LEGAL OPINION
Question: Sebenarnya jika sudah ada terbit putusan yang telah inkracht (berkekuatan hukum tetap), dimana terdakwa divonis penjara sekian tahun lamanya, namun si terpidana ini terlebih dahulu sempat kabur (melarikan diri) dan menjadi buron sebelum sempat ditahan dan dipenjara, maka jika puluhan tahun kemudian si terpidana buron ini tertangkap, ia akan tetap diwajibkan menjalankan hukuman pidana penjara ini?
Brief Answer: Masa menjalankan pidana penjara sebagaimana amar putusan, dihitung dari sejak Terpidana menjalankan hukuman dikurangi masa “penahanan dalam rumah tahanan” maupun “tahanan rumah”, tidak dikurangi dari masa pelarian. Akan tetapi, disamping terdapat ketentuan hukum perihal “hapusnya kewenangan (kadaluarsa) penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum (dakwaan)”, juga stelsel hukum pidana Indonesia mengenal serta mengatur ketentuan perihal “hapusnya kewajiban (kadaluarsa) menjalankan masa hukuman bagi seorang Terpdana”.
PEMBAHASAN:
Ketika seorang buronan melarikan diri selama belasan hingga puluhan tahun, sementara vonis putusan pidana telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) dan Terpidana belum menjalani masa hukuman, maka ketika sang buron kemudian tertangkap, apakah hukuman pidana masih berlaku dan dapat diberlakukan bagi sang Terpidana buronan? Mari kita temukan jawabannya dalam bahasan SHIETRA & PARTNERS berikut, dimana tidak sedikit kalangan akademisi yang mengaku “pakar” hukum pidana yang ternyata tidak memahami aturan hukum pidana paling mendasar perihal penalisasi.
Pada prinsipnya, kabur atau melarikan dirinya seorang “Terdakwa” maupun “Terpidana”, mengakibatkan kewenangan menuntut / mendakwa ataupun menghukum (eksekusi) menjadi hapus karena “kadaluarsa” (lewatnya waktu) sebagaimana diatur dalam ketentuan hukum normatif pemidanaan (penalisasi)—sekalipun keduanya menjadi kewenangan pihak Kejaksaan untuk mendakwa Terdakwa dan sekaligus mengeksekusi Terpidana ketika putusan telah yang mengandung vonis telah memiliki kekuatan hukum tetap.
Kita mulai dengan bahasan perihal “kadaluarsa”-nya kewenangan menuntut pihak Jaksa Penuntut terhadap seorang Terdakwa (artinya masa kadaluarsa bagi hak Jaksa Penuntut Umum untuk mendakwa / menuntut), terdapat pengaturannya secara normatif dalam Pasal 78 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):
1.) Kewenangan menuntut pidana hapus karena lewat waktu:
1. mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan, sesudah satu tahun;
2. mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun;
3. mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, sesudah dua belas tahun;
4. mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun.
2.) Bagi orang yang pada saat melakukan perbuatan umurnya belum delapan belas tahun, masing-masing tenggang lewat-waktu di atas, dikurangi menjadi sepertiganya.
Pasal 79 KUHP:
Tenggang lewat waktu mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan, kecuali dalam hal berikut:
1. Mengenai pemalsuan atau perusakan mata uang, tenggang mulai berlaku pada hari sesudah barang yang dipalsu atau mata uang yang dirusak, digunakan;
2. mengenai kejahatan dalam pasal-pasal 328, 329, 330, dan 333, tenggang dimulai pada hari sesudah orang yang langsung terkena oleh kejahatan, dibebaskan atau meninggal dunia;
3. mengenai pelanggaran dalam pasal 556 sampai dengan pasal 558a, tenggang dimulai pada hari sesudah daftar-daftar yang memuat pelanggaran-pelanggaran itu, menurut aturan-aturan umum yang menentukan bahwa register-register catatan sipil harus dipindah ke kantor panitera suatu pengadilan, dipindah ke kantor tersebut.
Pasal 80 KUHP:
1.) Tiap-tiap tindakan penuntutan menghentikan lewat waktu, asal tindakan itu diketahui oleh orang yang dituntut, atau telah diberitahukan kepadanya menurut cara yang ditentukan dalam aturan-aturan umum.
2.) Sesudah dihentikan, dimulai lewat waktu baru.
Pasal 84 KUHP:
1.) Kewenangan menjalankan pidana hapus karena lewat waktu.
[Note SHIETRA & PARTNERS : Kita tidak dapat memaknai kaedah normatif diatas sebagai hak bagi Terpidana untuk menyerahkan dirinya sendiri agar dipenjarakan, namun lebih sebagai hak bagi Kejaksaan untuk mengeksekusi Terpidana.]
2.) Tenggang lewat-waktu mengenai semua pelanggaran lamanya dua tahun, mengenai kejahatan yang dilakukan dengan sarana percetakan lamanya lima tahun, dan mengenai kejahatan-kejahatan yang lain lamanya sama dengan tenggang lewat-waktu bagi penuntutan pidana, ditambah sepertiga.
