Permintaan yang Terlampau BERLEBIHAN, Lempar Batu Hendak Sembunyi Tangan?

ARTIKEL HUKUM
Buruk wajah, jangan cermin dibelah, demikian pepatah sejak lama mengingatkan kita. Karena itu jugalah, jangan pernah mencoba-coba berbuat kejahatan, sebab apa yang telah menjadi sejarah, maka sekali menorehkan sejarah kejahatan maka selamanya itu menjadi bagian dari rekaman sejarah dan bagian dari fakta kebenaran itu sendiri yang tidak lagi dapat dihapuskan. Reputasi menjadi penting, dan jangan salahkan calon pemberi kerja bila mensyaratkan surat keterangan semacam “Surat Keterangan Catatan Kepolisian” maupun melacak rekam-jejak para pelamar karena kita tentunya tidak berminat untuk menerima kerja ataupun bekerja sama dengan para kriminil maupun perusahaan yang pernah mendapat vonis bersalah sebagai Terpidana—alias tidak “beli kucing dalam karung”, sebagaimana telah lazim dilakukan dalam suatu “legal due dilligence” kalangan pengusaha manapun sebelum menjalin suatu kerja sama.
Baru-baru ini penulis mendapat surat resmi dari kantor hukum di Surakarta bernama RICKY BUDHI HARTONO S.H., M.H. & PARTNERS, yang mengaku sebagai kuasa hukum dari kliennya yang bernama IRAWAN CHANDRA SUMAMPAUW, terkait CV. BIMA POLYPLAST, mencoba meminta penulis untuk menghapus website yang penulis kelola dan asuh, seolah-olah penulis tidak memiliki hak untuk melakukan eksaminasi terhadap putusan pengadilan yang merupakan “dokumen milik publik”, terutama terhadap artikel hukum ulasan penulis yang menyangkut fakta-fakta hukum perihal sang klien dari RICKY BUDHI HARTONO S.H., M.H. & PARTNERS. Sungguh suatu permintaan yang terlampau “berlebihan” serta “naif” untuk dapat dikabulkan. Mereka pikir siapa diri mereka, sehingga merasa berhak dan berani untuk tawar-menawar dengan penulis, bahkan menuduh penulis telah mencoreng reputasi sang pengusaha yang oleh pengadilan telah terbukti secara sah dan meyakinkan sebagai pemilik perusahaan yang MENCURI LISTRIK HINGGA MENCAPAI NILAI MILIARAN RUPIAH (putusan pengadilan tidak diajukan upaya hukum Banding, artinya disetujui dan diakui oleh yang bersangkutan)? Mereka hanyalah seorang KORUPTOR PEMILIK USAHA PENCURIAN LISTRIK MILIK NEGARA dan seorang PENGACARA KORUPTOR. Itukah yang layak dan patut disebut sebagai pengusaha (pemilik usaha) yang jujur dan bersih? Sungguh permintaan yang melanggar KESUSILAAN maupun KEPATUTAN, bila seorang koruptor hendak tampil atau menuntut agar di-citra-kan bak malaikat yang suci bersih (pengusaha MUNAFIK yang hendak CUCI TANGAN).
Bila semua penjahat menuntut hal yang sama, maupun mereka yang secara serampangan mengajukan gugatan perdata seolah tiada memiliki konsekuensi “membuka aib sendiri”, berspekulasi dengan upaya hukum, lantas menuntut hal serupa untuk dihapus dari catatan sejarah ataupun ulasan hukum oleh media peliput, sama artinya sang pengacara RICKY BUDHI HARTONO S.H., M.H. & PARTNERS hendak menuntut penulis untuk menutup permanen website ini maupun menutup permanen (baca : brendel) website publikasi putusan pada official website Mahkamah Agung RI, disamping menutup seluruh media cetak maupun media online yang diasuh kalangan media peliput dan pers, disamping larangan terhadap kalangan akademisi maupun mahasiswa yang menyusun karya tulis ilmiah hukum dari sumber studi kasus untuk ditelaah dan dipublikasikan kepada publik.
