sebenarnya secara akal sehat terkait konsekuensi logis
jangka panjangnya, ialah tidak terelakkan lagi : cadangan keuangan pemerintah
akan habis untuk “menutup-nutupi lubang-lubang kebocoran yang akan terus
bermunculan satu demi satu tanpa akhir”, tabungan rakyat akan sampai pada satu kondisi
dimana tiada lagi dana yang dapat ditarik untuk belanja konsumtif, dimana
kemudian seluruh pengusaha dan pekerja kita harus berjalan dengan kondisi darah
terus mengucur hingga “kehabisan darah” dan mati perlahan-lahan.
Bila kita masih mampu berpikir
logis dengan “akal sehat”, bukan dengan “akal sakit milik orang sakit”, ketika
sebuah perkantoran terjadi kluster penularan wabah, mau tidak mau dan suka
tidak suka maka perkantoran tersebut harus ditutup dan diisolasi, dengan demikian
kita TIDAK PERNAH DAPAT HIDUP BERDAMPINGAN DENGAN WABAH MENULAR MEMATIKAN YANG
TIDAK KENAL KOMPROMI.
Hanyalah ketika mata rantai
penularan wabah berhasil kita putus seutuhnya, barulah kegiatan ekonomi dapat
melaju leluasa dengan kecepatan penuh, dengan cara kerelaan untuk membayar di
muka, yakni keberanian dan kerelaan untuk berkorban “lock down MURNI” selama beberapa bulan, meniru langkah China dan
Vietnam, tidak ada cara lain. Itulah sebabnya, produsen calon-vaksin COVID-19
asal China, tidak memasarkan calon-vaksin-nya di China, karena China dan Rakyat
China sudah MENANG MEMERANGI WABAH dan BEBAS DARI WABAH.
Tenaga ahli utama kantor staf
presiden, menyatakan agar masyarakat didorong untuk “boros” dan terus
berbelanja (menjadi konsumtif), agar dapat mendongkrak angka pertumbuhan
ekonomi FIKTIF rekaan pemerintah yang selama ini mengedepankan wajah “populis”
penuh pencitraan seolah-olah telah berhasil menggerakkan ekonomi rakyat dengan
/ sembari “hidup berdampingan” dengan mesin pembunuh bernama wabah virus
menular penyebab pandemik.
Itulah cerminan daya berpikir pemimpin
negara yang dangkal, alih-alih menyelamatkan rakyat dengan menghimbau atau “mengerem”
niat belanja dan mulai menabung untuk persiapan diri menghadapi ketidakpastian
akan masa mendatang dari wabah yang belum ditemukan obatnya dimana bakal vaksinnya
lebih diragukan lagi efektivitasnya, justru hendak merusak mental rakyatnya
sendiri dengan mengkampanyekan “kuras tabungan” saat pandemik terjadi agar
pamor dan citra pemerintah tidak tercoreng akibat pertumbuhan ekonomi yang menjurus
ke arah minus. Apa yang hendak kita kejar dengan angka-angka statistik perihal
pertumbuhan ekonomi FIKTIF demikian, wahai pemerintah yang gemar membodohi
rakyat Anda sendiri?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.