PREMAN, Sejatinya adalah Pemberani atau Sebaliknya, PENGECUT dan PENAKUT. Jika memang Jagoan, Mengapa Keroyokan dan Pakai Senjata?

ARTIKEL HUKUM
Yang Disebut HEBAT, Bukanlah Tangan-Tangan yang dapat MERUSAK dan MENGHANCURKAN, Namun Sentuhan dari Tangan-Tangan yang MEMBANGUN dan MERAWAT
Bukanlah sosok seorang preman berbadan besar yang paling perlu kita waspadai dan khawatirkan, namun adalah sikap-sikap PENGECUT sang preman. Apa yang penulis utarakan tersebut, adalah saripati dari banyaknya pengalaman penulis terpaksa bertarung (secara fisik guna membela diri) melawan kalangan preman di Indonesia, mulai dari semasa kecil di bangku sekolah (penulis yang seorang diri berjalan kaki seorang diri “dipalak” oleh dua orang preman) hingga tumbuh dewasa kerap “mencicipi” ulah-ulah para preman yang sangat rasis terhadap penulis yang “kebetulan” beretnik keturunan—dimana penulis merasa bersyukur terlahir dengan etnik keturunan, yang hanya saja terlahir secara “salah tempat”, yakni di Indonesia.
Mengapa justru adalah sikap-sikap PENGECUT para preman di Indonesia, yang paling patut kita cemaskan dan takutkan, selaku warga? Ingat, sekali lagi, bukan sosok preman berbadan besar yang perlu kita waspadai, dimana penulis telah banyak menghadapi preman-preman berbadan jauh lebih besar dari pada bobot tubuh penulis, ternyata selalu menemukan satu fakta berupa pola yang kongruen ditampilkan oleh aksi para preman mana pun itu di Indonesia, yakni sikap-sikap PENGECUT seperti pengeroyokan, menyerang tanpa deklarasi terlebih dahulu (jika perlu menyerang tengah malam terhadap properti, vandalisme, atau semacam “begal” dan kabur), memakai senjata, dan sikap-sikap PENGECUT lainnya seperti hanya berani ketika menghadapi korban yang bertubuh lebih kecil dan kalah dalam jumlah serta “bertangan kosong”. Mari kita simak, satu per satu dimana akan penulis bedah secara lugas, berdasarkan pengalaman pribadi penulis.
Terhadap pertanyaan, “Mengapa olahraga yang ‘primitif’ seperti tinju, masih juga diadakan hingga zaman modern ini?”, maka inilah jawaban yang patut kita sampaikan, bahwa “Justru olahraga dan turnamen tinju adalah olahraga serta kompetisi yang paling ‘beradab’ di muka bumi ini, sehingga perlu kita lestarikan dan wariskan bagi generasi penerus kita.” Bila semangat sportivitas dalam olahraga seperti sepak-bola (soccer), ialah “keroyokan” melawan “keroyokan”, maka olahraga tinju (boxing) ialah ajang pembuktian diri “satu” lawan “satu”, lengkap dengan aturan main “tangan kosong” dimana penentunya ialah juri dan wasit yang netral serta objektif dalam menilai.
Dalam pertandingan tinju—yang tentunya di atas “ring tinju” lengkap dengan segenap aturan main tinju, wasit, serta juri—semuanya berlangsung tertib dan “fairness”, dimana kalahnya satu petarung di atas ring tinju tidak memberi ruang bagi para pendukung atau pihak suporter salah satu kubu untuk melakukan aksi “main hakim sendiri” dengan naik ke atas ring tinju dan mengeroyoki petinju yang menang dalam pertarungan karena merasa “tidak terima” akibat petinju lawan yang didukung oleh para suporter tersebut “dipecundangi”, dimana dengan telah dikalahkannya petinju yang didukung oleh sang suporter diartikan atau dimaknai sebagai melecehkan dan mencoreng wajah kubu petinju yang kalah sekaligus “menghina” dan “melecehkan” para suporternya—seolah-olah hendak berkata : “JIka Anda mengalahkan klub yang saya dukung, maka itu artinya penghinaan dan pencemaran nama baik bagi kami”, dan benar-benar terjadi ketika kesebelasan Malaysia berlaga di stadiun sepak-bola di Indonesia pada tahun 2019 lampau, mempercundangi tim kesebelasan Indonesia, berakhir ricuh dimana suporter Indonesia melakukan aksi anarkhi terhadap penonton yang mendukung tim dari Malaysia, maupun dari berbagai pertandingan laga liga nasional antar tim selalu berakhir ricuh anarkhi antar “bonek’, bahkan hingga dikabarkan menimbulkan korban jiwa (kita baru berbicara perihal sepak bola), meski menjadi tampak gaib karena sekalipun rupanya memiliki kebiasaan atau darah “keroyokan” yang mengalir dalam tubuh bangsa kita, ternyata negeri ini punya sejarah dijajah selama empat abad lebih lamanya.
