Pesan dari Wabah Pandemik, Ketika Superhero saatnya Gantung Sarung Tinjunya dan Pensiun

ARTIKEL HUKUM
Ketika wabah pandemik virus menular mematikan tercatat menginfeksi dunia global terutama “menginvasi” rakyat Amerika Serikat, tampaknya kita patut “tersenyum getir”. Betapa tidak, selama ini Hollywood gemar meraup keuntungan besar dengan mengimpor jagoan pahlawan super mereka yang ditampilkan pada layar kaca demikian spektakuler, ternyata populer dan digemari masyarakat mancanegara di luar Amerika Serikat sekalipun. Namun, saat pandemik tidak terbendung dan kian menjadi mimpi buruk di negara tersebut, kita patut bertanya, ke manakah Superman, Batman, Captain Amerika, Iron Man, Spiderman, Wonderwomen, atau mungkin juga Harry Potter sang penyihir di Inggris yang tidak kalah gencarnya pandemik menghantui warga mereka? Jika memang 'jagoan', mengapa kini bersembunyi saat benar-benar dibutuhkan masyarakat dan para penggemarnya?
Amerika Serikat, negara adidaya, dengan kekuatan pasukan tempur maupun pesawat supersonik dan tank-tank yang dipersenjatai dengan rudal-rudal balistik, machine-gun pelontar peluru yang mematikan, penembak jitu dengan perangkat tembak tercanggih serta terbaru yang mampu membunuh dalam senyap, begitupula teknologi perang miliknya yang demikian dibangga-banggakan, yang konon menjadi pelopor kemajuan dunia medik, ternyata kesemua “keangkuhan” dan arogansi senjata pembunuh miliknya sama sekali tidak berdaya menghadapi Virus Corona Tipe-2 yang demikian “mini” dan kecil tidak kasat-mata.
Sebenarnya sama halnya, membunuh seorang teroris tidak semudah menumpas ideologi radikalisme yang bersarang di otak umat manusia layaknya virus yang menggerogoti umat manusia. Segala senjata militer milik Amerika Serikat yang sangat mereka “mulia dan agung-agungkan”, semata adalah alat-alat perusak dan penghancur, bukan alat-alat penyembuh untuk menolong yang paling sesungguhnya layaknya obat ataupun vaksin. Kini, masih bisakah masyarakat Amerika Serikat membangga-banggakan kapal perangnya yang mampu mengangkut satu batalyon pasukan tempur, belasan pesawat tempur, maupun pasukan amphibi-nya yang konon mampu menaklukkan segala medan perang? Ternyata tidaklah telah terbukti, kemajuan militer dalam pengembangan alat pembunuh milik Amerika Serikat yang kian canggih dan mematikan membawa manfaat bagi memerangi penyakit seperti virus menular mematikan.
Ada yang bernama “musuh-musuh tidak terlihat”, alias tidak kasat-mata, dan itulah yang tidak dapat kita perangi dengan perangkat perang ala militer khas Amerika Serikat. Wabah seperti pandemik virus menular mematikan, merupakan salah satu contoh “musuh yang tidak kasat-mata”. Namun, terdapat jenis virus lain yang tidak kalah berbahaya karena juga sama-sama tidak kasat-mata, yakni apa yang disebut sebagai kekotoran batin umat manusia, yang membuat manusia menjadi memiliki mental dan pikiran layaknya seorang penjahat, alias “virus kejahatan” itu sendiri.
Tidak terkecuali sebuah ideologi, yang dapat menular dari satu orang terjangkit ke orang-orang terjangkit lainnya—sebagaimana disebutkan pepatah, sifat-sifat baik sukar menular sehingga perlu di-didik serta mendidik diri lewat disiplin diri, namun sifat-sifat buruk mudah menular, terutama dalam lingkungan pergaulan. Pendidikan formal bukanlah vaksin untuk mengatasi “virus kejahatan”, karena tidak sedikit kita jumpai para pelaku kejahatan yang ternyata berpendidikan tinggi, dimana lebih tepatnya dapat kita sebutkan bahwa semakin cerdas dan semakin pandai dirinya ternyata semakin “tidak terkontrol”, kian memiliki “modus yang canggih”, kian “tidak beretika”, serta semakin “dibutakan oleh keserakahan”.
