LEGAL OPINION
Undang-Undang Terbaru Bukan Artinya Lebih Baik dari Versi yang Sebelumnya, Bisa Jadi Merupakan Kemunduran Regulasi Hukum atau Bahkan Menjadi Petaka bagi Rakyat Umum
Question: Banyak sekali ketidak-lengkapan dan ketidak-sempurnaan pengaturan lembaga koperasi kita di Indonesia, karena masih memakai Undang-Undang Koperasi yang lama. Sebenarnya ada apa, sehingga Undang-Undang Koperasi yang terbaru justru kemudian dibatalkan keberlakuannya? Bukankah Koperasi punya satu menteri khusus dibidang Koperasi, mengapa juga praktik dan aturan hukum Koperasi kita di Indonesia masih sangat terbelakang (kuno), tidak semaju hukum usaha yang selama ini dibina Kementerian Perdagangan, sebagai contoh.
Brief Answer: Terdapat prinsip “harga mati” dalam konsep
Koperasi, yang memang tampak ideal karena mengedepankan asas kekeluargaan dan
gotong-royong secara kurang rasional, akan tetapi disaat bersamaan menafikan
nilai pentingnya kapitalisasi (modal) sebagai salah satu faktor kompetitifnya
suatu badan usaha untuk dapat eksis dan berkembang ditengah kompetisi usaha
dengan berbagai badan hukum lainnya seperti Perseroan Terbatas pada era modern
industrialisasi “padat modal” ini.
Adapun “harga mati” konsep Koperasi, yang bagai
“duri dalam daging” yang tidak akan dapat diperbaiki oleh perubahan
Undang-Undang tentang Perkoperasian sekalipun (yang juga semestinya disadari
oleh Mahkamah Konstitusi RI sebelum memutus suatu perkara uji materiil), ialah
terkait asas mutlak “one man one vote”,
yang bermakna satu Anggota hanya memiliki satu hak suara yang sejajar dan
setara dengan Anggota lainnya, tanpa memandang besar dan kecilnya kontribusi
permodalan yang ditanam / disimpan / disetorkan oleh masing-masing Anggota.
Karenanya, tiada terdapat insentif dan motivasi
bagi masing-masing Anggota untuk meningkatkan dana simpanan / setorannya ke
dalam permodalan Koperasi. Akibatnya, hampir selalu dipastikan berbagai
Koperasi di Indonesia sukar untuk berkembang terlebih diharapkan untuk mampu
bertahan dan bersaing dengan badan hukum Perseroan Terbatas yang “sarat modal”
(padat modal) yang kian mem-predatory badan hukum ataupun badan usaha lainnya
yang bermodalkan terbatas pendanaannya.
Usaha sebuah Koperasi bisa jadi “sarat tenaga
kerja” (padat karya) karena sifatnya yang kekeluargaan dan kegotong-royongan
(dari dan untuk Anggota), namun tetap saja akan tersisihkan ketika harus
bersaing dan berhadapan dengan kompetitor yang mengedepankan pendekatan ekonomi
“padat modal”. Hingga saat kini, bongkar-pasang Undang-Undang terkait Koperasi
di Indonesia tampaknya selalu terbentur oleh asas “satu Anggota hanya memiliki
satu hak suara”, dimana ketika pembentuk Undang-Undang hendak menggesernya
menjadi pengakuan terhadap kapitalisasi (dengan harapan Koperasi dapat bersaing
dengan badan hukum Perseroan Terbatas, akan tetapi disaat bersamaan menjadi
kehilangan esensi jiwa sebuah Koperasi), akibatnya fatal, berujung pembatalan
keberlakuannya ketika “digugat” uji-materiil oleh sejumlah elemen Koperasi di
Indonesia.
PEMBAHASAN:
Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2012 tentang Perkoperasian, statusnya telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi
RI lewat putusan No. 28/PUU-XI/2013 pada tanggal 28 Mei 2014, sehingga pada
saat ulasan ini disusun, ketentuan tentang pendirian serta operasional sebuah
badan hukum Koperasi seluruhnya merujuk kembali pada regulasi sebelumnya, yakni
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
Mahkamah Konstitusi RI tidak
semestinya membatalkan seluruh isi pasal Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012,
karena Pemohon Uji Materiil pun hanya mempermasalahkan sebagian kecil pasal
didalam Undang-Undang dimaksud. Seyogianya Mahkamah Konstitusi RI menyadari,
terdapat kodrat yang membuat konsep Koperasi di-vonis tidak akan pernah dapat
berkompetisi secara penuh menghadapi entitas bisnis “padat modal” bernama badan
hukum Perseroan Terbatas—dimana Koperasi bagai terbentur “kutukan” asas “one man one vote” sehingga
menimbulkan keengganan Anggota Koperasi untuk menanam dana lebih tinggi dari
Anggota lainnya dan disaat bersamaan menimbulkan ketidak-adilan bagi Anggota
yang berkontribusi lebih dengan banyak menanamkan modal kedalam Koperasi.
Kendala dan kodrat itulah, yang disadari betul oleh Kementerian Koperasi kita,
sehingga tampak tidak banyak hasil kinerja dan prestasinya dalam mengembangkan
per-Koperasi-an di Indonesia.
Terbukti, hingga saat ulasan
ini disusun, masih berlaku Undang-Undang tentang Koperasi versi tahun 1992
sejak Undang-Undang Koperasi versi tahun 2012 dibatalkan oleh Mahkamah
Konstitusi pada tahun 2014. Sehingga, dapat dikatakan pula bahwa putusan
Mahkamah Konstitusi RI sama “mematikannya” dengan keberlakuan Undang-Undang
Koperasi versi Tahun 2014 yang dibatalkan olehnya, mengingat jauh lebih banyak
ketidak-pastian pengaturan aturan main Koperasi dalam Undang-Undang Koperasi
versi tahun 1992, sementara disaat bersamaan Kementerian Koperasi merasa
“enggan” untuk membuat Undang-Undang yang baru karena terbentur kodrat “harga
mati” konsep Koperasi yang bila coba di-“terobos” maka dapat dipastikan akan
kembali di-“matikan” oleh uji materiil warga masyarakat.
Uji materiil terhadap Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian diajukan oleh pemohon berupa kalangan
berbagai Koperasi, dimana dalam putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 28/PUU-XI/2013
tanggal 28 Mei 2014, pokok keberatannya ialah substansi terhadap norma Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian, yakni salah satunya ketentuan “Modal
Koperasi” yang diatur terdiri dari Setoran Pokok dan Sertifikat Modal
Koperasi sebagai modal awal, “Setoran Pokok” dibayarkan oleh Anggota pada
saat yang bersangkutan mengajukan permohonan sebagai Anggota dan tidak dapat
dikembalikan (sekalipun Undang-Undang Koperasi yang sebelumnya mengatur bahwa “Simpanan
Pokok” tersebut dikembalikan saat Anggota mengundurkan diri keanggotaan),
setiap Anggota Koperasi harus membeli Sertifikat Modal Koperasi yang jumlah
minimumnya ditetapkan dalam Anggaran Dasar, Koperasi menerbitkan Sertifikat
Modal Koperasi dengan nilai nominal per lembar maksimum sama dengan nilai
Setoran Pokok sementara itu Undang-Undang yang sama menyatakan pemegang
Sertifikat Modal Koperasi tidak punya hak suara dalam Rapat Anggota, dalam
hal keanggotaan diakhiri maka Anggota yang bersangkutan wajib menjual
Sertifikat Modal Koperasi yang dimilikinya kepada Anggota lain dari Koperasi
yang bersangkutan berdasarkan harga Sertifikat Modal Koperasi yang ditentukan
Rapat Anggota.