RICKY BUDHI HARTONO S.H., M.H. & PARTNERS mengklaim dan mengeluhkan pada penulis bahwa publikasi hukum yang penulis asuh dalam website ini telah merugikan sang klien yang bernama IRAWAN CHANDRA SUMAMPAUW, terkait CV. BIMA POLYPLAST, dengan kutipan keluhan sebagai berikut: “... ternyata hal tersebut berdampak kerugian kepada klien kami, karena oleh orang awam, termasuk mitra bisnis Klien Kami beranggapan bahwa klien Kami terlibat dalam tindak pidana tersebut diatas sehingga merusak kredibilitas Klien Kami dihadapan mitra-mitra bisnisnya yang berdampak pula terhadap merosotnya kepercayaan kepada klien Kami sebagai seorang pengusaha...
Baru menjadi mengherankan, ketika RICKY BUDHI HARTONO S.H., M.H. & PARTNERS alih-alih menyalahkan website dan publikasi Mahkamah Agung RI yang juga mempublikasi putusan terkait IRAWAN CHANDRA SUMAMPAUW dan CV. BIMA POLYPLAST, dirinya maupun klien-nya justru menyalahkan dan menunjuk ke hidung “penulis” sebagai “aktor kejahatan” untuk “dikambing-hitamkan” terhadap tidak kredibelnya diri bersangkutan—suatu tuduhan yang “salah alamat”, karena sumber data putusan yang penulis himpun dan sajikan kepada publik bersumber dari website remi Mahkamah Agung RI itu sendiri, yang mana sayangnya secara parsial RICKY BUDHI HARTONO S.H., M.H. & PARTNERS hanya menunjuk “hidung” penulis sebagai pelakunya—yang tentunya secara implisit melecehkan harkat dan martabat profesi penulis, yang sebagai konsekuensinya penulsi tafsirkan sebagai tantangan terbuka bagi penulis untuk melakukan pertarungan hukum terhadap yang bersangkutan beserta klien-nya.
Menjadi mengherankan, ketika RICKY BUDHI HARTONO S.H., M.H. & PARTNERS membuat kalimat blunder-akrobatik berikut dalam surat resminya kepada penulis : “...tanpa bermaksud menyalahkan isi serta amar putusan pengadilan tersebut, ...”. Lantas, atas dasar apa dirinya justru hendak menyalahkan pihak penulis yang hanya sekadar mengutip isi putusan yang dibentuk oleh Majelis Hakim dalam pertimbangan hukum yang dibaca pada persidangan yang terbuka untuk umum, selayaknya kalangan profesional wartawan yang sekadar meliput dan menuangkannya dalam bentuk media tertulis, dengan kutipan substansi putusan Pengadilan Negeri Sukoharjo register Nomor 222/Pid.Sus/2015/PN.Skh tanggal 08 Juni 2016, dimana yang menjadi Para Terdakwa ialah CV. BIMA POLYPLAST (Terdakwa I) bersama IRAWAN ANDRY SUMAMPAUW (Terdakwa II) dengan pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan sebagai berikut:
“Menimbang bahwa berdasarkan Fakta Hukum yang terungkap di perisidangan bahwa terungkapnya dugaan bahwa CV. BIMA POLYPLAST II (Pabrik II) telah menggunakan daya tenaga listrik secara tanpa hak dan melawan hukum adalah dengan rangkaian kejadian sebagai berikut:
1. Bahwa awal mulanya pada bulan Maret 2013 Saksi SULI ANDRIYANI, Saksi EDI KARSONO, Saksi AGUS BUDIASTO dan Saksi UMAR KHANDAM yang tergabung dalam Tim Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik (P2TL) atas perintah Saksi PURWADI selaku Manager PT PLN (Persero) Area Surakarta dengan didampingi petugas Kepolisian dari Polsek Grogol telah melakukan Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik (P2TL) di CV. BIMA POLYPLAST I (Pabrik I) yang dimiliki oleh sdr. IRAWAN CHANDRA SUMAMPAUW yang berlokasi di Arak-arak pinggir Kecamatan Grogol Kabupaten Sukoharjo, sebagaimana tercantum dalam Berita Acara Hasil Temuan Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik (P2TL) Nomor 000616 tanggal 20 Maret 2013 bahwa yaitu pada sambungan listrik dengan ID Pelanggan Nomor ... An. Irawan Handy Sumampauw dengan hasil temuan:
