Gugatan yang Menampar & Mencoreng Wajah Sendiri, Menggugat hanya Cocok bagi Penggugat yang Siap Membuka Aib Pribadi

LEGAL OPINION
Membalas Air Susu dengan Gugatan, DURHAKA, Membuka Aib KESERAKAHAN Pihak Penggugat Itu Sendiri
Question: Apakah gugatan, selalu dimaknai sebagai lebih menguntungkan pihak yang menggugat?
Brief Answer: Itu adalah salah satu pertanyaan maupun ragam pertanyaan klasik sejenis, yang kerap timbul dalam praktik dan tidak jarang dikemukakan oleh klien dari Konsultan Hukum Shietra selama sesi konsultasi berlangsung, namun kerap ditutup-tutupi kalangan pengacara—karena sejatinya fakta perihal “sisi negatif gugatan” akan membongkar wajah gelap kalangan profesi ke-pengacara-an kita di Tanah Air.
Kita tidak dapat berbicara hal “yuridis” tanpa juga membahas aspek “politis”—keduanya, adalah dua sisi pada satu keping yang sama. Banyak kalangan pekerja maupun mantan direksi suatu perusahaan, yang sekalipun “menang” ketika mengajukan gugatan perdata ke hadapan pengadilan, namun yang digugat ternyata ialah mantan perusahaan tempatnya dahulu bekerja sebagai pegawai ataupun sebagai direktur, maka dapat dipastikan diri bersangkutan tidak akan pernah dapat diterima oleh perusahaan lainnya—inilah aspek “politis” yang tidak pernah dikomunikasikan oleh kalangan pengacara di Tanah Air, membiarkan nasib kliennya “di ambang tanduk” justru lewat tangan-tangan pengacara yang memperkarakan apa yang “social cost”-nya jauh lebih mahal.
Niat untuk menggugat, ibarat “api dalam sekam” yang membara, ketika disiram dengan bensin (lewat iming-iming upaya hukum ataupun “gayung bersambut” tatkala kalangan Advokat menyanggupi untuk menjadi kuasa hukum guna mewakili kliennya mengajukan gugatan), maka akan timbul disrupsi atau “euforia” gugatan, maju menggugat tanpa dapat melihat atau tanpa menyadari bahaya atau resiko dan konsekuensi dibalik upaya hukum bernama gugatan dan menggugat. Bak “gayung bersambut”, kesempatan mendulang laba tidak akan disia-siakan oleh kalangan pengacara, bila perlu menjadi “kompor” guna “mengompor-ngompori” niat calon kliennya untuk mengajukan gugatan, tanpa lagi perlu ditunda-tunda—profesi pengacara bukan hanya memiliki “imunitas terhadap hukum”, namun juga “imun dari kata hati”.
Niat untuk menggugat, bukan berarti harus bermuara pada gugatan dan tidak harus berakhir pada gugatan. Banyak jalur dan instrumen legal lainnya sebagai upaya hukum diluar jalur litigasi-peradilan, seperti langkah-langkah non-litigasi, atau bahkan langkah-langkah preventif dan mitigasi—yang mana fenomena yang terjadi di Indonesia, masyarakat Indonesia ternyata lebih kerap “by pass” dan langsung melompati proses kuratif ketimbang memulai dengan langkah preventif. Jika bisa preventif, mengapa juga harus kuratif?
Bila niat untuk menggugat benar-benar diajukan dan benar-benar mendapati kemenangan mutlak, ternyata masih pula bermuara pada sukarnya proses eksekusi hingga “gugatan yang menyerupai menampar dan mencoreng wajah sendiri” (karena menggugat artinya membuka “aib” sendiri kepada publik, erga omnes), maka terlebih-lebih bila penggugat sejatinya berkedudukan pada pihak yang keliru secara hukum, dan benar-benar menemui kekalahan mutlak dalam putusan pengadilan, maka itulah “THE END” bagi karir pihak yang mengajukan gugatan—bukan “TAMAT” bagi kalangan profesi sang pengacara yang menjadi kuasa hukum.