Karenanya, sportivitas bukan hanya diisyaratkan serta disyaratkan di atas “ring tinju”, namun tertib terhadap aturan main juga patut diberlakukan terhadap seluruh pihak yang berada di luar atau di bawah “ring tinju”—suatu kondisi mana sukar untuk kita dapatkan pada “pertarungan jalanan” (steet fighting) ketika kita selaku warga dipaksa dan terpaksa oleh keadaan untuk siap selalu membela diri dari aksi kriminalitas ataupun premanisme (si vis pacem para bellum), dimana sekalipun kita berhasil mengalahkan, melumpuhkan, menjatuhkan, dan membuat salah satu orang preman / pencuri / perampok tersebut menjadi bertekuk-lutut, besar kemungkinan (bahkan selalu terjadi) para teman-teman komplotan satu gembong dengan sang preman / pencuri / perampok tersebut akan ikut turun-tangan mengeroyoki korbannya. Fakta empirik demikian selalu terjadi serta selalu berulang-kali terjadi (membentuk semacam pola atau budaya), acapkali penulis harus berhadapan dengan komplotan pencuri, komplotan preman, ataupun komplotan pelaku usaha ilegal, dan aksi-aksi premanisme lainnya, bukan hanya menghadapi seorang preman, seorang pencuri, ataupun seorang kriminil lainnya.
Namun tidak semua pertarungan di atas “ring tinju”, selalu berkonotasi sportivitas. Yang menjadi letak sportivitas, bukanlah panggung yang menjadi “ring tinju”, namun aturan main dalam dunia kompetisi pertinjuan itu sendiri apakah dihormati ataukah tidaknya. Sebagai contoh, bisa saja dua pertarung yang saling berhadapan bertarung di atas “ring tinju” sama-sama saling menghormati dan patuh terhadap aturan pertinjuan, namun ketika mendapati salah satu petarung dikalahkan, para “komplotan” sang petinju yang akan menemui “K.O.” (knock out) dan mencium kanvas, seketika itu juga menghambur ke atas “ring tinju” dan melakukan aksi “pembelaan” dengan cara mengeroyoki seorang petarung yang memenangkan pertandingan—maka semua setting berupa panggung “ring tinju” tersebut menjadi tiada artinya, karena aturan main tinju tidak dihormati dan tidak diindahkan oleh para pihak yang bertarung di atas “ring tinju” maupun para “komplotan”-nya di bawah “ring tinju”.
Sifat pengecut lainnya dari kalangan preman, disamping kebiasaan mereka memakai senjata (tidak jarang disembunyikan dibalik pakaian dan digunakan tatkala kalah atau saat korbannya lengah) dan secara keroyokan melawan korban yang sejatinya “bertangan kosong” disamping hanya berdiri seorang diri, sebagaimana pengalaman pribadi penulis dalam berbagai kejadian menghadapi preman di Indonesia (entah, begitu banyak kalangan preman-preman di republik ini, bergentayangan bagaikan serigala berkeliaran yang bahkan lebih banyak jumlahnya ketimbang cendawan di musim penghujan), ialah mereka tidak membuat “kumandang” bahwa dirinya akan terlibat dalam pertarungan, dimana para kawanan dari preman tersebut yang penulis pada mulanya mengira hanya sebagai penonton belaka, secara mendadak mereka turut menyerang dan menganiaya penulis selaku korban, dari arah samping atau pun belakang dimana penulis tidak menaruh curinga ataupun ketika tiada menaruh kewaspadaan terhadap mereka—alias, “main CURANG”, lagi-lagi KECURANGAN dan sifat-sifat TIDAK KSATRIA, TIDAK JENTELMEN, dan PENGECUT. Bukankah hanya seorang PENGECUT, yang beraninya hanya memakai cara-cara curang tidak jentelmen. Namun selalu seperti itulah yang terjadi, dan selalu berulang dalam setiap kejadian, preman mana pun, polanya selalu sama dan serupa. Anggap saja fakta demikian penulis ungkap, sebagai testimoni penulis yang mengalaminya secara langsung dalam berbagai “kesempatan”.