2. Bahwa CV BIMA POLYPLAST I (Pabrik I) yang dibawah manajemen yang dipimpin oleh IRAWAN CHANDRA SUMAMPAUW (yang merupakan Kakak Terdakwa) yang berlokasi di Arak-arak pinggir Kecamatan Grogol Kabupaten Sukoharjodengan ID Pelanggan Nomor ... An. IRAWAN HANDY SUMAMPAUW telah menyelesaikan pembayaran Tagihan Susulan sebesar Rp. 3.200.000.000,00 maka hasil temuan team P2TL telah ditindak lanjuti dan selesai untuk Pabrik I tanpa perlu menggunakan proses hukum;
M E N G A D I L I :
1. Menyatakan Terdakwa I. CV BIMA POLYPLAST II dan Terdakwa Pengurus IRAWAN ANDRY SUMAMPAUW masing-masing telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “MENGGUNAKAN TENAGA LISTRIK YANG BUKAN HAKNYA SECARA MELAWAN HUKUM”;
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa I. CV BIMA POLYPLAST II berupa denda sebesar Rp. 1.114.130.088 (satu milliar seratus empat belas juta seratus tiga puluh ribu delapan puluh delapan rupiah), dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar dalam waktu 1 (satu) tahun maka memerintahkan kepada PT. PLN (Persero) Area Surakarta untuk melakukan pemutusan sambungan arus listrik ke CV. BIMA POLYPLAST II;
3. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Pengurus IRAWAN ANDRY SUMAMPAUW dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan.”
Publikasi pada website penulis telah mencantumkan secara imparsial, namun secara utuh menyertakan pula keterangan bahwa “CV BIMA POLYPLAST I (Pabrik I) yang dibawah manajemen yang dipimpin oleh IRAWAN CHANDRA SUMAMPAUW (yang merupakan Kakak Terdakwa) yang berlokasi di Arak-arak pinggir Kecamatan Grogol Kabupaten Sukoharjodengan ID Pelanggan Nomor ... An. IRAWAN HANDY SUMAMPAUW telah menyelesaikan pembayaran Tagihan Susulan sebesar Rp. 3.200.000.000,00 maka hasil temuan team P2TL telah ditindak lanjuti dan selesai untuk Pabrik I tanpa perlu menggunakan proses hukum”, sehingga menjadi mengherankan ketika yang bersangkutan masih juga mempermasalahkan dan menuntut hal yang menurut penulis terlampau “berlebihan”. Namun, fakta hukumnya tetap saja, apapun dalil dari yang bersangkutan, CV. BIMA POLYPLAST terbukti merupakan kriminil dimana pemilik badan usaha kriminal pencurian listrik yang merugikan negara senilai miliaran rupiah tersebut dimiliki oleh IRAWAN CHANDRA SUMAMPAUW.
Sebagai contoh lainnya, ketika kita mengetikkan nama “IRAWAN CHANDRA SUMAMPAUW” maupun “CV. BIMA POLYPLAST” pada mesin pencarian di browser website internet maupun pada website Mahkamah Agung RI, maka kita akan menemukan website resmi Mahkamah Agung RI berisi informasi hukum yang tidak berbeda dengan ulasan penulis dalam website ini, sehingga menjadi aneh bila secara parsial pihak RICKY BUDHI HARTONO S.H., M.H. & PARTNERS maupun kliennya IRAWAN CHANDRA SUMAMPAUW, menunjuk “hidung” kami sebagai satu-satunya pihak yang paling bertanggung-jawab atas apa yang terjadi pada pihak IRAWAN CHANDRA SUMAMPAUW. Buruk wajah, atau karena memang tidak mampu berbisnis secara layak dan memadai, tidak etis bila yang bersangkutan hendak “membelah cermin” serta “mengkambing-hitamkan”.