Kalangan profesi seperti “Konsultan Hukum”, menyediakan jasa konseling secara NETRAL dan OBJEKTIF, dengan harapan klien pengguna jasa dapat menimbang-nimbang dan mengkalkulasi dari segi “plus dan minus” ataupun “faedah Vs. mudarat” yang dapat ditimbulkan sebagai konsekuensi dibalik niat untuk menggugat, yang tidak jarang Konsultan SHIETRA & PARTNERS mendapati tidak sedikit klien yang hendak menggugat ternyata memiliki kontribusi kesalahan sehingga akan sangat kontraproduktif kepada kepentingan hukumnya sendiri bila mengajukan gugatan karena alih-alih dikabulkan dan menang gugatan, bisa jadi berbuntut pada kekalahan dan kerugian yang lebih besar atau bahkan menyesal dikemudian hari karena digugat balik—sebagaimana tidak jarang terjadi dalam praktik peradilan.
Sebaliknya, kalangan profesi pengacara mengambil untung lewat memperkarakan perkara yang tidak jarang tidak layak maju ke persidangan sekalipun—tapat pada sisi itulah, terjadi “benturan kepentingan” (conflict of interest) antara kepentingan kalangan profesi pengacara dan kepentingan klien dari sang pengacara itu sendiri. Jelas, kalangan profesi pengacara tidak bertanggung-jawab untuk memberikan opini hukum yang netral dan objektif terhadap niat kliennya untuk mengajukan upaya hukum, namun hanya sekadar menyalurkan atau “menguatkan” (penguat rasa) niat “menggebu-gebu” sang klien untuk maju menggugat dan menjadi wakil atau kuasa hukumnya.
Bila sekalipun gugatan berhasil menemui kemenangan, itu dianggap sebagai “bonus” bernama “success fee” selain “lawyering fee” yang nilainya jauh diatas nilai tarif jasa sesi konsultasi kalangan profesi Konsultan Hukum yang hanya hitungan “hourly based” selama sesi konsultasi yang biasanya analisa hukum cukup berlangsung satu hingga dua jam semata. Ada yang namanya “harapan rasional”, dan ada pula yang namanya “harapan semu”. Yang mampu membangunkan klien dari “harapan semu” yang kontraproduktif, hanyalah kalangan profesi “Konsultan Hukum”, bukan bidang usaha kaum Pengacara.
Itulah perbedaan utama karakteristik klien-klien Konsultan SHIETRA & PARTNERS dan klien-klien yang memilih untuk seketika itu juga langsung berspekulasi dengan menerjunkan diri ke sebuah kantor pengacara. Pendekatan layanan jasa “Ilmu hukum adalah ilmu tentang PREDIKSI”, hanya dikenal dalam ranah profesi kalangan Konsultan Hukum, bukan lingkup bidang kalangan Pengacara yang mencari nafkah dari beracara dan menggugat.
PEMBAHASAN:
Salah satu contoh gugatan yang “kelewat serakah” sehingga mencoreng sendiri wajah pihak Penggugat dan menjadikan tampak “hina” diri pihak Penggugat itu sendiri di mata publik ataupun bagi calon pemberi kerja lainnya, akan tampak sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan lewat putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor tanggal 15 April 2020, perkara antara:
- Drs. MARULAM SITOHANG, MA, sebagai Pemohon Kasasi, semula selaku Penggugat; melawan
- PT. BUKAKA TEKNIK UTAMA, TBK., selaku Termohon Kasasi, semula sebagai Tergugat.
Sekalipun preseden terkait gugatan mantan direksi yang meminta pesangon kepada perusahaan tempatnya bekerja, Mahkamah Agung RI dan praktik peradilan para Pengadilan Hubungan Industrial telah demikian konsisten, pada kaedah yurisprudensi bahwa “direksi bukanlah pekerja”, terlebih untuk meminta pesangon, namun hanya sebatas berkedudukan hukum sebagai Organ Perseroan; namun akibat dibutakan oleh keserakahan, gugatan yang tidak layak ini masih juga dimajukan dengan gagah dan “tidak tanggung-tanggung” pokok tuntutannya.