Sifat pengecut lainnya dari kalangan preman, ialah mereka sangat selektif dalam memilih korban yang dijadikan sasaran dan mangsa—alias “tidak berani-berani amat”. Para preman kita di Indonesia, hanya berani memilih dan menargetkan “buruan” manusia yang bertubuh lebih kecil, dan jumlah yang lebih sedikit. Pernahkah para pembaca mendengar, preman kita menargetkan anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai target, atau menjadikan satu batalyon markas TNI sebagai target penyerangan para preman? Tepat, karena para preman kita di Indonesia sejatinya PENGECUT dan PENAKUT—mereka hanya tampak berani dan perkasa, sekalipun bertubuh besar dan menakutkan lengkap dengan wajah yang penuh “brewok”, di hadapan korban yang bertubuh lebih kecil dan lebih lemah disamping kalah dalam hal jumlah dan TIDAK BERSENJATAKAN APAPUN. Jika John Kei memang hebat, mengapa bertekuk-lutut di hadapan moncong senapan api milik anggota kepolisian saat mereka dibekuk? Bukankah mereka mengaku-ngaku sebagai “jagoan” yang pemberani (sehingga semestinya “kebal” terhadap peluru timah panas)? Hanya berani kepada korban yang seorang diri dan bertangan-kosong, dimana letaknya dan apanya yang layak disebut sebagai “pemberani”, terlebih memandang dirinya sebagai seorang “jagoan”?
Seorang juara tinju dunia kelas berat, Mike Tyson, adalah benar-benar juara dan “jagoan” sejati yang layak dihormati, karena seorang Mike Tyson tidak menyuruh dan menurunkan anak-buah untuk bertarung di atas “ring tinju” untuk dirinya (karenanya adalah memalukan sikap John Kei, yang hanya berani menurunkan anak-buah untuk melakukan aksi kekerasan), namun sang Mike Tyson itu sendiri yang membuktikan dirinya kepada dunia bahwa ia layak dan patut diberi gelar sebutan atau predikat sebagai si “leher beton”. Jika sekadar menyuruh anak-buah untuk menganiaya, untuk mengeroyoki, atau bahkan untuk membunuh korban, maka dimana letak kata “hebat”-nya? Siapapun bisa, saya maupun para pembaca, untuk menyewa petugas satpam, preman, hingga oknum anggota militer untuk menjadi bodyguard, asalkan ada biaya untuk itu—dimana letak hebatnya?
Menurut para pembaca, apakah kalangan / kaum / para preman, benar-benar pemberani atau sebaliknya, PENGECUT BERBADAN BESAR? Badan boleh besar, namun ternyata “nyali”-nya kecil. Simak berita berikut sembari membandingkan dengan ulasan penulis sebelumnya di muka, perihal sikap “jentelmen” keberanian untuk sportif “satu lawan satu” dengan tangan-kosong, dalam berita bertajuk “Kelompok John Kei Serang Green Lake City untuk Cari Nus Kei”, 22/06/2020, Rindi Nuris Velarosdela, https:// megapolitan. Kompas .com/read/2020/06/22/13164901/kelompok-john-kei-serang-green-lake-city-untuk-cari-nus-kei?page=all, diakses pada tanggal 20 Juli 2020:
Kelompok John Kei menyerang kawasan Green Lake City di Cipondoh, Kota Tangerang pada Minggu (21/6/2020), untuk mencari keberadaan Nus Kei.
Kapolda Metro Jaya Irjen Nana Sudjana mengatakan, John Kei memerintahkan anak buahnya untuk membunuh Nus Kei dan anggota Nus Kei berinisial ER. Alasannya, John Kei kecewa pada Nus Kei karena tidak meratanya uang hasil penjualan tanah.
Meskipun demikian, anak buah John Kei yang berjumlah 15 orang tidak dapat menemukan keberadaan Nus Kei. “Mereka datang mencari seseorang dan memang rumah tersebut adalah rumah Nus Kei. Yang bersangkutan tidak ada, tetapi ada istri dan anak (Nus Kei),” kata Nana dalam konferensi pers yang disiarkan langsung melalui Youtube Polda Metro Jaya, Senin (22/6/2020).