3.) Bagaimana pun juga, tenggang lewat-waktu tidak boleh kurang dari lamanya pidana yang dijatuhkan.
4.) Wewenang menjalankan pidana mati, tidak lawat-waktu.
Pasal 85 KUHP:
1.) Tenggang lewat-waktu mulai berlaku pada esok harinya setelah putusan hakim dapat dijalankan.
2.) Jika seorang terpidana melarikan diri selama menjalani pidana, maka pada esok harinya setelah melarikan diri itu mulai berlaku tenggang lewat-waktu baru. Jika suatu pelepasan bersyarat dicabut, maka pada esok harinya setelah pencabutan, mulai berlaku tenggang lewat-waktu baru.
3.) Tenggang lewat-waktu terdakwa selama penjalanan pidana ditunda menurut perintah dalam suatu peraturan umum, dan juga selama terpidana dirampas kemerdekaannya, meskipun perampasan kemerdekaan itu berhubung dengan pemidanaan lain.
Kini, mari kita implementasikan dengan mengkaitkan norma perihal “kadaluarsa” terhadap norma konkret materiel dari perbuatan sang Terpidana, sebagai contoh Rumusan pidana “penipuan” diatur dalam Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana:
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Maka, yang perlu kita garis-bawahi bukanlah lamanya vonis penghukuman lama pidana penjara dalam amar putusan hakim di pengadilan, namun berdasarkan ancaman pidana penjara maksimum yang terdapat dalam pasal yang didakwakan Jaksa Penuntut, yang dalam contoh di atas ialah delik pidana penipuan diancam dengan pidana penjara paling lama yakni empat tahun lamanya—artinya “lebih dari tiga tahun”.
Karenanya, berdasarkan ketentuan imperatif Pasal 78 Ayat (1) Butir ke-3 KUHP yang telah kita bahas di atas, kadaluarsa hak mendakwa / menuntut bagi Jaksa Penuntut Umum, ialah setelah 12 tahun setelah perbuatan pidana dilakukan oleh pihak Terdakwa. Kini, kita asumsikan pengadilan telah menjatuhkan amar putusan secara inkracht, dengan vonis berupa pidana penjara selama dua tahun lamanya bagi sang Terpidana kasus pidana “penipuan”.
Maka, seketika itu pula status Terdakwa telah resmi berubah menjadi Terpidana, dimana hak bagi Jaksa selaku eksekutor putusan, memiliki kadaluarsa mengesekusi putusan yakni 16 tahun setelah putusan berkekuatan hukum tetap (hasil dari perhitungan 12 tahun + (12 tahun x 1/3) = 16 tahun).
Dengan memahami “kalkulasi norma hukum” di atas, kita mulai mafhum bahwa adalah “buronan yang tanggung-tanggung”, ketika berkolaborasi dengan pengacara yang tidak memahami prinsip mendasar penalisasi hukum pidana nasional, membuat sang “buron” menyia-nyiakan masa pelariannya yang telah belasan tahun lamanya, dimana bila saja sang “buron” cukup bersabar diri bersembunyi dalam persembunyian dan pelariannya, maka dapat dipastikan ketika kadaluarsa hak mengeksekusi bagi Kejaksaan telah lampau, maka sang “buron” telah benar-benar “tidak tersentuh oleh hukum” sekalipun kemudian tertangkap.
DISCLAIMER SHIETRA & PARTNERS : Tanpa bermaksud untuk mengajari sang “buron” tentang “celah hukum” perihal “cara menjadi buron yang cerdas dan cerdik secara hukum, agar dapat lolos dari jerat hukuman”, tanpa perlu bersusah-payah membayar biaya-biaya mahar, gratifikasi, manuver politis, “PK diatas PK”, penghilangan nama dari sistem “red notice” interpol (jaminan hidup tenang dalam upaya pelarian), usaha penuh jirih-payah membuat passpor ilegal, menjaring aparatur penegak hukum yang bersedia berkolusi, “menampar wajah Presiden Republik Indonesia” dengan bebas keluar-masuk Indonesia, hingga membuat seorang Presiden selaku Kepala Negara pun menjadi “gerah” karena mendapat “sorotan publik”.
Buron yang “tanggung”, hanya akan berakhir dengan pelarian yang sia-sia. Pengacara sang “buron” sangat terampil dalam hal “lobi-lobi politis”, namun ternyata memberikan masukan / nasehat hukum yang terbukti kontraproduktif terhadap kepentingan kliennya sendiri. Akan lebih “elegan” bila sang pengacara memberikan nasehat hukum yang sifatnya “tidak tanggung-tanggung” bagi sang klien, yakni opsi / pilihan berikut: menyerahkan diri atau terus bersembunyi dalam pelarian tanpa pernah menunjukkan “batang hidung” hingga masa tenggang jangka-waktu hak eksekusi pihak Kejaksaan menjadi gugur karena “lewat waktu” (kadaluarsa).
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.