Dalam akhir surat resminya, RICKY BUDHI HARTONO S.H., M.H. & PARTNERS meminta agar artikel yang penulis publikasikan berjudul “Tindak Pidana Korporasi, Perusahaan & Pengurus Dihukum secara Kolektif” yang isinya tercantum nama Klien bersangkutan, meski sejatinya penulis hanya sekadar MENGUTIP ISI AMAR PUTUSAN SEBAGAIMANA DIBACAKAN HAKIM SEBAGAI PERTIMBANGAN HUKUMNYA DI PENGADILAN, karena dinilai yang bersangkutan merugikan kepentingan klien-nya. Mengapa tidak sekalian saja, meminta penulis untuk menghapus seluruh isi website profesi penulis ini, agar tidak mendiskriminasi pihak-pihak lain yang juga disebut-sebut namanya dalam putusan pengadilan sebagaimana juga dipublikasikan dalam website resmi Mahkamah Agung RI?
Praktis, terhadap permintaan yang terlampau berlebihan dari RICKY BUDHI HARTONO S.H., M.H. & PARTNERS yang mengatasnamakan kepentingan kliennya, IRAWAN CHANDRA SUMAMPAUW, penulis seketika tanggapi bahwa permintaannya “SALAH ALAMAT”, karena semestinya keluhan dan komplain dialamatkan kepada para Terdakwa yang telah terbukti bersalah sebagai “causa prima”-nya, serta sumber data yang penulis himpun dan peroleh dari putusan yang dipublikasikan dari website resmi Mahkamah Agung RI, bukan justru “mengkambing-hitamkan” pihak penulis.
Putusan pengadilan, merupakan Akta Otentik, dimana sifat putusan pengadilan ialah sebagai dokumen milik publik yang wajib dibuka bagi umum sebagaimana amanat Undang-Undang Keterbukaan Informasi, dimana juga sifatnya ialah “erga omnes”, yang mana dibacakan pada sidang yang terbuka bagi umum sehingga dapat diakses secara umum, tidak terkecuali untuk diliput dan diwarta-beritakan, sehingga menjadi tidak wajar bila penulis masih harus memberikan kuliah pada sang pengacara mengenai sifat “erga omnes” sebuah putusan pengadilan dan perihal apa itu makna “erga omnes”.
Semestinya sang pengacara memberi edukasi kepada kliennya, bahwa TERDAPAT PERBEDAAN ANTARA MENCEMARKAN NAMA BAIK DAN MENCEMARKAN NAMA SENDIRI. Nama yang sudah rusak dari sejak awal, apanya lagi yang hendak dicemarkan oleh pihak lain? Sejarah tetaplah sejarah. Salah siapakah, bila klien dari sang pengacara masuk kembali menjadi pengurus suatu badan usaha yang pernah divonis bersalah sebagai narapidana? Tiada satupun publikasi pada website yang penulis asuh ini, yang menyatakan bahwa “IRAWAN CHANDRA SUMAMPAUW adalah seorang Terdakwa ataupun narapidana”. Lantas, dimanakah letak keberatan dari yang bersangkutan? Apakah membuka fakta, adalah pencemaran nama baik—Jika memang demikian, lantas siapakah yang sejatinya sedang mencemarkan, dan siapa mencemarkan nama siapa?
Sebagai penutup jawaban, penulis mengajukan TANTANGAN BALIK kepada sang pengacara dari IRAWAN CHANDRA SUMAMPAUW, RICKY BUDHI HARTONO S.H., M.H. & PARTNERS, untuk mengajukan gugatan perdata ataupun tuntutan pidana terhadap penulis. Permintaan yang bersangkutan dapat menjadi preseden buruk bila dikabulkan, karena memang tidak sedikit pihak-pihak yang mencoba meminta hal yang sama kepada penulis—sekalipun mereka menang dalam gugatan, semisal kalangan pekerja / buruh yang memenangkan gugatan terhadap perusahaan tempatnya dahulu bekerja, sekalipun menang gugatan namun kemudian mereka mendapati diri mereka sukar mendapat pekerjaan baru, semata karena telah “membuka aib sendiri” kepada publik dan kepada calon pemberi kerja lainnya, dimana juga tentunya atas kontribusi sang pengacara yang tidak pernah memberi edukasi pada kliennya sendiri tentang resiko demikian.