Mengetahui Nus Kei tidak berada di rumahnya, anak buah John Kei langsung melakukan perusakan terhadap rumah dan mobil Nus Kei. Tak hanya itu, mereka juga membuat keributan dengan merusak pagar perumahan, melepas tujuh kali tembakan hingga menyebabkan satu orang sekuriti dan satu pengendara ojek online terluka.
“Mereka brutal, merusak gerbang perumahan, dan mengeluarkan tembakan tujuh kali sehingga menyebabkan sekuriti tertabrak, dan pengendara ojek online tertembak di bagian jempol kaki kanan. Keduanya saat ini dirawat di rumah sakit,” ujar Nana.
Pada hari yang sama, kelompok John Kei juga menyerang daerah Kosambi, Cengkareng, Jakarta Barat. Akibatnya, anggota Nus Kei berinisial ER tewas dibacok senjata tajam dan satu orang lainnya berinsial AR mengalami luka pada jari tangan.
Kapolda menambahkan, perintah John Kei tersebut terungkap setelah polisi memeriksa ponsel anak buah John. Selain memerintahkan membunuh Nus Kei, anak buah John Kei terlebih dahulu melemparkan ancaman melalui pesan singkat.
“Kita membuka HP pelaku ini, di mana ada perintah dari John Kei ke anggotanya, indikator dari pemufakatan jahat adanya perencanaan pembunuhan terhadap Nus kei dan ER atau YDR,” kata Nana.
Adapun, kelompok John Kei ditangkap di Jalan Tytyan Indah Utama X, Bekasi, Jawa Barat pada Minggu sekitar pukul 20.15 WIB. Barang bukti yang diamankan di TKP adalah 28 buah tombak, 24 buah senjata tajam, 2 buah ketapel panah, 3 buah anak panah, 2 buah stik bisbol, dan 17 buah ponsel.
Pihak Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menunggu hasil koordinasi antara Balai Pemasyarakatan dan pihak Kepolisian terkait penangkapan John Kei. Saat ditangkap, John Kei berstatus narapidana bebas bersyarat terkait kasus pembunuhan berencana terhadap Tan Harry Tantono alias Ayung.
“Kita tunggu proses atau hasil koordinasi dari PK (Pembimbing Kemasyarakatan) Balai Pemasyarakatan yang melakukan bimbingan dan pengawasan selama John Kei menjadi klien pemasyarakatan dalam program pembebasan bersyaratnya,” kata Kepala Bagian Humas dan Protokol Ditjen Pemasyarakatan, Rika Aprianti, Senin.
Rika menuturkan, keputusan atas status bersyarat tersebut akan bergantung pada hasil koordinasi antara Balai Pemasyarakatan dan Kepolisian. Rika menjelaskan, para narapidana yang berstatus bebas bersyarat dapat dijebloskan kembali ke penjara bila terbukti kembali melakukan tindak pidana.
“Untuk klien pemasyarakatan secara umum yang melakukan pelanggaran tindak pidana, hak integrasinya akan dicabut, pembebasan bersayatnya. Menyelesaikan hukuman pidana ditambah tindak pidana yang baru,” kata Rika.
Sebagai “jagoan” atau sebagai seorang pemberani, maka yang akan turun-tangan langsung apakah sang “jagoan” ataukah anak-buah sang “jagoan”? Jika yang turun-tangan untuk bertarung justru adalah anak-buah suruhan ataupun bayaran sang “jagoan” dan yang harus babak-belur ialah anak-buah sang “jagoan”, mana dimana letak “jago”-nya selain hanya kata “jagoan”? Jika memang pemberani, mengapa melakukan penganiayaan dengan pengeroyokan, atau memakai anak-buah yang diperintahkan tanpa turun-tangan langsung “satu lawan satu” dan “tangan kosong”, justru bersembunyi dari suatu tempat? Jika begitu halnya, maka para konglomerat kita patut disebut “pemberani” dan “jagoan” semua, karena mereka sanggup menyewa jasa pengaman dan bahkan membayar tentara bayaran (sudah menjadi rahasia umum, anggota TNI kita kerap menjadi tentara bayaran) ataupun preman bayaran untuk melakukan intimidasi dan penganiayaan terhadap sesama sipil, termasuk dalam hal eksekusi pengosongan secara “main hakim sendiri”.