Gugatan yang diajukan oleh seorang mantan direksi bernama Marulam Sitohang ini, sangat menyerupai seperti gugatan yang hendak “merampok” perusahaan tempatnya berprofesi sebagai salah satu direksi. Betapa tidak, Marulam Sitohang memohon kepada Pengadilan untuk memberikan putusan sebagai berikut:
1. Menerima dan mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Memerintahkan kepada Tergugat untuk membayarkan kepada Penggugat sejumlah uang berupa uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang sisa cuti yang belum dibayar, uang penggantian hak, sebesar sebagai berikut:
- Pesangon: 2 X 6 X Rp85.000.000,00 = Rp1.020.000.000,00;
- Penghargaan masa kerja: 2 X Rp85.000.000,00 = Rp170.000.000,00;
- Uang penggantian hak: Pengobatan, perawatan dan perumahan: 15 % x Rp1.190.000.000,00 = Rp178.500.000,00;
Jumlah Rp1.368.500.000,00; Terbilang: (satu miliar tiga ratus enam puluh delapan juta lima ratus ribu rupiah);
3. Memerintahkan kepada Tergugat untuk membayarkan kepada Penggugat, upah yang belum dibayar terhitung sejak mulai 1 Juni 2017 sampai dengan surat gugatan ini diajukan (11 April 2019), sebesar Rp85.00.000,00 x 22 = Rp1.870.000.000.000,00 (satu miliar delapan ratus tujuh puluh juta rupiah), sebagaimana diatur dalam Pasal 155 Ayat 2 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan;
4. Memerintahkan Tergugat untuk membayar THR Keagamaan Penggugat Tahun 2018 sebulan upah, sebesar 1 x Rp85.000.000,00 = Rp85.000.000,00 (delapan puluh lima juta rupiah);
5. Memerintahkan, bahwa selama proses pemeriksaan dan penyelesaian perkara a quo dilakukan, Tergugat tetap berkewajiban untuk membayar upah Penggugat terhitung sejak terjadinya perselisihan sampai dikeluarkannya Putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap oleh Pengadilan;
6. Memerintahkan kepada Tergugat untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari sejak putusan a quo berkekuatan hukum tetapatas segala kelalaian dan keterlambatan Tergugat dalam melaksanakan putusan perkara a quo;
7. Menyatakan sah dan berharganya sita jaminan atas aset-aset perusahaan yang dimiliki Tergugat sesuai Pasal 227 HIR.
Terhadap gugatan sang mantan direksi, sejatinya telah dapat diprediksi SHIETRA & PARTNERS bahkan akan “ditolak” sebagaimana terbukti lewat Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung Kelas IA Khusus lewat Putusan Nomor 123/Pdt.Sus-PHI/2019/PN.Bdg, tanggal 9 Oktober 2019, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara
- Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya.”
Pihak Marulam Sitohang selaku Penggugat, merasa belum cukup membuka aib miliknya kepada publik, mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 8 November 2019 dan kontra memori kasasi tanggal 28 November 2019 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung Kelas I A Khusus tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Untuk periode tanggal 1 Juni 2013 sampai dengan tanggal 3 Juni 2014 kedudukan Penggugat adalah sebagai pekerja dari Tergugat dengan jabatan Head Of Human Resources di PT. Bukaka Teknik Utama Tbk;
- Untuk periode tanggal 3 Juni 2014 sampai dengan tanggal 17 Mei 2017 kedudukan Penggugat adalah sebagai pemberi kerja atau pengusaha dengan jabatan sebagai Direktur Independen di PT. Bukaka Teknik Utama Tbk;
- Oleh karena Penggugat menjabat sebagai Direktur Independen sejak tanggal 3 Juni 2014 sampai dengan tanggal 17 Mei 2017 , maka tepat Judex Facti berdasarkan ketentuan Pasal 92 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, sejak tanggal 3 Juni 2014 status hubungan kerja Penggugat haruslah dinyatakan putus akibat perubahan status yang tidak lagi dianggap sebagai pekerja;
- Bahwa terbukti Tergugat telah memberikan hak-hak kepada Penggugat pada saat kedudukan Penggugat sebagai pekerja dari Tergugat dengan jabatan Head Of Human Resources yang berlangsung sejak 1 Juni 2013 sampai dengan 3 Juni 2014 sebesar Rp480.000.000,00 (empat ratus delapan puluh juta rupiah), dengan demikian Tergugat telah melaksanakan kewajibannya untuk membayar hak-hak Penggugat semenjak menjabat Head Of Human Resuorces, sehingga tepat Judex Facti tuntutan Penggugat agar Tergugat membayar hak-hak Penggugat tidaklah beralasan, lagi pula alasan-alasan mana merupakan pengulangan dalil dan PHP (penilaian hasil pembuktian);
[Note SHIETRA & PARTNERS : Perusahaan mana yang hatinya tidak akan terluka, mendapati “air susu dibalas air tuba dan gugatan” yang menyerupai upaya “merampok”? Sebuta itukah, Hakim Agung pada Mahkamah Agung , sehingga diyakini akan dapat mengabulkan gugatan “tidak tahu balas budi” demikian?]