Sebagaimana kita ketahui, segala sesuatu ada konsekuensinya. Anda mewakili klien menggugat, sejatinya ANDA SEDANG MERUSAK NAMA KLIEN ANDA SENDIRI. Betul, itu bukan urusan Anda selama Anda menerima fee maupun success fee pengacara. Berani berbuat, menjadi sejarah, maka Anda harus berani bertanggung jawab. Dengan demikian, RICKY BUDHI HARTONO S.H., M.H. & PARTNERS telah menerapkan “standar berganda”, dimana dirinya sebagai pengacara mewakili kliennya mengajukan gugatan, yang sejatinya sedang “membuka aib sendiri” milik sang klien. Lantas, kini, dirinya menuntut pihak lain untuk “menutupi aib sang klien”. Itulah yang penulis sebut sebagai permintaan dengan “standar ganda”—suatu wajah yang saling kontradiktif yang selalu dimainkan sesuai kepentingan sang kalangan pengacara kita di Tanah Air, yang tentunya tidak dapat kita benarkan praktik-praktik “standar berganda” demikian.

Sang “pengacara koruptor”, RICKY BUDHI HARTONO S.H., M.H. & PARTNERS, kembali mengganggu penulis dengan permintaannya yang kekanakan dan diluar kesusilaan ataupun kepatutan sekalipun berulang-kali telah penulis tolak permintaannya yang melanggar kesusilaan demikian,  mengemis-ngemis agar penulis : “...memBLOCK nama klien kami IRAWAN CHANDRA SUMAMPOUW pada artikel pada situs yang Bapak tayangkan (dengan tidak perlu menurunkan unggahan), mengingat salah satu tujuan hukum adalah KEMANFAATAN.”
Terpaksa penulis membuat pesan balasan sebagai berikut : “Kepada yang tidak patut dihormati, Saudara Ricky Hartono, pengacara KORUPTOR PENCURI LISTRIK YANG MERUGIKAN UANG NEGARA DAN RAKYAT. Tujuan hukum kemanfaatan, betul. Namun bagi SIAPA? Anda itu bajingan rupanya ya, saudara Ricky Budie Hartono. Masih juga mengganggu waktu saya untuk SAMPAH klien anda yang KORUPTOR ITU! Masih untung saya tidak menulis nama klien anda sebagai KORUPTOR YANG MERUGIKAN UANG RAKYAT. Jika saya tidak mau tutupi BOROK klien anda, anda mau apa? SAYA TANTANG ANDA, PENGACARA TIDAK PUNYA ETIKA, MUSUH RAKYAT, PEMBELA KORUPTOR! Menurut anda, menjadi pengacara koruptor macam klien anda itu, turut masuk neraka atau masuk surga bersama klien anda? Saya menjadi pembela pihak RAKYAT yang hak-haknya dirampas oleh klien anda. Jika PLN klien anda tidak diinvestigasi, bisa jadi klien anda sekarang MENIKMATI MILIARAN RUPIAH UANG RAKYAT. Sebenarnya, klien anda kena UU Tipikor jika jaksa menerapkan UU Tipikor. Sebagai pemilik CV, klien anda tentu menikmati keuntungan dari perbuatan ilegal KORUPSI demikian. Karena anda terus kurang hajar terhadap saya, membuat permintaan konyol hendak MENUTUPI BOROK KORUPTOR BUSUK YANG LEBIH BUSUK DARI TIKUS GOT, SEMATA KARENA ANDA DIBAYAR FEE DARI UANG KOTOR HASIL KORUPSI, berikut saya ungkap semua FAKTA ini ke website saya. Silahkan anda nikmati hasilnya, dan jika anda menantang lagi, akan saya buka lebih banyak lagi fakta tentang klien anda, termasuk anda, karena anda mati-matian membela KORUPTOR! https://www.hukum-hukum.com/2020/07/permintaan-yang-terlampau-berlebihan.html. Kini, saya menantang bukan hanya klien anda yang kurang hajar ini, namun juga ANDA! YOU ASKED FOR IT.”