John Kei dikabarkan memiliki sasana tinju, lantas mengapa tidak menantang dengan cara bertarung layaknya seorang pria melawan pria “jantan” dengan aturan main dunia pertinjuan seperti “satu lawan satu” dan “tangan kosong”, justru bersikap berkebalikan dan bertentangan dengan sifat sportivitas dunia pertinjuan dan aturan main dunia tinju? Itu karena John Kei tidaklah benar-benar pemberani, namun sebaliknya : PENGECUT tulen, hanya berani bila mempersenjai diri dengan senjata tajam maupun senjata api dan dikelilingi oleh para anak-buahnya yang melindungi dan siap menerima perintah untuk melakukan kekerasan serta pengeroyokan terhadap lawan-lawan John Kei—keberaniannya PENUH SYARAT.
Penulis sudah banyak menghadapi preman-preman pelaku penganiayaan berbadan sebesar John Kei (bahkan lebih arogan dari John Kei), namun tidak ada satupun dari mereka yang berani turun tangan “satu lawan satu” dan “tangan kosong”, dimana kesemuanya hanya berani melakukan aksi premanisme terhadap penulis yang hanya berdiri seorang diri dan bertangan kosong, ketika mereka menyandang senjata dan di-“bekingi” oleh berbagai anak-buah atau teman-teman preman komplotannya. Terbukti pula, tiada satu pun dari preman tersebut, termasuk John Kei, bila memang diri yang bersangkutan adalah hebat, “jagoan”, atau pemberani, yang memiliki prestasi dalam ajang “World Boxing Championship”—artinya apa, jika bukan para preman tersebut sejatinya PENGECUT, LEMAH, TIDAK PERCAYA DIRI, PENAKUT, CENGENG, MANJA, dan BUKAN JAGOAN serta BUKAN PRIA JANTAN.
Mari, kita simka bersama sepak terjang sagn “jagoan namun jauh dari sikap-sikap jantan” ini. “Siapa John Kei? GodFather of Jakarta yang Diduga Dalang di Balik Penyerangan di Green Lake City”, Siti Nurjannah Wulandari, 22 Juni 2020, https:// www. tribunnews .com/metropolitan/2020/06/22/siapa-john-kei-godfather-of-jakarta-yang-diduga-dalang-di-balik-penyerangan-di-green-lake-city?page=all, diakses pada tanggal 20 Juli 2020:
Polda Metro Jaya  telah menggerebek markas John Kei di perumahan Tytyan Indah Utama, Kota Bekasi, pada Minggu (21/6/2020) malam sekitar pukul 22.00. Penggerebekan ini dilakukan terkait kasus penembakan dan kericuhan di perumahan elite, Green Lake City, Tangerang, serta pembacokan di Cengkareng, Jakarta Barat.
Diberitakan Tribunnews, polisi telah mengamankan 25 orang. Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Kombes Polisi Tubagus Ade Hidayat, membenarkan semua orang yang diamankan adalah anggota John Kei.
Dikutip dari Kompas.com, Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Kombes Yusri Yunus, menjelaskan John Kei ikut diamankan. Bahkan sebelum sang GodFather of Jakarta ini diamankan, ada sekelompok orang yang menghalangi langkah polisi.
Selain mengamankan 25 orang, polisi juga menyita sejumlah barang bukti. Yakni 28 buah tombak, 24 buah senjata tajam, 2 buah ketapel panah, 3 buah anak panah, 2 buah stik bisbol, dan 17 buah ponsel. [NOTE : “Jagoan”, namun mengapa anak-buahnya begitu banyak dan begitu banyak pula senjata tajam? Itukah yang disebut sebagai “sang Pemberani”?]
John Kei atau pria yang memiliki julukan GodFather of Jakarta ini adalah mantan terpidana pembunuhan bos Sanex Steel. John Kei baru saja bebas bersyarat akhir 2019 lalu, tepatnya Kamis (26/12/2019). Pria yang berusia 52 tahun itu menjalani masa hukuman penjara 7 tahun dan 10 bulan. Sebelumnya, ia divonis hukuman selama 16 tahun.
John Kei disebut-sebut memiliki bisnis jasa pengamanan, jasa penagihan, jasa konsultan hukum, dan pemilik sasana tinju Putra Kei yang memberi pemasukan pada keluarga John. [NOTE : Jika demikian, mengapa tidak diselesaikan di atas “ring tinju” lengkap dengan semangat fairness aturan dunia tinju, bila memang John Kei mengaku sebagai pria jantan?]