Anggota Koperasi, memiliki hak
suara dalam Rapat Anggota Koperasi atas dasar “Setoran Pokok” yang pernah
disetorkan olehnya. Sementara itu bila Anggota hendak menambahkan modal untuk
disetor lewat mekanisme Sertifikat Modal Koperasi, maka hak suara Anggota dimaksud
tetap saja dihitung sebagai sebatas “satu buah suara” sebanyak apapun
Sertifikat Modal Koperasi yang dimiliki olehnya, sebagai konsekuensi dari keberlakuan
prinsip mutlak dalam Koperasi, yakni “one
man one vote”. Uniknya, Pemohon Uji Materiil justru berkeberatan dengan
keberlakuan norma demikian (namun dengan mendalilkan bahwa Sertifikat Modal
Koperasi tidak dapat dijual kepada non-Anggota dan tiada jaminan dapat
dicairkan), karena menyadari bahwa asas “satu Anggota satu suara” demikian
menyurutkan minat masyarakat untuk menyetor modal lebih banyak ke dalam
Koperasi karena tiada insentif selain “iming-iming” pembagian surplus sisa
hasil usaha. Sejauh ini saja, kita sudah dapat menangkap adanya ambigu dari
konsep koperasi yang diusung pemerintah dan paradigma berpikir para pemangku
kepentingan pada berbagai Koperasi yang selama ini beroperasi di Indonesia.
Disamping itu, Koperasi dapat
menerima “Modal Penyertaan” dari masyarakat (non-Anggota) berdasarkan
perjanjian penempatan Modal Penyertaan, dimana dirinya wajib turut menanggung
resiko dan bertanggung-jawab terhadap kerugian usaha Koperasi yang dibiayai
dengan Modal Penyertaan tersebut sebatas nilai Modal Penyertaan yang ditanamkan
dalam Koperasi, hal ini berlaku juga dalam hal dirinya turut serta dalam
pengelolaan usaha yang dibiayai dengan Modal Penyertaan dan/atau turut
menyebabkan terjadinya kerugian usaha yang dibiayai dengan Modal Penyertaan,
dan disaat bersamaan berhak mendapat bagian keuntungan yang diperoleh dari
usaha yang dibiayai dengan Modal Penyertaan. Perjanjian penempatan Modal
Penyertaan dari masyarakat, sekurang-kurangnya memuat: besarnya Modal
Penyertaan, resiko dan tanggung jawab terhadap kerugian usaha, pengelolaan usaha,
dan hasil usaha.
Koperasi dilarang membagikan
kepada Anggota, Surplus Hasil Usaha yang berasal dari transaksi dengan
non-Anggota. Sementara itu, dalama hal terdapat Defisit Hasil Usaha pada
Koperasi Simpan-Pinjam, Anggota wajib menyetor tambahan Sertifikat Modal
Koperasi. Setiap Koperasi wajib mencantumkan jenis usaha Koperasi dalam
Anggaran Dasar mereka masing-masing, dapat berupa jenis : Koperasi Konsumen,
Koperasi Produsen, Koperasi Jasa, dan Koperasi Simpan-Pinjam. Bila Koperasi
Konsumen, Koperasi Produsen, maupun Koperasi Jasa dapat menyediakan layanan
bagi non-Anggota, maka Koperasi Simpan-Pinjam hanya dapat melayani Anggota.
Dimana juga, Koperasi Simpan-Pinjam menjalankan usaha simpan-pinjam sebagai
satu-satunya usaha ketika melayani Anggota.
Adapun keberatan pihak Pemohon
Uji Materiil, salah satunya ialah bahwa dengan dipilihnya non-Anggota sebagai
pengurus koperasi, maka sifat kolektivitas dan kekeluargaan antara Anggota
dalam koperasi menjadi kehilangan makna. Begitupula kewenangan Pengawas,
dinilai terlampau besar sehingga melebihi wewenang Rapat Anggota sebagai
perangkat organisasi Koperasi yang semestinya memegang kekuasaan tertinggi
dalam koperasi. Wewenang Pengawas untuk memberhentikan Pengurus secara
sementara, dinilai meniru konsep kewenangan Dewan Komisaris untuk
memberhentikan sementara anggota Direksi suatu Perseroan Terbatas.
Begitupula perihal skema modal
koperasi yang terdiri dari Setoran Pokok dan Sertifikat Modal Koperasi (SMK)
sebagai modal awal adalah bertentangan dengan asas kekeluargaan yang menjadi
landasan usaha bersama. Disamping itu, Setoran Pokok yang dibayarkan oleh
Anggota pada saat yang bersangkutan mengajukan permohonan sebagai Anggota tidak
dapat dikembalikan dan SMK tidak dapat ditarik dan hanya dapat dijual pada sesama
Anggota atau calon Anggota atau ditalangi maksimal 20% dari surplus hasil usaha
koperasi tahun buku berjalan, adalah bentuk perampasan secara sewenang-wenang
terhadap hak milik pribadi Anggota.
Modal Koperasi sebagaimana
dalam Undang-Undang ini, telah membuka peluang intervensi pihak luar Anggota,
dalam hal ini yaitu pihak asing, melalui jalan masuk bernama “permodalan”
karena tidak ada pembatasan proporsi dana dari pihak luar dan ketentuan yang
menjamin otonomi koperasi. Reviltalisasi semacam demikian tidak sejalan dengan
prinsip koperasi sebagai perkumpulan kolektif para Anggotanya yang saling
bergotong-royong secara swadaya dan mandiri dengan usaha bersama yang
dikendalikan Anggotanya.
Pelarangan koperasi membagikan
kepada Anggotanya sendiri, surplus Hasil Usaha yang berasal dari transaksi
dengan non-Anggota, dinilai tidak sejalan dengan asas kekeluargaan yang menjadi
pilar usaha bersama Koperasi. Perihal norma Undang-Undang ini terkait kerugian
dan tanggung-jawab memikul kerugian, dinilai telah menyimpangi hakekat atau
ciri sebuah badan hukum, dimana Koperasi juga dikategorikan sebagai badan
hukum, dimana apabila timbul kerugian maka ganti-ruginya sebatas pada modal
yang pernah disetor oleh Anggota, sehingga tanggung jawab Anggota Koperasi adalah
terbatas sifatnya, sehingga semestinya sebangun dengan konsep badan hukum
lainnya yang terbatas sifat tanggung-jawabnya semisal menyerupai tanggung-jawab
pemegang saham sebuah Perseroan Terbatas adalah sebatas modal yang disetorkan.
Penentuan jenis koperasi
demikian, dinilai pula sebagai bentuk pembatasan Usaha Koperasi, dimana bila
Undang-Undang terkait Perseroan Terbatas saja tidak membatasi jenis usaha suatu
Perseroan Terbatas saat didirikan ataupun pembatasan seperti membatasi satu
Perseroan Terbatas hanya boleh memiliki satu jenis usaha. Hakekatnya, koperasi
dalam menjalankan usahanya bertumpu dan berdasarkan kebutuhan Anggotanya
sebagai wadah usaha bersama.