Berhubung “pengacara koruptor”, RICKY BUDHI HARTONO S.H., M.H. & PARTNERS, terus saja mengganggu waktu penulis untuk permintaannya yang melanggar kesusilaan maupun kepatutan sekalipun penulis telah mengingatkan dirinya bahwa penulis dapat saja membuat artikel tambahan ini bila tetap diganggu oleh permintaan KONYOL demikian, berikut penulis ungkap kepada publik apa yang sebenarnya terjadi secara yuridis formil. Fakta hukumnya, CV. BIMA POLYPLAST terbukti merupakan badan usaha kriminil dimana pemilik badan usaha kriminal pencurian listrik yang merugikan negara senilai miliaran rupiah tersebut dimiliki oleh IRAWAN CHANDRA SUMAMPAUW—saat “tempus delicti” terjadi, IRAWAN CHANDRA SUMAMPAUW adalah “sekutu pasif” CV. BIMA POLYPLAST yang semestinya paling menikmati uang hasil kejahatan sebagai pemilik badan usaha, bukan “sekutu aktif” CV. BIMA POLYPLAST (Terdakwa adik dari IRAWAN CHANDRA SUMAMPAUW yang hanya menerima sejumlah gaji bulanan). Artinya:
1. Terdakwa adik dari IRAWAN CHANDRA SUMAMPAUW melakukan perbuatan korupsi berupa pencurian listrik hingga miliaran rupiah, adalah dalam rangka bukan untuk menguntungkan diri sendiri sang adik yang menjadi Terdakwa, namun untuk keuntungan CV. BIMA POLYPLAST yang dimiliki oleh IRAWAN CHANDRA SUMAMPAUW, sehingga yang pada muaranya paling menikmati uang hasil kejahatan (pencurian serta korupsi) ini ialah IRAWAN CHANDRA SUMAMPAUW selaku pemilik CV. BIMA POLYPLAST;
2. Mustahil perilaku pencurian listrik yang mencapai miliaran rupiah dilakukan oleh Terdakwa adik dari IRAWAN CHANDRA SUMAMPAUW tanpa sepengetahuan ataupun tanpa seizin dari IRAWAN CHANDRA SUMAMPAUW, karena pastilah ada laporan tahunan dan laporan pertanggung-jawaban pengurus sekutu aktif kepada sekutu pasif terkait modal usaha dan laba hasil usaha badan usaha, dimana semestinya dapat terbaca dalam laporan keuangan, MENGAPA TIDAK ADA KOMPONEN BIAYA TAGIHAN LISTRIK SENILAI MILIARAN RUPIAH SEBAGAI PASSIVA / LIABILITY? Menurut psikologi kewajaran perilaku aksi korporasi, Tiada untungnya bagi adik dari IRAWAN CHANDRA SUMAMPAUW melakukan perilaku ilegal seperti korupsi listrik negara demikian, karena bukanlah adik dari IRAWAN CHANDRA SUMAMPAUW selaku pemilik CV. BIMA POLYPLAST. Sehingga, bisa jadi adik dari IRAWAN CHANDRA SUMAMPAUW hanya menjadi “kambing hitam” yang ditumbalkan / dikorbankan demi menutupi kejahatan yang dilakukan / di-otak-i oleh pemilik dari CV. BIMA POLYPLAST;
3. Mungkin IRAWAN CHANDRA SUMAMPAUW berpikir bahwa korupsi ialah “iseng-iseng berhadiah”, bilamana investigator PLN tidak melakukan penyelidikan terhadap meteran listrik, maka dapat dipastikan terjadi kerugian uang negara yang MENGUNTUNGKAN PIHAK PEMILIK CV. BIMA POLYPLAST [Putusan Mahkamah Konstitusi RI, kekayaan negara yang dipisahkan, tidak terkecuali keuangan BUMN/D maupun Perum seperti PT. PLN, termasuk sebagai “keuangan negara” yang mana pelakunya yang merugikan “keuangan negara” dapat dijerat dengan Undang-Undang