Namun, kehidupan John Kei tidak bisa lepas dari catatan kriminal. Bahkan John Kei sempat disandingkan dengan mafia di Italia dan diberikan gelar ‘Godfather of Jakarta’ karena bisnisnya seperti mafia.
Mengutip Kompas.com, pada 12 Oktober 2004, nama John Kei kembali dikaitkan dengan Basri Sangaji. Basri tewas ditembak di bagian dada saat berada di dalam kamar 301 Hotel Kebayoran Inn, Jakarta Selatan. Di dalam kasus ini, John Kei lolos dari jeratan hukum karena tidak terbukti terlibat.
Pada 11 Agutus 2008, John bersama adiknya, Tito Refra, benar-benar harus hidup di balik bui di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya karena menganiaya dua pemuda. Pada 4 April 2010, massa Kei bentrok di klub Blowfish dengan massa Thalib Makarim dari Ende, Flores. Dua anak buah John Kei tewas. [NOTE : Artinya, yang turun-tangan menganiaya dua pemuda korban John Kei, adalah anak-buah John Kei. Melawan pemuda saja, John Kei sampai harus mengandalkan anak-buah, begitu “menakutkan” atau sebaliknya begitu “penakutkah” seorang John Kei?]
Perseteruan antara massa dari Flores dengan loyalis John juga kembali terjadi saat persidangan kasus Blowfish digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tanggal 29 September 2010.
Terakhir, John Kei berurusan dengan aparat pada kasus pembunuhan Tan Harry Tantono alias Ayung. Ayung yang menjadi korban John Kei sempat menjadi sorotan saat dirinya muncul dalam kasus Hambalang dengan terdakwa mantan ketua umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum.
Nyawa Ayung dihabisi di sebuah kamar hotel 2701 di kamar Swiss-Belhotel, Sawah Besar pada Selasa, 27 Januari 2012. Ia ditemukan tewas dalam keadaan luka parah di bagian leher dan puluhan luka tusukan pada sekujur tubuhnya. MA pun menjatuhi hukuman John Kei terkait kasus pembunuhan Ayung menjadi 16 tahun. Vonis itu lebih lama dua tahun dari tuntutan jaksa.
“Diputuskan Rabu, 24 Juli 2013 lalu. Vonisnya 16 tahun penjara,” ujar Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur melalui pesan singkat, Senin (29/7/2013).
Ridwan enggan menjelaskan alasan majelis memperberat vonis bagi John Kei. Meski dikenal tak ada ampun, John Kei sempat akui telah bertobat. [NOTE : Terbukti, hanya “tobat sambal”.]
Perubahan ini terjadi setelah ia mendekam selama lima tahun di penjara Nusakambangan, Cilacap. John Kei kini telah mengubah tujuan hidupnya untuk menjadi pribadi yang berbeda saat keluar dari penjara.
John Kei pernah berbagi kisah dengan Andy melalui saluran YouTube Kick Andy Show pada Jumat (12/4/2019). Pada kesempatan tersebut, John Kei menceritakan bagaimana dirinya bisa berubah dari pembunuh bengis menjadi sosok yang membawa perubahan satu penjara.
John Kei mengakui sejak usia 22 tahun dirinya sudah mulai membunuh orang. Bahkan sang Godfather of Jakarta ini menegaskan tidak ada penyesalan setelah menghilangkan nyawa orang lain. Menurut John Kei, dirinya yang saat itu justru merasa lebih hebat jika sudah berhasil membunuh orang.
Namun, John Kei menjelaskan jika dirinya tidak akan melukai orang lain jika orang tersebut tidak melukai dirinya. Saat Andy bertanya pada John Kei soal alasan sang pembunuh sadis ini berubah, ia pun menceritakannya. [NOTE : Logika yang sangat lucu, John Kei menyerang korban-korban yang mungkin saja tidak pernah mengenal John Kei, dan ketika diserang John Kei, tentu korbannya akan melawan, dimana sikap melawan dan memberontak lawannya dalam rangka “membela diri”, dimaknai John Kei sebagai “melukai dirinya”, lantas menjadi alasan pembenar bagi John Kei untuk membunuh sang korban?]
John Kei pun merenung dan ingin mati masuk surga, tidak neraka, hal ini membuat dirinya semakin rajin membaca alkitab. Ia menegaskan semua terserah pada semua orang menilai perubahan dirinya.
