ARTIKEL HUKUM
Orang BODOH dengan KEBODOHANNYA, Sama Berbahayanya
dengan Orang Jahat, Penjahat karena Jahat atau Penjahat karena KEBODOHAN yang
Dipelihara
Pendidikan, semestinya menjadikan manusia lebih “humanis”, bukan justru semakin “licik” dan bersikap tidak menaruh peduli terhadap eksistensi orang lain. Janganlah mengira, dengan “memelihara” kebodohan dan sikap bodoh dalam diri kita atau pada diri seseorang, maka dirinya adalah orang “lugu” yang “polos” dan “innocent”, karena orang-orang “bodoh” ternyata sama jahat dan sama berbahayanya dengan orang-orang jahat—terlebih bila dalam satu pribadi terkandung tiga karakter yang sangat berbahaya bila dikombinasikan menjadi satu, yakni : sudah bodoh, jahat, kuat pula (maka sebaiknya kita sebisa mungkin menghindari tipe orang-orang yang memiliki kombinasi karakter sejenis ini, karena tidak bisa dilawan sebagaimana pun benarnya pihak kita berkedudukan dan seberapa pun kita telah dirugikan atau dikorbankan).
Ternyata, bukan hanya berbahaya
ketika kita menghadapi atau berhadapan dengan orang-orang bodoh—yang mana juga
tidak akan mengherankan bila mereka lebih mengandalkan kekerasan fisik sebagai
cara untuk mengatasi segala jenis masalah, karena otak mereka demikian lemah,
terutama moralitas mereka—namun juga akan sangat berbahaya ketika ternyata mulai
dari penonton, warga, hakim, juri, wasit, hingga Kepala Negara yang dipilih
secara demokratis ialah orang-orang “bodoh” dimana warga pemilihnya tidak kalah
“bodoh”-nya.
Sudah saatnya pemerintahan kita
menggalakkan “perang melawan / menumpas kebodohan”. Saat wabah akibat pandemik
virus menular mamatikan merebak, masih saja terdapat sebagian kalangan warga
yang justru menggalakkan slogan “gerakan anti masker”. Kebodohan bukan hanya
dapat mencelakai diri sang bodoh, namun juga dapat membawa ancaman serta mengakibatkan
kerugian ataupun menyakiti eksistensi orang-orang lain yang “terkena getah
kebodohan” orang-orang bodoh.
Contoh lain, dengan begitu
bodohnya masyarakat kita gemar merusak tubuh dan sel otak dirinya sendiri
dengan menghisap bakaran produk tembakau, mengakibatkan neuron otak para
pecandu nikotin tersebut berubah menjadi lebih agresif, lebih tumpul terkait
kepekaan moralitas, lebih mudah tidak tenang, disamping mengumpulkan toksik ke
dalam diri sendiri hingga menjadikan orang lain turut celaka akibat dijadikan “per0k0k
pasif”. Tidak jarang, bahkan para pecandu tersebut memegang linting yang
terbakar dan mengayunkannya hingga mengenai mata orang lain yang melintas. Orang
bodoh, cenderung egois. Bila orang kaya secara materi (namun miskin empati
dan nurani) cenderung bertendensi menjadi serakah, maka orang bodoh cenderung
menjadi egoistik tingkah-lakunya karena sudah “putus urat malu”-nya.
Socrates, sang pujangga legendaris
dari Yunani, guru dari Plato dan kakek-guru dari Aristoteles, justru dihukum
mati oleh juri yang terdiri dari 500 orang dimana mayoritas juri ternyata
adalah orang-orang bodoh, dibimbing oleh hakim dan jaksa penuntut yang bodoh,
mengakibatkan orang secerdas dan sebijaksana Socrates justru harus mengalami
tragedi mematikan lewat vonis mati bagi sang Socrates sebagai “hadiah” dari
orang-orang bodoh yang menjadi juri penentunya. Bayangkan, apa jadinya bila
yang menjadi penonton, hakim, serta juri sebuah proses persidangan, ternyata
lebih bodoh daripada seorang Socrates, maka itulah jadinya, “Socrates yang
malang” (the poor Socrates). Malapetaka
kerap terjadi akibat tangan-tangan orang bodoh, sama seperti bodohnya orang-orang
jahat yang dengan bangga menggali lubang kubur sendiri dengan cara tanpa takut berbuat
kejahatan.