Sehingga karenanya pula,
koperasi yang dimungkinkan untuk didirikan oleh orang-perseorangan menurut
Undang-Undang ini, berakibat pada pengutamaan kemakmuran orang seorang, bukan
kemakmuran anggotanya. Koperasi yang didirikan oleh perseorangan, mengakibatkan
prinsip usaha bersama dan asas kekeluargaan dengan semangat kolektifitas
menjadi tidak lagi mungkin dapat terealisasi selain kepentingan seorang
pendirinya. Begitupula dengan dipilihnya non-Anggota sebagai pengurus koperasi,
maka sifat kolektivitas sebuah koperasi menjadi tiada artinya lagi.
Menurut pihak Pemohon Uji
Materiil, pengurus dapat saja tidak digaji karena pengurus tidak harus “full time” mengurus koperasi, mengingat
pengurus dapat mengangkat pengelola koperasi untuk mengelola secara penuh waktu,
sejalan dengan pendapat Bung Hatta yang menyatakan bahwa pada umumnya pengurus
koperasi tidak digaji, sehingga hanya pekerja penuh sehari-hari yang memperoleh
gaji dari Koperasi, namun menurut Undang-Undang ini Pengurus dan Pengawas terkesan
wajib diberi gaji.
Demokrasi menjadi salah satu
prinsip koperasi, sehingga tidak dapat dibenarkan ketika wewenang Pengawas
justru sangat dominan yang bahkan melebihi kekuasaan Rapat Anggota sebagai
wadah dan wujud kedaulatan Anggota. Disamping itu tiada pembatasan proporsi
dana dari pihak luar dan ketentuan yang menjamin otonomi koperasi. Pembagian
surplus hasil usaha sesungguhnya merupakan hak Anggota dan juga merupakan salah
satu konsekuensi dianutnya prinsip usaha bersama dengan asas kekeluargaan agar
koperasi tetap hidup dan berkembang, sekalipun surplus hasil usaha berasal dari
transaksi Koperasi dengan non-Anggota.
Akibat dari memaksakan “satu
koperasi hanya boleh memiliki satu jenis usaha”, dinilai merupakan norma aturan
yang terlampau memaksakan, karena memunculkan berbagai kerancuan dan kerugian
bagi berbagai koperasi yang selama ini telah berjalan, sehingga menjelma
terpecah-belah disamping menimbulkan “kecemburuan” dengan badan hukum lain
seperti Perseroan Terbatas yang dibebaskan menentukan sendiri dan dimungkinkan
untuk berbidang usaha secara majemuk dalam satu buah Perseroan Terbatas.
Koperasi selama ini hidupnya saling menopang antar jenis-jenis usaha yang dilakukan
untuk terus bertahan. Heterogenitas kepentingan ekonomi Anggota yang selama ini
difasilitasi Koperasi, termasuk unit simpan-pinjam di dalamnya, akan sirna.
Tiadanya jaminan oleh
Undang-Undang ini bahwa Sertifikat Modal Koperasi (SMK) yang sudah dibeli dapat
dikembalikan dengan memperoleh kembali dana senilai modal yang sama dengan yang
dahulu pernah disetorkan saat masuk sebagai Anggota. Bahkan apabila dana
talangan koperasi ternyata tidak mampu mencukupi, maka dana milik Anggota yang
berbentuk SMK akan hangus sia-sia apabila anggota tersebut tetap berkehendak
untuk keluar dari keanggotaan Koperasi.
Permasalahan lain yang kemudian
muncul, ialah ketika usaha dilakukan secara bersama-sama oleh segenap Anggota
Koperasi, akan tetapi pembagian surplus hasil usaha yang berasal dari transaksi
non-Anggota tidak diberikan pada Anggota, maka menjadi tidak adil, disamping
orang akan enggan menjadi Anggota karena tiada insentif keanggotaan justru
terancam merugi ketika hendak keluar dari ke-Anggota-an.
Perihal dalam hal terdapat
Defisit Hasil Usaha pada Koperasi Simpan-Pinjam, Anggota wajib menyetor
tambahan Sertifikat Modal Koperasi, merupakan bentuk eksploitasi jika tidak
dapat kita sebut sebagai “perampokan yang dimotori oleh Undang-Undang”.
Akibatnya, masyarakat akan semakin enggan menjadi Anggota Koperasi akibat
ketakutan akan dieskploitasi. Padahal, semestinya dalam status koperasi sebagai
Badan Hukum (rechtspersoon),
pertanggung-jawaban Anggota hanya sebatas pada “modal” yang pernah disetorkan.
Yang menarik dari Uji Materiil
yang diajukan oleh sejumlah Koperasi ini, sebagian diantaranya dinyatakan oleh
Mahkamah Konstitusi sebagai diwakili oleh pihak yang tidak berwenang, mengingat
“Pengurus” yang berhak mewakili badan hukum Koperasi, (biasanya diatur dalam
Anggaran Dasar) terdiri dari kolegial unsur “ketua, sekretaris, dan bendahara”.
Seorang Ketua Koperasi seorang diri, tidak merupakan atau belum dapat disebut
sebagai “Pengurus” Koperasi, tanpa kolegial bersama serta pihak Sekretaris dan Bendahara.
Kecuali, pihak Ketua, Sekretaris, berserta Bendahara memberikan surat kuasa
bagi sang Ketua untuk bertindak mewakili koperasi didalam dan diluar
pengadilan, termasuk untuk mengajukan Uji Materiil ini, barulah sah. Menurut
Mahkamah Konstitusi, Ketua tanpa disertai Bendahara dan Sekretaris, bukanlah
Pengurus. Sebaliknya, Bendahara dan Sekretaris tanpa Ketua, juga belumlah dapat
disebut sebagai Pengurus.
Sementara itu dalam bantahannya
pihak Pemerintah dan Parlemen mendalilkan, struktur permodalan koperasi pada
Undang-Undang ini merupakan penyempurnaan terhadap struktur permodalan koperasi
pada Undang-Undang yang lama yang memiliki kelemahan utama, yaitu tidak
stabilnya modal koperasi. Modal koperasi pada Undang-Undang ini mengatur
pilihan-pilihan sumber modal koperasi yang lebih stabil dan dinamis, baik modal
sendiri yang bersumber dari anggota, maupun modal yang bersumber dari luar
koperasi. Dengan modal koperasi yang lebih stabil dan dinamis, diharapkan mampu
mendorong kekuatan modal koperasi sehingga menopang kebutuhan pengembangan
usaha koperasi.
Ditambahkan, ketika Anggota
membayarkan Setoran Pokok sebagai syarat mutlak menjadi Anggota baru, maka dana
Setoran Pokok tersebut sudah berubah menjadi modal (kekayaan) koperasi sebagai
badan hukum, bukan lagi sebagai harta pribadi anggota. Anggota tidak merugi,
karena dana tersebut menjadi modal usaha milik Koperasi. Oleh karena itu, tidak
ada pengambil-alihan harta / kekayaan pribadi oleh anggota koperasi
bersangkutan, sebab Anggota koperasi sudah memperoleh layanan ataupun manfaat
lainnya dari koperasi termasuk pembagian surplus hasil usaha, sehingga wajar
bila Setoran Pokok tidak dapat diambil kembali.