Sebenarnya apa yang kita lawan dengan cara-cara militeristik, hanya ibarat menghadapi zombie-zombie yang mana tubuh dan pikirannya telah “ter-bajak” oleh virus-virus bernama kebodohan, kekotoran batin, keserakahan, kejahatan, dan keburukan itu sendiri. Senjata-senjata militer demikian, tidak akan pernah dapat mengatasi sang virus, namun hanya mematikan dan merubuhkan tubuh sang inang—sementara virus-virus tersebut dapat menyebar dan kian menulari banyak orang di tengah-tengah masyarakat kita.
Pernah penulis kemukakan pendapat pada suatu forum yang diselenggarakan oleh suatu Lembaga Swadaya Masyarakat kita yang mengaku-ngaku sebagai Organisasi Massa pengusung dan pembela hak asasi manusia, bahwa kita selama ini telah salah menetapkan target musuh dan lawan utama kita, bukan rezim yang berkuasa, namun adalah “penyakit kebodohan” serta “virus keserakahan” segenap rakyat kita sendiri—mungkin pada saat kini hendak penulis tambahkan, yakni juga kita mulai patut memerangi virus-virus yang lebih laten, seperti “tidak malu berbuat jahat” maupun “tidak takut berbuat kejahatan”.
Ketika satu virus yang cara kerjanya menyerupai ideologi dari satu otak manusia ke otak-otak manusia lainnya, menyebar dan menggurita tanpa ditangani secara pendekatan yang tepat sasaran, maka kita tidak akan pernah berhasil untuk menghentikan dan mengendalikan penyebaran virus-virus terlebih ideologi-ideologi jahat. Terbukti, berbagai penjara kita tidak pernah kosong, selalu penuh sesak oleh narapidana, namun bangsa kita tidak pernah jera untuk berbuat kejahatan sehingga otoritas Lembaga Pemasyarakatan kita kerap melakukan kebijakan “obral remisi” dilandasi keterpaksaan alasan praktis saja bahwa kapasitas penjara kita (selalu) telah “over capacity” dari narapidana penghuninya.
Hukuman mati tidak ditakutkan bagi pelaku kejahatan, terlebih hanya sebuah hukuman seperti dijebloskan ke balik jeruji sel penjara? Ideologi jahat, layaknya virus, tidak pernah takut pada moncong laras senjata api mana pun. Ia dapat menular semudah menularnya wabah virus menular lewat medium udara atau medium-medium lainnya. Disini, kita sejatinya sedang “berperang” dalam tataran yang berbeda dengan tataran berperang secara senjata kemiliteran. Secanggih apapun senjata pemusnah massal dirancang oleh para petinggi militer di Amerika Serikat, kini dapat kita lihat sendiri hasilnya, rakyat Amerika Serikat sendiri yang kini bertumbangan satu per satu akibat wabah pandemik virus menular mematikan.
Musuh yang terlihat dan kasat-mata, dapat semudah kita perangi dengan ancaman timah panas yang siap disarangkan ke anggota tubuh atau seketika pada kepala dan tempurung tengkorak sang target. Semudah menarik pelatuk, maka tumbang sudah satu orang manusia. Namun ketika kita menghadapi akar kejahatan, seperti kebodohan, kekotoran batin, keserakahan, hingga ideologi radikal, yang kita hadapi sejatinya ialah “virus-virus tidak kasat-mata”—bukan hanya tiada jaminan akan berhasil ditumpas dengan ancaman kekerasan fisik hingga pembunuhan dengan senjata api, namun bisa jadi “mati satu (justru) tumbuh seribu”.
Telah berabad-abad lamanya, kepolisian dan militer dibentuk, namun tidak pernah usai dan tidak kunjung selesai memberantas kejahatan ataupun penjajahan atas sesama manusia (mission impossible)—karena akar kejahatannya tidak pernah dapat disentuh lewat ancaman senjata tajam ataupun moncong senjata api, terlebih granat ataupun rudal peledak. Telah berapa dekade Komisi Pemberantasan Korupsi kita dibentuk dan beroperasi menangkap para koruptor yang seolah tidak pernah kunjung usai bermunculan untuk ditangkap dan mendekam di penjara—seolah-olah antara penegak hukum dan koruptor saling berkejar-kejaran, tertangkap satu koruptor (maka) muncul koruptor baru lainnya untuk saling menyusul.