“Orang mau ngomong apa itu urusan mereka tapi saya punya keyakinan dan saya yakin sampai mati saya melayani Tuhan,” tegas John Kei. [NOTE : Rupanya, menganiaya dan membunuh orang lain secara PENGECUT, adalah cara-cara John Kei dalam melayani Tuhan. Bahkan, seorang penganiaya dan pembunuh PENGECUT pun merasa berhak masuk surga, seolah korban-korbannya tidak berhak protes semata karena telah menjadi jenasah di tangan John Kei.]
John Kei sudah mempersiapkan jika keluar tidak akan tergoda. “Kitab Injil Matius ayat 33 itu meyakinkan saya, kalau saya melayani Tuhan, Tuhan nggak mungkin lupa saya, Tuhan akan memberikan lebih dari yang aku butuhkan. Waktu yang akan membuktikan,” jelas John Kei.
Kericuhan terjadi di kawasan Green Lake City, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang, Minggu (21/6/2020). Para perusuh menargetkan rumah Nus Kei yang berada di Cluster Australia nomor 52. Dalam kericuhan itu, satpam hingga driver ojek online juga menjadi korban luka. [NOTE : Ternyata, waktu memang benar-benar telah membuktikan ucapan John Kei.]
Hal itu diungkapkan langsung oleh Heriyanto selaku sekuriti setempat. Ia menjelaskan gerombolan orang berbadan tegap tiba-tiba datang ke lokasi. “Mereka mengamuk di rumah Nus Kei,” ujar Heriyanto kepada Warta Kota, Minggu (21/6/2020). [NOTE : Dimana John Kei? Jika memang “pemberani” dan hebat, “jagoan”, mengapa tidak datang SEORANG DIRI dan mengamuk SEORANG DIRI? Sikap-sikap PENGECUT khas preman demikian, telah banyak penulis hadapi.]
Para pelaku membawa senjata tajam dan pistol. Dan mengacak - ngacak di rumah itu. “Dua kendaraan milik bapak Nus Kei dirusak,” ucapnya. Para pelaku pun melakukan perlawanan terhadap petugas sekuriti yang menghadang. Bahkan pelaku menodongkan pistol ke petugas dan menabrak satpam yang berjaga hingga terpental. [NOTE : “Jagoan”, namun keroyokan dan memakai pistol bahkan menabrak? Mengapa tidak membuktikan kejantanan di atas “ring tinju”? Bukankah John Kei memiliki sasana tinju? Apakah yang John Kei ajarkan di sasana tinju miliknya, selain teladan nyata cara-cara “how to mengeroyok dan main curang seperti memakai senjata” melawan korban-korban yang berdiri seorang diri tanpa senjata?]
“Mereka juga sempat umbar tembakan. Driver ojek online (ojol) terkena tembakan. Anggota sekuriti juga luka tertabrak. Korban dibawa ke rumah sakit terdekat.”
“Dari informasi bapak Nus Kei ini perbuatan dari saudara John Kei,” imbuh Heriyanto. [NOTE : Rupanya, John Kei sang “pemberani”, justru bersembunyi bak PENGECUT. Itukah yang disebut sebagai “jantan” khas “jagoan”?]
Nasib malang menimpa YCR (46) yang meninggal dunia setelah menerima serangan orang tidak dikenal (OTK) di Jalan Kresek Raya, Duri Kosambi, Cengkareng Jakarta Barat. Kejadian itu dibenarkan Kapolsek Cengkareng Kompol Khoiri. Kejadian tersebut terjadi pada Minggu (21/6/2020) sekitar pukul 13.00 WIB.
“Iya benar, pelaku sekitar 5 orang tidak dikenal," kata Khoiri dalam keterangannya, Minggu (21/6/2020). [NOTE : Korban hanya seorang diri, pelakunya 5 orang, artinya “1 VS 5 orang”? Itukah yang diajarkan John Kei di atas “ring tinju” sasana miliknya?]
Peristiwa terjadi saat korban melintas di lokasi kejadian dengan sepeda motor Yamaha NMAX hitam dengan nomor polisi ... .  Tiba-tiba pelaku dihadang oleh komplotan pelaku dengan senjata tajam. [NOTE : Rupanya, para preman yang keroyokan ini belum cukup percaya diri pula menghadapi korban yang sebatang diri, sehingga masih merasa perlu memakai senjata tajam, PENGECUT tulen. Bahkan seorang “banci” pun masih lebih jantan daripada para preman berbadan besar ini.]
Sekitar 5 orang pelaku bersenjata tajam sejenis parang langsung menyerang korban dan salah seorang korban terkena sabetan parang,” jelasnya.
