LEGAL OPINION
Question: Apakah ada resikonya, membuat tuntutan dalam gugatan (rumusan petitum) sebanyak-banyaknya? Hakim bisa memutus mengabulkan separuhnya, karena dalam surat gugatan dapat dicantumkan “Subsidair : Ex aequo et bono“, sehingga apa salahnya meminta banyak hal dalam tuntutan di surat gugatan (perdata)? Bukankah yang terpenting, penggugat tidak meminta hakim memutus melebihi apa yang diminta dalam surat gugatan?
Brief Answer: Dalam perkembangan praktik hukum acara perdata, bukan hanya kronologi perkara (posita) yang dapat menjadi “ganjalan” sehingga dinilai rancu dan absurd, sehingga berpotensi dinyatakan sebagai “gugatan yang kabur dan tidak jelas”, bermuara pada putusan “Gugatan dinyatakan tidak dapat diterima”. Ternyata pula, pokok permintaan (rumusan petitum) yang “berlebihan” dalam surat gugatan, dapat menjadi bumerang bagi posisi hukum pihak Penggugat itu sendiri, ada atau tidaknya pencantuman format baku surat gugatan “ex aequo et bono” demikian.
Rekomendasi dari SHIETRA & PARTNERS : Disini, kita perlu mempertimbangkan psikologi mendasar dari seorang hakim pemutus perkara. Rancang rumusan / substansi petitum cukup secara ramping, ringkas, namun padat—tidak “berlebihan”, dengan demikian hakim pun tidak akan “sungkan” untuk mengabulkan permintaan yang rasional dan “masuk akal” untuk dikabulkan. Pahami bahaya dibalik merumuskan petitum yang “berlebihan”, karena dapat menjelma “nila setitik rusa susu sebelanga”. Gugatan, bukanlah suatu sarana “aji mumpung”. Semakin rasional rumusan sebuah gugatan dan pokok permintaannya, semakin besar peluang dikabulkan oleh Majelis Hakim Pengadilan.
PEMBAHASAN:
Untuk memudahkan pemahaman, untuk itu SHIETRA & PARTNERS dapat mengilustrasikannya secara konkret lewat putusan Mahkamah Agung RI sengketa perdata register Nomor 1172 K/PDT/2017 tanggal 10 Juli 2017, perkara antara:
- WIJAYANTO, sebagai Pemohon Kasasi, semula selaku Penggugat; melawan
1. PT. SARANA SURAKARTA VENTURA; KEUANGAN RI cq. Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Surakarta; 3. BADAN PERTANAHAN NASIONAL KABUPATEN SRAGEN; selaku Para Termohon Kasasi, semula sebagai Para Tergugat I, II, dan Turut Tergugat.
Gugatan yang diajukan Penggugat ialah perihal sengketa kredit dengan agunan yang berujung pada “gagal-bayar” (wanprestasi) dan rencana akan dilelang-eksekusinya agunan milik sang debitor, yang merasa keberatan terhadap upaya lelang-eksekusi yang terjadi, kemudian mengajukan gugatan kepada kreditornya.
Kronologi dalam surat gugatan tampak meyakinkan, bertumpu pada dalil hak-hak debitor sebagai juga seorang konsumen, memang tampak terjadi perbuatan melawan hukum oleh pihak Tergugat yang merupakan kreditor dari Penggugat. Namun, “duri dalam daging” justru dibuat sendiri oleh pihak Penggugat, ketika merumuskan petitum dengan substansi sebagai berikut:
I. Primair:
1. Menerima dan mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menerima dan mengabulkan permohonan penangguhan lelang berikutnya yang dilaksanakan di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Surakarta maupun pada instansi yang terkait menurut hukum.