Sertifikat Modal Koperasi
merupakan sarana / instrumen koperasi dalam menghimpun modal dari Anggota
disamping Setoran Pokok (dalam Undang-Undang versi lama, istilahnya “Simpanan
Pokok” dan “Simpanan Wajib”), dimana pengaturannya termasuk jumlah minimumnya
ditentukan secara otonom oleh koperasi bersangkutan sesuai kebutuhan, dimana
penerbitan dan penjualannya hanya kepada Anggota koperasi, tidak boleh dijual
kepada non-Anggota. Adapun terhadap non-Anggota, diberikan kesempatan
membeli instrumen modal kedalam Koperasi seperti Modal Penyertaan.
Modal Koperasi yang berasal
dari Sertifikat Modal Koperasi, tidak menjadi penentu hak suara dalam Rapat
Anggota. Sehingga, berapa pun kepemilikan Sertifikat Modal Koperasi oleh
Anggota suatu Koperasi, tidak mempengaruhi hak mengeluarkan suara dalam forum
Rapat Anggota, karena itulah Sertifikat Modal Koperasi berbeda sama sekali
dengan konsep saham dalam suatu Perseroan Terbatas yang menjadi penentu jumlah
hak suara dalam forum semacam voting pada Rapat Umum Pemegang Saham, dimana
dalam Koperasi yang berlaku ialah prinsip “Satu Anggota hanya dapat memiliki
SATU hak Suara”. Disini, jelas pemerintah telah lebih “pro” terhadap masyarakat
yang menjadi Anggota Koperasi, bukan pemodal.
Modal Penyertaan, merupakan
instumen modal untuk mengembangkan usaha koperasi, dimana penempatan penyertaan
dilakukan dengan perjanjian antara koperasi sebagai penerima modal penyertaan,
dan pihak pemodal pemilik Modal Penyertaan tidak memiliki hak suara dalam
Rapat Anggota, karenanya independensi Rapat Anggota tidak akan
ter-intervensi pihak pemodal luar. Dengan demikian, anggapan Pemohon Uji
Materiil bahwa pemilik Modal Penyertaan yang merupakan non-Anggota seolah-olah
dapat menyebabkan intervensi pihak luar atau non-Anggota kepada koperasi,
menjadi tidak beralasan.
Bilamana terjadi kerugian pada
Koperasi Simpan-Pinjam maka setiap Anggota turut menanggung beban kerugian,
merupakan aturan spesifik terhadap Koperasi Simpan-Pinjam semata, guna menjaga
rasio kecukupan modal yang merupakan indikator penilaian kesehatan Koperasi
Simpan-Pinjam agar tidak mudah kolaps. Untung dan rugi adalah wajar dalam suatu
usaha, jangan sampai karena dalam satu tahun buku usaha mencetak rugi, lantas
Koperasi Simpan-Pinjam “gulung-tikar” karena keuangannya minus dan defisit
untuk bisa kembali beroperasi meski pada tahun-tahun sebelumnya bisa jadi
mencetak laba. Karena itulah, bila terjadi defisit hasil usaha, maka
masing-masing Anggota selaku pemilik Koperasi, berkewajiban mengatasi defisit
tersebut, yakni bersama-sama dan bahu-membahu menyetor tambahan sejumlah dana Sertifikat
Modal Koperasi. Sertifikat Modal Koperasi ini sangat berbeda dengan saham,
karena kepemilikan Sertifikat Modal Koperasi tidak berpengaruh kepada jumlah
suara, karena tidak memiliki hak suara dalam forum Rapat Anggota.
Simpanan Pokok dan Simpanan Wajib
Anggota Koperasi selama ini (dalam Undang-Undang Koperasi sebelumnya), dapat
diambil kembali oleh Anggota pada saat Anggota keluar dari keanggotaan,
sehingga mengakibatkan modal koperasi tidak permanen dan dapat mengguncang
stabilitas keuangan koperasi ketika terjadi aksi penarikan kembali Simpanan
Pokok ataupun Simpanan Wajib secara besar-besaran, pada muaranya tercipta
ketidak-pastian usaha. Pada prinsipnya, semua ditentukan oleh Rapat Anggota,
dimana masing-masing Anggota memiliki hak untuk mengeluarkan suara untuk
menolak ataupun menyetujui dan mengusulkan sesuatu, sehingga tiada Anggota yang
akan dirugikan.
Lalu perihal ketentuan mengenai
penetapan rencana anggaran serta batas maksimum pinjaman yang dapat dilakukan
oleh Pengurus untuk dan atas nama Koperasi, sebelumnya harus mendapat
persetujuan dari Rapat Anggota yang merupakan pemegang kekuasaan tertinggi di
dalam Koperasi. Non-Anggota yang memiliki Modal Penyertaan pada Koperasi, turut
menanggung resiko dan bertanggung-jawab terhadap kerugian usaha yang dibiayai
dari Modal Penyertaan, sebatas nimai Modal Penyertaan yang ditanamkan oleh
mereka dalam Koperasi. Anggota merupakan pemilik sekaligus pengguna jasa
Koperasi, sehingga turut pula bertanggung-jawab atas kelangsungan hidup usaha
koperasi, karenanya bila terjadi defisit Hasil Usaha pada Koperasi
Simpan-Pinjam, anggota wajib menyetor tambahan Sertifikat Modal Koperasi,
dimana ketentuan ini hanya berlaku dalam konteks Koperasi Simpan-Pinjam semata,
itu pun bila mengalami kerugian usaha Simpan-Pinjam.
Dimana terhadapnya, Mahkamah
Konstitusi membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, ... Sistem ekonomi
suatu negara bukan merupakan sistem yang sepenuhnya neteral, karena ekonomi
sebagai suatu sistem sangat terkait dengan nilai-nilai yang hidup di dalam
masyarakat tempat sistem ekonomi tersebut lahir dan berlaku;
“... maka sistem ekonomi
Indonesia harus disusun oleh negara. Negara tidak boleh membiarkan sistem
ekonomi tumbuh dan berkembang secara alamiah menurut mekanisme pasar yang
berjalan berdasarkan penawaran dan permintaan (supply and demand). Sistem
ekonomi dengan mekanisme yang demikian pada gilirannya akan membentuk nilai
serba materi di dalam masyarakat;
“... Secara konseptual,
penyusunan sistem ekonomi harus memandu masyarakat ke arah terbentuknya sistem
perekonomian sebagai usaha bersama. ... Usaha bersama tersebut merupakan modal
utama untuk mencapai tujuan bersama, memajukan kesejahteraan umum dengan
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. ... Keseluruhan
individu tersebut terjalin di dalam suatu ikatan upaya secara bersama-sama
dalam rangka mencapai tujuan bersama;
“Dalam buku yang lain Mohammad
Hatta, menyatakan ‘... Koperasi punya disiplin dan dinamik sendiri. Sandarannya
adalah orang, bukan uang! Koperasi adalah merupakan kumpulan dari pada manusia,
sedangkan uang faktor kedua. Sedang PT adalah merupakan kumpulan modal.’