Lebih lanjut, dia menuturkan korban kemudian terjatuh dari motor setelah mendapat serangan dari pelaku.  Namun ketika itu korban masih mencoba kabur namun berhasil ditangkap oleh pelaku.
“Korban berusaha kabur namun para pelaku mengejar korban dan berhasil ditangkap oleh para pelaku kemudian langsung menghujani korban dengan bacokan bertubi tubi ke arah korban dan korban tersungkur bersimbah darah,” ungkapnya. [NOTE : Jika memang “jantan”, “jagoan”, “pemberani”, mengapa tidak menantang duel di atas sasana tinju milik John Kei layaknya Grand Master IP MAN?]
Ia menuturkan komplotan pelaku itu kemudian kabur dengan kendaraan Suzuki Ertiga. [NOTE : “Jagoan”, kabur?]
Namun tidak sampai situ, pelaku kemudian melindas korban yang telah dalam kondisi bersimbah darah.
“Salah seorang pelaku mengendarai mobil Suzuki Ertiga langsung melindas korban dan setelah itu para pelaku langsung kabur tidak lama kemudian teman teman korban tiba di tempat kejadian dan menolong korban ke rumah sakit Puri Kembangan," pungkasnya.
Kita, selaku warga sipil, sejatinya jauh lebih “jantan’ dan lebih PEMBERANI ketimbang para preman yang banyak bertebaran di negeri “salah asuhan” ini. Kita, penulis maupun para pembaca yang budiman, tidak pernah sampai terpikirkan untuk memakai cara-cara curang terlebih cara-cara PENGECUT seperti pengeroyokan ataupun memakai senjata tajam (disinilah, penulis kerap mengalami luka akibat pengeroyokan dan senjata yang dibawa para preman tersebut). Jikalau pun memang menantang atau ditantang untuk berduel secara “jantan”, pikiran yang terlintas di kepala kita selalu semata ialah “satu lawan satu” dan secara “tangan kosong”—setidaknya jiwa sportivitas itulah yang tertanam dalam jiwa dan benak pikiran penulis setiap kali harus menghadapi warga republik ini, karena penulis dididik dan terbiasa berjiwa “sportif”, entah pelakunya ialah etnik pribumi maupun etnik “kulit putih” bak mafia Hongkong, yang menyelesaikan segala sesuatu dengan cara-cara kekerasan.
Sampai penulis tumbuh dewasa dan kian menua, belum terdapat satu pun pengalaman penulis menjumpai ulah kalangan preman yang berani untuk tampil melakukan aksi premanisme dengan berdiri “satu melawan satu” terhadap korbannya, dan bertarung duel fisik secara “tangan kosong Vs. tangan kosong” menghadapi korbannya. Seburuk apapun lawan-lawan Grand Master IP MAN, kesemuanya selalu berakhir dalam duel “satu lawan satu” dan “tangan kosong” di atas “ring tinju”, karena itulah esensi jiwa jantan seseorang yang patut disebut sebagai pria sejati.
Semuanya, bagai suatu pola yang kongruen dari satu kejadian terhadap kejadian lain dari ulah para preman di negeri ini, selalu saja diwarnai aksi penodaan terhadap semangat asas sportivitas di atas “rinju tinju”—yakni : “satu lawan satu”, dan “tangan kosong”. Sebagai kesimpulan penutupnya, jika tidak ingin menjadi seorang PENGECUT dan disebut sebagai PENGECUT, jangan pernah menjadi seorang preman. Hanya seorang warga sipil biasa yang berani dan siap untuk “satu lawan satu” dan “tangan kosong”, yang paling berhak dan paling patut-layak disebut sebagai “jagoan pemberani” yang benar-benar jantan. Tahukah para pembaca, terhadap keseluruh preman yang pernah menganiaya penulis, penulis kerap mengolok mereka sebagai “PENGECUT, YANG BERANINYA HANYA KEROYOKAN”, dan tiada satu pun dari mereka yang berani membantahnya, karena para preman tersebut menyadari betul bahwa mereka akan kalah dan dipecundangi jika benar-benar berakhir pada kondisi satu lawan satu dengan tangan kosong layaknya aturan main dunia pertinjuan. Satu tambahan fakta, tahukah Anda, yang kerap menyewa kalangan preman PENGECUT tersebut ternyata adalah kalangan pengusaha yang tidak kalah PENGECUT-nya?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.