Tidak jarang, di mata kalangan orang-orang
bodoh, “tidak bersalah” adalah “salah”, dimana bahkan korban pun dinyatakan
sebagai pihak yang bersalah dan dilecehkan atau bila perlu dikriminalisasi, sementara
pelaku pembuat kejahatan yang membuat korban terdesak untuk meluapkan amarah
dan kemarahan, justru luput dari kritikan dan celaan orang-orang bodoh yang
menjadi penonton aksi kebodohan pelaku-pelaku kejahatan yang demikian bodohnya
menggali lubang kubur (dosa) bagi dirinya sendiri.
itulah fenomena sosial yang
kerap penulis amati dan jumpai selama hampir separuh abad lamanya penulis
lahir, tumbuh dewasa, dan hidup di Indonesia, korban justru turut dikritik dan
dimarginalisasi, sementara pelaku kejahatan sama sekali tidak mendapat sanksi
sosial oleh masyarakat kita yang ternyata pandai dan gemar “mem-bully” korban yang sedang dalam kondisi
lemah dan terluka. Orang-orang bodoh, cenderung tidak memiliki kepekaan
terhadap “sense of justice”, mengingat
daya analitik dan cara berpikir kritis mereka sangat tumpul, dan semata cenderung
mengikuti dorongan hati yang bersumber dari otak limbik primitif mereka yang
mana, tentu saja, terbelakang adanya.
Tiada yang lebih meletihkan,
berbicara atau ketika harus berhadapan dan menghadapi orang-orang bodoh, baik
penjahat yang bodoh, penonton yang bodoh, hakim yang bodoh, hingga juri yang
bodoh, karena akan sangat merepotkan dan sama berbahayanya dengan ketika
kita menghadapi orang-orang jahat—mereka, baik orang bodoh ataupun
orang-orang jahat, akan cenderung tidak memperdulikan dan akan senantiasa
mengabaikan keselamatan dirinya sendiri terlebih keselamatan orang lain.
Bahkan, menurut Buddhisme, akar
kejahatan atau akar dari sifat jahat, ternyata adalah kebodohan itu sendiri
(avijja, moha sebagai akar dari segala jenis kejahatan). Karenanya, jangan
pernah meremehkan kebodohan milik orang lain ataupun kebodohan dalam diri kita
sendiri, karena bisa-bisa orang lain atau bahkan diri kita sendiri pun akan
turut celaka akibatnya. Itulah juga sebabnya, penulis sangat selektif ketika
mendapat tantangan untuk ber-debat dari pihak lain, dimana menerima tantangan
ber-debat ataupun men-debat orang-orang bodoh, sama artinya membuang-buang waktu
dan membuang-buang energi. Yang kemudian akan tampil, ialah parade arogansi
kebodohan yang dipamerkan serta dipertontonkan, yang mana memuakkan bagi kita namun
tidak di mata orang-orang “bodoh”. Sama seperti para pelaku kejahatan, bagi mereka
adalah prestasi bila mereka dapat berhasil berbuat kejahatan, namun memuakkan
bagi kita para orang yang masih “waras”.
Dalam proses demokrasi, rakyat
sejatinya menjadi penonton sekaligus menjadi pemilih dalam ajang yang disebut
sebagai “pemilihan umum” (yang dalam bahasa politis disebut sebagai “pesta
demokratis”). Rakyat yang bodoh, melahirkan pemimpin yang bodoh—itulah kodrat
buruk sekaligus nasib serta vonis bagi bangsa yang bodoh, dimana bangsa yang
bodoh adalah bangsa yang belum siap untuk menerapkan konsep negara demokrasi
secara multak, terlebih “demokrasi keblablasan”. Mayoritas diisi oleh rakyat
yang “bodoh”, maka warga “bijaksana” yang minoritas akan selalu tersingkirkan. Terjajah
oleh kebodohan, namun sang bodoh tidak menyadarinya sedang terjangkit
kebodohan. Pendidikan budi pekerti semestinya menjadi “vaksin kebodohan”, namun
menjadi bumerang bila para agen dunia pendidikan kita justru memberikan teladan
“kemunafikan” ala “lain di mulut lain di hati”.
Baru-baru ini ketika masih
merebak wabah pandemik virus mematikan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di
Indonesia, sekalipun para ahli kesehatan telah mewanti-wanti masyarakat agar
membuka jendela dan pintu karena besarnya potensi resiko penularan wabah virus
menular mematikan ini lewat medium “udara tertutup tanpa sirkulasi
keluar-masuknya udara” (ruang tertutup terlebih ber-AC), penulis terpaksa
mengunjungi sebuah kantor cabang suatu bank karena memerlukan dana dalam bentuk
uang fisik lembaran tunai guna dana belanja harian keluarga di pasar
tradisional.