(Mohammad Hatta, Bung Hatta Menjawab, hal. 193, PT. Toko Gunung Agung, Tbk.,
Jakarta, 2002);
“Menimbang, para Pemohon
mendalilkan bahwa frasa ‘orang perseorangan’ dalam pengertian koperasi yang
termuat dalam Pasal 1 Angka 1 UU 17/2012 bertentangan dengan Pasal 33 Ayat (1)
UUD RI 1945 dengan alasan bahwa rumusan
pengertian tersebut mengarah ke individualisme;
“Mengingat bahwa suatu
pengertian merupakan soal yang fundamental dalam Undang-Undang, karena memuat
filosofi dari entitas yang diaturnya; ... (pengertian) adalah berfungsi untuk
menjelaskan makna suatu kata atau istilah. Dengan demikian, meski tidak
mengandung norma, namun suatu pengertian memiliki posisi penting dalam
Undang-Undang, terlebih lagi manakala pengertian tersebut dikaitkan dengan
pasal lain.
“Pasal 1 Angka 1 UU 17/2012
selengkapnya menyatakan, ‘Koperasi adalah badan hukum yang didirikan oleh orang
perseorangan atau badan hukum Koperasi, dengan pemisahan kekayaan para
anggotanya sebagai modal untuk menjalankan usaha, yang memenuhi aspirasi
dan kebutuhan bersama dibidang ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan nilai
dan prinsip Koperasi.’
“Menurut Mahkamah, Koperasi
pada hakikatnya merupakan bagian dari tata susunan ekonomi Indonesia yang
diamanatkan oleh Pasal 33 Ayat (1) UUD RI 1945 yang menyatakan, ‘Perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan.’
“Koperasi sebagai bagian dari
suatu tata susunan ekonomi mesti didesain, disosialisasikan, diperjuangkan, dan
dilaksanakan, bukan tata susunan yang diserahkan kepada mekanisme pasar, meski
pasar harus menjadi perhatian penting dalam percaturan perekonomian
internasional;
“Selanjutnya, untuk mempertimbangkan
apakah pengertian koperasi dalam Pasal 1 Angka 1 tersebut mengarah ke
individualisme sebagaimana didalilkan para Pemohon, Mahkamah perlu mengutip
pengertian koperasi dalam berbagai Undang-Undang yang pernah berlaku sebagai
bahan perbandingan:
- Pertama, Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 79 Tahun 1958 tentang
Perkumpulan Koperasi : ‘Koperasi ialah suatu perkumpulan yang
beranggotakan orang-orang atau badan-badan hukum yang tidak merupakan
konsentrasi modal.’
- Kedua, Pasal 3 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1965 tentang Perkoperasian
: ‘Koperasi adalah organisasi ekonomi dan alat Revolusi yang berfungsi
sebagai tempat persemaian insan masyarakat serta wahana menuju Sosialisme
Indonesia berdasarkan Pancasila.’
- Ketiga, Pasal 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok
Perkoperasian : ‘Koperasi Indonesia adalah organisasi ekonomi rakyat
yang berwatak sosial beranggotakan orang-orang atau badan-badan hukum Koperasi
yang merupakan tata susunan ekonomi sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan.’
- Keempat, Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian : ‘Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan
orang-seorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya
berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang
berdasar atas asas kekeluargaan.’
“Dengan demikian menurut
Mahkamah, dalil Pemohon bahwa pengertian koperasi dalam pasal tersebut
mengandung individualisme, sehingga dalil permohonan para Pemohon a quo
beralasan menurut hukum;
“Menimbang, ... Idealnya, yang
melekat pada koperasi adalah bahwa pengurus koperasi tidak mendapat gaji.
Pengurus koperasi hanya mendapat uang transport setiap kali menghadiri sidang.
Pada koperasi yang mendapat gaji adalah mereka yang terus-menerus bekerja
sebagai direktur dan buruh-buruhnya dari satu perusahaan koperasi yang gajinya
tidak boleh lebih rendah dari perusahaan swasta biasa (Mohammmad Hatta,
Kumpulan Pidato II, 2002, 220);
“Menurut Mahkamah, gaji dan
tunjangan bagi pengurus, termasuk imbalan bagi pengawas sebagaimana diuraikan
di atas, bukanlah persoalan konstitusionalitas. Sebab, koperasi sebagai salah
satu pelaku ekonomi bukanlah suatu entitas yang statis, melainkan dinamis.
Dinamika koperasi yang sehat tentu bukan saja akan membentuk daya tahan
koperasi, melainkan juga akan membawanya pada kemajuan sebagaimana enttias
pelaku ekonomi yang lain;
“Ketika koperasi masih sangat
sederhana, hal yang diurus tentulah relatif sedikit. Ketika itu, maka pengawas
maupun pengurus masih dapat melakukan pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhan
ekonomi bagi diri maupun keluarganya. Namun demikian, manakala koperasi telah
mencapai suatu kemajuan pada posisi tertentu, tentu akan berpengaruh pada
kesibukan perangkat atau organ koperasi. Ketika itulah, bisa jadi pengawas
ataupun pengurus tak lagi sempat melakukan pekerjaan lain untuk memenuhi
kebutuhan ekonomi bagi diri dan keluarganya yang menjadi tanggung-jawabnya;
“Permasalahannya adalah apakah
dalam keadaan yang demikian, adilkan tidak memberikan imbalan bagi pengawas dan
tidak memberikan gaji serta tunjangan kepada pengurus. Dengan demikian maka
pemberian imbalan kepada pengawas serta pemberian gaji dan tunjangan kepada
pengurus merupakan hak dan kewenangan Rapat Umum Tahunan (RAT) sebagai mekanisme
kedaulatan para anggota koperasi untuk menentukan perlu atau tidak perlunya
imbalan pengawas serta pemberian gaji dan tunjangan kepada pengurus atau
manakala hal tersebut telah ditetapkan berapa besarannya pun menjadi ruang
linkup kebijakan RAT untuk menentukannya;
“Mengenai tugas dan kewenangan
pengawas tersebut, menurut Mahkamah haruslah dikaitkan dengan hakikat koperasi
sebagai salah satu entitas penting pelaku dalam sistem ekonomi yang berkarakter
demokrasi. ... Sesuai dengan karakter yang demikian, maka anggota koperasi
adalah pemegang kedaulatan dalam koperasi. Sebagai pemegang kedaulatan anggota
memiliki hak untuk memilih dan dipilih;
“Artinya, terkait dengan
pengurus koperasi, anggota berhak memilih anggota yang mana untuk menjadi
pengurus dan bersamaan dengan itu anggota juga berhak untuk dipilih sebagai
pengurus. Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah terdapat
kontradiksi antara Para 50 Ayat (1) huruf a, Ayat (2) huruf a dan huruf e,
serta Pasal 56 Ayat (1) UU 17/2012, yang masing-masing memberikan tugas kepada
pengawas mengusulkan pengurus, memberikan kewenangan kepada pengawas menerima
dan menolak anggota baru, memberhentikan anggota, serta memberhentikan pengurus
untuk sementara waktu, dengan Pasal 5 Ayat (1) huruf d dan huruf e serta Pasal
29 Ayat (2) huruf c UU 17/2012, yang menjadkan demokrasi dan persamaan sebagai
nilai dasar kegiatan koperasi serta hak bagi anggota untuk memilih dan dipilih;
“Untuk mempertimbangkan isu
pengurus koperasi dipilih dari non-anggota ... . Secara khusus ketentuan
tersebut menghalangi atau bahkan menegasikan hak anggota koperasi untuk
menyatakan pendapat, memilih, dan dipilih. Serta nilai kekeluargaan,
bertanggung-jawab, demokrasi, dan persamaan yang menjadi dasar koperasi serta
nilai keterbukaan dan tanggung-jawab yang diyakini anggota koperasi yang
kesemua itu merupakan derivasi dari demokrasi ekonomi Pasal 33 Ayat (1) UUD RI
1945;
“Apabila alasannya adalah untuk
membangun koperasi yang lebih profesional, justru yang harus dibangun adalah
anggota koperasi supaya menjadi tenaga professional, sehingga tidak perlu
merekrut non-anggota untuk menjadi pengurus. Hal tersebut tentu tidak menjadi
persoalan apabila tenaga profesional tersebut direkrut menjadi karyawan
koperasi;
“Mengenai modal koperasi
berdasarkan Pasal 66 UU 17/2012 adalah terdiri dari Setoran Pokok dan
Sertifikat Modal Koperasi sebagai modal awal. Selain itu, modal koperasi dapat
berasal dari hibah, modal penyertaan, modal pinjaman yang berasal dari anggota,
koperasi lainnya dan/atau anggotanya, bank, dan lembaga keuangan lainnya,
penerbitan obligasi dan surat hutang lainnya, dan/atau pemerintah dan
Pemerintah Daerah dan/atau sumber lain yang sah yang tidak bertentangan dengan
Anggaran Dasar dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan;
“Setoran Pokok adalah sejumlah
uang, yang wajib dibayar oleh seorang atau badan hukum koperasi pada saat yang
bersangkutan mengajukan permohonan keanggotaan pada suatu koperasi. Sertifikat
Modal Koperasi adalah bukti penyertaan Anggota Koperasi dalam modal Koperasi.