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, ternyata bahwa putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung Kelas I A Khusus dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: Drs. MARULAM SITOHANG, MA, tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi Drs. MARULAM SITOHANG, MA., tersebut.”
Catatan Penutup SHIETRA & PARTNERS:
Gugatan selalu menyerupai “pisau bermata dua”. Bilamana tidak digunakan secara arif dan bijaksana, dapat menjadi alat untuk melukai diri pihak pengaju gugatan itu sendiri. Tidak pandai bercermin diri, berujung pada jurang kerusakan yang diakibatkan oleh gugatan yang diajukan oleh pihak Penggugat itu sendiri. Gugatan haruslah tepat guna dan tepat sasaran, karenanya akan sangat “selektif” dari segi pokok perkara dan kelayakan pihak calon penggugat itu sendiri—dalam artian dari segi ada atau tidaknya “kontribusi kesalahan” oleh pihak calon penggugat tersebut, dalam sengketa hukum yang berlangsung dan hendak dipersengketakan ke hadapan pengadilan.
Satu hal sebagai tambahan sekaligus penutup, Marulam Sitohang pernah menjabat sebagai “Head HRD”, mengetahui betul bahwa “sortir” terhadap calon pekerja ialah dimulai dari ada tidaknya sengketa dengan perusahaan tempatnya dahulu bekerja. Mengajukan gugatan ini, sama artinya Marulam Sitohang secara sengaja menutup pintu karir dirinya sendiri, seolah-olah dirinya “awam” dalam bidang rekruitmen dan HRD, sekaligus cerminan kurangnya kompetensi diri bersangkutan.
Marulam Sitohang juga tercatat pernah mencoba “memperkosa” profesi Konsultan Shietra, meminta dilayani tentang niatnya menggugat (sengketa dalam perkara ini) namun tanpa bersedia membayar tarif jasa konsultasi SEPERAK PUN—seolah Konsultan Shietra tidak berhak untuk “berkerja mencari nafkah” untuk dieksploitasi dan diperas tenaganya. Bergaji hampir mencapai seratus juta rupiah per bulan, pernah menerima pesangon mencapai setengah miliar rupiah, namun ternyata Marulam Sitohang mengemis-ngemis meminta dilayani bagai “pengemis” yang bahkan “tega” merampok nasi dari piring profesi orang lain yang sedang bekerja mencari nafkah (perilaku yang lebih hina daripada pengemis, dimana bahkan pengemis pun tidak mencari makan dengan cara merampok nasi dari piring orang lain), sekalipun tarif jasa hitungan jam dalam layanan konseling hukum yang disediakan Konsultan Shietra tidak seberapa harga tarifnya namun Marulam Sitohang menuntut dilayani tanpa bersedia merogoh kocek SEPERAK PUN, suatu cerminan keserakahan diri bersangkutan Marulam Sitohang, keserakahan terhadap nasi milik piring orang lain, keserakahan terhadap perusahaan tempatnya bekerja, bahkan serakah terhadap dirinya sendiri.
Bukankah sangatlah tidak etis, meminta dilayani bahkan dengan cara memerkosa profesi orang lain, namun tidak bersedia membayar tarif jasa sebagai kompensasinya, SEPERAK PUN. Suatu pelecehan terhadap profesi orang lain yang sedang mencari nafkah secara legal, bahkan merasa bangga dapat menyalah-gunakan nomor kontak kerja profesi konsultan, dan melakukan “perkosaan” terhadap profesi konsultan semudah bermain handphone di tangan seorang Marulam Sitohang, sang hina yang lebih hina daripada pengemis.
Dirinya bukanlah tidak mampu membayar tarif jasa konsultan yang tidak seberapa harga tarif jasanya, namun terlampau SERAKAH, dengan meminta dilayani oleh Konsultan Hukum namun tidak bersedia membayar kompensasi jasa / layanan, SEPERAK PUN. Sungguh menyayat hati dan perasaan korban-korban dari perkosaan Marulam Sitohang, sang PREDATOR penuh KESERAKAHAN. Keserakahan, tidak pernah mengenal kata puas. Agar masyarakat waspada terhadap PREDATOR bernama Marulam Sitohang, yang bahkan membalas air susu dengan PERKOSAAN dan GUGATAN.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.