Tindak pidana korupsi (Tipikor)]. Contoh : buronan pelaku pembobolan Bank BNI, Maria Pauline Lumowa, disebut sebagai KORUPTOR dan dapat dijerat PASAL TIPIKOR, karena Bank BNI merupakan BUMN, ataupun seperti buronan Djoko Tjandra KORUPTOR hak tagih Bank Bali yang dibantu pengacaranya merekam e-KTP dengan karpet-merah. Bila ternyata diketahui dan tertangkap-tangan korupsi listrik yang merugikan keuangan negara hingga miliaran rupiah, maka sang adik dari IRAWAN CHANDRA SUMAMPAUW yang akan di-TUMBAL-kan sebagai “bumper” karena didudukkan sebagai “sekutu aktif” CV. BIMA POLYPLAST;
4. Bila Jaksa Penuntut Umum turut mendakwa IRAWAN CHANDRA SUMAMPAUW dengan pasal-pasal Undang-Undang Tipikor jo. Surat Edaran Mahkamah Agung tentang Tindak Pidana Korporasi, maka dapat dipastikan pihak-pihak yang turut menikmati dana hasil korupsi akan turut diseret sebagai Terdakwa bersama pelaku utamanya, alias adik IRAWAN CHANDRA SUMAMPAUW bersama IRAWAN CHANDRA SUMAMPAUW akan bersama-sama mendekam di penjara, TANPA HUKUMAN “PIDANA PERCOBAAN” SEKALIPUN KERUGIAN NEGARA TELAH DIKEMBALIKAN. Pemilik perusahaan wajib CURIGA, dana senilai miliaran rupiah tersebut (uang yang tidak sedikit) adalah keuntungan yang bersumber dari mana, sementara tiada laporan tagihan biaya listrik kedua pabrik perusahaan yang sifatnya rutin semestinya sebagaimana bulan-bulan sebelumnya?;
5. Saking serakahnya CV. BIMA POLYPLAST yang dimiliki IRAWAN CHANDRA SUMAMPAUW, sekalipun hukuman pidana di Pengadilan Negeri telah demikian rendah (sehingga tidak heran CV. BIMA POLYPLAST tidak mengajukan upaya hukum banding, yang artinya juga TIDAK MEMBANTAH PERTIMBANGAN HUKUM MAJELIS HAKIM YANG MENYATAKAN IRAWAN CHANDRA SUMAMPAUW SEBAGAI PEMILIK USAHA ILEGAL CV. BIMA POLYPLAST YANG KINI HENDAK DI-BUNGKAM OLEH RICKY BUDHI HARTONO S.H., M.H. & PARTNERS), karena Terdakwa adik dari IRAWAN CHANDRA SUMAMPAUW hanya diganjar dengan hukuman “pidana percobaan”, namun masih juga menuntut agar rekam jejak kejahatannya yang telah MENGKORUPSI UANG NEGARA agar dihapus seolah menjelma “pengusaha suci” yang jujur dan tidak pernah korupsi;
6. IRAWAN CHANDRA SUMAMPAUW, maupun CV. BIMA POLYPLAST dan pengacaranya, RICKY BUDHI HARTONO S.H., M.H. & PARTNERS, tidak mau menyadari, betapa telah beruntungnya mereka, bahwa IRAWAN CHANDRA SUMAMPAUW tidak turut dipidana penjara sebagai KORUPTOR, dan hukuman pidana Pengadilan Negeri telah demikian RENDAH, masih juga mengklaim penulis telah mencemarkan nama baik klien sang “pengacara koruptor” yang merupakan KORUPTOR, dan kini hendak menuntut lebih banyak lagi dengan agar dirinya di-“sulap” menjelma pengusaha bersih, suci, teladan, murni, jujur, beretika, innocence, tidak bersalah, lugu, baik hati, murah hati, dermawan, bereputasi baik, tanpa cacat cela, lurus, moralis, sekalipun sejatinya adalah KORUPTOR—itulah FAKTA HUKUM PALING UTAMA yang kini penulis ungkap kepada publik, berkat permintaan RICKY BUDHI HARTONO S.H., M.H. & PARTNERS.