Modal Penyertaan adalah penyetoran modal pada Koperasi berupa uang dan/atau
barang yang dapat dinilai dengan uang yang disetorkan oleh perorangan dan/atau
badan hukum untuk menambah dan memperkuat permodalan Koperasi guna meningkatkan
kegiatan usahanya;
“Pemohon mendalilkan secara
umum bahwa modal koperasi yang diatur dalam BAB VII telah membuka peluang
intervensi pihak luar, termasuk pemerintah dan pihak asing, melalui permodalan,
karena tidak ada pembatasan proporsi dana dari pihak luar dan ketentuan yang
menjamin otonomi koperasi. Reviltalisasi semacam ini tidak sesuai dengan
prinsip koperasi sebagai usaha bersama yang dikendalikan oleh anggotanya;
“Terhadap dalil Pemohon
tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: Mahkamah mempertimbangkan
tentang penggunaan istilah Setoran pokok. Istilah Setoran Pokok,
menurut Mahkamah, lebih menekankan pada pengertian sebagai penyerahan sejumlah
uang sebagai modal, sehingga konsekuensinya tidak dapat ditarik kembali bila yang
bersangkutan keluar atau berhenti sebagai anggota koperasi;
“Berbeda dengan penggunaan
istilah Simpanan Pokok yang maknanya bahwa anggota koperasi menyimpan
sejumlah uang sebagai modal. Koperasi adalah tempat, yang menurut anggota, aman
karena karena pengurus yang sesungguhnya adalah sesama anggota sepertinya
bersifat amanah. Dengan demikian setiap anggota yang membayar Simpanan Pokok
sebagai modal koperasi mempercayai simpanan tersebut aman, sehingga manakala
yang bersangkutan keluar atau berhenti karena suatu alasan maka simpanan
tersebut dapat diambil kembali.
“Jadi, dalam konsep Simpanan
Pokok, uang yang disimpan itu tidak semata-mata menjadi modal koperasi tetapi
juga berfungsi sebagai tabungan bagi anggota. Kekayaan anggota yang merupakan
modal koperasi inilah yang disebut simpanan anggota. Karena itu, Setoran
Pokok dalam koperasi harus dilihat sebagai wujud keputusan seseorang untuk
menggabungkan diri secara sukarela sebagai anggota koperasi.
“Atas dasar kesukarelaan
tersebut bila anggota tersebut memutuskan untuk keluar atau berhenti karena
suatu alasan maka adalah wajar bila Simpanan Pokok tersebut ditarik
kembali. Apabila Pasal 67 Ayat (1) tetap berlaku, maka makna tetap atau
bertahan menjadi anggota koperasi adalah suatu keterpaksaan. Dengan demikian
ketentuan tersebut jelas bertentangan dengan prinsip koperasi yang besifat
sukarela dan terbuka, yaitu sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan;
“Terhadap Pasal 68 dan Pasal 69
yang mengharuskan anggota koperasi membeli Sertifikat Modal Koperasi, menurut
Mahkamah, adalah norma yang tidak sesuai dengan prinsip koperasi yang bersifat
sukarela dan terbuka yang merupakan derivasi dari Pasal 33 Ayat (1) UUD RI
1945, yaitu sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, karena
ketentuan tersebut jelas bahwa modal materiil telah menjadi hal utama dalam
berkoperasi. Hal ini berarti, orientasi koperasi telah bergeser ke arah
kumpulan modal, yang dengan demikian telah mengingkari jati diri koperasi
sebagai perkumpulan orang dengan usaha bersama sebagai modal utamanya. Modal
materiil dan finansial merupakan hal yang penting, namun konsep modal koperasi
harus berkelindan dengan makna ‘perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasar atas asas kekeluargaan’ sebagaimana diamanatkan Pasal 33 Ayat (1) UU
17/2012. Secara teoritik ‘modal sosial’ memiliki makna dan tujuan utama
mencapai kesejahteraan sosial. Konsep modal sosial inilah yang menjadi jati
diri koperasi dan sangat cocok dengan kondisi rakyat Indonesia yang telah
memiliki tradisi gotong-royong ...;
“Skema permodalan koperasi
sebagaimana diatur dalam pasal-pasal tersebut dapat menjadikan modal koperasi
sebagian besar dimiliki oleh satu, dua, atau beberapa anggota saja, sehingga
tidak tertutup kemungkinan pemegang Sertifikat Modal terbesar akan memiliki
pengaruh kuat untuk menentukan arah jalannya koperasi, meskipun Sertifikat Modal
Koperasi tidak menjadi dasar hak suara di dalam RAT. Terlebih lagi di dalam
UU 17/2012 tidak ada ketentuan batas maksimal Sertifikat Modal Koperasi dapat
disetor [vide keterangan ahli Ahmad Erani Yustika]. Meskipun modal tidak
memiliki (hak) suara, namun perbedaan pemilikan modal dipastikan akan berakibat
pada perbedaan kekuatan dan pengaruh dalam pengelolaan koperasi, sehingga hal
tersebut bertentangan dengan prinsip keanggotaan yang berdasarkan kebersamaan
dan kesukarelaan [vide keterangan ahli Dr. M. Ali Safaat].