Yang mereka semua perangi, ialah hanya sekadar “bentuk luar”, bukan “bentuk dalam” yang inheren dan instrinsik sifatnya. Sejatinya, kita tidak pernah membutuhkan sosok-sosok superhero, jagoan, atau pahlawan seperti Batman, Superman, Spiderman, atau sosok-sosok fiksi semacam itu, bahkan bilamana nyata sekalipun, karena akar kejahatan terus menyebar dari satu populasi manusia ke populasi manusia lainnya layaknya cara menyebarnya virus menular. Layaknya ideologi, “virus” satu ini menyebar melalui tataran alam pikiran orang-orang yang terjangkit, entah mereka sadari ataupun tidak. Selama akar kejahatan masih biarkan merajalela, dengan memberi ruang kompromi terhadapnya untuk berkembang-biak, maka selama itu pula kejahatan dan penjahat akan terus bermunculan bak cendawan di musim penghujan.
Selama cara-cara kita masih menerapkan / mengadopsi langkah pendekatan layaknya gaya militeristik yang “pongah”, tanpa mau untuk mulai menyadari bahwa kejahatan maupun ideologi dapat menular dari satu individu ke individu lainnya layaknya cara kerja virus menular yang tidak kalah mematikannya, maka selamanya kita ibarat hanya “mengobati” gejala, tanpa pernah menyentuh sumber terlebih akar penyebabnya.
Ketika kita melupakan bahwa kejahatan dan ideologi jahat sejatinya ialah “bersarang” dalam tataran alam pikiran seseorang, kita menjadi mulai mafhum, bahwa tidak tertutup kemungkinan para aparatur penegak hukum kita itu sendiri telah terjangkit dan terpapar sang “virus kejahatan”, layaknya dokter di instalasi medik tidak jarang luput terpapar dan tertular virus menular dari para pasiennya—secara mereka sadari ataupun tidak mereka sadari, dan mulai menjadi “carrier” alias agen-agen penyebar kejahatan itu sendiri.
Sebagaimana pernah disebutkan oleh pepatah, sungguh malang suatu negara yang membutuhkan pahlawan. Begitu produktifnya jagoan-jagoan superhero diproduksi oleh Amerika Serikat, sebagai cerminan dan (mungkin) pengakuan mereka betapa kejahatan demikian merajalela di negeri mereka, sehingga dibutuhkan jagoan-jagoan untuk mengatasinya. Namun, penulis berani bertaruh dan menjamin, sampai sang Batman, Superman, hingga Spiderman pensiun sekalipun, selama akar-akar kejahatan tidak pernah disentuh untuk diatasi, maka selama itu pula selamanya Amerika Serikat dibelenggu oleh kejahatan dan diwarnai oleh ragam para penjahat yang “need a superhero”.
Sama seperti bila memang rakyat Indonesia tidak “korup”, maka menjadi pertanyaan besar bagi penulis : untuk apa pula Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk? Dahulu kala, disebutkan dalam latar belakang pertimbangan dibentuknya KPK, konon, hanya didirikan untuk tempo waktu sementara saja, sampai korupsi di Indonesia menyurut. Namun, terbukti, KPK didirikan untuk tugas yang “mission impossible” dituntaskan selamanya. Sungguh malang, suatu negara yang membutuhkan lembaga-lembaga “pahlawan” semacam Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Badan Pengawas Obat dan Makanan, dan lembaga-lembaga pengawas serta penegak hukum lainnya.
Orang tua yang baik, akan mendidik etika dan moralitas bagi putera-puterinya, sehingga kelak tidak tumbuh sebagai “sampah masyarakat”, terlebih sebagai “penyakit masyarakat”—maka artinya kita sebagai orangtua telah menjadi pahlawan bagi komunitas dan negara kita. Ketika para guru lewat teladan nyata yang mulia dan berwatak sejati, maka dirinya sejatinya sedang menghasilkan murid-murid yang otentik, berkarakter, dan menjadi aset negara yang berharga. Ketika pemimpin dan para pejabat negara tidak hanya menyibukkan diri untuk kepentingan pribadi ala ego sektoral, benar-benar memberikan pengayoman dan keadilan, maka rakyat akan meniru patronase sang pejabat negara. Ketika aparat penegak hukum benar-benar sebagai penegak hukum, bukan sebagai agen kejahatan itu sendiri, maka tiada lagi penjahat yang dilestarikan. Itulah, metode “lockdown” sosial untuk memutus mata rantai penyebaran “virus kejahatan”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.