3. Menyatakan Tergugat I adalah perbuatan melawan hukum;
4. Menyatakan para pihak (Para Tergugat) wajib mematuhi dan menghormati proses hukum yang sedang berkaplingan guna mendapatkan ketetapan hukum tetap demi keadilan dan kepastian hukum;
5. Menyatakan sah dan berharga Sita Jaminan (Conservation Beslag) atas tanah sengketa/obyek sengketa yaitu sebagaimana Sertifikat Hak Milik Nomor 4249, luas 213 m2 atas nama Wijayanto di Desa Pelemgadung, Kecamatan Karangmalang, Kabupaten Sragen. Dengan batas-batas : ...;
6. Menyatakan menurut hukum Surat Perjanjian Kredit yang telah ditandatangani oleh Penggugat tidak dihadapkan Notaris adalah cacat hukum dan tidak sah menurut hukum serta tidak berkekuatan hukum untuk berlaku;
7. Menghukum Para Tergugat terhadap kegiatan yang dilakukan Tergugat I terhadap Penggugat adalah cacat hukum sehingga batal demi hukum;
8. Menyatakan menurut hukum dan menghukum Tergugat I melanggar ketentuan Pasal 18 ayat 1 huruf (d), (h) dan ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 adalah batal demi hukum, dengan sanksi Pasal 62 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah);
9. Menghukum Para Tergugat terhadap kegiatan yang dilakukan Tergugat I terhadap Penggugat adalah cacat hukum sehingga batal demi hukum;
10.Menghukum Para Tergugat atau siapapun juga yang memperoleh hak darinya untuk menyerahkan tanah sengketa / obyek sengketa kepada Penggugat untuk dibalik nama menjadi atas nama Penggugat, yaitu Sertifikat Hak Milik Nomor 4249, luas 213 m2 atas nama Wijayanto di Desa Pelemgadung, Kecamatan Karangmalang, Kabupaten Sragen. Dengan batas-batas : ...;
11.Menghukum kepada Para Tergugat untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam perkara ini;
12.Menghukum Para Tergugat tunduk pada putusan ini;
II. Subsidair : Apabila yang terhormat Ketua Pengadilan Negeri Sragen berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya menurut hukum dan keadilan (Ex aequo et bono).”
Terhadap rumusan pokok permintaan dalam surat gugatan seperti demikian, menjadi kontradiktif bagi kepentingan pihak Penggugat itu sendiri, terbukti dari terbitnya putusan Pengadilan Negeri Sragen Nomor 55/Pdt.G/2015/PN.Sgn, tanggal 31 Maret 2016, dengan amar sebagai berikut:
“MENGADILI :
Dalam Eksepsi:
- Mengabulkan Eksepsi Tergugat I;
Dalam Pokok Perkara:
- Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima.”
Dalam tingkat banding atas permohonan Penggugat, putusan Pengadilan Negeri di atas kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jawa Tengah lewat Putusan Nomor 307/PDT/2016/PT SMG, tanggal 8 September 2016.
Pihak Penggugat masih bersikukuh mengajukan upaya hukum kasasi alih-alih mengajukan “gugatan baru ulangan”, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan yang sudah dapat diterka hasilnya, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah memeriksa secara saksama memori kasasi tanggal 9 November 2016 dan jawaban memori kasasi tanggal 28 dan 29 November 2016 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti dalam hal ini Pengadilan Negeri Sragen dan Pengadilan Tinggi Semarang tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa terdapat kontradiksi antara dalil posita dan petitum gugatan, yang dalam posita Penggugat mendalilkan Tergugat melanggar Pasal 18 ayat (3) dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sedangkan dalam Petitum Penggugat meminta agar Tergugat I dinyatakan melanggar ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf d, h dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dengan sanksi berupa ancaman pidana penjara atau pidana denda sehingga gugatan yang demikian adalah kabur karena mencampuradukkan perkara perdata dan sanksi berupa pidana;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, ternyata putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi WIJAYANTO tersebut harus ditolak;
“M E N G A D I L I :
1. Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi WIJAYANTO tersebut;
2. Menghukum Pemohon Kasasi / Penggugat / Pembanding untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sejumlah Rp500.000,00.”
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.