“... menurut Mahkamah, anggota
akan kehilangan atas kepemilikan Sertifikat Modal Koperasi manakala tidak ada
anggota lain yang membeli atau dana talangan tidak mencukupi. Walaupun maksud
pembentuk Undang-Undang dengan adanya Sertifikat Modal Koperasi serta Setoran Pokok
yang tidak dapat ditarik kembali adalah dalam rangka memperkuat modal koperasi,
akan tetapi, menurut Mahkamah, cara demikian adalah tidak tepat karena hal
tersebut bertentangan dengan prinsip dasar koperasi sebagai usaha bersama yang
berdasarkan asas kekeluargaan sebagaimana telah diuraikan di atas.
“Untuk memperkuat koperasi
haruslah meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengelola koperasi sebagai
usaha bersama tanpa mengabaikan filosofi dasar koperasi. Oleh karena itu,
menurut Mahkamah, pasal a quo merupakan norma yang tidak sesuai dengan Pasal 33
Ayat (1) UUD RI 1945, jaminan atas hak milik pribadi anggota koperasi
sebagaimana dijamin Pasal 28 H Ayat (1) dan Pasal 28H Ayat (4) UUD RI 1945 atau
setidak-tidaknya tidak ada kepastian hukum dan keadilan sebagaimana dimaksud
Pasal 28D Ayat (1) UUD RI 1945;
“Terhadap dalil Pemohon bahwa
Pasal 75 yang mengatur Modal Penyertaan ... , menurut Mahkamah, pertimbangan
hukum terhadap Pasal 68 dan Pasal 69 tersebut di atas mutatis mutandis berlaku
sebagai pertimbangan terhadap Pasal 75, karena pasal-pasal tersebut secara
substansial mengatur tentang Modal Penyertaan, hanya bedanya yang diatur dalam Pasal
75 ini berasal dari pihak di luar anggota koperasi. Oleh karena itu, terkait
dengan Modal Penyertaan dalam pasal a quo, Mahkamah mempertimbangkan secara
khusus bahwa koperasi sebagai perkumpulan orang dengan demikian menjadi tidak
berbeda dengan Perseroan Terbatas sebagai kumpulan modal, atau bahkan sebagai
Perseroan Terbatas terbuka yang ‘go public’ yang menghimpun modal
sebanyak-banyaknya dengan tanpa batas dengan resiko terbukanya peluang
intervensi dari pihak di luar koperasi;
“Pasal 78 Ayat (2) melarang
pembagian surplus hasil usaha yang berasal dari transaksi dengan non-anggota
kepada anggota manakala koperasi mengalami surplus hasil usaha. Sementara itu,
Pasal 80 mewajibkan kepada anggota menyetor sertifikat modal koperasi manakala
koperasi mengalami defisit hasil usaha. Berdasarkan ketentuan Pasal 78 Ayat (2)
dan Pasal 80 tersebut, terdapat ketidak-adilan terkait dengan hak dan
kewajiban, yaitu ketika koperasi mengalami surplus hasil usaha, anggota tak
berhak atas surplus—meski hanya yang berasal dari transaksi dengan
non-anggota—tapi ketika koperasi mengalami defisit hasil usaha, baik disebabkan
oleh transaksi dengan anggota atau non-anggota, anggota wajib menyetor Sertifikat
Modal Koperasi sebagai tambahan modal.
“Anggota koperasi sebagai pemilik
dan pengguna jasa seharusnya juga menerima surplus hasil usaha, baik dari
transaksi yang berasal dari anggota maupun dari non-anggota. Dengan demikian,
kesejahteraan bersama atau kesejahteraan yang berkeadilan akan terwujud dan
sikap individualisme dapat dihindarkan. Adanya pembatasan pembagian surplus
hasil usaha justru mencerminkan ketidak-berpihakan pada anggota koperasi
sebagai pemilik koperasi. Dalam hal ini seharusnya yang dikedepankan justru
mencari laba untuk memberi kesejahteraan kepada anggotanya, sehingga
setidak-tidaknya, dibagi atau tidak dibaginya surplus hasil usaha, ketentuannya
diserahkan kepada anggota dengan menggunakan mekanisme yang tersedia;
“Oleh karena itu, pembatasan
tersebut berarti menyampingkan hak untuk menikmati hasil usaha koperasi, yang
dengan demikian berarti pula dalil permohonan para Pemohon beralasan menurut
hukum;
“Pasal 82 pada pokoknya
memerintahkan supaya setiap koperasi dalam Anggaran Dasarnya (AD) menentukan
jenis koperasi, yang didasarkan pada kesamaan kegiatan usaha dan/atau
kepentingan ekonomi anggota. Pasal 83 dan Pasal 84 pada pokoknya menentukan
dalam merumuskan kegiatannya jenis koperasi terdiri dari : koperasi konsumen,
koperasi produsen, koperasi jasa, dan koperasi simpan-pinjam;
“Ketentuan dalam tiga pasal
tersebut, menurut Mahkamah, mengandung pengertian pembatasan jenis kegiatan
usaha yang dapat dilakukan oleh koperasi. Dengan adanya pembatasan tersebut
maka pengertian ikutannya secara normatif adalah bahwa (i) kegiatan usaha
koperasi hanya ada empat jenis yang ditentukan; dan (ii) koperasi hanya boleh
memilih salah satu dari empat jenis kegiatan usaha yang telah ditentukan;
“Menurut Mahkamah, membatasi
jenis kegiatan usaha koperasi hanya empat jenis telah memasung kreativitas
koperasi untuk menentukan sendiri jenis kegiatan usaha, yang bisa jadi,
berseiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, budaya, dan
ekonomi, berkembang pula jenis kegiatan usaha untuk memenuhi kebutuhan ekonomis
manusia.
“Terlebih lagi, manakala
ketentuan tersebut dimaknai bahwa satu koperasi harus memilih satu jenis
kegiatan usaha, ketentuan tersebut tidak sesuai dengan aspek empirik dari
kegiatan usaha koperasi yang telah berjalan, yang berarti dengan ketentuan
tersebut koperasi yang telah menjalankan kegiatan serba usaha harus menutup
kegiatan usaha yang lain dan harus memilih satu jenis saja kegiatan usahanya. Padahal,
banyak koperasi serba usaha (multi purpose cooperative) justru berhasil [vide keterangan
ahli M. Fathorrazi].
“Apalagi untuk koperasi yang
berskala kecil yang kebanyakan berada di pedesaan tidak mungkin mendirikan
koperasi hanya dengan satu jenis usaha tertentu, melainkan harus merupakan
koperasi serba usaha, baik karena keterbatasan modal, pengurus, anggota, dan
jaringan. Oleh karena itu, jika pembatasan jenis usaha koperasi diberlakukan
maka hal ini dapat mengancam fleksibilitas usaha dan pengembangan usaha
koperasi. Hal tersebut tidak dapat dipungkiri bahwa koperasi akan tumbuh dan
berkembang sesuai dengan kebutuhan para anggota, misalnya, koperasi konsumen
yang kemudian berkembang dan bertambah menjadi koperasi produsen.