Penulis mendapati kondisi yang
sangat memprihatinkan, kantor cabang bank yang sangat kecil tersebut, menampung
demikian banyak pengunjung dan karyawan bank bersangkutan, namun tanpa membuka
pintu, tetap menutup seluruh jendela, dan menghidupkan berpendingin ruangan.
Sekalipun sosialisasi dari pihak pemerintah dan otoritas kesehatan telah
menyebutkan, bahaya dibalik “airborne” atau “bio aerosol” sebagai medium
penularan virus menular mematikan ini, serta terlebih-lebih ruangan ber-AC,
dimana akan jauh lebih aman bagi karyawan maupun pengunjung suatu ruangan
tertutup untuk mengalami kondisi “panas hingga penuh berkeringat” (tanda-tanda kondisi
internal ruangan perkantoran yang lebih aman dengan catatan ada sirkulasi udara
“keluar-masuk”), namun kondisi perkantoran kita di Tanah Air seolah tidak
tersentuh oleh sikap tegas pemerintah dalam menerapkan kebijakan “protokol
kesehatan (cegah COVID-19)”—karena memang pemerintah Indonesia SAMA SEKALI
TIDAK TEGAS DALAM BERPERANG MELAWAN WABAH.
Penulis menasehati petugas bank
yang penulis kunjungi, agar membuka jendela dan pintu serta jangan menggunakan
Air Conditioner (AC). Tanggapannya justru khas “cerminan orang bodoh” (tanpa
mau melihat kondisi dan keadaan yang sedang dilanda wabah), yakni : “Panas jika tidak dihidupkan AC”.
Ternyata, bagi orang-orang bodoh, potensi resiko tertular virus mematikan masih
lebih “preferable” ketimbang berpeluh
keringat, dimana membuka diri terpapar virus menular mematikan ternyata bagi
orang-orang bodoh lebih “worthed”
ketimbang mitigasi resiko, apapun konsekuensinya.
Penonton yang bodoh, tidak akan
kalah jahatnya turut melukai korban, secara bodoh dengan khas daya pikir
bodohnya, akan menilai korban yang salah dan keliru, dan disaat bersamaan sama
sekali tidak melempar kritik kepada pelaku kejahatan semata karena korban yang
menjadi korban atau yang jatuh sebagai korban. Seolah, menjadi korban adalah sebuah
kesalahan dan kejahatan, sementara berhasil mengorbankan orang lain adalah
kebanggaan yang patut diapreasi dan diberi dukungan moril.
Sebagai contoh, sebuah lingkungan
perumahan peruntukkan untuk pemukiman dimana warga pemukim haruslah terjamin
bebas dari segala gangguan akibat kegiatan usaha seperti parkir liar urusan
bisnis pelaku usaha ilegal manapun. Namun, ketika pemerintah abai dalam
melindungi warga, mengakibatkan warga yang justru menjadi murka akibat ulah
pelaku usaha ilegal yang mengalih-fungsikan lingkungan pemukiman sebagai tempat
usaha beskala besar lengkap dengan ratusan kurir bermotor ataupun bermobil truk
hingga kontainer pesanan sang pengusaha ilegal setiap harinya datang dan pergi,
justru sikap amarah warga dinilai oleh para penonton “bodoh” sebagai wujud “belum
beradab”—seolah perilaku seperti usaha ilegal yang merampas hidup tenang bebas
dari segala gangguan warga pemukim, adalah “beradab” yang tidak patut diberi
cela dan kritik.
Itulah cerminan kebodohan, turut
melukai perasaan korban, akibat kebodohan mereka yang tidak mampu melihat
keadaan secara utuh dan bijaksana. Akan tetapi, siapa yang lebih bodoh disini, menjadi
korban ataukah para penonton bodoh tersebut dan pelaku kejahatan itu sendiri? Korban
yang cerdas memahami betul, ketika dirinya dilecehkan oleh para penonton yang
lewat, sama artinya satu hari ini bertambah lagi satu kejahatan sang penjahat
karena melecehkan korban atas aksi kejahatannya bersama-sama dengan para
penonton bodoh tersebut itu sendiri. Itulah mengapa, KEBODOHAN ADALAH
KEJAHATAN, MENJADI BODOH SAMA ARTINYA MENJADI BAGIAN DARI PENJAHAT &
AKTOR KEJAHATAN ITU SENDIRI.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.