Artikel hasil dari waktu yang penulis luangkan untuk mengetik ini, merupakan / sebagai buah akibat perilaku RICKY BUDHI HARTONO S.H., M.H. & PARTNERS, ketika “koruptor” mencoba menutupi jejak rekam kejahatan dan kebusukannya dengan menggunakan sebuah badan usaha berbentuk CV, bahkan merugikan “uang negara (milik rakyat)” senilai miliaran rupiah, namun juga masih bersikukuh hendak tampil bak “orang suci”, bahkan memperkeruh keadaan dengan memakai “pengacara koruptor” semacam RICKY BUDHI HARTONO S.H., M.H. & PARTNERS, maka akhirnya terbit ulasan tambahan ini—sekali lagi, berkat RICKY BUDHI HARTONO S.H., M.H. & PARTNERS yang disewa oleh IRAWAN CHANDRA SUMAMPAUW itu sendiri untuk mencoba mengintimidasi dan mendikte publikasi penulis atas FAKTA HUKUM YANG MENJADI HAK PUBLIK, lengkap dengan segala tuduhannya yang dialamatkan kepada penulis seolah-oleh penulis yang telah mencemarkan nama BURUK milik klien sang pengacara, sekalipun sudah dari sejak semula nama klien sang pengacara adalah buruk adanya. Mencemarkan nama sendiri dengan KORUPSI mencuri listrik negara hingga miliaran rupiah pada berbagai pabrik milik sang pengusaha KORUP, lantas penulis yang hendak dipersalahkan.
Secara pribadi, penulis menantang baik IRAWAN CHANDRA SUMAMPAUW sang pemilik yang menikmati usaha ilegal kriminal CV. BIMA POLYPLAST,  maupun pengacaranyayang lebih berpihak pada KORUPTOR ketimbang membela hak-hak rakyat, RICKY BUDHI HARTONO S.H., M.H. & PARTNERS, untuk menggugat ataupun melaporkan pidana atas publikasi yang berisi FAKTA-FAKTA hukum ini. Secara moral etika dan kepatutan, maupun asas KEPASTIAN HUKUM dan KEADILAN, tidak terkecuali, maka penulis telah berulang-kali MENANTANG sang “pengacara koruptor”, RICKY BUDHI HARTONO S.H., M.H. & PARTNERS, untuk membela mati-matian dan secara membuta bagi kliennya yang menikmati atau setidaknya mencoba dan telah merugikan “keuangan negara” (sekalipun dikembalikan karena “tertangkap tangan” OTT, meski senyatanya pabrik keduanya dihukum pidana), untuk “duel hukum” dengan penulis yang memposisikan diri sebagai PEMBELA KEPENTINGAN SERTA HAK-HAK RAKYAT ATAS APA YANG MENJADI INFORMASI PUBLIK SEBAGAIMANA AKTA OTENTIK BERUPA PUTUSAN PENGADILAN YANG COBA DIBUNGKAM OLEH SANG PENGACARA KORUPTOR, RICKY BUDHI HARTONO S.H., M.H. & PARTNERS. Sekali lagi, you asked for it. 
Bila untuk urusan listrik saja melakukan PENCURIAN (KORUPSI) hingga miliaran rupiah, maka bagaimana dengan hal-hal lainnya di tengan pengusaha satu ini dan pengacaranya yang justru memuliakan perilaku kriminil? Korupsi uang negara senilai miliaran rupiah, hanya diganjar hukuman pidana kurungan percobaan? Mungkin buron Djoko Tjandra akan iri hati bila mengetahui betapa rendahnya hukuman pidana bagi pelaku PENCURIAN (KORUPSI) listrik negara senilai miliaran rupiah ini. Pencuri sandal dihakimi bakar hidup-hidup hingga mati, namun koruptor diberi hukuman demikian rendah, masih juga PROTES dan ingin tampak bak MALAIKAT SUCI JUJUR!? Sebagaimana namanya, KORUPTOR, TIDAK PERNAH KENAL PUAS DAN TIDAK PUNYA MALU. Bahkan, mungkin masih juga menuntut agar dimasukkan ke surga, seolah Tuhan dapat disuap dengan segala puja-puji ataupun uang.