“Dengan demikian, membatasi
jenis usaha koperasi dengan menentukan satu jenis usaha koperasi (single
purpose cooperative) bertentangan dengan hakikat koperasi sebagai suatu
organisasi kolektif dengan tujuan memenuhi keperluan hidup untuk mencapai
kesejahteraan anggota. Seharusnya suatu koperasi sebagai usaha bersama diberi
keleluasaan berusaha tanpa membatasi satu jenis tertentu. Hal tersebut bukanlah
berarti tidak boleh mendirikan suatu koperasi dengan satu jenis usaha tertentu,
melainkan sangat tergantung pada kehendak para anggota sesuai kebutuhan yang
dihadapinya.
“Hal ini pun berlaku pada
Perseroan Terbatas, yang dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas tidak membatasi
jenis usaha setiap satu Perseroan Terbatas harus satu jenis usaha. Lagipula,
salah satu fungsi koperasi adalah merasionalisasi ekonomi dengan memendekkan
jalur perekonomian sehingga dapat mensejahterakan anggotanya. Fungsi ini tidak
akan dapat tercapai jika ada pembatasan jenis usaha;
“Menimbang, berdasarkan seluruh
pertimbangan di atas, oleh karena pengertian koperasi sebagaimana diatur dalam
UU 17/2012, filosofinya telah ternyata tidak sesuai dengan hakikat susunan
perekonomian sebagai usaha bersama dan berdasarkan asas kekeluargaan yang
termuat di dalam Pasal 33 Ayat (1) UUD RI 1945 sebagaimana dipertimbangkan di
atas. Demikian pula pengertian tersebut telah ternyata dielaborasi dalam
pasal-pasal lain di dalam UU 17/2012, sehingga di suatu sisi mereduksi atau
bahkan menegasikan hak dan kewajiban anggota dengan menjadikan kewenangan
pengawas terlalu luas, dan skema permodalan yang mengutamakan modal materiil
dan finansial yang mengesampingkan modal sosial yang justru menjadi ciri
fundamental koperasi sebagai suatu entitas khas pelaku ekonomi berdasarkan UUD
RI 1945.
“Pada sisi lain koperasi
menjadi sama dan tidak berbeda dengan Perseroan Terbatas, sehingga hal demikian
telah menjadikan koperasi kehilangan ruh konstitusionalnya sebagai entitas
pelaku ekonomi khas bagi bangsa yang berfilosofi gotong-royong. Dengan
demikian, menurut Mahkamah, meskipun permohonan para Pemohon hanya mengenai
pasal tertentu, namun karena pasal tersebut mengandung materi muatan norma
substansial yang menjadi jantung UU 17/2012, sehingga jikapun hanya pasal-pasal
tertentu dinyatakan bertentangan dengan UUD RI 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat maka akan menjadikan pasal-pasal yang lain dalam UUD
RI 1945 tidak dapat berfungsi lagi. Oleh karena itu permohonan para Pemohon
harus dinyatakan beralasan menurut hukum untuk seluruh materi muatan UU
17/2012;
“Menimbang, berdasarkan seluruh
pertimbangan tersebut di atas dan untuk menghindari kevakuman hukum di bidang
koperasi yang dapat menimbulkan ketidakpastian dan ketidak-adilan maka untuk
sementara waktu, sebelum terbentuknya Undang-Undang tentang perkoperasian
sebagai pengganti Undang-Undang a quo maka demi kepastian hukum yang adil, Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, berlaku untuk sementara waktu;
“M E N G A D I L I :
Menyatakan:
1. Permohonan Pemohon I, Pemohon II, dan Pemohon IV tidak dapat diterima;
2. Mengabulkan permohonan Pemohon III, Pemohon V, Pemohon VI, Pemohon
VII, dan Pemohon VIII;
2.1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
2.3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian berlaku
untuk sementara waktu sampai dengan terbentuknya Undang-Undang yang baru;
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya.”
Catatan Penutup SHIETRA & PARTNERS:
Putusan Mahkamah Konstitusi RI
di atas yang bersifat “ultra-petitum”
(memutus melampaui apa yang dimohonkan), ibarat mengajak masyarakat untuk “keluar
dari mulut harimau, (namun) masuk ke mulut serigala”. Bila kita hendak
menimbang plus dan minus dari keberlakuan antara kedua versi Undang-Undang
tentang Koperasi, maka Undang-Undang versi tahun 1992 tidak lebih ideal dari
Undang-Undang versi tahun 2012 yang kebetulan dimohon uji-materiil karena
Undang-Undang versi tahun 2012-lah yang sedang berlaku pada saat uji-materiil
dilakukan Pemohon.
Paradigma yang dipakai oleh
Mahkamah Konstitusi RI saat memutus uji materiil yang dimohonkan Pemohon,
sangat sarat teoretis yang “kurang membumi” sehingga kurang rasional di mata
kalangan praktisi hukum. Sementara itu, kalangan praktisi-praktis selalu menyadari
serta memandang adanya bahaya dibalik konsep konservatif bernama “one man ove vote” sebagaimana yang menjadi
salah satu keberatan kalangan masyarakat umum untuk berminat masuk sebagai
Anggota dan berkontribusi memasukkan modal kedalamnya, karena menilai adalah
tidak adil bila Anggota yang menyetorkan modal secara lebih besar daripada
Anggota lainnya secara nominal rata-rata, justru suaranya sejajar dan setara
dengan Anggota yang hanya menyetor secara minimal.
Bila yang kita “kejar” ialah
sebatas pembagian surplus hasil usaha, maka membeli saham Perseroan Terbatas pada
bursa efek masih lebih masuk diakal—meski saham yang diperjual-belikan pada lantai
bursa saham sifatnya ialah “tanpa hak suara”. Sebaliknya, bila mampu
berkontribusi dalam menanamkan modal cukup besar, maka pilihannya yang paling
ideal BUKANLAH Koperasi, akan tetapi menanam modal ke dalam bentuk saham berjenis
“saham dengan hak suara” pada badan hukum seperti Perseroan Terbatas atau
membentuk badan usaha “patungan” sendiri seperti CV.
Ketidak-adilan dibalik konsep “one man one vote” dalam aturan main
Koperasi, pada gilirannya Koperasi akan selalu terbentur pada faktor swasembada
dan kemandirian pendanaan dari Anggotanya sendiri, yang pada gilirannya Koperasi
akan selalu mengandalkan keterlibatan pihak eksternal (orang luar non-Anggota)
yang menjadi sumber pendanaan dengan skema Modal Penyertaan ke dalam Koperasi.
Dengan daya tawar yang lemah
menghadapi kebutuhan akan pendanaan itulah, pengelolaan Koperasi pada
gilirannya jatuh pada pihak Pengelola yang ditunjuk sebagai “kuasa Pengurus”, sebagai
priviledge bagi pemilik Modal
Penyertaan (sepanjang diikat dalam bentuk kesepakatan / perjanjian pengelolaan
sebagai syarat menyetor Modal Penyertaan). “Lingkaran setan” dalam praktik
Koperasi, selalu bermula pada “kutukan” prinsip kaku-konservatif yang
orthodoks, yakni “one man one vote”. Hanya
pemilik Modal Penyertaan yang cukup “bodoh”, yang tidak memahami daya tawar
yang dimiliki olehnya ketika hendak menanamkan investasi dana ke dalam Koperasi,
atau bahkan menjadi “termakan” oleh praktik “koperasi nakal”.
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.